Film Sebagai Media Dakwah

metode dan media yang digunakannya. Kalau dulu, dakwah hanya dilakukan dengan komunikasi verbal, yakni model ceramah di podium atau majelis taklim yang bersifat komunal saja. Akan tetapi, sekarang dakwah sudah dapat dilakukan dengan menggunakan media yang berbasis teknologi canggih atau media massa, baik media cetak yang berupa tulisan maupun dengan media elektronik. Hal ini, seperti model ceramah atau dialog interaktif yang dilakukan melalui radio dan stasiun televisi, atau bahkan hanya lewat sebuah tayangan sinetron dan film-film yang diputar di gedung-gedung pertunjukkan atau bioskop. 35 Menurut Ali Aziz, Film, secara psikologis memiliki kecendrungan yang unik dalam menyajikan pesan dalam menerangkan hal-hal yang masih samar, mengurangi keraguan dan lebih mudah untuk diingat. 36 Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli beranggapan bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linear. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan massage di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap prespektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan 35 Zaenal Arifin, Dakwah melalui Film dan Sinetron, Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press dan Unggun Religi, 2006, h.69 36 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010, h. 104 berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. 37 Selain dapat memberikan hiburan untuk masyarakat, film juga dapat memberikan informasi dan edukasi. Oleh karena itu, film dapat digunakan sebagai media komunikasi dakwah ketika film dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan agama. 38

C. Tinjauan Umum Tentang Berbakti Kepada Orang Tua

1. Pengertian Akhlak Sebelum membahas tentang Birrul Walidain, maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai akhlak. Secara etimologi akhlak قﻼﺧْأ adalah bentuk jamak dari khuluqun ٌﻖُﻠُﺧ yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sedangkan secara terminologi yang dikutip dari beberapa definisi akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. 39 Di dalam Da’iratul Ma’arif dikatakan: ُﺔﱠﯿِﺑَدَﻷْا ِن ﺎَﺴْﻧِﻹْا ُت ﺎَﻔِﺻ ﻰھ قﻼﺧَﻷَا “Akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik”. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa akhlak ialah sifat- sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan 37 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009. H. 127 38 Bambang S. Ma’arif, Komunikasi Dakwah: Paradigma Untuk Aksi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010, h. 165 39 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, h. 1-2 selalu ada padanya sifat itu dapat berupa perbuatan baik, disebut akhlak yang mulia, atau perbuatan buruk, disebut akhlak yang tercela sesuai dengan pembinaannya. 40 Jadi dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya akhlak atau budi pekerti ialah suatu sifat yang sudah meresap dalam jiwa seseorang sehingga membentuk kepribadian yang menyebabkan timbulnya berbagai perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa melalui proses pemikiran terlebih dahulu. Apabila dari kondisi tadi muncul suatu perilaku yang baik dan terpuji menurut pandangan syari’at dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti mulia dan sebaliknya apabila yang timbul adalah perilaku yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela. Di dalam melihat ukuran akhlak baik dan akhlak buruk dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai berikut: 41 a. Pengaruh Adat Kebiasaan Manusia dapat terpengaruh oleh adat istiadat golongan dan bangsanya. Mereka melakukan sesuatu perbuatan dan menjauhi perbuatan lainnya. Adat istiadat dianggap baik apabila diikuti dan ditanam dalam hati mereka menyalahi adat istiadat itu membawa kesucian. Apabila seorang dari mereka menyalahi adat istiadat, sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya. Maka ukuran baik dan buruk menurut pandangan mereka adalah adat istiadat golongannya. 40 Asmaran As., Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, h.1 41 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2007, h. 26-29 Dalam penyelidikan adat istiadat tidak dapat digunakan sebagai ukuran dan pertimbangan, karena sebagian perintah-perintahnya tidak masuk akal dan setengah merugikannya. Banyak perbuatan-perbuatan yang salah, tetapi lain bangsa yang menyatakan kebaikannya; seperti mengubur anak perempuannya hidup-hidup dilakukan oleh sebagian bangsa Arab pada zaman jahiliah. Mereka menganggap perbuatan itu tidak tercela dan tidak salah. Berpegang adat istiadat itu meskipun tidak benar, ada juga faedahnya. Ada juga orang-orang yang tidak mau melanggar adat istiadat yang baik, banyak pula orang-orang yang tidak mau mencuri, minum minuman keras karena mengikuti adat-istiadat, takut dari lingkungan mengecam dan mencemoohkannya. b. Kebahagiaan Hedonism Kebanyakan filsuf berpendapat bahwa tujuan akhir dari hidup dan kehidupan manusia ialah untuk mencapai kebahagiaan. Perbuatan manusia dapat dikatakan baik bila ia mendatangkan kebahagaiaan, kenikmatan, dan kelezatan. Para pengikut aliran hedonism membagi kebahagiaan menjadi dua, yaitu sebagai berikut. 1 Kebahagiaan diri Egoistic Hedonism Pendapat ini mengatakan bahwa manusia hendaknya mencari sebanyak mungkin kebahagiaan untuk dirinya dan mengorientasikan segala usahanya ke arah kebahagiaan.