GDP Nilai Tukar Lag Ekspor Tahun Sebelumnya

Karet sintesis merupakan barang substitusi atas karet alam. Oleh karena itu, harga karet sintesis berperan sebagai harga barang subsitusi karet alam. Hasil OLS menunjukkan bahwa nilai probability harga karet sintesis sebesar 0,0075 dan koefisien harga karet sintesis sebesar 1,975. Kedua angka ini mempunyai interpretasi bahwa harga karet sintesis berpengaruh nyata dan positif terhadap permintaan ekspor karet alam Indonesia di Negara Cina. Koefisien harga karet sintesis dunia sebesar 1,975 berarti bahwa jika harga karet sintesis dunia meningkat sebesar satu persen, maka permintaan ekspor karet alam Indonesia di Cina akan meningkat pula sebesar 1,975 persen.

7.2. GDP

Gross Domestic Product per kapita Hipotesis awal menyatakan bahwa GDP per kapita Cina G mempunyai hubungan positif dengan permintaan ekspor karet alam Indonesia ke Negara Cina. Setelah dilakukan OLS, hipotesis tersebut terbukti. Hasil regresi OLS terlihat bahwa koefisien GDP per kapita Cina adalah 0,061. Tanda koefisien GDP per kapita Cina adalah positif. Tanda koefisien tersebut sudah sesuai dengan teori ekonomi. Jika GDP per kapita Cina meningkat, maka pembangunan infrastruktur meningkat. Investor luar negeri banyak menanamkan modal ke industri barang jadi karet. Oleh karena itu permintaan karet alam Cina akan meningkat. Nilai koefisien GDP per kapita Cina adalah sebesar 0,061 mempunyai arti jika GDP per kapita Cina meningkat satu persen maka permintaan ekspor karet alam Indonesia di Negara Cina akan meningkat pula sebesar 0,061 persen. GDP per kapita Cina memiliki nilai probability sebesar 0.127 lebih kecil dari α = 0,15 maka tolak Ho. Nilai probability GDP per kapita Cina tersebut mengindikasikan bahwa GDP per kapita Cina berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor karet alam Indonesia ke Cina.

7.3. Nilai Tukar

Exchange Rate Hasil regresi OLS terlihat bahwa koefisien nilai tukar yuan terhadap dollar US adalah -0,617 dan nilai probability nilai tukar yuan terhadap dollar US sebesar 0,1772. Kedua angka tersebut mengindikasikan bahwa nilai tukar berpengaruh negatif dan nyata pada taraf 20 persen terhadap permintaan ekspor karet alam Indonesia di Cina. Koefisien nilai tukar adalah sebesar -0,617 mempunyai arti jika nilai tukar yuan terhadap dollar US meningkat satu persen maka permintaan ekspor karet alam Indonesia di Negara Cina akan turun sebesar 0,617 persen.

7.4. Lag Ekspor Tahun Sebelumnya

Hipotesis awal menyatakan bahwa hubungan antara lag ekspor LX dan permintaan ekspor karet alam Indonesia di Negara Cina adalah positif. Jika total ekspor tahun sebelumnya meningkat maka permintaan karet alam tahun t akan meningkat pula. Hasil regresi OLS menunjukkan bahwa koefisien variabel lag ekspor tahun sebelumnya adalah 0,673. Tanda koefisien variabel lag ekspor adalah positif. Tanda koefisien lag ekspor sesuai dengan teori ekonomi. Nilai koefisien variabel lag ekspor sebesar 0,673 mempunyai arti jika lag ekspor meningkat satu persen maka permintaan ekspor karet alam Indonesia di Negara Cina akan meningkat pula sebesar 0,673 persen. Variabel lag ekspor memiliki nilai probability sebesar 0,0000 lebih kecil dari α = 0,05 maka tolak Ho. Kesimpulan dari nilai probability lag ekspor tersebut mengindikasikan bahwa lag ekspor tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor karet alam Indonesia ke Cina. Setelah menganalisis R 2 dan menganalisis kesesuaian tanda koefisien serta nilai probability pada masing-masing variabel, maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi masalah asumsi BLUE. Satu dari asumsi penting dari model regresi adalah bahwa kesalahan atau gangguan u i yang masuk kendala fungsi regresi populasi adalah random atau tak berkorelasi. Gujarati,1978. Jika asumsi ini dilanggar, maka model mengalami masalah serial korelasi atau autokorelasi. Meskipun penaksiran OLS tetap tak bias dan konsisten dengan adanya korelasi, akan tetapi model menjadi tidak efisien. Hasil pengujian yang mempunyai autokorelasi akan menyebabkan perngujian arti t dan F tidak dapat diterapkan secara sah. Berdasarkan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test, tidak ditemukan adanya autokorelasi dalam model permintaan ekspor karet alam Indonesia di Cina. Hipotesis awal adalah Ho : Tidak ada Autokorelasi, dan H 1 : Ada Autokorelasi. Pada Lampiran 3, hasil uji LM Test menunjukkan bahwa probability R 2 adalah 0,52 yaitu lebih besar dari α = 0,05, maka terima Ho dan simpulkan bahwa model tidak ada autokorelasi. Masalah lain dari model regresi berganda adalah masalah multikolinieritas. Interpretasi dari persamaan regresi ganda secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi Nachrowi, 2002. Koefisien-koefisien regresi biasanya diinterpretasikan sebagai ukuran perubahan variabel terikat jika salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan seluruh variabel bebas lainnya dianggap tetap. Namun, interpretasi ini tidak benar apabila terdapat hubungan linier antara variabel bebas Chatterjee and Price dalam Nachrowi, 2002. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan menggunakan matrik korelasi antar variabel seperti yang tertera pada Lampiran 4 Variabel-variabel dalam model permintaan ekspor karet alam Indonesia di Negara Cina tidak berkorelasi sempurna. Hubungan antar variabel tidak menunjukkan nilai 1. Hal ini berarti bahwa model permintaan ekspor bebas dari masalah multikolinieritas. Masalah ketiga yang dapat mengganggu asumsi BLUE adalah heteroskedastisitas heteroscedasticity. Masalah heteroskedastisitas lebih biasa terjadi dalam data cross section dibandingkan dengan data deret waktu atau time series Gujarati, 1978. Pada data deret waktu, variabelnya cenderung mempunyai derajat yang sama dalam besarnya. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya masalah heteroskedastisitas adalah melalui White Heteroskedasticity Test. Pada Lampiran 5 terlihat bahwa probability R 2 adalah 0,56 yaitu lebih besar dari α = 0,05. Jika hasil probability R 2 lebih besar dari 0,05, maka terima Ho dan simpulkan bahwa model bersifat homoskedastisitas atau terbebas dari masalah heteroskedastisitas.

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKSPOR