F. Asumsi Penelitian
Anjuran untuk berzakat, infaq dan shadaqah dalam ajaran Islam merupakan upaya untuk membentuk dan membangun rasa tanggung jawab
sosial baik dalam skala individu maupun korporasi. Maka seseorang yang sedang mengalami suatu permasalahan hidup
memerlukan bantuan atau bimbingan dari seseorang yang mampu mengajaknya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Proses bimbingan tersebut
disini lebih kepada ajaran agama islam, yang dimana selain dengan melakukan perintah wajib sebagai proses perenungan jiwa pada klien tersebut juga
melakukan perintah sunnah yaitu anjuran untuk berzakat, infaq, dan sodaqah sebagai proses pembersihan atau klinsing bagi harta yang kosong.
Di samping itu pemahaman tentang zakat, infaq dan shadaqah adalah bagian dari ibadah yang tentunya akan mendapat ganjaran kebajikan yang
berkali lipat, kiranya akan mampu menjadi motivasi seseorang untuk bangkit dan memperbaiki diri sehingga mampu melakukan tiga anjuran tersebut di atas
zakat, infaq dan s hadaqah. Dalam sebuah ungkapan bijak, “lebih baik tangan
di atas daripada tangan yang di b awah” adalah sebuah analogi yang ingin
mengatakan bahwa lebih baik memberi dari pada menerima. Untuk itu diperlukan adanya kegiatan yang dapat membimbing
seseorang untuk bisa memberi dengan tulus dan ikhlas. Pada umumnya kegiatan bimbingan dilakukan menggunakan beberapa metoda di antaranya:
1. Wawancara.
Wawancara adalah salah satu cara untuk memperoleh fakta-fakta kejiwaan klien, yang nantinya dapat dijadikan bahan pemetaan kondisi kejiwaan
klien pada saat tertentu sehingga dapat merumuskan jenis bantuan apa yang sesuai. Kegiatan ini dilakukan melalui proses Tanya jawab terstruktur
sehingga dapat mengeksplorasi kondisi permasalahan klien secara sistematis.
2. Group Guidance bimbingan kelompok.
Bimbingan ini dilakukan dalam sebuah kelompok, yakni proses eksplorasi kondisi kejiwaan dilakukan dengan cara diskusi, ceramah, seminar, atau
dinamika kelompok. Dengan kegiatan ini diharapkan klien mampu mengenal kondisi diri, melalui pertukaran pengalaman baik permasalahan
dan cara mengatasinya, antar sesama anggota maupun pembimbing. 3.
Non-direktif tidak mengarahkan Dalam metode ini, konselor berupaya agar klien mengeksplorasi
permasalahannya sendiri dengan satu atau dua pertanyaan mengarahkan, kemudian
memberikan klien
kesempatan seluas-luasnya
untuk menceritakan semua uneg-uneg kondisi batin yang disadarinya, yang
kiranya menjadi hambatan jiwanya. Konselor hanya mencatat point-point penting yang dianggap rawan untuk kemudian diberi bantuan, yakni
berupa petunjuk-petunjuk maupun saran yang sifatnya tidak wajib dan tidak mengikat.
4. Direktif bersifat mengarahkan.
Merupakan kebalikan dari metoda non-direktif. Yakni konselor berperan aktif untuk membimbing klien dengan saran-saran, pandangan atau
nasehat yang hendaknya dilakukan klien, sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya.
5. Psikoanalisis penganalisaan jiwa
Ini merupakan metoda yang sedikit lebih rumit, karena seorang konselor dituntut untuk lebih menguasai teori-teori psikoanalisa untuk dapat
mengeksplorasi kondisi kejiwaan klien, seperti tafsir mimpi, konsepsi Id, Ego dan Super Ego, dan lain sebagainya. Teori ini berasal Sigmund Freud
yang dipergunakan untuk mengungkapkan segala tekanan perasaan terutama yang tidak disadari oleh klien.
8
G. Analisa Data
Penelitian ini menggunakan analisis induktif dalam perspektif Zakat, Infaq dan Shadaqah ZIS, di mana ZIS ini dipandang sebagai faktor yang
mampu mempengaruhi kondisi psikis seseorang seperti, pandangan hidup, kesadaran sosial dan pola perilaku yang baik yang sesuai dengan tuntunan al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Metode penelitian kualitatif itu sendiri secara khusus berorientasi pada
ekplorasi, penemuan dan logika induktif. Dikatakan induktif karena peneliti tidak dituntut untuk memaksakan diri dalam membatasi masalah penelitian
8
H.M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1998, Cet. Ke-6. h. 44-50., lihat juga, H.M Umar dan Sartono, Bimbingan
dan Penyuluhan, Bandung: Pustaka Setia, 2001 Cet. Ke-II. h. 122-145.