Verifikasi Forest and Land Fires Management Strategy in Rawa Aopa Watumohai National Park Using Spatial Model

BTNRAW dimana banyak temuan kebakaran dengan luasan kurang dari 1 km² tidak terdeteksi sebagai hotspot. Secara umum, kesulitan sensor mengidentifikasi kebakaran sebagai hotspot diduga disebabkan beberapa faktor, seperti : a. Area kebakaran tidak terlalu luas. Ini seperti terjadi pada beberapa area pertanian lahan kering yang terbakar di Kecamatan Lambandia dan beberapa kejadian kebakaran savana di Kecamatan Lantari Jaya dan Kecamatan Tinanggea hasil monitoring regu DALKARHUT. b. Area kebakaran luas namun api tidak terlalu besar sehingga sulit dideteksi sensor. Ini dapat terjadi pada kebakaran savana yang memiliki volume vegetasi penutup lahan biomassa yang telah menurun akibat pengaruh kekeringan pada musim kemarau. c. Di atas area terbakar terdapat awan sehingga terjadi haze atmosfer. d. Kebakaran telah berhentipadam ketika satelit melintas di atas wilayah studi. Gambar 5 Contoh area terbakar yang tidak teridentifikasi sebagai hotspot Hasil pengujian kedua jenis hotspot menunjukkan bahwa hotspot bersumber dari MODIS memiliki keunggulan dibandingkan dengan NOAA dalam hal kemampuan untuk mendeteksi kebakaran dan resolusi temporalnya. Hotspot yang dihasilkan oleh MODIS dari sisi kuantitas lebih banyak sehingga kebakaran yang tidak teridentifikasi sebagai hotspot lebih sedikit dibandingkan NOAA. Berdasarkan hasil tersebut maka penelitian ini menggunakan hotspot MODIS sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di wilayah studi.

5.2 Jumlah dan Sebaran

Hotspot Selama rentang waktu 5 tahun 1 Nopember 2007-31 Oktober 2012, teridentifikasi 605 hotspot MODIS di wilayah studi. Sebaran hotspot terbanyak dan terpadat dijumpai pada Kecamatan Lantari Jaya Kabupaten Bombana dan Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Untuk jumlah dan kepadatan terendah dijumpai pada Kecamatan Benua dan Kecamatan Basala Kabupaten Konawe Selatan. Jumlah dan kepadatan hotspot berdasarkan wilayah administrasi kecamatan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah dan sebaran hotspot menurut lokasi No Kecamatan Luas Kecamatan km² Jumlah Hotspot Kepadatan Hotspot Hotspotkm² 1 Basala 82.44 0.0000 2 Benua 118.50 2 0.0169 3 Lambandia 409.58 7 0.0171 4 Loea 94.72 2 0.0211 5 Polinggona 185.05 4 0.0216 6 Tanggetada 316.38 8 0.0253 7 Tirawuta 230.22 6 0.0261 8 Ladongi 236.40 8 0.0338 9 Lalembuu 190.62 9 0.0472 10 Onembute 148.39 16 0.1078 11 Angata 285.25 42 0.1472 12 Mata Usu 438.27 78 0.1780 13 Watubangga 309.00 60 0.1942 14 Puriala 144.02 29 0.2014 15 Tinanggea 338.04 110 0.3254 16 Lantari Jaya 370.89 224 0.6039 Jumlah 3 897.76 605.00 Jumlah hotspot mengalami peningkatan pada bulan-bulan kering musim kemarau dan mulai menurun menjelang musim hujan. Peningkatan hotspot umumnya mulai terjadi pada bulan Juni-Juli dan mengalami puncaknya pada bulan Agustus-Oktober. Pada bulan Januari-Mei jumlah hotspot tidak terlalu banyak. Jumlah hotspot terendah terjadi pada bulan Maret-Mei. Pengukuran intensitas curah hujan bulanan dilakukan pada 4 stasiun pengamatan cuaca di wilayah studi, yaitu stasiun hujan Bandara Haluoleo Kendari, stasiun pengamatan cuaca Dinas Pertanian Bombana, stasiun pengamatan cuaca BP3K Kecamatan Lantari Jaya dan PT Antam UBK Pomala. Rata-rata curah hujan bulanan pada keempat stasiun tersebut naik pada bulan Januari-Mei musim penghujan dan mulai turun bulan Juni-Juli. Puncak intensitas curah hujan terjadi pada bulan Mei, sedangkan bulan paling kering adalah Agustus. Pola intensitas curah hujan rata-rata bulanan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 6 Curah hujan rata-rata bulanan dan hari hujan berdasarkan stasiun pengamatan cuaca Pola hubungan yang terbentuk antara intensitas curah hujan bulanan dan hotspot bulanan disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Pola hubungan curah hujan rata-rata dan hotspot bulanan Secara temporal terdapat hubungan kuat antara intensitas curah hujan dan hotspot bulanan di wilayah studi. Hubungan ini dapat diterangkan dengan menggunakan analisis regresi linier, dimana hasil analisis ini menunjukkan bahwa intensitas curah hujan bulanan selama tahun 2007-2011 mempengaruhi jumlah hotspot dengan nilai signifikansi 0.01. Di musim penghujan intensitas curah hujan tinggi jumlah hotspot rendah, sebaliknya di musim kemarau intensitas 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 50 100 150 200 250 300 Ju m la h h a ri h u ja n h a ri C u ra h h u ja n b u la n a n m m b ln Jumlah Hari Hujan hari Curah Hujan rata-rata Bulanan mm Waktu bulan 50 100 150 200 250 300 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des C u ra h h u ja n b u la n a n m m b u la n Ju m la h h o ts p o t h s b u la n Jumlah hotspot Curah hujan Waktu bulan curah hujan rendah jumlah hotspot meningkat. Pergantian musim umumnya terjadi antara bulan Juni-Juli, ditandai peningkatan jumlah hotspot dan penurunan intensitas curah hujan. Peningkatan jumlah hotspot cukup besar terjadi pada bulan Agustus dan mencapai puncaknya pada bulan September. Data intensitas curah hujan selama tahun 2007-2012 dapat dilihat pada Lampiran 23 serta hasil keluaran analisis uji normalitas data dan regresi linier disajikan pada Lampiran 25. Pengkelasan kepadatan hotspot pembangun model menggunakan pembagian default Arc GIS divisualisasikan menampilkan hasil seperti pada Gambar 8. Kepadatan hotspot tinggi banyak terdapat di bagian selatan dan sebagian kecil timur laut wilayah studi. Gambar 8 Peta kepadatan hotspot penyusun model

5.3 Uji Beda Nyata Antar Kelas

Nilai signifikansi perbedaan antar kelas di dalam variabel diuji melalui analisis regresi logistik biner. Data yang diolah mencakup 3869 area piksel dengan ukuran tiap area piksel 1 km x 1 km. Setelah dilakukan uji regresi logistik biner terhadap beberapa kombinasi variabel, diperoleh model dengan nilai signifikansi 0.000 dan Nagelkerke R Square 36 yang melibatkan 9 variabel penyusun model kebakaran hutan dan lahan di wilayah studi. Nilai signifikansi 0.000 0.05 berarti model yang digunakan dalam analisis ini secara keseluruhan baik dan dapat digunakan dalam analisis selanjutnya. Nilai Nagelkerke R Square model 36 , menunjukkan sebesar 36 persen variasi dari variabel Y tingkat kepadatan hotspot dapat dijelaskan oleh 9 variabel bebas yang digunakan dalam