Pergerakan Kebangsaan
143
Anggota Jawa Hokokai adalah bangsa Indonesia yang berusia minimal 14 tahun, bangsa Jepang yang menjadi pegawai negeri, dan orang-orang dari berbagai kelompok
profesi. Jawa Hokokai merupakan pelaksana utama usaha pengerahan barang-barang dan padi. Pada tahun 1945, semua kegiatan pemerintah dalam bidang pegerakan
dilaksanakan oleh Jawa Hokokai sehingga organisasi ini harus melaksanakan tugas dengan nyata dan menjadi alat bagi kepentingan Jepang.
Konsep dan Aktualita
Jawa Hokokai merupakan organisasi sentral yang anggota-anggotanya terdiri atas bermacam-macam hokokai sesuai dengan bidang profesinya. Guru-guru bergabung dalam wadah Kyoiku Hokokai Kebaktian
para Pendidik dan para dokter bergabung dalam wadah Izi Hokokai Kebaktian para Dokter. Selain itu, Jawa Hokokai juga mempunyai anggota-anggota istimewa yang terdiri dari Fujinkai organisasi wanita,
Keimin Bunka Shidosho Pusat Kebudayaan, Boei Engokai Tata Usaha Pembantu Prajurit Peta dan Heiko, serta hokokai perusahaan.
d. Cuo Sangi In Badan Pertimbangan Pusat
Ketika pemerintahan Jepang berada di tangan Perdana Menteri Toyo, Jepang pernah memberi janji merdeka kepada Filipina dan Burma, namun tidak melakukan hal
yang sama kepada Indonesia. Oleh karena itu, kaum nasionalis Indonesia protes. Menanggapi protes tersebut, PM Toyo lalu membuat kebijakan berikut.
1 Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat Cuo Sangi In. 2 Pembentukan Dewan Pertimbangan Karesidenan Shu Sangi Kai atau daerah.
3 Tokoh-tokoh Indonesia diangkat menjadi penasihat berbagai departemen. 4 Pengangkatan orang Indonesia ke dalam pemerintahan dan organisasi resmi lainnya.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pada tanggal 5 September 1943, Kumakichi Harada mengeluarkan Osamu Serei No. 36 dan 37 Tahun 1943 tentang pembentukan
Cuo Sangi In dan Shu Sangi Kai. Cuo Sangi In yang berada di bawah pengawasan Saiko Shikikan Pemerintahan Tentara Keenambelas bertugas menjawab pertanyaan Saiko
Shikikan dalam hal politik dan pemerintah. Cuo Sangi In juga berhak mengajukan usul kepada Saiko Shikikan. Rapat-rapat Cuo Sangi In membahas pengembangan pemerintah
militer, mempertinggi derajat rakyat, penanganan pendidikan dan penerangan, masalah ekonomi dan industri, kemakmuran dan bantuan sosial, serta kesehatan.
Keanggotaan Cuo Sangi In terdiri atas 43 orang, yaitu 23 orang diangkat oleh Saiko
Shikikan, 18 orang dipilih oleh anggota Shu Sangi Kai, dan dua orang anggota yang diusulkan
dari daerah Surakarta dan Yogyakarta. Anggota Cuo Sangi lu dilantik pada tanggal 17 Oktober
1943 dengan ketua Ir. Soerkarno, serta wakilnya dua orang, yaitu M.A.A. Kusumo Utoyo dan Dr.
Boentaran Martoatmodjo. Cuo Sangi In dibentuk dengan tujuan agar ada perwakilan, baik bagi
Sumber: Sejarah Nasional Indonesia
Gambar 5.12
Sidang Cuo Sang In
144
Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI Bahasa
pihak Jepang maupun pihak Indonesia. Namun, agar tidak dimanfaatkan untuk per- juangan bangsa Indonesia, Cuo Sangi In mendapat pengawasan ketat dari pemerintah
Jepang.
Dilihat dari segi perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan, keberadaan Cuo Sangi In memang tidak berarti banyak. Akan tetapi, keberadaan
lembaga ini berguna bagi pertambahan wawasan pengalaman kaum nasionalis Indonesia.
e. Majelis Islam Alaa Indonesia MIAI
MIAI merupakan organisasi yang berdiri pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1937 di Surabaya. Pendirinya adalah K.H. Mas Mansyur dan kawan-
kawan. Organisasi ini tetap diizinkan berdiri pada masa pendudukan Jepang sebab merupakan gerakan anti-Barat dan hanya bergerak dalam bidang amal sebagai
baitulmal serta penyelenggaraan hari-hari besar Islam saja. Meskipun demikian, pengaruhnya yang besar menyebabkan Jepang merasa perlu untuk membatasi ruang
gerak MIAI.
Pada awal pendudukan, Jepang membentuk Bagian Pengajaran dan Agam yang dipimpin oleh Kolonel Horie. Ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka
agama di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, Horie meminta agar umat Islam tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat politik. Permintaan ini disetujui oleh peserta
pertemuan tersebut yang kemudian membuat pernyataan sikap di akhir pertemuan. Pada akhir Desember 1942, hasil pertemuan di Surabaya itu ditingkatkan dengan
mengundang 32 orang kiai di seluruh Jawa Timur untuk menghadap Letnan Jenderal Imamura dan Gunseikan, Mayor Jenderal Okasaki. Dalam pertemuan tersebut, Gunseikan
menyatakan bahwa Jepang akan tetap menghargai Islam dan akan mengikutsertakan golongan Islam dalam pemerintahan.
Pemerintah militer Jepang memilih MIAI sebagai satu-satunya
wadah bagi organisasi gabungan golongan Islam. Akan tetapi, organi-
sasi ini baru diakui oleh Jepang setelah mengubah anggaran dasarnya, khu-
susnya mengenai asas dan tujuannya. Pada asas dan tujuan MIAI ditambah-
kan kalimat: ... turut bekerja dengan sekuat tenaga dalam pekerjaan
membangun masyarakat baru untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon
. Sebagai organisasi tunggal golongan Islam, MIAI mendapat simpati yang luar
biasa dari kalangan umat Islam sehingga organisasi ini berkembang semakin maju. Melihat perkembangan ini, Jepang mulai merasa curiga. Tokoh-tokoh MIAI di berbagai
daerah mulai diawasi. Untuk mengantisipasi agar gerakan para pemuka agama Islam tidak menjurus pada kegiatan yang berbahaya bagi Jepang, diadakan pelatihan para
Inskripsi
Setelah penyikapan selama beberapa waktu terhadap perkembangan MIAI, Jepang berkesimpulan bahwa para
kiai tidak membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia. Oleh karena itu, Jepang mengizinkan berdirinya
dua organisasi besar Islam yang lain, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini berdiri
pada bulan September 1943 dengan kegiatan berpusat pada kerohanian dan sosial.