Pendidikan Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah Sekitar Kawasan TNRAW

3 TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Memahami Api dan Kebakaran

Jaber et al. 2001 menyatakan bahwa manajemen kebakaran hutan dan lahan mencakup pembahasan terhadap empat komponen utama, yaitu : a. Deteksi dini kebakaran b. Penilaian resiko berhubungan dengan kondisi cuaca c. Penilaian terhadap luasan areal terbakar kebakaran yang terjadi pada area yang tidak luas umunya tidak berbahaya d. Simulasi terhadap perilaku penyebaran api Pengelolaan resiko kebakaran hutan dan lahan dimulai dari penilaian terhadap besar resiko yang disebabkan oleh kejadian kebakaran tersebut. Perilaku api terkadang tidak menentu sehingga sulit untuk dideteksi dan dilakukan pendekatan. Memprediksi kondisi aktual kebakaran dengan suatu permodelan tidak mudah. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran, baik faktor ekologi maupun sosial ekonomi, tidak bisa dianalisis secara terpisah. Resiko kebakaran hutan dapat didekati dengan menjumlahkan skor pada faktor kemudahan menyala, topomorfologi, dan landuse Guettouche et al. 2011. Braun et al. 2010 telah membuat pendekatan penilaian peluang terjadinya kebakaran dengan menggunakan data waktu kejadian kebakaran, lokasi penyalaan dan area terbakar. Batasan pengertian area terbakar mencakup area tempat kejadian penyalaan dan juga area penyebaran dari titik api tersebut. Untuk mengurangi terjadinya bias, maka dibuat buffer dengan radius 5 km di sekitar wilayah kajian. Hal ini didasarkan kemungkinan api merambat keluar dari wilayah studi. Pembakaran lahan telah menyebabkan terjadinya pemadatan tanah. Pembakaran lahan bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah Wasis 2003. Kebakaran hutan juga memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi lahan, banjir dan erosi tanah Vafeidis et al. 2007.

3.1.1 Penggunaan

Hotspot MODIS MODIS Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer merupakan produk dari Earth Observing Sistem EOS NASA yang memiliki 2 jenis satelit, yaitu Terra EOS AM and Aqua EOS PM. Orbit satelit Terra dari utara ke arah equator pada pagi hari dan satelit Aqua dari selatan ke Equator pada siang hari yang menghasilkan liputan seluruh muka bumi dalam waktu 1-2 hari. Satelit EOS memiliki wilayah pergantian liputan ± 55 derajat, ketinggian orbit 705 km dan lebar 2330 km. Terra EOS AM diluncurkan 18 Desember 1999 dan Aqua EOS PM pada tanggal 4 Mei 2002. Hasil observasi hotspot dengan kualitas tinggi baru tersedia pada satelit Terra mulai November 2000, sementara satelit Aqua mulai 4 Juli 2002 dan seterusnya http:firefly.geog.umd.edufirms. Satelit Terra EOS AM melewati khatulistiwa sekitar pukul 10:30 pagi dan 10:30 malam setiap hari, Aqua EOS PM satelit melewati khatulistiwa sekitar pukul 1:30 pagi dan 1:30 siang. Adanya jalur orbit yang sama memungkinkan satelit untuk melewati daerah yang sama pada waktu yang sama dalam setiap periode 24 jam. Diperlukan waktu sekitar 2 - 4 jam setelah proses liputan satelit untuk pemrosesan data, dan pembaharuan data FIRMS pada situs web. Untuk sebagian besar ekuator Bumi, ada 4 liputan dalam jangka waktu 24 jam 2 untuk Aqua dan 2 untuk Terra. Sebagai orbit kedua satelit tumpang tindih di kutub, ada cakupan lebih per daerah mengingat lebih jauh ke utara atau selatan daerah dari khatulistiwa http:firefly.geog.umd.edufirms. Satelit MODIS memiliki resolusi spasial 250 m yang lebih tinggi dari pada AVHRR pada Band 1 0.620–0.670 µm dan Band 2 0.841–0.876 µm Zhang et al. 2011. Salah satu kelebihan MODIS dibanding dengan satelit lainnya adalah dalam pembacaan algoritmanya tidak ada batas atas untuk api terbesar dan atau terpanas yang dapat dideteksi dengan MODIS. Ini tidak dimiliki oleh beberapa satelit seperti AVHRR, VIRS, dan ATSR Giglio 2010. Dalam kejadian kebakaran, besar minimum api terdeteksi oleh sensor dipengaruhi oleh banyak variabel, seperti sudut scan, bioma, posisi matahari, suhu permukaan tanah, tutupan awan, jumlah asap dan arah angin, dll, sehingga nilai yang tepat sulit diketahui. Dari resolusinya MODIS mendeteksi kebakaran 1000 m², namun apabila pengamatan dilakukan dalam kondisi optimal misalnya di dekat titik nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan tanah yang relatif homogen, dll, kebakaran dengan luas 100 m² dapat dideteksi, bahkan dalam kasus yang sangat jarang dapat mendeteksi kebakaran seluas 50 m² Giglio 2010. Diantara kelebihan Satelit MODIS resolusi 250 m adalah produk yang tidak mahal, resolusi temporal yang tinggi, cakupan areal yang sangat luas dan memberikan informasi dalam rangka monitoring kondisi kesehatan ekosistem hutan. Penggunaan data MODIS dapat mengenali sebaran area terbakar sebagai bahan masukan bagi petugas pengendali kebakaran. Namun hasil identifikasi area terbakar tersebut umumnya memiliki luasan lebih rendah dibanding dengan pengukuran GPS Quintano et al. 2011. Validasi hotspot Terra MODIS dan Aqua MODIS telah dilakukan dengan menggunakan pengamatan Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer ASTER dengan hasil yang baik Klerk 2008 dan Hawbaker et al. 2008 dalam Giglio 2010. Citra Landsat 5 TM juga dapat digunakan sebagai data lapangan untuk validasi MODIS. Validasi terhadap MODIS dengan citra Landsat TM menunjukkan hasil yang akurat sebagai sumber informasi peta kebakaran Shimabukuro et al. 2009. Demikian juga validasi dengan pengecekan lapangan, penggunaan data hotspot MODIS memiliki akurasi yang cukup tinggi di atas 90 sehingga cukup layak digunakan sebagai data dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan di Thailand Tanpipat et al. 2009. Setiap deteksi kebakaran hotspot merupakan pusat dari pixel dengan resolusi ± 1 km², dan dalam satu piksel tersebut terdapat satu atau lebih hotspot kebakaran. Lokasi sebenarnya titik api tersebut di dalam 1 piksel itu tidak diketahui secara pasti. Seringkali hotspottitik api yang terdeteksi memiliki luas kurang dari 1 km², sehingga secara pasti luas area terbakar tidak dapat diketahui. Hanya dapat disimpulkan bahwa dalam 1 piksel itu terdapat satu atau beberapa hotspot http:firefly.geog.umd.edufirms. Hotspot diproses oleh MODIS Rapid Response Sistem menggunakan algoritma berstandar MODIS MOD14MYD14 Fire dan produk Thermal Anomalies. Deteksi kebakaran dilakukan dengan memanfaatkan emisi yang kuat dari radiasi inframerah tengah yang dipantulkandipancarkan oleh kebakaran. Algoritma memeriksa setiap pixel dari petak MODIS, dan parameter data meliputi data yang hilang, awan, air, non-api, api, atau tidak diketahui http:firefly.geog.umd.edufirms .

3.1.2 Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja Syaufina 2008. Menurut Asian Development Bank tahun 19971998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99 perbuatan manusia dan 1 faktor alam. Kebakaran yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan menjadi : puntung rokok 35, kecerobohan 25, konversi lahan 13, perladangan 10, pertanian 7, kecemburuan sosial 6, kegiatan transmigrasi 13 Sumantri 2007. Di Nevada, kebakaran yang disebabkan oleh alam sering terjadi pada daerah dengan kerapatan petir yang tinggi. Pengaruh faktor alam terlihat pada daerah-daerah yang sulit diakses oleh manusia yang dapat memicu terjadinya penyalaan api. Kebakaran secara alami ini terjadi ketika didukung oleh kesesuaian bahan bakar dan topografi Dilts et al. 2009. Untuk Indonesia kebakaran disebabkan faktor alam ini jarang terjadi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan mencakup faktor sosial ekonomi dalam segitiga api terkait sumber penyalaan dan biofisik terkait bahan bakar. 3.1.2.1 Faktor Sosial Ekonomi Pengolahan Lahan Menurut penelitan hampir 100 kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan Syaufina 2008. Sebagian masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan. Pembakaran lahan dapat meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah Wasis 2003. Prasad et al. 2008 juga menemukan keterkaitan yang erat antara aktivitas masyarakat dengan kejadian kebakaran hutan di India. Permintaan terhadap kayu bakar di pedesaan terkait erat dengan pembersihan dan pembakaran lahan pertanian, dimana vegetasi pohon ditebang dan dibakar dengan tujuan membuka lahan. Ketergantungan masyarakat pada hutan sebagai penyedia kayu bakar dan sumber utama energi menyebabkan deforestasi yang serius di beberapa bagian hutan. Populasi yang terus meningkat menyebabkan konsumsi bahan bakar kayu meningkat dengan cepat. Hal ini seringkali memicu terjadinya kebakaran hutan.