Kondisi Perekonomian Indonesia Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si 4. Kasyful Mahalli, SE, M.Si

BAB IV HASIL

DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Perekonomian Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1985 cukup meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi inflasi terus melaju cukup tinggi akibat devaluasi rupiah dan naiknya harga BBM pada awal tahun 1984. Merosotnya harga minyak internasional sampai USD 10 per barel pada bulan Agustus 1986, menyebabkan defisit neraca pembayaran Indonesia semakin membengkak. Pasalnya, ekonomi Indonesia sangat bergantung pada ekspor minyak. Untuk menghindari kondisi yang semakin buruk, pada tanggal 12 September 1986, pemerintah kembali melakukan tindakan devaluasi rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 31. USD 1 yang semula Rp 1.134, disesuaikan menjadi Rp 1.644. Setelah beberapa kali devaluasi itu dilakukan, terlihat peningkatan yang cukup berarti pada penerimaan ekspor, khususnya dari sektor non migas. Namun, pada periode-periode berikutnya, penerimaan ekspor menurun akibat tidak realistisnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Di lain pihak, masyarakat sudah trauma terhadap kebijakan devaluasi yang terus dilakukan pemerintah. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan pasar. Untuk menghindari ekspektasi negatif masyarakat, sejak tahun 1986 pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang managed floating exchange rate. Dengan sistem ini, nilai tukar rupiah diambangkan terhadap beberapa mata uang negara mitra dagang utama Indonesia. 54 Universitas Sumatera Utara Pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan kisaran spread tertentu, sedangkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi ketika kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah yang ditetapkan. Pada tahun 1987, perekonomian Indonesia masih menghadapi kesulitan. Pengaruh pasar minyak yang belum menentu memberi kontribusi cukup besar bagi peningkatan defisit neraca pembayaran dan penerimaan pemerintah. Kondisi ini dipersulit oleh semakin turunnya harga berbagai komoditi ekspor tradisional Indonesia di pasaran. Sementara itu, terjadi spekulasi di pasar valuta asing pada awal tahun 19871988 yang cukup mengganggu stabilitas moneter. Menghadapi kondisi sulit ini, pada bulan Juni 1987, pemerintah bersama Bank Indonesia melakukan pengetatan moneter yang biasa dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I. Suku bunga SBI, fasilitas diskonto, dan tingkat rediskonto gadai ulang SBPU Surat Berharga Pasar Uang dinaikkan. Sebaliknya, pagu SBPU secara bertahap diturunkan. Pemerintah juga menginstruksikan pengalihan dana milik beberapa badan usaha milik Negara BUMN pada perbankan untuk ditempatkan pada SBI Sertifikat Bank Indonesia. Tindakan yang dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I ini - karena dilakukan oleh Menteri Keuangan adinterim Sumarlin - mengakibatkan terjadinya kontraksi moneter secara drastis. Selanjutnya dalam Pelita V perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang membaik dengan angka pertumbuhan 5.7 dalam 1988 yang melebihi target rata-rata pertumbuhan 5. Untuk menjaga kelangsungan Universitas Sumatera Utara pembangunan selain dari sumber penghasilan minyak, maka dirasakan perlu digali sumber dana dari dalam negeri dengan meningkatkan ekspor non-migas. Guna mendukung hal itu, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi di Bidang Moneter, Keuangan dan Perbankan pada 27 Oktober 1988 Pakto 1988. Sebagai kelanjutan dari Pakto 1988 dikeluarkan kebijakan Paket Maret 1989 dan Paket Januari 1990 guna mendukung pengendalian inflasi dan memperkuat struktur perkreditan. Kebebasan yang diberikan oleh Pakto 1988 telah menyebabkan ekspansi kredit perbankan yang berlebihan dan kurang selektif. Untuk menahan situasi tersebut pada Maret 1991 pemerintah mengambil langkah Pengetatan Moneter II yang dikenal dengan Gebrakan Sumarlin II. Pengetatan moneter pada 1987 dan 1991 mengekang laju inflasi hingga secara berangsur turun menjadi 4.9 pada 1992. Pada 19951996 kegiatan investasi dan konsumsi di Indonesia semakin marak sehingga menyebabkan kenaikan pertumbuhan pada beberapa sektor ekonomi konstruksi dan industri. Peningkatan itu diikuti dengan memanasnya suhu perekonomian yang tercermin dalam laju inflasi yang mencapai 8.9. Untuk menghadapi hal tersebut, Bank Indonesia segera mengambil beberapa langkah pengendalian moneter. Di bidang perkreditan diberlakukan pembatasan pemberian kredit dan pemenuhan SPBU-KUK bagi bank-bank. Sedangkan di bidang devisa digariskan kebijakan untuk menahan dampak negatif arus modal jangka pendek. Sementara guna memenuhi meningkatnya permintaan domestik serta meningkatkan ekspor non migas, pemerintah bersama Bank Indonesia mengambil Universitas Sumatera Utara langkah-langkah melalui Deregulasi Juni 1996 yang meliputi peningkatan efisiensi sektor produksi dan peningkatan ekspor non migas dan pengamanan dalam pinjaman luar negeri. Akhirnya secara umum pada periode deregulasi ini pinjaman luar negeri sektor swasta terus meningkat. Sehingga pada Juli 1996 Bank Indonesia menerbitkan Yankee Bond, untuk menciptakan benchmarking yang dapat membantu memperoleh syarat pinjaman luar negeri yang lebih lunak. Dengan langkah tersebut beban pembayaran dan resiko dari pinjaman dapat dikurangi Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1983-1997. Krisis ekonomi di Indonesia telah berkembang semakin dalam selama tahun 1998, sebelum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada triwulan pertama tahun 1999. Pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sebesari 13.7 pada tahun 1998 dibanding tahun 1997 yang masih mengalami ekspansi 4.9. Perekonomian Indonesia masih lebih berbasis pada permintaan domestik maka dari itu anjloknya permintaan domestik dalam tahun 1998 telah membawa dampak kontraksi yang sangat signifikan terhadap perekonomian secara keseluruhan. Melemahnya permintaan domestik tersebut sejalan dengan menurunnya kegiatan konsumsi rumah tangga dan investasi swasta. Tahun 1997 kegiatan konsumsi masih mengalami pertumbuhan positif sebesar 5.9, pada tahun 1998 tumbuh negatif sebesar 4.1. Pengeluaran investasi juga mengalami pertumbuhan negatif sebesar 40.9 setelah pada tahun sebelumnya tumbuh positif sebesar 8.6. Seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah, permintaan sektor luar negeri bersih meningkat cukup tajam. Pertumbuhan ekspor barang dan jasa meningkat dari 7.8 ditahun 1997 menjadi Universitas Sumatera Utara 10.6 ditahun 1998. Sebaliknya, impor barang dan jasa mengalami kontraksi sebesari 5.5 setelah dalam tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan positif sebesar 14.7. Memasuki awal tahun 2000, perekonomian Indonesia diwarnai oleh nuansa optimisme yang cukup tinggi. Dari sisi permintaan telah terjadi pergeseran motor pertumbuhan ekonomi, dari konsumsi menjadi ekspor dan invetasi yang telah memberikan kontribusi yang positif signifikan. Sedang dari sisi penawaran semua sektor juga telah tumbuh positif, dengan sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar terhadap nilai tambah perekonomian. Pertumbuhan ekonomi meningkat lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya diperkirakan berkisar antara 3-4 menjadi 4.8. Beberapa faktor seperti membaiknya permintaan domestik, masih kompetitifnya nilai tukar rupiah serta situasi ekonomi dunia yang membaik telah memungkinkan sejumlah sektor ekonomi meningkatkan kegiatan usaha mereka baik untuk memenuhi konsumsi domestik maupun ekspor. Kinerja neraca pembayaran pada tahun 2000 tetap menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Perkembangan transaksi berjalan sepanjang tahun 2000 bahkan mencatat surplus yang cukup besar yakni mencapai 50 dari pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan terus melambatnya perekonomian dunia bahkan telah mengalami resesi sejak akhir triwulan pertama 2001 berdampak melambatnya perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan sekitar 4.5- 5.5 terpuruk menjadi 3.3, nilai tukar juga mengalami tekanan depresiasi sebesar 17.7 sehingga mencapai rata-rata Rp. 10.255dollar. Ekspor juga melambat Universitas Sumatera Utara terutama karena resesi yang terjadi pada perekonomian dunia. Hal ini mengakibatkan menurunnya kinerja neraca pembayaran yang tercermin dari menurunnya surplus dari 8 milliar 5.3 dari PDB pada tahun 2000 menjadi sebesar 5 miliar 3.4 dari PDB untuk tahun 2001. Dari penurunan tersebut secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit sebesar 1.4 miliar dan cadangan devisa pada akhir 2001 tercatat sebesar 28 miliar. Secara umum kondisi perekonomian Indonesia ditahun 2002 menunjukkan perkembangan positif, hal ini ditandai dengan semakin stabilnya kondisi makroekonomi. Restrukturisasi ekonomi telah membantu tercapainya kestabilan ekonomi dan moneter selama tahun laporan hal ini terlihat dari menguatnya nilai tukar secara signifikan dengan pergerakan yang stabil. Namun demikian, keberhasilan dalam mencapai berbagai perbaikan indikator makro dan moneter masih dihadapkan pada permasalah struktural sehingga perekonomian Indonesia tidak terlalu responsif terhadap perbaikan yang telah dicapai. Dengan adanya permasalah struktural tersebut, secara keseluruhan selama 2002 perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 3.7 dan masih bertumpu pada konsumsi, sementara peranan investasi dan ekspor dalam mendorong pertumbuhan masih terbatas. Disisi eksternal, masih lemahnya perekonomian global meningkatnya persaingan di Asia dalam menarik minat investasi asing dan mulai menurunnya daya saing Indonesia memperburuk kinerja ekspor. Namun neraca pembayaran Indonesia menunjukkan kinerja yang membaik ditunjang oleh meningkatnya surplus transaksi berjalan dan menurunnya defisit neraca modal. Surplus transaksi berjalan tahun 2002 diprakirakan mencapai Universitas Sumatera Utara 7.3 miliar 3.9 dari PDB lebih tinggi dari surplus tahun sebelumnya sebesar 6,9 miliar 4.7 dari PDB. Dengan perkembangan tersebut secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia mengalami surplus sebesar 3,6 miliar, membaik dari tahun sebelumnya yang mengalami defisit sebesar 1,38 miliar. Tidak begitu banyak perubahan berarti yang terjadi ditahun 2003 bagi perekonomian Indonesia. Namun ada tantangan baru yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah dan Bank Indonesia saat itu seperti dampak tragedi bom di Bali tahun 2002 otomatis melesukan kegiatan investasi, rencana untuk keluar dari program International Monetary Fund IMF pada akhir 2003 dan kondisi perekonomian dunia yang belum ada perubahan. Demi menghadapi tantangan tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia telah mengambil serangkaian langkah kebijakan untuk mendorong proses pemulihan ekonomi sembari tetap menjaga kestabilan ekonomi makro. Berbagai langkah tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendukung tercapainya kondisi ekonomi makro yang stabil dan cenderung membaik selama 2003. Kondisi ini antara lain terlihat pada nilai tukar rupiah yang menguat dan laju inflasi yang menurun, kondisi ini lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kenaikan sebesar 4.1 dari 3.7 ditahun 2002 yang mengindikasikan bahwa proses pemulihan ekonomi terus berlangsung. Neraca pembayaran Indonesia selama 2003 menunjukkan perkembangan yang positif. Transaksi berjalan dalam tahun laporan diprakirakan mencatat surplus sebesar 7,7 miliar 3.8 dari PDB, sedikit menurun dibandingkan surplus tahun 2002. Surplus tersebut berasal dari surplus neraca perdagangan yang Universitas Sumatera Utara lebih tinggi dari defisit neraca jasa. Peningkatan surplus neraca perdagangan tersebut disebabkan oleh lebih tingginya peningkatan ekspor dibanding dengan peningkatan impor. Secara umum kondisi perekonomian Indonesia tahun 2004 mengalami perkembangan yang menggembirakan. Kegiatan ekonomi mencatat pertumbuhan tertinggi pascakrisis ekonomi yaitu sebesar 5.1 yang diikuti dengan perbaikan pola ekspansi. Konsumsi mengalami pertumbuhan yang relatif stabil, sementara kegiatan investasi meningkat tajam setelah dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang rendah. Begitu juga pertumbuhan ekspor barang dan jasa terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan volume perdagangan dunia. Sementara neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sehingga cadangan devisa meningkat menjadi 36,3 miliar pada akhir 2004. Sepanjang tahun 2004 perkembangan nilai tukar rupiah secara umum bergerak relatif stabil meskipun sempat mengalami tekanan depresiasi terutama pada pertengahan tahun. Kestabilan nilai tukar rupiah tercermin pada tingkat volatilitas yang relatif rendah. Transaksi berjalan pada 2004 mencatat surplus sebesar 2.9 miliar 1.1 dari PDB. Meskipun kinerja ekspor mengalami perbaikan, surplus transaksi berjalan pada tahun 2004 lebih rendah dibandingkan surplus pada tahun sebelumnya. Hal ini diakibatkan laju pertumbuhan impor yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor sejalan dengan peningkatan permintaan domestik. Pertumbuhan ekonomi 2005 cenderung melambat seiring dengan semakin kuatnya tekanan pada kestabilan makroekonomi yaitu mencapai 5.6 atau meningkat Universitas Sumatera Utara dari 5.1 yang dicapai tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan terutama terjadi pada konsumi dan investasi dengan menurunnya daya beli, kenaikan biaya produksi, melemahnya nilai tukar, dan iklim investasi yang belum kondusif. Tekanan pada kestabilan makroekonomipun meningkat sejak triwulan II-2005 dengan menurunnya kinerja neraca pembayaran, melemahnya nilai tukar rupiah dan tingginya inflasi. Kinerja neraca pembayaran sepanjang 2005 mengalami tekanan yang cukup berat sehingga mengakibatkan terjadinya defisit, tercatat sebesar 385 juta setelah pada tahun sebelumnya masih mengalami surplus sebesar 309 juta. Penurunan kinerja neraca pembayaran tidak terlepas dari perkembangan ekonomi global yang kurang menguntungkan sementara perekonomian domestik juga cukup rentan terhadap gejolak eksternal. Beberapa indikator kerentanan cenderung memburuk seperti nisbah transaksi berjalan terhadap PDB, cadangan devisa terhadap posisi utang luar negeri, dan kecukupan cadangan devisa. Nisbah transaksi berjalan terhadap PDB sedikit menurun menjadi 1.1. Ditengah menurunnya daya beli masyarakat pascakenaikan harga BBM pada Oktober 2005, terjaganya kestabilan makroekonomi telah membuka ruang bagi perekonomian untuk tumbuh mencapai 5.5 meskipun sedikit lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Berdasarkan struktur pertumbuhannya, kinerja perekonomian 2006 ditandai oleh pertumbuhan domestik yang melambat dan pertumbuhan net ekspor yang meningkat. Struktur pertumbuhan permintaan domestik relatif belum berimbang mengingat konsumsi masih tetap memiliki pangsa terbesar dalam pembentukan PDB, sedangkan pangsa investasi menurun dan masih lebih rendah Universitas Sumatera Utara daripada kisaran sebelum krisis 25-30. Dinamika perekonomian global dan domestik selama 2006 mempengaruhi kinerja neraca pembayaran Indonesia secara signifikan. Hal ini ditandai dengan menguatnya pertumbuhan ekonomi mitra dagang dan tingginya harga komoditas primer disatu pihak serta pertumbuhan permintaan domestik yang melambat dipihak lain berdampak besar terhadap kinerja pembayaran. Untuk keseluruhan 2006, neraca pembayaran Indonesia mencatat kinerja yang lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya dengan mencatat surplus sebesar 15 miliar. Perkembangan ini terutama disumbang oleh meningkatnya surplus neraca transaksi berjalan mencapai 9.6 miliar 2.6 dari PDB. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya ekspor yang tumbuh 18.1 dan melambatnya impor yang hanya tumbuh 5.1. Memasuki tahun 2007, perekonomian Indonesia meraih kembali stabilitas makroekonomi pascagejolak harga minyak pada akhir tahun 2005 yang dampaknya terasa hingga pertengahan tahun 2006. Stabilitas makroekonomi yang terjaga menopang tingginya pertumbuhan ekonomi tahun 2007, bahkan mencapai tingkat tertinggi diperiode pascakrisis yakni sebesar 6.32. Namun pada paruh kedua tahun 2007 perekonomian Indonesia kembali menghadapi tantangan yang datang dari perekonomian global, termasuk rambatan krisis subprime mortgage di Amerika serta tingginya harga minyak dan komoditas internasional lainnya. Rambatan krisis subprime mortgage menimbulkan kecemasan yang meluas terhadap perlambatan laju pertumbuhan ekonomi dunia dan mendorong investor global untuk menghindari aset yang dipandang berisiko tinggi. Berbagai gejolak global tersebut pada gilirannya Universitas Sumatera Utara mempengaruhi dinamika kestabilan makroekonomi Indonesia. Rupiah pada paruh kedua tahun 2007 terdepresiasi secara signifikan dan sempat mencapai nilai terlemah pada Agustus 2007. Akan tetapi perkembangan nilai tukar rupiah secara keseluruhan tahun tetap relatif stabil. Perkembangan nilai tukar rupiah didukung oleh kinerja neraca pembayaran Indonesia yang masih positif. Surplus neraca pembayaran tahun 2007 masih tinggi mencapai sebesar 12.5 miliar dan neraca transaksi berjalan mencatat surplus 11 miliar atau 2.5 dari PDB, sedikit lebih tinggi dari tahun 2006 sebesar 10.8 miliar. Perekonomian Indonesia tahun 2008 secara umum mencatat perkembangan yang cukup baik ditengah terjadinya gejolak eksternal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6.1 pada 2008, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 6.3. Dilihat dari sumbernya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut terutama didukung oleh konsumsi swasta dan ekspor. Disisi eksternal, meski terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, secara keseluruhan ekspor Indonesia masih dapat tumbuh 9.5 atau lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Impor tumbuh sebesar 10.03 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan bahan baku dan barang modal untuk memenuhi permintaan ekspor serta konsumsi dalam negeri. Dinamika perekonomian global juga telah memberi tekanan pada neraca pembayaran Indonesia. Tekanan perlambatan ekonomi dunia dan gejolak pasar keuangan global tercermin pada memburuknya neraca pembayaran Indonesia yang mencatat defisit 2.2 miliar NPI dengan posisi cadangan devisa pada Universitas Sumatera Utara akhir tahun 2008 sebesar 51.6 miliar. Surplus neraca transaksi berjalan mencapai 1.3 miliar yang ditopang oleh volume ekspor dan harga komoditas yang relatif tinggi. Dampak krisis global juga tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah yang ditandai oleh tekanan depresiasi yang tinggi dan volatilitas yang meningkat, terutama sejak Oktober 2008. Menyikapi potensi meningkatnya ketidakstabilan ekonomimakro terkait dengan melambungnya harga minyak dan krisis ekonomi global, pemerintah dan Bank Indonesia melakukan berbagai langkah kebijakan stabilisasi ekonomimakro salah satunya dengan tetap mempertahankan BI rate di level 8. Kebijakan tersebut juga telah mempertimbangkan bahwa stabilitas suku bunga akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang masih dalam fase ekspansi dan juga tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan sumber: Laporan Perekonomian Indonesia dari tahun 1998-2008 oleh Bank Indonesia.

4.2. Kondisi Perekonomian Dunia