Pengaruh Ketimpangan Gender dalam Keluarga dan Karakteristik Ibu terhadap Anemia dalam Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar

(1)

PENGARUH KETIMPANGAN GENDER DALAM KELUARGA DAN KARAKTERISTIK IBU TERHADAP ANEMIA DALAM

KEHAMILAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RUMBIO JAYA KABUPATEN KAMPAR

TESIS

OLEH

JURAIDA ROITO HARAHAP 097032165/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF GENDER INEQUALITIES IN FAMILIES AND THE MOTHER’S CHARACTERISTICS ON ANEMIA IN PREGNANCY

IN THE WORKING AREA OF RUMBIO JAYA HEALTH CENTER IN KAMPAR DISTRICT

THESIS

BY

JURAIDA ROITO HARAHAP 097032165/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA M E D AN


(3)

PENGARUH KETIMPANGAN GENDER DALAM KELUARGA DAN KARAKTERISTIK IBU TERHADAP ANEMIA DALAM

KEHAMILAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RUMBIO JAYA KABUPATEN KAMPAR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JURAIDA ROITO HARAHAP 097032165/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KETIMPANGAN GENDER DALAM KELUARGA DAN KARAKTERISTIK IBU TERHADAP ANEMIA DALAM KEHAMILAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RUMBIO JAYA KABUPATEN

KAMPAR

Nama Mahasiswa : Juraida Roito Harahap Nomor Induk Mahasiswa : 097032165

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui

 

Komisi Pembimbing

( Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si )

Ketua

 

( Dra. Sri Emiyati, M.Si)

Anggota

 

Ketua Program Studi

( Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si )

Dekan

( Dr. Drs. Surya Utama, M.S )


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 21 September 2011

Panitia Penguji Tesis 

Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si Anggota : 1. Dra. Sri Emiyati, M.Si

2. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si 3. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si


(6)

SURAT PERNYATAAN

PENGARUH KETIMPANGAN GENDER DALAM KELUARGA DAN KARAKTERISTIK IBU TERHADAP ANEMIA DALAM

KEHAMILAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RUMBIO JAYA KABUPATEN KAMPAR

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, September 2011

( Juraida Roito Harahap ) 097032165  

     


(7)

ABSTRAK

Kejadian anemia pada ibu hamil di Kabupaten Kampar tahun 2009 adalah 56,32%. Dari 26 Puskesmas yang ada di Kabupaten Kampar ditemukan ibu hamil yang mengalami anemia terbanyak di Puskesmas Rumbio Jaya sebesar 64,8%. Dari catatan kunjungan ibu hamil ke Puskesmas Rumbio Jaya tahun 2010 ditemukan anemia sebesar 63,61%. Prevalensi anemia dalam kehamilan ini lebih tinggi dari kejadian anemia di Provinsi Riau sebesar 48%.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh ketimpangan gender dalam keluarga (distribusi makanan, beban ganda, pengambilan keputusan terhadap kehamilan) dan karakteristik ibu (umur, jumlah anak, jarak kehamilan) terhadap anemia dalam kehamilan di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey dengan tipe explanatory research yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar sejak bulan Desember 2010 sampai dengan Agustus 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang berada di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya bulan maret tahun 2011 sebanyak 372 orang dan sampel 79 orang. Pengambilan sampel dengan metoda simple random sampling.

Hasil penelitian berdasarkan uji regresi logistik ganda menunjukkan ada pengaruh antara distribusi makanan dan beban ganda terhadap anemia dalam kehamilan, sedangkan variabel umur ibu, jumlah anak, jarak kehamilan dan pengambilan keputusan dalam kehamilan tidak ada pengaruh terhadap anemia dalam kehamilan. Variabel paling besar pengaruhnya terhadap anemia dalam kehamilan adalah distribusi makanan dengan 0R = 4,338.

Diharapkan pada pengambil kebijakan di Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar dapat merumuskan program kerja yang berbasis gender seperti program promosi kesehatan tentang kesehatan reproduksi dan gizi bagi ibu hamil dalam upaya pencegahan anemia pada ibu hamil.


(8)

ABSTRACT

The anemia accident in the pregnant mothers at Kampar District was 56.32%. Of Health Centers in 26 subdistricts, Kampar District, the great number of anemia accidents was at Rumbio Jaya Health Center (64.8%). In 2010, anemia accidents in the pregnant mothers who visited Rumbio Jaya Health Center were 63.61%. The prevalence of nutrition anemia in the pregnant mothers high the anemia accidents in Riau Province was 48%

This research aimed to analyze the influence of the gender inequalities in family (food distribution, multiple burden, and decision-making in pregnancy) and mother characteristics (age, number of children, and spacing of pregnancy) on anemia in pregnancy in the working area of Rumbio Jaya Health Center.

The type of the research was explanatory research. This study was conducted in the working area of Rumbio Jaya Health Center, Kampar District from December 2010 to August 2011. The population of this study were 372 pregnant mothers in March 2011, and 79 of them were selected to be the sample for this study through simple random sampling method.

The result of research by using multiple logistic regression tests showed that there were the influence between food distribution and multiple burden on the anemia in pregnancy. Meanwhile, mother’s age, number of child, spacing of pregnancy and decision making in pregnancy did not have any influence on the anemia in pregnancy. The variable which had the biggest influence on the anemia in pregnancy was food distribution with OR=4,338.

It is recommended in the policy making at Kampar District Health Office should formulate a gender based work program such as the health promotion program about the reproduction health and nutrition for the pregnant mothers in order to prevention of anemia in pregnant mothers.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala karunia dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Pengaruh Ketimpangan Gender dalam Keluarga dan Karakteristik Ibu terhadap Anemia dalam Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar, ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan penguji I yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.


(10)

5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M. selaku Sekretaris Program Studi S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

6. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku komisi pembimbing I yang telah memberi perhatian, kesabaran, dukungan dan pengarahan sejak penyusunan proposal hingga tesis ini selesai.

7. Dra. Sri Emiyati, M.Si selaku komisi pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan terus menerus sejak penyusunan proposal hingga tesis ini selesai.

8. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si selaku penguji II yang telah bersedia untuk memberikan masukan dan saran demi menyempurnakan tesis ini.

9. R. Sakhnan, S.K.M, M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kementerian Kesehatan Pekanbaru yang telah memberikan izin untuk mengikuti pendidikan ini.

10.Sasminedi, S.K.M selaku Kepala Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar yang telah bersedia memberikan izin tempat untuk melakukan penelitian dan bidan desa yang telah banyak membantu memberikan informasi serta data yang diperlukan untuk penulisan tesis ini.

11.Suami tercinta Kompol Iskandar Siregar yang telah mengizinkan dan memberi dukungan moril dan material serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(11)

12.Orang tua yang sangat penulis sayangi Alm. H. Sarbaini Harahap dan Hj. M. Ritonga atas pengorbanan dan kasih sayangnya yang tiada pernah berhenti sampai akhir hayatnya.

13.Secara khusus buat anak–anakku tercinta Muhammaddin Siregar, Annisa Uswatun Hasanah Siregar, Robiyatul Adawiyah Siregar yang selalu sabar, pengertian, pemberi motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

14.Seluruh rekan-rekan mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam proses penulisan tesis ini hingga selesai.

Hanya Allah SWT yang senantiasa dapat memberikan balasan atas kebaikan yang telah diperbuat. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.

Medan, September 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP  

Penulis bernama Juraida Roito Harahap yang dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 2 Agustus 1966, anak ketiga dari delapan bersaudara. Penulis telah menikah tanggal 16 Juli 1989 dengan kompol Iskandar Siregar dan dikarunia satu orang putra dan dua orang putri, bertempat tinggal di Kota Pekanbaru.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 008 Pekanbaru pada Tahun 1979, selanjutnya menamatkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 03 Pekanbaru Tahun 1982, kemudian melanjutkan SMA Negeri 01 Pekanbaru tamat pada tahun 1985. Tahun 1988 menamatkan Akademi Perawat Padang, Tahun 1991 mengikuti program AKTA III di IKIP Medan. Tahun 1994 menamatkan Program Pendidikan Bidan. B di Akademi Perawat Wijayakusuma Jakarta. Tahun 1996 mengikuti program AKTA IV di IKIP Padang. Tahun 2001 menyelesaikan Akademi Kebidanan Padang dan Melanjutkan S1 Kesehatan Masyarakat di STIKES Hang Tuah Pekanbaru tamat pada Tahun 2004.

Penulis memulai karir sebagai PNS di Sekolah Perawat Kesehatan Padang Sidempuan tahun 1989 – 1991. Dari Tahun 1991 sampai sekarang bekerja di Politeknik Kesehatan Pekanbaru Jurusan Kebidanan. Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat dengan minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUHAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Konsep dan Teori Gender ... 11

2.2. Perbedaan Gender ... 13

2.3. Ketimpangan Gender ... 17

2.4. Anemia dalam Kehamilan ... 21

2.5. Ketimpangan Gender dalam Keluarga terhadap Anemia... 25

2.6. Karakteristik Ibu... 34

2.7. Landasan Teori... 37

2.8. Kerangka Konsep Penelitian ... 42

BAB 3. METODE PENELITIAN... 44

3.1. Jenis Penelitian ... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.3. Populasi dan Sampel ... 45

3.4. Metode Pengumpulan Data... 47

3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 51

3.6. Metode Pengukuran ... 52


(14)

BAB 4. HASILPENELITIAN………. .. 58

  4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 58

4.2. Analisis Univariat ... 60

4.3. Analisis Bivariat ... 62

4.4. Analisis Multivariat ... 68

BAB 5. PEMBAHASAN... 70

  5.1. Anemia dalam Kehamilan ... 70

5.2 Pengaruh Karakteristik Ibu terhadap Anemia dalam Kehamilan ... 72

5.3. Pengaruh Ketimpangan Gender dalam Keluarga terhadap Anemia... Dalam Kehamilan... 75

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 84

  6.1 Kesimpulan... 84

6.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian Ibu Hamil di Wilayah

Kerja Puskesmas Rumbio Jaya Tahun 2011 ...47 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ...50 4.1. Distribusi Karakteristik Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas

Rumbio Jaya Kabupaten Kampar Tahun 2011 ...60 4.2. Distribusi Ketimpangan Gender di Wilayah Kerja Puskesmas

Rumbio Jaya Kabupaten Kampar Tahun 2011 ...61 4.3. Distribusi Kondisi Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio

Jaya Kabupaten Kampar Tahun 2011 ...62 4.4. Hubungan Umur dengan Anemia dalam Kehamilan di Wilayah

Kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar Tahun 2011... 63 4.5. Hubungan Jumlah Anak dengan Anemia dalam Kehamilan di

Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar

Tahun 2011 ... 64 4.6. Hubungan Jarak Kehamilan dengan Anemia dalam Kehamilan

di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar

Tahun 2011 ... 65 4.7. Hubungan Distribusi Makanan dengan Anemia dalam Kehamilan

di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar

Tahun 2011 ... 66 4.8. Hubungan Beban Ganda dengan Anemia dalam Kehamilan di

Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar

Tahun 2011 ... 67 4.9. Hubungan Pengambilan Keputusan dengan Anemia dalam

Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio Jaya


(16)

4.10. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Antara Ketimpangan Gender Dalam Keluarga dan Karakteristik Ibu dengan Anemia Dalam Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbio Jaya


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan... 39 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 42


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden... 91

2. Kuesioner Penelitian ... 92

3. Uji Validitas dan Reliabilitas Data ... 100

4. Analisis Univariat ( Distribusi Frekuensi ) ... 104

5. Analisis Bivariat ( Uji Chi Square ) ... 106

6. Analisis Multivariat ( Uji Regresi Logistik ) ... 115

7. Hasil Wawancara Mendalam ... 125

8. Surat Izin Penelitian ... 130

9. Surat Keterangan telah melaksanakan Penelitian ... 131

           

   


(19)

ABSTRAK

Kejadian anemia pada ibu hamil di Kabupaten Kampar tahun 2009 adalah 56,32%. Dari 26 Puskesmas yang ada di Kabupaten Kampar ditemukan ibu hamil yang mengalami anemia terbanyak di Puskesmas Rumbio Jaya sebesar 64,8%. Dari catatan kunjungan ibu hamil ke Puskesmas Rumbio Jaya tahun 2010 ditemukan anemia sebesar 63,61%. Prevalensi anemia dalam kehamilan ini lebih tinggi dari kejadian anemia di Provinsi Riau sebesar 48%.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh ketimpangan gender dalam keluarga (distribusi makanan, beban ganda, pengambilan keputusan terhadap kehamilan) dan karakteristik ibu (umur, jumlah anak, jarak kehamilan) terhadap anemia dalam kehamilan di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey dengan tipe explanatory research yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar sejak bulan Desember 2010 sampai dengan Agustus 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang berada di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya bulan maret tahun 2011 sebanyak 372 orang dan sampel 79 orang. Pengambilan sampel dengan metoda simple random sampling.

Hasil penelitian berdasarkan uji regresi logistik ganda menunjukkan ada pengaruh antara distribusi makanan dan beban ganda terhadap anemia dalam kehamilan, sedangkan variabel umur ibu, jumlah anak, jarak kehamilan dan pengambilan keputusan dalam kehamilan tidak ada pengaruh terhadap anemia dalam kehamilan. Variabel paling besar pengaruhnya terhadap anemia dalam kehamilan adalah distribusi makanan dengan 0R = 4,338.

Diharapkan pada pengambil kebijakan di Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar dapat merumuskan program kerja yang berbasis gender seperti program promosi kesehatan tentang kesehatan reproduksi dan gizi bagi ibu hamil dalam upaya pencegahan anemia pada ibu hamil.


(20)

ABSTRACT

The anemia accident in the pregnant mothers at Kampar District was 56.32%. Of Health Centers in 26 subdistricts, Kampar District, the great number of anemia accidents was at Rumbio Jaya Health Center (64.8%). In 2010, anemia accidents in the pregnant mothers who visited Rumbio Jaya Health Center were 63.61%. The prevalence of nutrition anemia in the pregnant mothers high the anemia accidents in Riau Province was 48%

This research aimed to analyze the influence of the gender inequalities in family (food distribution, multiple burden, and decision-making in pregnancy) and mother characteristics (age, number of children, and spacing of pregnancy) on anemia in pregnancy in the working area of Rumbio Jaya Health Center.

The type of the research was explanatory research. This study was conducted in the working area of Rumbio Jaya Health Center, Kampar District from December 2010 to August 2011. The population of this study were 372 pregnant mothers in March 2011, and 79 of them were selected to be the sample for this study through simple random sampling method.

The result of research by using multiple logistic regression tests showed that there were the influence between food distribution and multiple burden on the anemia in pregnancy. Meanwhile, mother’s age, number of child, spacing of pregnancy and decision making in pregnancy did not have any influence on the anemia in pregnancy. The variable which had the biggest influence on the anemia in pregnancy was food distribution with OR=4,338.

It is recommended in the policy making at Kampar District Health Office should formulate a gender based work program such as the health promotion program about the reproduction health and nutrition for the pregnant mothers in order to prevention of anemia in pregnant mothers.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia ini disebabkan oleh defisiensi besi. WHO melaporkan bahwa prevalensi ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75%. Angka ini meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Perkiraan prevalensi anemia secara global sekitar 51% pada tahun 1990. Untuk anak balita sekitar 43%, anak usia sekolah 37%, lelaki dewasa hanya 18%, wanita tidak hamil 35% dan wanita hamil 55%. (Rukiyah dan Yulianti, 2010).

Pengumpulan data nasional pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, mencatat bahwa 63,5% perempuan hamil menderita anemia. Angka ini menurun pada Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1995, menjadi 50,5% dan menjadi 40,1% pada tahun 2001 (Depkes, 2007). Hasil riset kesehatan daerah di Indonesia tahun 2010 persentase ibu hamil yang mengkonsumsi protein dibawah kebutuhan minimal sebesar 49,5%. Ibu hamil yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal sebesar 44,4% (Badan penelitian dan pengembangan kesehatan, 2010).


(22)

Berdasarkan data kesehatan di Propinsi Riau tahun 2009, ditemukan anemia gizi pada ibu hamil sebesar 48% (Dinkes Propinsi Riau, 2009). Kejadian anemia pada ibu hamil di Kabupaten Kampar tahun 2009 sebesar 56,32%, dari 26 Puskesmas yang tersebar di 26 Kecamatan ditemukan angka anemia terbanyak di Puskesmas Rumbio Jaya sebesar 64,8% (Dinkes Kab. Kampar, 2009). Dari catatan kunjungan ibu hamil ke Puskesmas Rumbio Jaya tahun 2010 ditemukan anemia sebesar 63,61%. Dari data diatas terlihat masih tingginya kejadian anemia pada ibu hamil, hal ini menunjukkan keadaan gizi ibu hamil yang kurang baik. Kurangnya konsumsi makanan bergizi merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya gizi ibu tersebut. Oleh sebab itu upaya pencegahan dan penanggulangan anemia gizi merupakan salah satu prioritas program gizi di Indonesia.

Anemia pada kehamilan dapat mengakibatkan efek buruk baik pada ibu hamil itu sendiri maupun pada bayi yang dilahirkannya. Anemia meningkatkan resiko mendapatkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara 42,5%-56% kematian perinatal terdiri dari bayi BBLR. Bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram mempunyai resiko kematian 5-9 kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang beratnya 2500-2999 gram. (Prawirohardjo, 2002).

Hasil penelitian dari Setyawan, dkk (1997) ditemukan 11,2% bayi dengan BBLR di lahirkan dari ibu hamil yang mengalami anemia. Menurut Mawah, dkk (1993) yang dikutip oleh Nasution (2005), insiden BBLR lebih tinggi pada ibu hamil dari kalangan sosial ekonomi lemah yang biasanya mempunyai status gizi rendah.


(23)

Anemia dapat meningkatkan resiko terjadinya kematian ibu jika dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia, dengan perbandingan 700 per 100.000 dibandingkan dengan 190 per 100.000.

Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator kesehatan ibu yang masih cukup tinggi di Indonesia bila di bandingkan dengan AKI di negara ASEAN lainnya. Menurut SDKI tahun 2007, AKI di Indonesia yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun faktor penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan 35,63%, pre eklamsia dan eklamsia 20,12%, infeksi 20,7% dan komplikasi abortus 20,84%. Perdarahan merupakan faktor terbesar penyebab tingginya AKI. Salah satu faktor resiko utama terjadinya perdarahan adalah anemia. Pada penelitian evidence base epidemiologi, anemia defisiensi zat besi ibu hamil di Indonesia yang diteliti oleh Ridwan Amiruddin menunjukkan bahwa 70% dari angka kematian ibu adalah ibu hamil yang anemia dan 19,7% ibu hamil yang non anemia (Ridwan, 2004).

Kebijakan Departemen Kesehatan (Depkes) dalam upaya mempercepat penurunan AKI mengacu kepada intervensi strategis yaitu empat pilar safe motherhood yang salah satu pilarnya adalah kehamilan dengan tujuan agar setiap ibu hamil dapat melalui kehamilan dan persalinannya dengan selamat. Hal ini sesuai dengan paradigma baru Depkes bahwa pembangunan kesehatan lebih ditekankan pada upaya promotif dan preventif. Upaya lain untuk menurunkan AKI adalah Gerakan Sayang Ibu (GSI). GSI adalah gerakan yang dilaksanakan oleh masyarakat bekerja sama dengan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui berbagai kegiatan antara lain penyadaran kaum pria agar memberikan hak


(24)

reproduksi kepada perempuan. Tidak terpenuhinya hak kesehatan reproduksi pada perempuan disebabkan rendahnya status perempuan dimasyarakat (Depkes, 2007).

Depkes (1996) menyatakan rendahnya status perempuan di keluarga secara tidak langsung dapat mengakibatkan anemia. Hal ini disebabkan adanya pembedaan gender dalam masyarakat. Pembedaan gender terbentuk oleh konstruksi sosial dan budaya setempat yang terjadi secara turun temurun. Masih ada anggapan atau tata nilai yang berkembang di masyarakat yang membuat posisi perempuan menjadi tidak sejajar dengan laki-laki. Pembedaan gender antara perempuan dan laki-laki dapat menimbulkan ketimpangan gender. Bentuk ketimpangan gender dalam konteks masyarakat yang patriarki sangat dirasakan terutama oleh perempuan.

Ketimpangan gender dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Hak-hak kesehatan perempuan masih dinomorduakan. Tradisi sosial budaya yang menempatkan perempuan bernilai rendah daripada laki-laki, karena laki-laki dipandang sebagai pewaris garis keluarga. Dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari keluarga menempatkan laki-laki pada posisi yang diutamakan dari pada ibu dan anak perempuan. Sehingga distribusi dan kualitas makanan untuk ibu hamil bernilai rendah (Daulay, 2007).

Jika dilihat dari aspek bio-medis kualitas makanan yang rendah ini akan merugikan perempuan karena mencegah ibu hamil mengkonsumsi protein, zat besi, yodium, kalsium atau zat gizi yang lain yang diperlukan tubuh selama hamil. Padahal gizi yang baik selama kehamilan sangat dibutuhkan untuk perkembangan janin dan kesehatan ibu. Janin yang sedang berkembang membutuhkan gizi, dimana gizi


(25)

diambil dari tubuh ibu. Akibatnya gizi ibu hamil menurun. Kondisi yang demikian bila berlangsung terus menerus dapat menyebabkan anemia pada ibu hamil. Karena itu sudah selayaknya bila makanan ibu sewaktu hamil mendapat prioritas utama dalam keluarga.

Hasil penelitian Umami dan Puspitasari (2007) dalam Sukandar (2006) ditemukan bahwa hanya 55,1 % suami yang memberikan makanan bergizi untuk isterinya yang sedang hamil. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kehamilan adalah peristiwa alamiah yang terjadi pada kaum perempuan, sehingga sudah seharusnya resiko ditanggung oleh perempuan. Agar semua ibu hamil dapat menjalani kehamilan dengan aman serta melahirkan anak yang sehat, mereka sebaiknya terhindar dari anemia. Karena itu hak reproduksinya harus diperhatikan. Konferensi perempuan sedunia keempat di Beijing tahun 1995, mengidentifikasikan hal tersebut kedalam 12 area kritis kepedulian yang berisi antara lain kesehatan dan pengambilan keputusan (Nugroho dan Setiawan, 2010).

Hal-hal yang menjadi isu gender dalam kesehatan reproduksi antara lain ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kesehatan dirinya antara lain kapan mau hamil, kapan memeriksakan kehamilannya, berapa jumlah anak yang diinginkannya, jarak kehamilannya dan persiapan dana untuk kehamilan dianggap tidak penting, karena kedudukan perempuan yang lemah dan rendah dalam keluarga (Sibagariang dkk, 2010).

Hasil penelitian Munthe (2003), menunjukkan bahwa status isteri kalangan menengah yang bekerja lebih memberikan posisi yang relatif kuat dalam keluarganya.


(26)

Hasil penelitian di atas membuktikan ibu dengan pekerjaan yang baik, mempunyai posisi yang kuat dalam pengambilan keputusan di keluarga daripada ibu yang tidak bekerja. Sajogyo (1983) menemukan bahwa pengambilan keputusan dominan suami untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran anak.

Hasil penelitian Umami dan Puspitasari (2007) ditemukan 69% suami yang ikut menentukan tempat persalinan istri. 82,8% suami ada mempersiapkan biaya persalinan istri. Sedangkan penelitian Ridwan (2004) ditemukan Ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan 1-3 kali mengalami anemia sebesar 37,6%. Pembedaan gender terhadap akses pelayanan kesehatan menyebabkan ibu memutuskan tidak melakukan pemeriksaan kehamilan sehingga ibu tidak mendapat nasehat dari tenaga kesehatan tentang kehamilannya.

Hasil penelitian Mien Hidayat (2005), tentang pembuatan keputusan kesehatan reproduksi, yang tergali dari focus group discussion sebagian para suami menyatakan sebagai kepala keluarga, maka kendali rumah tangga ada di tangan mereka. Dengan demikian mereka merasa wajar bila berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan keluarganya, menjadi dominasi mereka, sebab merekalah yang bertangung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan keluarganya. Pendapat seperti ini diungkapkan oleh para suami yang relatif tua, latar belakang pekerjaan petani, nelayan dan pedagang.

Hak reproduksi perempuan berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah perempuan yang hidup dalam kemiskinan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Karena terbatasnya akses perempuan terhadap


(27)

sumber-sumber ekonomi. Rendahnya pendapatan mengakibatkan perempuan tidak memeriksakan kehamilannya. Keluarga juga tidak dapat membeli makanan yang dibutuhkan ibu hamil. Karena anggapan bahwa kehamilan merupakan peristiwa alamiah sehingga harus ditanggung resikonya oleh perempuan.

Kesulitan ekonomi keluarga memaksa ibu untuk ikut mencari nafkah. Ibu juga harus mengikuti kegiatan sosial di masyarakat. Akibatnya ibu mempunyai beban ganda yaitu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mencari penghasilan dan melaksanakan peran sosial. Akibatnya tubuh ibu mengalami kelelahan karena kurang waktu untuk beristirahat. Beban ini bertambah berat karena ibu sedang hamil. Melakukan pekerjaan ganda membutuhkan energi yang besar. Energi yang dibutuhkan ibu tidak mencukupi dari makanan yang dikonsumsi oleh ibu, karena kehamilan dianggap biasa saja, tidak memerlukan perhatian dan perawatan yang maksimal. Dampak dari ketimpangan tersebut antara lain adalah ibu mengalami anemia (Depkes, 1996).

Penelitian yang dilakukan di kelurahan Jatirawamangun oleh kelompok studi wanita FISIP UI (1990) menemukan bahwa 47,1% ibu yang bekerja mengatakan tugas utamanya adalah ibu rumah tangga dan 51% dari ibu ini tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan banyak perempuan yang tidak mengetahui hak reproduksinya sendiri, perempuan biasa dengan berbagai kewajiban di rumah tangga. Perempuan juga menanggung dua jenis pekerjaan yang berat yaitu pekerjaan reproduktif di rumah tangga dan pekerjaan produktif mencari nafkah, sehingga jam istirahat perempuan lebih pendek dari laki-laki. Perempuan


(28)

mempunyai beban ganda sehingga hal ini membuat perempuan lebih sering mengalami tingkat kesehatan yang buruk dan komplikasi kehamilan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karakteristik ibu mempunyai hubungan yang signifikan dan beresiko terhadap anemia dalam kehamilan. Hasil penelitian Ridwan tentang studi kasus kontrol faktor biomedis terhadap anemia di Puskesmas Bantimurung tahun 2004 membuktikan bahwa kejadian anemia ibu hamil lebih tinggi pada umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun.

Hasil penelitian Surbakti (1986), dalam Nasution (2005) proporsi anemia terdapat pada ibu kelompok paritas lebih dari 3 orang sebesar 36,13%, jarak kehamilan yang kurang dari 2 tahun mempunyai resiko 7,2 kali dari jarak kehamilan yang lebih dari 2 tahun. Ibu yang tidak dapat mengambil keputusan atas kesehatan reproduksinya akan mengalami kehamilan yang berulang dengan jarak kehamilan yang tidak baik. Paritas dan jarak kehamilan yang tidak baik menyebabkan ibu kurang memperhatikan kesehatan dan gizinya sehingga dapat terjadi anemia atau makin memperberat anemia yang sudah ada.

Hasil wawancara pada studi awal dengan masyarakat di Kabupaten Kampar menunjukkan adanya beberapa perilaku yang menyangkut kesehatan pada ibu hamil seperti ibu biasanya makan paling akhir setelah bapak dan orang tua, sehingga ibu memperoleh alokasi makanan yang tidak mencukupi, terutama untuk ibu hamil. Tentunya hal ini sangat berpengaruh terhadap konsumsi makanan ibu dan berpotensi untuk terjadinya anemia. Seharusnya makanan ibu hamil diutamakan dalam keluarga karena ibu hamil yang sehat akan melahirkan bayi yang sehat.


(29)

Peneliti juga melakukan wawancara dengan 5 orang ibu hamil yang berkunjung ke Puskesmas Rumbio Jaya ternyata banyak ibu yang membantu mencari nafkah dengan bekerja di perkebunan sawit sebagai buruh harian walaupun sedang hamil disamping tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga. pengambilan keputusan tentang kehamilan ibu masih ditentukan oleh suami. Ibu hanya mengikuti kemauan suami saja. Berdasarkan beberapa masalah diatas, perlu dilakukan penelitian pengaruh ketimpangan gender dalam keluarga dan karakteristik ibu terhadap anemia dalam kehamilan.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah “bagaimanakah pengaruh ketimpangan gender dalam keluarga (distribusi makanan, beban ganda, pengambilan keputusan terhadap kehamilan) dan karakteristik ibu (umur, jumlah anak, jarak kehamilan) terhadap anemia dalam kehamilan di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar Tahun 2011”.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh ketimpangan gender dalam keluarga (distribusi makanan, beban ganda, pengambilan keputusan terhadap kehamilan) dan karakteristik ibu (umur, jumlah anak, jarak kehamilan) terhadap anemia dalam kehamilan di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar Tahun 2011.


(30)

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh positif dan signifikan dari ketimpangan gender dalam keluarga (distribusi makanan, beban ganda, pengambilan keputusan terhadap kehamilan) dan karakteristik ibu (umur, jumlah anak, jarak kehamilan) terhadap anemia dalam kehamilan di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya Kabupaten Kampar tahun 2011.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Dinas kesehatan Kabupaten Kampar

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dalam merumuskan program kerja dalam upaya pencegahan anemia pada ibu hamil.

1.5.2. Puskesmas Rumbio Jaya

Menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan pendidikan kesehatan pada ibu hamil tentang pencegahan anemia melalui kegiatan KIE, promosi atau kampanye.

1.5.3. Ibu hamil

      Sebagai sumber informasi bagi keluarga tentang pengaruh distribusi makanan dan beban ganda terhadap terjadinya anemia pada ibu hamil.

1.5.4. Ilmu pengetahuan

Menambah khasanah ilmu promosi kesehatan yang berkaitan dengan pengaruh distribusi makanan dan beban ganda terhadap anemia pada ibu hamil.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep dan Teori Gender 2.1.1. Konsep Gender

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya setempat yang diturunkan secara turun temurun. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, pemberani. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan (Fakih, 1996).

Peran gender adalah seseorang yang diharapkan oleh masyarakat untuk bertingkah dan berperilaku menurut jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan). Kesetaraan gender adalah anggapan bahwa laki-laki dan perempuan harus mendapatkan perlakuan yang sama. Apabila perlakuan ini tidak seimbang disebut ketimpangan gender (Depkes RI, 2003).

Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender yang berbeda, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, pasif, bekerja di sektor domestik.


(32)

2.1.2. Teori Gender 2.1.2.1. Teori Nurture

Menurut teori nurture perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki identik dengan kelas borjuis (kaum penindas) dan perempuan sebagai proletar (kaum tertindas).

Aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yaitu konsep yang diilhami oleh ajaran Karl Marx (1818-1883) yang banyak dianut masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham sosial konflik memperjuangkan kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat. Akibatnya timbul reaksi negatif dari laki-laki terhadap perjuangan tersebut (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006).

2.1.2.2. Teori Nature

Menurut teori nature perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Paham ini diajarkan oleh Socrates dan Palto yang mengatakan bahwa kehidupan kebersamaan didasari oleh pembagian kerja dan tanggung jawab.


(33)

Teori ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokrasi dan dilandasi oleh kesepakatan antara suami istri dalam keluarga (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006).

2.1.2.3. Aliran Keseimbangan (Eguilibrium)

Aliran ini menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerjasama dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia. Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik atau struktur fungsional tetapi dilandasi kebutuhan bersama guna membangun kemitraan yang harmonis (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006).

2.2. Perbedaan Gender

Perbedaan gender terbentuk karena disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Perbedaan gender (gender differences) inilah yang kemudian melahirkan ketimpangan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama kaum perempuan (Fakih, 1996).


(34)

Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Umumnya perbedaan dalam masyarakat dapat dilihat dalam bentuk perbedaan kontrol, akses, peran, hak dan status.

2.2.1. Perbedaan Kontrol (kuasa)

Kontrol atau kuasa adalah kemampuan untuk menguasai dan menentukan berbagai hal. Apabila seseorang mengontrol sesuatu artinya orang tersebut berhak melakukan apa saja terhadap sesuatu yang dikuasainya. Budaya masyarakat Indonesia pada umumnya masih diwarnai budaya patriarki, yakni sistem sosial budaya yang dalam tatanan keluarga, laki-laki mendominasi keputusan-keputusan penting. (Simatauw dkk, 2001).

Hasyim (2001) dalam Daulay (2007), mengatakan bahwa patriarki adalah sebuah aturan kehidupan yang hanya disandarkan kepada nilai-nilai yang berkembang dilingkungan laki-laki. Sistem ini membuat perempuan tidak berdaya, tidak memiliki kekuasaan untuk menolak sesuatu yang menjadi keputusan laki-laki.

2.2.2. Perbedaan Akses (peluang)

Kemampuan perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan bahwa mereka memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Oleh karena itu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas, sangat menentukan kesejahteraan dirinya (Depkes RI, 2003).


(35)

Salah satu indikator akses perempuan kepada pelayanan kesehatan adalah pelayanan antenatal bagi perempuan hamil. Kebijakan nasional untuk mencakup semua perempuan hamil dengan sedikitnya 4 kali pemeriksaan antenatal.

Depkes RI (2007), menyatakan bahwa kebijakan pemerintah adalah mendorong perempuan hamil untuk memperoleh pemeriksaan antenatal pertamanya pada trimester pertama. Data SDKI 2001, mengungkapkan bahwa hanya 72% perempuan yang melakukannya. Angka ini berada di bawah 90% yang di targetkan oleh program kesehatan maternal. Mereka di perkotaan memiliki kemungkinan lebih besar untuk memperoleh pemeriksaan kehamilan dibandingkan mereka di pedesaan (79% berbanding 66% ).

2.2.3. Perbedaan Peran

Perbedaan peran, kegiatan atau kerja biasanya berdasarkan kegiatan yang menghasilkan uang, merawat keluarga, pergaulan masyarakat, keagamaan, kegiatan politik yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Laki-laki mempunyai peran produktif yaitu kegiatan yang menghasilkan uang di wilayah publik. Perempuan berperan sebagai reproduktif yaitu kegiatan yang sifatnya merawat keluarga seperti merawat suami, anak, membersihkan rumah, mengambil air di wilayah domestik (Handayani dan Sugiarti, 2008).

Wanita mempunyai peran dalam hidupnya, yang disebut Panca Dharma Wanita, yaitu sebagai pendamping suami, pengelola rumah tangga, penerus keturunan, pencari nafkah tambahan dan sebagai warga masyarakat. Apabila wanita


(36)

melaksanakan perannya dengan baik, maka ia akan bisa mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas (Anshori dkk, 1997).

Secara alamiah perempuan akan menjadi pendidik pertama dan utama, maka harus diupayakan agar ditingkatkan kualitasnya, diberi dorongan agar perempuan lebih berdaya dan mandiri. Keberhasilan pemberdayaan perempuan bukannya harus bekerja di luar rumah tetapi ia harus menjadi perempuan yang mandiri, bisa mendampingi suami, mendidik anak dengan wawasannya yang luas. Jika ia berkarier maka ia mampu menjalankan peran keduanya dengan seimbang (Daulay, 2007). 2.2.4. Perbedaan Hak

Laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang berbeda. Di banyak tempat hak laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan seperti hak waris, hak atas tanah, hak untuk berbicara, hak untuk mengambil keputusan, hak untuk mendapatkan keuntungan, hak atas informasi dan pendidikan. Pasal 3 Undang - Undang Republik Indonesia Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi (Sihite, 2007).

Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) telah menetapkan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979, dan Indonesia meratifikasinya melalui UU RI No.7 Tahun 1984. Pasal dan rumusan dalam CEDAW dengan tegas menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki yakni pasal 9, hak mendapatkan kesehatan. Hak reproduksi perempuan di Indonesia masih


(37)

dikendalikan oleh tradisi dan adat istiadat yang didominasi kultur patriarki. Dalam menetapkan jumlah anak, jenis kelamin anak, kapan memiliki anak lagi masih dengan putusan sepihak dan sering mengabaikan aspirasi ataupun kebutuhan perempuan (Sihite, 2007).

2.2.5. Perbedaan Status/Posisi

Pendapat orang atau hasil kerja seringkali diukur berdasarkan status. Dalam rumah tangga laki-laki dianggap pemimpin sehingga pendapatnya lebih dihargai dibandingkan perempuan, karena posisi perempuan yang rendah dibanding laki-laki. Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki-laki. Contohnya dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari yang menempatkan bapak atau anak laki-laki pada posisi yang diutamakan dari pada ibu dan anak perempuan (Simatauw dkk, 2001).

Kelima perbedaan ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Perbedaan kontrol/kuasa dapat menghasilkan perbedaan peran. Perbedaan peran mengakibatkan berbeda kuasa, hak, akses maupun posisi.

2.3. Ketimpangan Gender

2.3.1. Pengertian Ketimpangan Gender

Ketimpangan gender (gender inequalities) adalah suatu sistem dan struktur dimana kaum lelaki dan perempuan mempunyai tugas yang berbeda, yang dibentuk oleh konstruksi sosial setempat (Handayani dan Sugiarti,2008). Menurut Sibagariang dkk, (2010) ketimpangan gender adalah adanya perbedaan atau pembatasan yang


(38)

dibuat berdasarkan peran dan norma gender yang dikonstruksi secara sosial yang mencegah seseorang untuk menikmati hubungan antar manusia secara penuh.

2.3.2. Bentuk-bentuk Ketimpangan Gender 2.3.2.1. Gender dan Marginalisasi Perempuan

Bentuk manifestasi ketimpangan gender adalah proses marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan (Fakih, 1996).

Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan seperti jenis pekerjaan untuk perempuan, upah yang rendah. Tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat dan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan.

2.3.2.2.Gender dan Subordinasi

Pandangan gender bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Kesehatan reproduksi dan hak-hak kesehatan tubuh perempuan masih dinomor duakan. Kehamilan adalah kodrat perempuan, akan tetapi resikonya harus ditanggung bersama oleh suami, keluarga dan masyarakat selain perempuan itu sendiri (Simatauw dkk, 2001).


(39)

Sikap individualistik masyarakat yang menganggap kelahiran adalah tanggung jawab keluarga saja sehingga bantuan / gotong royong membantu ibu hamil dan melahirkan tidak ada dalam masyarakat. Pandangan yang bias gender ini membawa dampak yang tidak menguntungkan pada perempuan. Nilai sosial budaya tersebut diperkuat oleh cara pandang agama yang sempit yakni persalinan merupakan hal yang biasa dan meninggal ketika bersalin adalah mati syahid, pandangan ini berdampak pada tingginya kepasrahan kepada keadaan dan rendahnya usaha untuk mencegah musibah.

Subordinasi juga membuat anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan. Anggapan perempuan itu tidak bisa memimpin berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi nomor dua. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum lelaki.

2.3.2.3. Gender dan Stereotipe

Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Pelabelan menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang dan bertujuan untuk menguasai pihak lain. Stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketimpangan. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Perempuan dianggap lemah, kurang terdidik, emosional dan kurang ketrampilan dan hanya bisa berdedikasi di dalam rumah tangga. Hal ini


(40)

mengakibatkan perempuan tidak bisa berpartisipasi di sektor kerja. Pelabelan negatif sering ditimpakan kepada perempuan (Daulay, 2007).

2.3.2.4. Gender dan Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidak setaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Perbedaan karakter antara feminin dan maskulin telah melahirkan kekerasan. Anggapan bahwa perempuan itu lemah, sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena berupa tindakan kekerasan. Undang-undang No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terlahir untuk menyelamatkan para korban kejahatan dalam rumah tangga khususnya perempuan (Sihite, 2007).

2.3.2.5. Gender dan Beban Kerja

Di dalam pembagian wilayah kerja antara suami dan istri, suami mencari nafkah di luar rumah (sektor publik), sedangkan istri melakukan pekerjaan di dalam rumah tangga (sektor domestik). Pembagian kerja ini tidak melahirkan penghargaan sosial yang sama, karena suami sebagai pihak yang memperoleh uang dan mempunyai kekuatan ekonomi, maka istri hanya dianggap pendamping, bukan mitra sejajar. Bila istri ikut membantu mencari nafkah di sektor publik, berarti istri telah melakukan perluasan dari sektor domestik, tetapi beban domestik tidaklah berkurang, suami tidak serta merta ikut berpartisipasi di sektor domestik. Tanggung jawab istri menjadi berganda. Peran rangkap tiga yaitu peran produktif yaitu bekerja, peran


(41)

reproduktif yaitu menyiapkan segala keperluan keluarga serta peran kemasyarakatan merupakan peranan yang harus dijalankan perempuan (Abdullah, 2001).

2.4. Anemia dalam Kehamilan 2.4.1. Pengertian Anemia

Anemia gizi adalah anemia yang diderita karena kekurangan gizi yang berlangsung lama yang mungkin dapat disebabkan karena makanan yang dikonsumsi tidak cukup banyak mengandung zat gizi, atau kesulitan pencernaan yang tidak dapat mengabsorpsi dengan baik zat-zat itu sehingga banyak zat-zat gizi yang terbuang melalui kotoran (Prawirohardjo, 2002). Menurut WHO (1992), anemia dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11g/dl (Tarwoto dan Wasnidar, 2007).

2.4.2. Mekanisme terjadinya Anemia

Kebanyakan wanita hamil memulai kehamilan mereka dengan cadangan zat besi yang tipis, sedangkan kebutuhan tambahan mereka lebih tinggi dari biasanya. Jika kebutuhan zat besi tidak terpenuhi maka kecepatan pembentukan hemoglobin menurun dan konsentrasinya dalam peredaran darah juga menurun. Diantara bahan makanan yang sangat penting dalam pembentukan darah adalah protein, besi, dan asam folat yang seimbang. Kekurangan salah satu zat makanan ini akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Sumber zat besi (Fe) yang biasa dikonsumsi umumnya berasal dari beras, kacang-kacangan dan sayur yang jumlah kandungan besinya kecil sekali dan tingkat absorpsinya sangat rendah, sekitar 1-5%. Sedangkan


(42)

zat besi hewani dari daging dengan daya absorpsinya lebih tinggi sekitar 10-20% sangat jarang dikonsumsi (Tarwoto dan Wasnidar, 2007).

Anemia ditandai dengan gejala letih, lesu, mudah mengantuk, Penglihatan berkunang-kunang, Konjungtiva dan kulit pucat, bibir dan kuku pucat, Hemoglobin kurang dari 11gr % ( Manuaba, 2008 ). Anemia yang timbul dalam kehamilan dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan sel tubuh maupun sel otak janin. Akibatnya ibu hamil dapat mengalami abortus, kelahiran prematur, BBLR, perdarahan sebelum dan sesudah persalinan. Anemia juga dapat menyebabkan kematian ibu maupun bayi (Rukiyah dan Yulianti, 2010).

2.4.3. Faktor yang Memengaruhi Timbulnya Anemia

Faktor yang langsung memengaruhi anemia adalah ketidak cukupan makanan dan adanya infeksi penyakit. Penanggulangan anemia gizi perlu diarahkan agar keluarga yang beresiko menderita anemia mendapat makanan yang cukup bergizi dan mendapatkan tablet tambah darah. Pengobatan penyakit infeksi, dengan penyediaan pelayanan yang mudah dijangkau oleh keluarga yang memerlukan (Tarwoto dan Wasnidar, 2007).

Penyebab tidak langsung dari anemia adalah status wanita yang masih rendah di keluarga. Wanita dalam keluarga masih kurang diperhatikan dibandingkan dengan laki-laki. Distribusi makanan dalam keluarga umumnya tidak menguntungkan pada wanita terutama pada keluarga miskin, anak laki-laki lebih diperhatikan dari anak wanita. Wanita mengeluarkan energi lebih banyak di dalam keluarga. Wanita yang bekerja sesampainya dirumah, tidak langsung beristirahat karena umumnya


(43)

mempunyai banyak peran dirumah, seperti memasak, menyiapkan makan, membersihkan rumah dan lain-lain. Kurangnya perhatian dan kasih sayang keluarga terhadap wanita dapat memengaruhi kesehatannya misalnya, penyakit pada wanita atau penyulit yang terjadi pada waktu kehamilan dianggap sebagai suatu hal yang wajar (Depkes RI, 1996).

Sebab mendasar terjadinya anemia adalah pendidikan yang rendah, sehingga pengetahuan dalam memilih bahan makanan yang bergizi juga rendah. Kelompok penduduk ekonomi rendah kurang mampu membeli makanan sumber zat besi karena harganya relatif mahal. Adanya kepercayaan yang merugikan, seperti pantangan makanan tertentu, mengurangi makan setelah kehamilan trimester III agar bayinya kecil sehingga mudah melahirkan (Depkes RI, 1996).

2.4.4. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Anemia

Depkes RI (1996), menyatakan Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia dilakukan dengan intervensi terhadap penyebab langsung, penyebab tidak langsung maupun sebab mendasar. Upaya yang dilakukan pada primary prevention adalah memberikan makanan bergizi pada ibu hamil melalui perbaikan gizi yang berbasis masyarakat dengan fokus keluarga sadar gizi, melakukan penyuluhan tentang anemia pada ibu hamil melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), promosi atau kampanye tentang anemia kepada masyarakat luas. Pengobatan penyakit infeksi dan tersedianya tablet tambah darah dalam jumlah yang sesuai. Pada secondary prevention dilakukan intervensi yang berbasis pangan melalui peningkatan


(44)

konsumsi zat besi dari makanan. Sedangkan upaya tertier prevention dilakukan intervensi yang berbasis non pangan.

Untuk mengatasi penyebab tidak langsung, perlu dilakukan usaha meningkatkan perhatian dan kasih sayang didalam keluarga terhadap wanita, terutama ibu hamil dengan cara penyediaan makanan yang sesuai dengan kebutuhan ibu hamil, mendahulukan ibu hamil pada waktu makan, memperhatikan agar pekerjaan fisik sesuai dengan kondisi ibu hamil dan merawat ibu hamil yang sakit agar cepat sembuh. Dalam jangka panjang, penanggulangan anemia dapat dilakukan secara tuntas bila penyebab mendasar terjadinya anemia ditanggulangi. Intervensi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pendidikan, memperbaiki upah karyawan, meningkatkan status wanita di masyarakat (Depkes RI, 1996).

Secara umum strategi operasional penanggulangan anemia diarahkan pada empat kegiatan yaitu KIE, kegiatan suplementasi, kegiatan fortifikasi dan kegiatan lain yang mendukung kemauan masyarakat dalam menanggulangi anemia secara mandiri. Kegiatan KIE diarahkan untuk mencari dukungan sosial (social support) yang bertujuan untuk meningkatkan status wanita didalam keluarga, terutama agar keluarga lebih menghargai dan memperhatikan ibu hamil. Pendekatan pimpinan (advocacy) melalui KIE yang ditujukan kepada sasaran sekunder yang mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan dalam rangka untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung, dan mempercepat pelaksanaan program. KIE dalam Pemberdayaan (empowerment) yaitu KIE yang bertujuan untuk menumbuhkan


(45)

kesadaran keluarga tentang anemia, pangan dan gizi serta dapat melakukan tindakan penanggulangan secara mandiri (Depkes RI, 1996).

2.5. Ketimpangan Gender dalam Keluarga terhadap Anemia

Keluarga sebagai unit terkecil dari sebuah masyarakat merupakan sasaran yang strategis bagi pensosialisasian konsep kesetaraan gender, karena kultur Indonesia yang patriarki masih mendominasi dalam keluarga.

2.5.1. Distribusi Makanan

Nilai-nilai sosial budaya yang menganggap perempuan sebagai masyarakat nomor dua menyebabkan timbulnya perbedaan perlakuan dari orang tua sejak kecil dalam hal penyediaan makanan untuk anak perempuan. Pembagian makanan yang tepat kepada setiap orang dalam keluarga adalah penting untuk mencapai gizi baik. Makanan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang setiap orang dalam keluarga. Secara tradisional dalam masyarakat ada aturan dimana ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga, anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya dan yang paling umum mendapat prioritas terbawah adalah ibu. Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh keluarga maka dapat saja timbul distribusi konsumsi makanan yang tidak baik diantara anggota keluarga (Simatauw dkk, 2001).

Diskriminasi dalam alokasi makanan, konsumsi makanan yang tak memadai pada keluarga miskin, diduga menyebabkan kekurangan gizi bagi perempuan. Tradisi sosial budaya saat ini menempatkan anak perempuan bernilai lebih rendah daripada


(46)

anak lelaki, mengingat anak lelaki dipandang sebagai pewaris garis keluarga. Beberapa pengamatan kualitatif menunjukkan bahwa selama kekurangan makanan, kegagalan panen, dan kelaparan, perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan (Sibagariang dkk, 2010 ).

Norma yang berlaku di masyarakat bahwa perempuan seyogyanya makan bagian yang terakhir sesudah suami, orang tua dan anak-anaknya, merupakan bentuk dari subordinasi atau penomorduaan perempuan. Nilai semacam ini merupakan etika kehidupan secara umum, yang kemudian mengatur tingkah laku dalam keluarga. Akibatnya ibu hamil tidak mendapatkan makanan yang bergizi dan menyebabkan anemia yang berpengaruh terhadap kehamilannya. Bentuk subordinasi yang lain bagi perempuan adalah banyaknya mitos yang merugikan ibu hamil seperti dilarang makan udang, kepiting, ikan menyebabkan gangguan gizi seimbang alias kurang protein. Apabila kebiasaan ini berlangsung terus menerus pada ibu hamil dapat terjadi anemia (Luhulima, 2006).

Paath dkk (2004) yang dikutip oleh Salmah dkk (2006), menyatakan makanan pantangan, sangat memengaruhi kecukupan zat gizi pada ibu hamil. Banyak makanan yang seharusnya dikonsumsi tapi dilarang untuk ibu hamil, akibatnya ibu hamil tidak memakan makanan tertentu sehingga mengurangi intake makanan dan akhirnya menurunkan status gizinya. Sementara kita ketahui bahwa seorang ibu yang sedang hamil seharusnya terpenuhi kecukupan gizinya untuk kepentingan dirinya sendiri dan janin yang sedang dikandungnya.


(47)

2.5.2. Beban Ganda (Double Burden)

Perempuan mempunyai peran reproduktif, peran produktif dan peran sosial. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak (Daulay, 2007).

Waktu yang dicurahkan untuk pekerjaan rumah tangga oleh wanita di pedesaan adalah intensif dan banyak, khususnya rumah tangga dari golongan ekonomi lemah. Pekerjaan itu memerlukan banyak waktu dan energi, disebabkan oleh kurangnya fasilitas dan teknologi. Berbeda dengan rumah tangga lapisan atas yang mampu mengurangi beban dalam pekerjaan rumah tangga karena mempunyai alat-alat dan fasilitas yang lebih baik dan mempunyai biaya untuk membayar orang untuk membantunya.

Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri (peran reproduktif). Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja mencari penghasilan (peran produktif), maka ia memikul beban ganda. Kesehatan ibu hamil akan terganggu jika ibu harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan keluarga, disamping tetap dituntut melaksanakan pekerjaan rumah tangga (Kelompok studi wanita FISIP UI, 1990).


(48)

Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap jenis pekerjaan perempuan seperti pekerjaan domestik, dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan lelaki, serta dikategorikan sebagai bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Hampir separuh istri melakukan aktivitas ekonomi di sektor publik seperti karyawan, buruh, pembantu dan lain-lain, untuk menutupi kekurangan pendapatan suami dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah tangga. Keputusan istri terjun ke sektor publik ini sebagai wujud tanggung jawab mereka terhadap masa depan rumah tangga terutama anak-anaknya (Sihite, 2007).

Dari hasil penelitian kelompok studi wanita FISIP-UI 1990 ditemukan 95% wanita dari golongan bawah bekerja karena ingin menambah penghasilan rumah tangga. Perempuan juga harus berperan secara sosial yang mencakup kegiatan sosial dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat, seperti perayaan, selamatan, kesertaan dalam organisasi, kesertaan dalam kegiatan politik. Kegiatan ini tidak menghasilkan uang tetapi seringkali menyerap banyak waktu dan penting bagi pemeliharaan dan pengembangan aspek spiritual, kultural komunitas serta sebagai alat komunikasi untuk dapat menentukan nasibnya sendiri (Handayani dan Sugiarti, 2008).

Peranan suami dalam kegiatan rumah tangga akan membantu menyelamatkan istri dari kelebihan peran dalam keluarga dan peran dalam masyarakat, serta akan mengurangi konflik antar keluarga. Menurut hasil penelitian Umami dan Puspitasari


(49)

(2007), bahwa 78,2 % suami membantu pekerjaan rumah tangga pada saat istri sedang hamil. Penelitian ini juga menyatakan salah satu faktor yang memengaruhi seorang suami ikut berpartisipasi dalam pekerjaan rumah tangga adalah pandangan peran gender yang dianut suami.

Suami yang memiliki pandangan peran gender tradisional memandang bahwa laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga sehingga kurang bersedia mengerjakan tugas rumah tangga. Suami yang memiliki pandangan peran gender yang modern berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, karena itu suami dapat menyesuaikan diri dengan peran istri di rumah tangga dan bersedia menerima tanggung jawab yang lebih besar dalam kegiatan rumah tangga terutama pada saat istri sedang hamil (Umami dan Puspitasari, 2007).

Melakukan pekerjaan yang berat disaat hamil memang menjadi salah satu penyebab dari berkurangnya kemampuan tubuh dalam memenuhi kebutuhan gizi untuk ibu dan janin yang dikandungnya. Cadangan energi terkuras habis untuk memenuhi aktivitas ibu hamil. Energi yang seharusnya bisa didapat dari konsumsi makanan ternyata tidak didapatkan, karena kehamilan dianggap biasa saja. Bagi masyarakat, ritual persalinan lebih penting daripada kehamilan itu sendiri. Akibatnya, seorang ibu hamil bisa mengalami anemia dalam kehamilan (Daulay, 2007).

2.5.3. Pengambilan Keputusan terhadap Kehamilan

Kesehatan reproduksi menurut WHO dalam Nugroho dan Setiawan (2010), adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari


(50)

penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Hak reproduksi mencakup pengakuan hak-hak asasi pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka. Perempuan diharapkan tampil menjadi subjek utama yang mengontrol kesehatan reproduksinya, karena perempuanlah yang memiliki rahim. Meskipun perempuan merupakan key-person dari efektivitas pelaksanaan kesehatan reproduksinya, dalam kenyataannya perempuan di Indonesia masih banyak yang belum dapat mengambil keputusan sendiri meski itu menyangkut dirinya. Perempuan masih selalu tergantung pada orang diluar dirinya seperti suami, orangtua, keluarga besarnya (Yustina, 2005).

Hak-hak reproduksi meliputi sebagian hak-hak azasi manusia yang sudah diakui kekuatan hukumnya baik secara nasional maupun internasional. Menurut hasil kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) di Kairo tahun 1994, hak-hak reproduksi mencakup hak untuk hidup bebas dari resiko kematian karena kehamilan, hak atas kebebasan dan keamanan atas kehidupan reproduksinya, hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, hak atas kerahasiaan pribadi, hak kebebasan berpikir, hak memilih bentuk keluarga dan untuk membangun serta merencanakan keluarga, hak untuk memutuskan secara bebas mengenai jumlah anak, menentukan waktu kelahiran anak dan cara untuk mernperolehnya. Masalah kesehatan reproduksi ini, walau telah memiliki landasan hukum yang kuat, namun dalam prakteknya terdapat kesenjangan antara


(51)

prinsip-prinsip hukum dengan realitas sosial, karena hak reproduksi banyak dipengaruhi oleh masalah relasi sosial (Depkes RI, 2003).

2.5.3.1. Faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam keluarga

Pengambilan keputusan dalam keluarga dipengaruhi oleh informasi, ketrampilan dalam berkomunikasi dan posisi anggota keluarga. Pengetahuan seseorang terkait erat dengan terpaan informasi, baik bersumber dari media massa maupun non media massa. Akses wanita ke media massa lebih rendah dari pria. Konstruksi gender telah berhasil membangun satu aspek pendidikan keluarga bahwa anak wanita dididik untuk tidak banyak bicara sehingga akan mencerminkan wibawa. Wibawa yang terpancar akan memiliki kekuatan dengan sekali bicara akan didengar dan dipatuhi terutama oleh anak-anaknya, tetapi hasil pendidikan dalam keluarga ini yang menonjol bukan produk kewibawaan tapi ketidakberanian mengeluarkan pendapat, gagap berbicara, sulit merumuskan kalimat yang sesuai apa yang diinginkannya, tidak memiliki kekuatan untuk mengemukakan masalah tersebut.

Pemasungan kreativitas berkomunikasi pada anak-anak wanita yang dipraktekkan banyak keluarga di pedesaan, akhirnya bermuara pada kondisi yang menempatkan mereka pada posisi tidak dapat melaksanakan keputusan. Ketidakterampilan berkomunikasi dalam proses pembuatan keputusan, menempatkan ibu-ibu rumah tangga dalam posisi yang relatif rendah, sehingga kebutuhan dan keinginannya sulit terealisasikan. Keputusan yang dihasilkan cenderung didominasi


(52)

kepentingan suami, sekalipun keputusan tersebut menyangkut masalah-masalah yang berkaitan hidup matinya ibu-ibu itu sendiri seperti masalah kesehatan reproduksi.

Apabila ibu-ibu rumah tangga bermodalkan pengetahuan yang memadai dan akurat tentang kesehatan reproduksi, communication skill yang bagus maka akan dapat menaikkan position bargainingnya dalam proses pembuatan keputusan sehingga akan mampu menentukan apa yang menurutnya terbaik bagi kesehatan dirinya. Faktor komunikasi dan informasi dapat mendudukkan ibu-ibu rumah tangga pada posisi penentu dalam pembuatan keputusan, bukan lagi berada pada posisi marginal yang hanya sebagai pelaksana keputusan.

2.5.3.2. Tipe-tipe Pengambilan Keputusan

Menurut Abdullah (2001), terdapat tiga tipe pengambilan keputusan pemeliharaan kesehatan reproduksi dalam keluarga :

1) Musyawarah, banyak ditempuh oleh keluarga di pedesaan. Prosedurnya si istri menyampaikan masalah atau keinginan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan reproduksi. Dilanjutkan untuk mencari jalan ke luar atau memecahkan masalah, atas dasar argumen yang dikemukakan suami dan istri sehingga diperoleh keputusan yang memuaskan kedua pihak.

2) Dominan istri, umumnya terjadi pada kelompok ibu-ibu rumah tangga yang wewenang penuh untuk mengambil keputusan sendiri. Ibu-ibu rumah tangga ini dalam prakteknya tetap memberitahu suami sebagai bentuk permintaan izin sebelum melaksanakan keputusan yang ia buat sendiri.


(53)

3) Dominan suami, tipe pengambilan keputusan seperti ini banyak berlaku pada ibu-ibu rumah tangga yang relatif tua. Terdapat dua klasifikasi pengambilan keputusan dari tipe dominan suami ini, yaitu pertama, suami yang langsung membuat keputusan sendiri begitu istrinya mengemukakan permasalahan yang dihadapi, tanpa banyak bertanya atau meminta pertimbangan istri terlebih dulu. Kedua, suami akan meminta pendapat dan keinginan istrinya dalam proses pembuatan keputusan. Selanjutnya ia memutuskan tindakan yang harus dijalankan istrinya tanpa melalui tahapan pencapaian kesepakatan antara suami dan istri.

Hasil penelitian Mien Hidayat (2005) secara kualitatif ditemukan bahwa sebagian bapak-bapak yang umumnya pegawai dan berusia relatif muda mengemukakan proses pembuatan keputusan terhadap kehamilan dilakukan secara musyawarah suami dan istri. Dalam musyawarah tersebut dikemukakan berbagai solusi pemecahan masalah kemudian si istri diberi wewenang untuk memilih salah satu solusi terbaik menurutnya, suami menopang berbagai aspek dalam pelaksanaan keputusan tersebut. Bagian lainnya menyatakan bahwa untuk kesehatan kehamilannya, mereka menyerahkan penuh kepada istrinya untuk memutuskan sendiri apa yang akan ditempuh dalam pemeliharaan kehamilannya, karena merekalah yang paling tahu mengenai masalah tersebut dan apa yang mereka butuhkan. Dengan syarat apa yang akan diputuskan itu, terlebih dulu diberitahukan kepada suami sebelum dilaksanakan.


(54)

2.6. Karakteristik Ibu 2.6.1. Umur

Faktor umur ibu mempunyai pengaruh terhadap kehamilan. Umur yang baik untuk kehamilan adalah 20-35 tahun. Ibu yang berumur dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun sangat berisiko untuk terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan. Kehamilan ibu usia dibawah 20 tahun berpengaruh kepada kematangan fisik dan mental dalam menghadapi persalinan. Rahim dan panggul ibu seringkali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya diragukan kesehatan dan keselamatan janin dalam kandungan. Selain itu mental ibu belum cukup matang sehingga menyulitkan ibu untuk merawat kehamilannya.

Sebaliknya pada umur ibu yang lebih dari 35 tahun telah terjadi kemunduran fungsi fisiologis organ reproduksi secara umum yang akan memengaruhi proses metabolisme tubuh sehingga penyerapan terhadap zat besi berkurang. Keelastisitasan rahimnya sudah mulai berkurang untuk menerima kehamilan dan proses persalinan. Kurangnya perhatian dan pemenuhan gizi selama kehamilan dan terganggunya penyerapan zat besi dalam tubuh merupakan penyebab terjadinya anemia dalam kehamilan. Resiko anemia pada kelompok umur dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun adalah tiga kali lebih (Prawirohardjo, 2002).

Hasil penelitian Sarimawar (1994), ditemukan ibu hamil yang berumur 35 tahun ke atas 5,8% menderita anemia berat dan 71,6 % menderita anemia ringan. Saba’atmaja (1999), melaporkan hasil penelitiannya bahwa terdapat hubungan umur dengan anemia, dimana proporsi anemia pada golongan umur kurang 20 tahun dan


(55)

lebih 35 tahun sebesar 77% dan umur 20-35 tahun sebesar 72,3% (Prawirohardjo, 2002).

2.6.2. Paritas (Jumlah Anak )

Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik hidup maupun lahir mati. Semakin tinggi paritas, maka semakin tinggi pula kematian maternal dan resiko yang akan terjadi baik dalam kehamilan sampai dengan masa postpartum. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoo Swie Tjiong mengatakan apabila prevalensi anemia dihubungkan dengan paritas, terlihat bahwa semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan, wanita dewasa kemungkinan untuk menderita anemia cukup besar (Prawirohardjo, 2002).

Penelitian surbakti (1986), ditemukan kejadian anemia lebih tinggi pada kelompok dengan paritas lebih dari tiga (36,13%) dibanding paritas kurang dari tiga (26,68%), sedangkan penelitian Hasibuan (1997) anemia ibu hamil pada kelompok paritas lebih dari tiga (35,96%) dan paritas kurang dari tiga (17,98%) berarti semakin tinggi paritas semakin tinggi kejadian anemia pada ibu hamil.

2.6.3. Jarak Kehamilan

Jarak kehamilan adalah rentang waktu sejak dimulainya suatu persalinan sampai kehamilan berikutnya. Setiap kehamilan menyebabkan cadangan zat besi berkurang, oleh karena itu pada setiap akhir kehamilan dibutuhkan waktu 2 tahun untuk memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan ekstra, pada kehamilan dan laktasi serta mengembalikan cadangan zat besi ketingkat normal.


(56)

Dengan syarat selama masa tenggang waktu itu kondisi kesehatan dan mutu gizi baik (Prawirohardjo, 2002).

Banyak wanita yang tidak dapat memulihkan tenaga karena jarak kehamilan yang terlalu dekat, sehingga membuat wanita lebih sering mengalami tingkat kesehatan yang buruk. Karena kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan zat-zat gizi belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandungnya. Jarak dua kehamilan yang terlalu pendek akan mempengaruhi daya tahan dan gizi ibu yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil produksi. Seorang wanita yang melahirkan berturut-turut dalam jangka waktu pendek tidak sempat memulihkan kesehatannya serta harus membagi perhatiannya kepada kedua anak dalam waktu yang sama (Nasution, 2005).

Hasil penelitian Prajoga (1994) yang dikutip oleh Nasution (2005), didapatkan kejadian anemia pada ibu dengan jarak kehamilan 12-23 bulan sebesar 2,2%, 24-48 bulan sebesar 1,5% dan jarak kehamilan lebih 48 bulan 2,3%. Dari angka tersebut dapat dikatakan kejadian anemia pada ibu dengan jarak kehamilan kurang dua tahun dan lebih empat tahun adalah 1,5 kali dibandingkan dengan jarak kehamilan dua sampai empat tahun. Dari penelitian Suandi (2004), ditemukan jarak kehamilan kurang dua tahun meningkatkan kejadian anemia 7,2 kali dibanding jarak kelahiran lebih dari dua tahun.

Hasil penelitian Ridwan di Puskesmas Bantimurung, 2006 ditemukan bahwa reponden paling banyak menderita anemia pada jarak kehamilan < 2 tahun. Hasil uji


(57)

memperlihatkan bahwa jarak kelahiran mempunyai risiko lebih besar terhadap kejadian anemia.

2.7. Landasan Teori

Sehat menurut Bloom adalah kondisi sehat secara fisik (somatik), mental (psychic) dan sosial (social). Sehat dipandang sebagai berfungsinya semua tingkat sistem tubuh manusia secara optimal. Status kesehatan seseorang ditentukan oleh tingkat keharmonisan hubungan antara berbagai tingkat sistem tubuh. Hendrik L. Bloom (1983) dalam Efendi (1998), mengidentifikasi empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.

Lingkungan mempunyai pengaruh dan peranan terbesar diikuti perilaku, fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik misalnya, sampah, air, iklim, perumahan dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antara manusia dengan manusia lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Perilaku merupakan faktor kedua memengaruhi derajat kesehatan masyarakat, karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri, disamping itu juga dipengaruhi oleh kebisaan adat istiadat, kepercayaan, pendidikan, sosial ekonomi dan perilaku-perilaku lainnya yang melekat pada dirinya. Pada konteks inilah pendidikan kesehatan atau promosi


(58)

kesehatan memiliki peranan penting dalam mendukung angka partisipasi kesehatan masyarakat.

Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang memengaruhi derajat kesehatan masyarakat, karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan, pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas sangat dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat dijangkau oleh masyarakat atau tidak, tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan , informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam memperoleh pelayanan, serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukannya.

Sedangkan faktor keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan diantaranya diabetes mellitus, asma bronchial dan sebagainya. Keempat faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang saling menunjang dan pengaruh memengaruhi satu dengan lainnya, sehingga berdampak buruk terhadap status kesehatan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat secara keseluruhan.

Selanjutnya Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors). Faktor predisposisi mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. Faktor


(59)

pendukung ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Oleh sebab itu pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan pada ketiga faktor pokok tersebut. Skema dari Bloom dan Green tersebut dalam Notoadmodjo, 2007 dapat dimodifikasi sebagai berikut :

Gambar 2.1. Hubungan Status Kesehatan, Perilaku, dan Pendidikan Kesehatan Ketimpangan gender adalah suatu sistem dan struktur dimana kaum lelaki dan perempuan mempunyai tugas yang berbeda, yang dibentuk oleh konstruksi sosial setempat (Handayani dan Sugiarti, 2008). Bentuk ketimpangan gender menurut Fakih (1996), Daulay (2007) dan Simatauw, dkk (2001) adalah subordinasi dan beban kerja. Subordinasi pada perempuan bermakna perempuan dianggap kaum nomor dua,


(60)

bersifat emosional, tidak bisa memimpin sehingga muncul sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 1996).

Subordinasi karena ketimpangan gender tersebut terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu dalam segala aspek kehidupan perempuan termasuk kehamilannya. Kehamilan ibu kurang diperhatikan dalam keluarga, akibatnya kesehatan ibu menjadi kurang baik terutama pada masa kehamilan. Menurut Depkes (1996), anemia pada ibu hamil dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung adalah konsumsi makanan dan tingkat kesehatan ibu hamil itu sendiri. Faktor yang secara tidak langsung memengaruhi timbulnya anemia pada ibu hamil adalah rendahnya status wanita di keluarga.

Norma yang berlaku di masyarakat bahwa perempuan sebagai kaum nomor dua harus makan paling terakhir setelah suami, orang tua dan anak-anak. Akibatnya alokasi makanan untuk ibu tidak memadai, distribusi dan kualitas makanan untuk ibu hamil bernilai rendah. Kebiasaan ini dapat menyebabkan gangguan gizi seimbang alias kurang protein. Kurangnya konsumsi makanan yang bergizi pada ibu hamil dapat mengakibatkan anemia (Depkes, 1996).

Ketimpangan gender juga terlihat dari ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan yang menyangkut hak-hak kesehatan reproduksinya terutama kehamilannya. Keterbatasan perempuan mengambil keputusan terhadap kehamilannya disebabkan budaya patriarki yang ada di masyarakat. Perempuan tidak mempunyai otonomi terhadap rahimnya sendiri yaitu hak untuk menentukan kapan


(61)

ingin punya anak, jumlah anak, memeriksakan kehamilan, penolong persalinan dan biaya untuk kehamilan serta persalinannya (Sibagariang dkk, 2010). Jumlah anak dan jarak kehamilan yang pendek merupakan salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya anemia. Menurut Kramer (1987) dalam Herlina dan Djamilus (2006), hal tersebut disebabkan kekurangan nutrisi yang merupakan mekanisme biologis dan pemulihan faktor hormonal dari tubuh ibu.

Bentuk subordinasi ketimpangan gender yang lain adalah menganggap pekerjaan reproduktif lebih rendah daripada pekerjaan produktif, sehingga bagi ibu yang bekerja mencari nafkah tetap harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam kehidupannya perempuan menjalani peran rangkap tiga meliputi peran produktif yaitu mencari nafkah, peran reproduktif yaitu menyiapkan segala keperluan keluarga dan melaksanakan peran sosial dalam masyarakat. Karena itulah beban kerja perempuan menjadi berlebihan. Perempuan mempunyai jam kerja yang cukup panjang daripada laki-laki.

Tubuh ibu mengalami kelelahan karena kurang waktu untuk beristirahat. Beban ini bertambah berat karena ibu sedang hamil. Melakukan pekerjaan ganda membutuhkan energi yang besar, energi didapat dari konsumsi makanan ibu. Tetapi makanan yang dikonsumsi ibu tidak memenuhi energi yang dibutuhkan ibu hamil, karena kehamilan dianggap biasa saja, tidak memerlukan perhatian dan perawatan yang khusus. Kondisi tersebut dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan anemia pada ibu hamil.


(62)

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori, maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen Ketimpangan Gender

Konsumsi Makanan Distribusi Makanan

Beban Ganda

Pengambilan Keputusan terhadap

Kehamilan

Anemia dalam kehamilan Kesehatan

Karakteristik : - Umur - Jumlah anak - Jarak kehamilan ... = Tidak diteliti

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini adalah ketimpangan gender yang terdiri dari distribusi makanan, beban ganda, pengambilan keputusan terhadap kehamilan dan karakteristik ibu yaitu umur, jumlah anak, jarak kehamilan. Variabel dependen adalah anemia dalam kehamilan.


(1)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis dengan uji statistik dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Rumbio Jaya (64,6%) lebih tinggi daripada kejadian anemia di Kabupaten Kampar (56,32%). 2. Hasil analisis dengan uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara umur, jarak kehamilan, pembagian makanan yang tidak memenuhi kebutuhan ibu hamil (distribusi makanan) dan pekerjaan yang dilakukan ibu hamil di rumah tangga, mencari nafkah dan peran sosial (beban ganda) dengan kejadian anemia dalam kehamilan.

3. Uji Multiple regresi logistic menunjukkan ada pengaruh yang bermakna antara

distribusi makanan dan beban ganda dengan kejadian anemia dalam kehamilan. 4. Distribusi makanan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap

kejadian anemia dalam kehamilan dengan 0R = 4,338.

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka dapat diberikan saran sebagai berikut:


(2)

kesehatan tentang kesehatan reproduksi dan gizi bagi ibu hamil dalam upaya pencegahan anemia dalam kehamilan.

2. Diharapkan petugas kesehatan di Puskesmas dapat memberikan pendidikan kesehatan pada ibu hamil tentang pencegahan anemia melalui kegiatan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), promosi atau kampanye langsung ke masyarakat.

3. Diharapkan anggota keluarga khususnya suami dapat meningkatkan status wanita dalam keluarga melalui pemahaman dan kesadaran tentang gender dengan membaca buku-buku pengetahuan tentang gender dan kaitannya dengan anemia dalam kehamilan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I., 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta : Tarawang Press.

Anshori, D.S., Kosasih, E., Sarimaya, F., 1997. Membincangkan Feminisme, Bandung : pustaka hidayah.

Arikunto, S., 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, Jakarta: Rineka Cipta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010. Hasil Riset Kesehatan Dasar

2010, Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Baso, Z.A., 2000. Langkah Perempuan Menuju Tegaknya Hak-Hak Konsumen, Sulawesi Selatan: Yayasan Lembaga Konsumen.

Daulay, H., 2007. Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press.

Depkes.RI., 1996. Pedoman Operasional Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia, Jakarta : Dirjen pembinaan kesehatan masyarakat.

________, 2003. Profil Gerakan partisipatif penyelamatan ibu hamil, menyusui & bayi, Jakarta: MNH.

________, 2007. Profil Kesehatan dan Pembangunan Perempuan di Indonesia, Jakarta : WHO.

Dinkes Kab.Kampar, 2009. Profil Kesehatan Kabupaten Kampar : Kampar. Dinkes Propinsi Riau, 2009. Profil Kesehatan Propinsi Riau. Pekanbaru.

Effendy, N., 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta : EGC.

Fakih, M., 1996. Analisis gender & Transformasi Sosial, yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Handayani, T., dan Sugiarti, 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Press.


(4)

Herlina, N., dan Djamilus, F., 2006. Faktor Resiko kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bogor, Bogor: Majalah pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan, volume 2, No.2 : 32 – 33. Hidayat, M., 2005. Komunikasi Pengambilan Keputusan untuk Pemeliharaan

Kesehatan Reproduksi pada Ibu-ibu Rumah Tangga di Pedesaan, Bandung : Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD.

Kelompok Studi Wanita FISIP UI, 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda, Jakarta : Fakultas Ekonomi UI.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006. Kesetaraan dan Keadilan Gender bagi Organisasi Masyarakat Keagamaan, Jakarta : 74-76.

Luhulima, A. S., 2006. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta : Kelompok Kerja Convention Watch Pusat Kajian Wanita Dan Gender Universitas Indonesia. Machfoedz, I., 2005. Teknik Membuat Alat Ukur Penelitian, Jogjakarta : Fitramaya. Manuaba, 2008. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta : Arcan.

Munthe, H. M., 2003. Hubungan Status Istri Bekerja dengan Pola Kekuasaan dalam Keluarga, Tesis, Bandung : Fakultas Sosial UNPAD.

Nasution, E. H., 2005. Strategi Penanggulangan Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Tujuh Puskesmas kota Medan, Tesis, Medan : FKM USU.

Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

______________, 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Nugroho,T., dan Setiawan,A., 2010. Kesehatan Wanita, Gender & Permasalahannya, Yogyakarta : Nuha Medika.

Prawirohardjo, S., 2002. Ilmu kebidanan, Jakarta : YBD-SP. Puskesmas Rumbio Jaya, 2011. Laporan PWS KIA bulan Maret.


(5)

Ridwan,A., dan Wahyuddin., 2004. Studi Kasus Kontrol faktor Biomedis terhadap Kejadian Anemia Ibu Hamil di Puskesmas Bantimurung Maros, Diakses tanggal 8 Maret 2011, www.google.com.

Rochjati, P., 2003. Skrining antenatal pada ibu hamil, Surabaya : Fakultas Kedokteran UNAIR.

Rukiyah, A. Y., dan Yulianti, L., 2010. Patologi Kebidanan, Jakarta : CV Trans Info Media.

Sahala, S., 2001. Mainstream Gender dan Upaya Pemberdayaan Perempuan di Bidang Hukum, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

Sajogyo, P., 1983. Peranan wanita dalam perkembangan Masyarakat desa. Jakarta : CV. Rajawali.

Salmah, Rusmiati, Maryanah, Susanti, N. N., 2006. Asuhan Kebidanan Antenatal, Jakarta : EGC.

Saryono, 2009. Metodologi Penelitian Kesehatan, Yogyakarta : Mitra Cendikia Press. Setiono, K., Masjhur, J.S., Alisyahbana, A.,1998. Manusia, Kesehatan dan

Lingkungan, Bandung : Alumni.

Setyawan, H., Asri, N.P., Endang, 1997. Pengaruh Anemia Ibu hamil Trimester III terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), Prematuritas dan Intra Uterine growth Retardation (IUGR), Jurnal Epidemiologi Indonesia Volume 1 Edisi 3 : 9-15.

Sibagariang, E. E., Pusmaika, R., Rismalinda, 2010. Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta: CV Trans Info Media.

Sihite, R, 2007. Perempuan, Kesetaraan, Keadilan suatu tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Simatauw, M., Simanjuntak, L., Kuswardono, P.T., 2001. Gender dan pengelolaan Sumber Daya Alam, Jogjakarta: Yayasan Pikul (Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal).


(6)

Sukandar, D., 2006. Makanan Tabu di Rokan Hulu, Riau, Info Kesehatan Masyarakat volume X No.2: 113-117.

Tarwoto dan Wasnidar, 2007. Anemia pada Ibu Hamil, Jakarta: Trans Info Media. Taslim, A. 1988. Kebiasaan Makan pada Anak Balita dan kekurangan Kalori Protein,

Jakarta : Jurusan Antropologi FISIP UI.

Umami, R. dan Puspitasari, N., 2007. Peran Suami selama Proses Kehamilan sampai Nifas Istri, The Indonesian Journal of Public Health, Volume 3 no. 3 : 101-107.

Wolfman, B.R., 1990. Peran Kaum Wanita, Yogyakarta : Kanisius.

Yustina, I., 2005. Membangun Keluarga Berkualitas dari Perspektif Kesehatan Reproduksi, Majalah Kesehatan masyarakat, volume IX no.1 : 57-60.

_________, 2007. Pemahaman Keluarga Tentang Kesehatan Reproduksi, Medan: Pustaka Bangsa Press.

Zaluchu, F., 2005. Faktor Sosio-Psikologi Masyarakat yang berhubungan dengan Anemia Ibu Hamil di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, The Indonesian Journal of Public Health, Volume 1 no. 1 : 11-18.


Dokumen yang terkait

Gambaran Peran Keluarga Terhadap Penderita Tbc Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Datar Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara 2013

1 61 152

Pengaruh Karakteristik Ibu dan Dukungan Suami Terhadap Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care) di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan Medan-Tembung

2 73 141

Perspektif Gender Terhadap Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kabupaten Langkat

3 55 133

PENGARUH PENGETAHUAN TENTANG KEHAMILAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN IBU MELAKUKAN ANTENATAL CARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DINOYO, MALANG

0 16 26

PENGARUH POSTER PENCEGAHAN ANEMIA TERHADAP PERILAKU DAN KADAR Hb IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA Pengaruh Poster Pencegahan Anemia Terhadap Perilaku Dan Kadar HB Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Baki Sukoharjo.

0 4 15

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP IBU DALAM MENGATASI KETIDAKNYAMANAN KEHAMILAN TM III DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAWANGSARI SUKOHARJO.

0 1 13

Perilaku Ibu Dalam Mengenal Kehamilan Risiko Tinggi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang

0 0 9

PENGARUH KARAKTERISTIK IBU DAN DUKUNGAN SUAMI TERHADAP PEMERIKSAAN KEHAMILAN (ANTENATAL CARE) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MANDALA KECAMATAN MEDAN-TEMBUNG

0 0 27

Pengaruh Karakteristik Ibu dan Dukungan Suami Terhadap Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care) di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan Medan-Tembung

0 0 7

Perspektif Gender Terhadap Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kabupaten Langkat

0 1 24