Definisi dan Batasan Usia Remaja
memiliki cara-cara yang fleksibel dalam mengelola informasi Papalia, Old Feldman, 2008. Para remaja dapat menyusun rencana pemecahan
masalah dan secara sistematis menguji cara-cara pemecahan yang telah dipikirkan. Proses tersebut disebut juga dengan kemampuan kognitif
dalam mengembangkan hipotesis Ali Asrori, 2005. Santrock 2007 mengungkapkan bahwa remaja juga terlibat dalam
cara-cara untuk menyusun konsep dan bernalar mengenai dunia sosial terkait orang-orang disekitar. Egosentrisme remaja muncul dengan
kesadaran diri yang mulai meningkat dimana tercermin dalam keyakinan bahwa orang lain berminat terhadap sosok diri remaja seperti halnya diri
sendiri Santrock, 2007. Para remaja cenderung merasa menjadi pusat perhatian dan berusaha untuk „terlihat di atas panggung‟. Para remaja juga
menghayati diri sebagai sosok yang unik dan tidak terkalahkan. Penghayatan mengenai keunikan dan tidak terkalahkan cenderung
membuat para remaja terlibat dalam perilaku yang ceroboh Dolcini dkk dalam Santrock, 2007. Tindakan yang ceroboh berarti para remaja
seringkali bertindak tergesa-gesa dan kurang matang dalam mengambil keputusan sehingga menimbulkan masalah-masalah.
Elkind dalam
Papalia, Feldman
Martorell 2008
mengungkapkan bahwa remaja memiliki pola pikir yang tidak matang. Ketidakmatangan pola pikir remaja ditandai dengan idealisme yaitu
remaja percaya bahwa mereka mengetahui bagaimana cara mengatur PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dunianya lebih baik dibanding orang dewasa, menunjukkan kemampuan penalaran, memiliki strategi pengambilan keputusan yang kurang efektif,
menganggap orang lain memiliki pandangan yang sama dengan dirinya dan menganggap dirinya unik.
c. Perkembangan Sosio-emosional
Individu memasuki kehidupan sosial yang berbeda ketika menginjak masa remaja. Para remaja mulai membuat jarak dengan
orangtua dan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Hal tersebut
dikarenakan kegembiraan remaja yang merasa bebas, merasa terbuka, terlibat dalam suatu kelompok dan termotivasi oleh teman-teman sebaya.
Para remaja mulai bertumpu lebih pada teman-teman sebaya dibandingkan pada orangtua dalam mendapatkan dukungan dengan cara berbagi rahasia
yang kemudian meningkatkan kapasitas kedekatan. Remaja yang memiliki persahabatan yang dekat, stabil dan mendukung umumnya melakukan hal
yang baik di sekolah, lebih mudah bersosialisasi dan cenderung bersahabat dan tidak cemas Papalia, Feldman Martorell, 2014.
Pada masa perkembangan transisi juga tidak dipungkiri bahwa terdapat beberapa remaja yang memiliki kesulitan dalam hubungan antar
teman sebaya. Hal tersebut dikarenakan remaja kurang memiliki kemampuan kognisi sosial yang tepat. Remaja tanpa masalah proses
penyesuaian dengan teman sebaya menghasilkan lebih banyak cara penyelesaian yang alternatif, memberikan penyelesaian masalah yang
lebih asertif dan matang, memberikan penyelesaian masalah dengan kadar agresi yang rendah dan menunjukkan perencanaan yang lebih baik.
Sebaliknya, remaja yang mengalami masalah penyesuaian dengan teman sebaya akan menilai positif tentang respon agresif dalam menanggapi
masalah Santrock, 2003. Pengalaman bersosialisasi tersebut memberikan kontribusi yang
besar terhadap emosi remaja. Pada masa remaja, fluktuasi naik dan turun emosi berlangsung lebih sering. Remaja memiliki emosi yang meledak-
ledak ketika merasa senang maupun merasa sedih. Remaja sukar untuk mengetahui cara mengekspresikan perasaan kepada orang lain dengan
kadar yang cukup. Perasaan sangat marah yang dialami dapat membuat remaja meproyeksikan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan
kepada orang lain Santrock, 2007. Meledaknya teknologi komunikasi online seperti pesan teks, Instant
Messanger, dan media sosial telah mempengaruhi banyak cara perkembangan remaja. Kelompok usia remaja merupakan pengguna utama dari teknologi
interaksi sosial. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggunakan internet dalam berkomunikasi dengan teman-teman sebaya.
Teknologi komunikasi yang semakin canggih mengubah banyak cara pandangan remaja dalam membangun hubungan sosial dengan teman-teman
sebaya Papalia, Feldman Martorell, 2014. Para remaja saat ini lebih sering bernalar mengenai orang-orang disekitar melalui dunia maya. Kebutuhan
eksistensi remaja lebih banyak disalurkan melalui media-media sosial untuk menunjukkan diri dan menjadi pusat perhatian. Penggunaan teknologi
komunikasi yang berlebihan dapat berdampak pada perkembangan emosi dan sosial remaja. Remaja cenderung lebih senang mengekspresikan emosi
melalui status-status di media sosial daripada mengkomunikasikan secara langsung. Saarni dkk dalam Santrock, 2007 mengemukakan bahwa remaja
yang dapat mengkomunikasikan emosi-emosinya secara konstruktif dapat meningkatkan kualitas relasi dengan teman-teman sebaya.