Hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial pada remaja.
HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU CYBERBULLYING DI JEJARING SOSIAL PADA REMAJA
Yohanna Viscanesia Sinaga
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara perilaku asertif dengan perilaku cyberbullying pada remaja. Subjek penelitian ini adalah remaja usia 12-18 tahun berjumlah 192 orang. Data penelitian dikumpulkan menggunakan Skala Perilaku Asertif dan Skala Perilaku Cyberbullying. Skala Perilaku Asertif memiliki reliabilitas 0,944 dan Skala Perilaku Cyberbullying memiliki reliabilitas sebesar 0,956. Analisis data penelitian dilakukan menggunakan korelasi Spearman Rho. Hasil korelasi antara perilaku asertif dengan perilaku cyberbullying sebesar -0,482 dengan p = 0,000 (p < 0,01), yang berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying pada remaja.
(2)
ii
THE RELATION BETWEEN ASSERTIVE BEHAVIOR AND CYBERBULLYING BEHAVIOR IN SOCIAL NETWORK AMONG
ADOLESCENTS
Yohanna Viscanesia Sinaga
ABSTRAK
This research aimed to know the relation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents. The hypothesis in this research was a negative correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents. Subjects in this research were 192 adolescents in aged range 12 until 18 years old. The data was collected by assertive behavior scale and cyberbullying behavior scale. Reliability of assertive behavior scale was 0,944 and reliability of cyberbullying behavior scale was 0,957. The data was analyzed using Spearman Rho correlation technique. Result of correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior was -0,482 with p = 0,000 (p < 0,01), which means there was a significant negative correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents.
(3)
HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU CYBERBULLYING DI JEJARING SOSIAL PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Yohanna Viscanesia Sinaga
119114043
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
SKRIPSI
TIUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU
CYBERBULLYING DI JEJARING SOSIAL PADA REMAJA
Pembimbing Skripsi,
1t9114043
$
}*n.
T
,;;,,"\\
D
J'\\
ro
*uffi5lt
.||
o
Il*\u*{,4
(5)
SKRIPSI
HUBT]NGAI\i AI\TTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU CYBERBALLYING DI JN'ARING SOSIAL PADA REMAJA
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Yohanna Viscanesia Sinaga
1t91r4043
Panitia Penguji
NamaLe
Penguji 1
Penguji 2
Penguji 3
I
9
AU6
2016tas Psikologi
Sanata Dharma
Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si.
tlt
'"@H,vm\4.,
{*fies#r$'K{-d
(6)
iv
HALAMAN MOTTO
“KEGAGALAN itu tidak menyakitkan. Tapi perasaan bahwa kamu tidak
mengerahkan segala kemampuanmu, itulah yang menyakitkan.
Bahkan ketika kamu sudah mengerahkan segala kemampuanmu, tidak ada jaminan bahwa kamu akan sukses, atau tetap dikritik atau masih ditertawakan orang.
Akan tetapi, ketika kamu mengerahkan segala kemampuanmu, imbalanmu adalah perasaan yang mengatakan,
(7)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada,
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria,
Keluarga tercinta,
Dosen Pembimbing Skripsi,
Sahabat seperjuangan,
Universitas Santa Dharma,
(8)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya susun ini
tidak mernuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarla, 19 Agustus 2016 Penulis,
esia Sinaga Yohanna Vi
(9)
vii
HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU CYBERBULLYING DI JEJARING SOSIAL PADA REMAJA
Yohanna Viscanesia Sinaga
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara perilaku asertif dengan perilaku cyberbullying pada remaja. Subjek penelitian ini adalah remaja usia 12-18 tahun berjumlah 192 orang. Data penelitian dikumpulkan menggunakan Skala Perilaku Asertif dan Skala Perilaku Cyberbullying. Skala Perilaku Asertif memiliki reliabilitas 0,944 dan Skala Perilaku Cyberbullying memiliki reliabilitas sebesar 0,956. Analisis data penelitian dilakukan menggunakan korelasi Spearman Rho. Hasil korelasi antara perilaku asertif dengan perilaku cyberbullying sebesar -0,482 dengan p = 0,000 (p < 0,01), yang berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying pada remaja.
(10)
viii
THE RELATION BETWEEN ASSERTIVE BEHAVIOR AND CYBERBULLYING BEHAVIOR IN SOCIAL NETWORK AMONG
ADOLESCENTS
Yohanna Viscanesia Sinaga
ABSTRAK
This research aimed to know the relation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents. The hypothesis in this research was a negative correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents. Subjects in this research were 192 adolescents in aged range 12 until 18 years old. The data was collected by assertive behavior scale and cyberbullying behavior scale. Reliability of assertive behavior scale was 0,944 and reliability of cyberbullying behavior scale was 0,957. The data was analyzed using Spearman Rho correlation technique. Result of correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior was -0,482 with p = 0,000 (p < 0,01), which means there was a significant negative correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents.
(11)
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Narna : Yohanna Viscanesia Sinasa
Nomor
Mahasiswa :
119114043Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Petpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU CYBERBULLYING DI JEJARING SOSIAL PADA REMAJA
Besefia perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya di intemet atau media lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta izin dali saya maupun memberikan royalti kepada
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pemyataan ini yang saya buat dengan sebenamya.
Dibuat di Yogyakarla
Pada tanggal: 19 Agustus 2016
Yang menyatakan,
Yohanna Vlscanesia Sinaea
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terimakasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas limpahan berkat dan kasih-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul
“Hubungan antara Perilaku Asertif dan Perilaku Cyberbullying di Jejaring Sosial pada
Remaja” ini diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk meraih gelar sarjana
di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Proses penyelesaian skripsi ini melibatkan begitu banyak pihak yang begitu tulus dalam memberikan bantuan dan dukungan dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-sebesarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu selama proses penelitian skripsi ini berlangsung. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah menjadi pendengar yang baik dalam setiap doa dan pengharapan penulis.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas bimbingan, dukungan, pengetahuan dan kesabaran dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
(13)
xi
5. Rm. Agustinus Priyono Marwan, SJ. selaku Bapa yang pernah membimbing proses skripsi selama hampir satu semester dan selalu menyemangati serta mendoakan saya.
6. Kedua orangtua penulis, Papa dan Mama yang selalu memberikan dukungan, doa, cinta kasih, berusaha agar anak-anaknya dapat mengayomi pendidikan yang berkualitas dan dengan sabar menunggu proses perkuliahan penulis. Adik-adik yang selalu menyemangati dan senantiasa sabar menunggu dalam proses pengerjaan skripsi.
7. Kakak Ervin Mau yang selalu menyemangati, mendukung, mendoakan, bertanya tentang kelanjutan skripsi penulis dan mengingatkan untuk selalu mengerjakan skripsi.
8. Om Sam yang sering membantu, mendukung, menyemangati, memfasilitasi mulai dari pengerjaan seminar dan selalu mengingatkan untuk selalu mengerjakan skripsi.
9. Sahabat-sahabatku terkasih Nety, Arum, Jojo, Hervy, Mbak Tirsa, Silla, Clara yang selalu menyemangati dan memberi dukungan serta membantu dalam kesulitan-kesulitan proses pengerjaan skripsi.
10. Teman-teman yang bersama-sama mengerjakan skripsi bersama di Perpustakaan Paingan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta: Ruth, Risty, Winda. Terimakasih atas dukungan dan kebersamaannya sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan skripsi.
(14)
xii
11. Teman seperantauan, David Randa Kembaren, terimakasih untuk empat tahun bersama berjuang menjadi anak rantau di Yogyakarta. Terimakasih untuk selalu mendukung, menyemangati, dan menasehati untuk tidak sering menunda-nunda pekerjaan.
12. Teman-teman SMA yang selalu berkomunikasi memberikan dukungan dan semangatnya melalui guyonan-guyonan aneh: Junai, Gogo, Monic, Martin, Erwin. Terimakasih sering membuat penulis tertawa dan berrefreshing sejenak. 13. Mas Wisnu, Mba Caecil, Ken, Nining, Fitri, teman-teman kos Iota, teman-teman
Fakultas Psikologi, Mba Rina yang senantiasa membantu, mendukung dan menyemangati penulis. Ibu penjaga loker di Perpustakaan yang selalu memberikan senyum dan semangatnya untuk proses pengerjaan skripsi penulis.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, 19 Agustus 2016 Penulis,
(15)
xiii DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan Skripsi ... iii
Halaman Motto ... iv
Halaman Persembahan ... v
Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi
Abstrak ... vii
Abstract ... viii
Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ... ix
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi ... xiii
Daftar Tabel ... xvii
Daftar Lampiran ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
1. Teoritis ... 10
2. Praktis ... 10
(16)
xiv
A. Perilaku Asertif ... 12
1. Definisi Perilaku Asertif ... 12
2. Dampak Perilaku Asertif ... 13
3. Aspek-aspek Perilaku Asertif ... 17
B. Perilaku Cyberbullying ... 21
1. Definisi Perilaku Bullying ... 21
2. Definisi Perilaku Cyberbullying ... 22
3. Jejaring Sosial ... 26
4. Aspek-aspek Perilaku Cyberbullying ... 26
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberbullying ... 31
6. Dampak Perilaku Cyberbullying ... 35
C. Remaja ... 36
1. Definisi dan Batasan Usia Remaja ... 36
2. Perkembangan Remaja ... 39
D. Dinamika Hubungan antara Perilaku Asertif dan Perilaku Cyberbullying pada Remaja ... 43
E. Hipotesis ... 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49
A. Jenis Penelitian ... 49
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49
C. Definisi Operasional ... 49
(17)
xv
2. Perilaku Cyberbullying ... 50
D. Subjek Penelitian ... 51
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 52
1. Skala Perilaku Asertif ... 52
2. Skala Perilaku Cyberbullying ... 54
F. Validitas, Seleksi Item dan Reliabilitas Alat Ukur ... 56
1. Validitas ... 56
2. Seleksi Item ... 57
3. Reliabilitas ... 61
G. Metode Analisis Data ... 59
1. Uji Normalitas ... 62
2. Uji Linearitas ... 63
3. Uji Hipotesis ... 63
H. Pelaksanaan Uji Coba ... 64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 65
A. Pelaksanaan Penelitian ... 65
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 65
C. Deskripsi Data Penelitian ... 67
D. Kategorisasi ... 68
E. Analisis Data Penelitian ... 71
1. Uji Asumsi ... 71
(18)
xvi
b. Uji Linearitas ... 72
2. Uji Hipotesis ... 73
F. Pembahasan ... 75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 82
(19)
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pemberian Skor Skala Perilaku Asertif ... 53
Tabel 3.2 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Asertif Sebelum Uji Coba 54 Tabel 3.3 Pemberian Skor Skala Perilaku Cyberbullying ... 55
Tabel 3.4 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Cyberbullying Sebelum Uji Coba ... 56
Tabel 3.5 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Asertif Setelah Uji Coba ... 58
Tabel 3.6 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Asertif Setelah Uji Coba (Setelah diacak sesuai skala) ... 59
Tabel 3.7 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Cyberbullying Setelah Uji Coba Kedua ... 60
Tabel 3.8 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Cyberbullying Setelah Uji Coba Kedua (Setelah diacak sesuai skala) ... 61
Tabel 4.1 Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ... 66
Tabel 4.2 Deskripsi Subjek berdasarkan Usia ... 66
Tabel 4.3 Deskripsi Subjek berdasarkan Jenjang Sekolah ... 66
Tabel 4.4 Deskripsi Data Penelitian ... 67
Tabel 4.5 Norma Kategorisasi ... 69
Tabel 4.6 Norma Kategorisasi Perilaku Asertif ... 69
Tabel 4.7 Norma Kategorisasi Perilaku Cyberbullying ... 70
(20)
xviii
Tabel 4.9 Hasil Uji Linearitas ... 73 Tabel 4.10 Hasil Uji Hipotesis ... 74
(21)
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Blueprint Skala Perilaku Asertif ... 90
Lampiran B. Blueprint Skala Perilaku Cyberbullying ... 92
Lampiran C. Skala Pengukuran ... 95
Lampiran D. Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Perilaku Asertif ... 104
Lampiran E. Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Perilaku Cyberbullying (Pertama) 106 Lampiran F. Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Perilaku Cyberbullying (Kedua) 108 Lampiran G. Uji Normalitas Perilaku Asertif ... 110
Lampiran H. Uji Normalitas Perilaku Cyberbullying ... 110
Lampiran I. Uji Linearitas ... 111
(22)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi komunikasi kian mengubah bentuk pergaulan dan cara bersosialisasi. Manusia bebas mengekspresikan perasaan dan pikiran serta bergaul tanpa mengenal batas, ruang dan waktu dengan memanfaatkan media internet (cyber media). Berbagai perangkat komunikasi seperti komputer, laptop dan yang paling marak digunakan saat ini ialah smartphone menambah kemudahan akses internet di manapun dan kapanpun. Lembaga survei dunia yaitu Mobility Report Ericsson, melaporkan bahwa pengguna perangkat mobile di dunia pada tahun 2019 akan mencapai 5,6 miliar dengan 60% diantaranya adalah pengguna smartphone (biskom.web.id). Survei yang dilakukan oleh APIJI (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pada tahun 2012 menemukan bahwa jumlah pengguna smartphone di Indonesia mencapai 65,7%. Regional Head of Consumer Lab Ericsson Southeast Asia and Oceania juga menuturkan terkait pemakaian smartphone di Indonesia masih didominasi untuk sms dan internetan (tekno.kompas.com).
Di Indonesia jumlah pengguna internet terus meningkat dari tahun ke tahun. Survei yang dilakukan oleh APJII menemukan hingga akhir tahun 2014 pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 88,1 juta jiwa. Naik sekitar enam persen dari 2013 dengan 71,9 juta pengguna. Survei yang dilakukan oleh APJII (2014) juga menemukan bahwa masyarakat Indonesia banyak mengakses dunia
(23)
jejaring sosial hingga menetapkannya di posisi teratas. APJII (2014) mencatat terdapat 87,4% nitizen mengakses internet untuk menggunakan jejaring sosial. Kemudian disusul dengan mencari informasi atau browsing dengan 68,7% dan instant messanging sebanyak 59,9%. Situs jejaring sosial yang sengaja dibuat untuk menghubungkan orang-orang dari berbagai belahan dunia dalam berinteraksi satu sama lain telah mencapai ratusan. Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI (2014) menerangkan beberapa jejaring sosial yang dibuat dan telah dikenal oleh masyarakat mulai dari Friendster, MySpace, Flickr, Orkut, Multiply, Care2, Digg, Youtube, Facebook, Twitter, Friendfeed, Google Buzz hingga yang terbaru sekarang, yaitu Instagram dan Path.
Boyd & Ellison (2008) mendifinisikan jejaring sosial sebagai layanan berbasis web yang memungkinkan individu untuk membangun profil yang terbuka untuk umum maupun semi terbuka, berhubungan dengan daftar koneksi dari pengguna lain, melihat dan melintasi daftar koneksi pengguna lain maupun diri sendiri. Lembaga penelitian Paw Research mengungkapkan bahwa Facebook masih menjadi jejaring sosial andalan bagi para remaja. Remaja dengan rentang usia 13-17 tahun menggunakan jejaring sosial Facebook sebanyak 71%. Kemudian, jejaring sosial Instagram dilaporkan memiliki netizen terbanyak kedua setelah Facebook, yaitu 52% remaja. Setelah itu terdapat Snapchat dengan 41% pengguna remaja, Twitter dan Google+ sebanyak 33%, Vine (24%), Tumblr (14%) dan media sosial lain sebanyak 11% (tekno.kompas.com).
(24)
Jejaring sosial memiliki beberapa layanan yang telah disediakan antara lain, tampilan profil, teman, komentar, pesan pribadi, berbagi foto dan video, built in blogging serta instant messanging (Boyd & Ellison, 2008). Hal-hal tersebut memudahkan para remaja yang menggunakan jejaring sosial untuk membangun jaringan mereka, mengizinkan mereka mengobrol dan berinteraksi secara bebas. Setiap remaja dapat mengekspresikan ide-ide mereka secara spontan dalam memenuhi kebutuhan eksistensi, aktualisasi serta bersosialisasi menggunakan kata-kata, gambar dan video. Namun, dari waktu ke waktu, kenyamanan dari eksistensi, aktualisasi juga sosialisasi dalam membangun informasi dan komunikasi telah disalahgunakan oleh banyak remaja. Jejaring sosial yang termasuk dalam media sosial digunakan lebih jauh untuk mengintimidasi seseorang dengan mengirimkan kata-kata, gambar maupun video yang menyerang, yang kemudian disebut sebagai cyberbullying (Margono, Yi & Raikundalia, 2014).
Survei yang dilakukan Ipsos yaitu perusahaan riset terkemuka dunia, di 24 negara termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari sepuluh atau sekitar 12% orang tua melaporkan bahwa anak mereka mengalami cyberbullying. Pemeriksaan terhadap bullying di antara sekitar 200.000 anak usia sekolah di 40 negara di dunia tahun 2005-2006 menemukan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki presentase tinggi terkait cyberbullying. Mayoritas dari orangtua (60%) mengatakan anak-anak mengalami perilaku mengganggu tersebut melalui situs jejaring sosial seperti facebook (ipsos-na.com). Lembaga
(25)
anti-bullying terbesar di Inggris, Ditch the Label, melakukan survei yang melibatkan 10.008 anak muda di Amerika Serikat dengan usia rata-rata 13-22 tahun. Survei tersebut menemukan bahwa 69% responden yang diwawancarai pernah mengalami pelecehan di dunia maya. Sebanyak 89% korban cyberbullying mengalaminya di situs jejaring sosial MySpace, kemudian 54% lainnya juga menjadi korban di Facebook, 28% koresponden muda pernah mengalami di Twitter serta di jejaring sosial instagram, ask.fm, bebo dan tumblr (www.DitchtheLabel.org).
Cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying atau traditional bullying. Bullying didefinisikan sebagai tindakan agresi yang sengaja dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan untuk melukai orang lain secara berulangkali dimana orang lain tidak dapat membela dirinya sendiri. Tindakan bullying tersebut terjadi antara pelaku yang lebih kuat kepada korban yang lebih lemah secara verbal maupun nonverbal, ataupun secara langsung maupun tidak langsung (Olweus, 2012). Sedangkan cyberbullying sendiri didefinisikan sebagai setiap perilaku yang dilakukan melalui media elektronik atau digital oleh individu atau kelompok secara berulang kali berkomunikasi dengan mengirim pesan bersifat permusuhan dan agresif untuk memberikan luka atau ketidaknyamanan bagi orang lain (Tokunaga, 2010). Artinya, seseorang dapat dikatakan melakukan cyberbullying ketika menghina, melecehkan, mengancam melalui email, pesan singkat online (Instant Messaging), ruang obrolan (chat room), website, situs game online, atau media digital lain yang
(26)
kemudian melukai perasaan atau membuat ketidaknyamanan (takut, cemas, marah) terhadap orang lain.
Cyberbullying banyak dilakukan dan melibatkan remaja serta anak muda. Tokunaga (2010) menyebutkan bahwa berdasarkan kecenderungan kelompok usia, munculnya korban cyberbullying banyak terjadi di kelas VII dan VIII Sekolah Menengah Pertama pada remaja laki-laki dan perempuan. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Lindfors dkk (2012) bahwa proporsi tertinggi terjadinya cyberbullying diantara usia 14 tahun dan yang terendah usia 18 tahun pada laki-laki maupun perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Price & Dalgeish (2010) juga menemukan bahwa remaja yang banyak melakukan atau mengalami cyberbullying ketika berusia 10-14 tahun (50%), 15-18 tahun (42%) dan 19-25 tahun (8%). Presentase terbesar yang terlibat dalam cyberbullying merupakan individu yang berusia 10 tahun hingga 18 tahun. Usia remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional dan sosial (Papalia, Feldman & Martorell, 2014). Perubahan yang begitu kompleks menyebabkan remaja menjadi labil dan belum matang secara psikis. Dolcini dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa para remaja mudah terlibat dalam perilaku yang ceroboh. Tindakan ceroboh berarti remaja tergesa-gesa dan kurang matang dalam mengambil keputusan sehingga menimbulkan masalah-masalah.
Perilaku cyberbullying yang terjadi di Indonesia baru-baru ini menimpa seorang siswi SMA Methodist-I di Medan, yaitu Sonya Depari. Siswi tersebut
(27)
dikabarkan mengaku sebagai anak dari Jenderal Kapolda Sumatera Utara, kemudian berani membentak polwan yang menertibkannya karena berkonvoi usai Ujian Nasional. Perilaku Sonya tersebut mengundang banyak kecaman dan caci maki di akun jejaring sosial instagram miliknya. Cyberbullying yang dialami membuat Sonya mengalami trauma, ketakutan dan malu untuk keluar rumah (sumatera.metrotvnews.com). Kasus yang paling mengejutkan di luar negeri adalah banyak remaja korban dari cyberbullying merasa putus asa dan berpikiran pendek sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara-cara tertentu. Salah satu kasusnya yaitu Katie Webb, gadis cantik asal Inggris ini mengakhiri hidupnya di usia 12 tahun. Katie ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Evesham, Worcestershire, Inggris lantaran tak kuat menerima cacian dari temannya melalui Facebook. Katie mendapat hinaan karena teman-temannya menilai gaya rambut Katie tidak keren dan karena Katie juga tidak memakai baju bermerek (dailymail.co.uk).
Tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Katie Webb merupakan dampak yang paling mengkhawatirkan pada korban cyberbulling. Kasus tersebut mendukung penemuan Hay, Meldrum dan Mann (dalam Slonje dkk, 2012) bahwa dampak terbesar dari cyberbullying adalah kemungkinan untuk melukai diri sendiri dan keinginan untuk bunuh diri. Ybarra dkk (2006) menemukan bahwa korban cyberbullying mengalami banyak tekanan dan ketegangan akibat pengalaman yang dialami. Selain depresi dan bunuh diri, korban cyberbullying juga menghadapi bermacam-macam masalah akademik dan sosial. Mereka
(28)
menarik diri dari aktivitas sekolah, ketidakhadiran di sekolah, dan kegagalan dalam sekolah, gangguan makan dan penyalahgunaan zat-zat kimia (Chibbaro & Klomek dalam Notar dkk, 2013). Dampak negatif tidak hanya dirasakan oleh para korban cyberbullying. Studi Patchin & Hinduja (2010) dan Guarini dkk (2012), menemukan siswa yang memiliki pengalaman cyberbullying, secara signifikan memiliki sikap negatif terhadap sekolah dan harga dirinya lebih rendah daripada mereka yang sedikit atau tidak pernah terlibat dalam cyberbullying. Terdapat juga implikasi jangka panjang untuk pelaku ketika memasuki masa dewasa, yaitu antisosial, kekerasan atau perilaku kriminal yang lebih tinggi (Patchin & Hinduja; Kulig dkk dalam Notar dkk, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Emilia & Leonardi (2013) terhadap remaja berusia 15-17 tahun menyatakan bahwa perilaku cyberbullying dipengaruhi oleh kompetensi sosial. Individu yang kompetensi sosialnya rendah maka perilaku cyberbullying yang dilakukan tinggi. Kompetensi sosial yang dimaksud ialah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif dan dapat diterima secara sosial. Individu yang memiliki kemampuan tersebut mengetahui bagaimana merespon orang lain dengan cara menyampaikan pendapat secara langsung dan jelas tanpa adanya kecemasan. Individu juga memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan tanpa melakukan tindakan agresi untuk menyakiti orang lain. Kemampuan yang telah disebutkan di atas merupakan ciri-ciri orang yang
(29)
memiliki sikap dan perilaku asertif (Praskah & Devi, 2015; Arrindell & van der Ende dalam Sarkova dkk, 2013).
Perilaku asertif merupakan sikap yang aktif, langsung dan jujur dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan bersikap asertif, kita memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain (Llyod, 1990). Perilaku asertif memudahkan para remaja untuk bersosialisasi dalam lingkungan, menghindari konflik karena bersikap jujur dan terus terang, serta dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi secara efektif. Remaja dengan perilaku asertif tinggi akan menghasilkan hubungan yang sehat dalam bernegosiasi dan pemecahan konflik. Perilaku asertif yang dimiliki membantu remaja dalam mengurangi stress ataupun konflik yang dialami sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif (Widjaja & Wulan dalam Marini & Andriani, 2005).
Individu dengan tingkat perilaku asertif yang rendah kurang dapat mengekspresikan pikiran, perasaan dan kebutuhan yang sebenarnya dialami kepada orang lain. Individu yang gagal untuk berkomunikasi secara spontan lebih cemas dan berjuang untuk mengatasi pikiran, perasaan dan kebutuhan yang mengganggu yang masih terhambat di masa lalu maupun yang akan terjadi di masa mendatang (Adams, 1995). Kecemasan tersebut dapat membawa individu mengalami frustasi yang diakibatkan individu tidak diperlakukan sebagaimana dirinya ingin diperlakukan. Frustrasi merupakan situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya,
(30)
atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Berkowitz (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa frustrasi bisa mengarahkan individu untuk bertindak agresif. Tindakan agresif yang kemungkinan dapat dilakukan oleh individu ialah perilaku cyberbullying. Dorongan agresi tersebut disalurkan melalui media elektronik yang disebabkan individu tidak mampu untuk mengungkapkan langsung bertatap muka kepada orang lain. Hal tersebut didukung oleh penelitian Varjas dkk (2010) yang menyatakan bahwa motivasi seseorang dalam melakukan cyberbullying, antara lain ingin membalas dendam dan membuat perasaan menjadi lebih baik. Berbeda dengan individu yang memiliki perilaku asertif tinggi, mereka akan mencari penyelesaian masalah dimana kedua belah pihak mencapai tujuan yang sama. Selain itu, cyberbullying bersifat tidak langsung atau anonymous. Hal ini menyebabkan pelaku memiliki kesempatan untuk menyembunyikan identitasnya (Varjas dkk, 2010). Pelaku juga cenderung tidak mendapatkan hukuman dan konsekuensi atas tindakannya.
Terkait dengan penjelasan di atas, penelitian tentang cyberbullying di Indonesia masih sedikit, sehingga memunculkan ketertarikan peneliti untuk terlibat dalam penelitian tentang cyberbullying. Penelitian ini dilakukan dalam situasi jejaring sosial terkait kasus-kasus cyberbullying pada remaja banyak terjadi di jejaring sosial. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying pada remaja.
(31)
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan negatif antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial pada remaja?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial pada remaja.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan pada ilmu psikologi, terutama pada konteks penelitian –penelitian yang berkaitan dengan faktor dari perilaku cyberbullying, khususnya tentang hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial pada remaja.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi remaja: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran umum mengenai hubungan perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial sehingga dapat dijadikan acuan bagi para remaja dalam menyikapi dan menggunakan teknologi dengan baik.
b. Bagi orangtua: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya perilaku asertif sehingga para orangtua mampu
(32)
membangun suasana yang dapat mendukung peningkatan perilaku asertif anak. Selain itu, orangtua juga diharapkan mampu untuk mengawasi, membimbing dan mengarahkan para remaja tentang penggunaan teknologi dan media sosial yang baik.
(33)
12 BAB II
LANDASAN TEORI A. Perilaku Asertif
1. Definisi Perilaku Asertif
Llyod (1990) mengemukakan perilaku asertif merupakan sikap yang aktif, langsung dan jujur dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan bersikap asertif, kita memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain. Perilaku ini juga mendorong hubungan yang jujur dan terbuka.
Pengertian perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (1986) ialah perilaku untuk menjalin suatu hubungan yang setara dengan orang lain. Dalam berhubungan dengan orang lain, individu diharapkan dapat mengungkapkan dan mengekspresikan secara jujur mengenai apa yang diinginkan dan dirasakan. Perilaku ini juga dilakukan tanpa mengganggu atau merugikan orang lain.
Perilaku interpersonal yang melibatkan pengekspresian pikiran dan perasaan yang relatif jujur dan langsung sesuai norma sosial dan memperhitungkan perasaan dan kesejahteraan orang lain adalah perilaku asertif menurut Rimm and Masters (dalam Pipas & Jaradat, 2010).
Cawood (1997) mendefinisikan perilaku asertif sebagai kemampuan seseorang untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, kebutuhan dan hak pribadinya tanpa kecemasan, mampu bersikap jujur dan langsung serta
(34)
memperhitungkan hak-hak sendiri tanpa meniadakan hak orang lain. Ekspresi yang langsung dimaksudkan sebagai perilaku yang tidak berputar-putar, pesan jelas dan terfokus serta tidak menghakimi. Ekspresi jujur dimaksudkan sebagai perilaku yang selaras antara kata-kata, gerak-gerik, perasaan semua mengatakan hal yang sama.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai perilaku asertif di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mengungkapkan perasaan dan pikiran secara langsung, artinya menyampaikan pesan secara jelas, tidak berputar-putar dan fokus. Individu juga dapat mengekspresikan perasaan secara jujur, yaitu antara kata-kata, gerak-gerik dan perasaan selaras. Pengekspresian perasaan dilakukan dengan memandang keinginan, kebutuhan, hak dan kesejahteraan kita setara dengan orang lain yang dilakukan tanpa menghakimi, menggangu, menyakiti maupun merugikan orang lain.
2. Dampak perilaku Asertif
Kemampuan untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan maupun keinginan-keinginan secara langsung dan jujur kepada orang lain dengan tetap menghormati hak orang lain merupakan perilaku asertif. Menurut Adams (1995), individu yang mampu mengungkapkan diri maupun yang tidak mampu dalam mengungkapkan diri berdampak pada beberapa hal, antara lain:
(35)
a. Individu tetap mampu sepenuhnya memahami diri sendiri tentang kebutuhan, opini dan ide-ide. Individu yang berani mengungkapkan secara nyata tentang suatu perasaan dan pikiran membuat seseorang menjadi mengenali diri dengan lebih baik. Individu juga menjadi lebih konkret dalam bertindak tentang perasaan dan pikiran. Kemudian, melalui proses tersebut individu akan menciptakan lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri dengan cara-cara baru, seperti meningkatkan kemampuan pengendalian diri dan pengambilan keputusan (Sriyanto dkk, 2014).
b. Individu yang mampu mengungkapkan diri secara terus-menerus lebih
mudah untuk hidup di “masa kini”. Hidup di “masa kini” berarti individu
hanya memikirkan kebutuhan di saat sekarang, bukan tentang masa lalu maupun tentang masa depan. Individu yang hidup dalam “masa kini”, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan di masa sekarang sehingga mengurangi atau menghilangkan kecemasan (Alberti dan Emmons dalam Marini & Andriani, 2005). Sebaliknya, individu yang gagal untuk berkomunikasi secara spontan lebih cemas dan berjuang untuk mengatasi pikiran, perasaan dan kebutuhan yang mengganggu yang masih terhambat di masa lalu maupun yang akan terjadi di masa mendatang.
c. Individu yang berperilaku asertif lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok pada saat membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang terdekat. Perilaku
(36)
tersebut akan menghasilkan hubungan yang sehat dalam bernegosiasi, pemecahan konflik dan kehidupan keluarga kemudian menghasilkan “win
win solution”. Apabila orang lain mengetahui kebutuhan dan keinginan individu, mereka akan lebih mampu bersedia dan bekerja sama serta membantu memenuhi kebutuhan individu. Kebanyakan individu sering melakukan kesalahan yang menganggap bahwa orang lain mengetahui keinginan dan kebutuhan individu, sehingga merasa tidak perlu lagi untuk mengungkapkan secara langsung dan jujur. Padahal, orang lain belum tentu tepat dalam memperkirakan kebutuhan dan keinginan individu sebelum individu itu sendiri yang mengkonfirmasinya. Individu yang gagal dalam menyatakan kebutuhan pada orang-orang terdekat dapat mengalami efek-efek negatif berkepanjangan, misalnya hubungan yang merenggang antara pasangan suami istri akibat ketidakpedulian kedua belah pihak. Hal tersebut menyebabkan stress dan ketidakbahagiaan yang berlangsung lama sehingga berdampak pada kesehatan mental kedua pasangan.
d. Dampak lain dari berperilaku asertif ialah bertambahnya harga diri dan kepercayaan diri individu. Perilaku asertif yang tinggi menimbulkan harga diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan karena memungkinkan seseorang untuk mengemukakan keinginan secara langsung dan jelas sehingga menimbulkan perasaan senang dalam diri pribadi dan orang lain (Marini & Andriani, 2005).
(37)
e. Individu yang berani untuk terbuka dan mengungkapkan diri otomatis membukakan jalan bagi orang lain juga untuk mengungkapkan diri. Kesalahpahaman yang terjadi di masa lampau dapat dijernihkan dan kesalahpahaman di kemudian hari pun dapat dicegah. Stres dan konflik pun berkurang sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal yang negatif (Widjaja & Wulan dalam Marini & Andriani, 2005). Dengan terungkapnya minat satu sama lain, jajaran persahabatan, aktivitas individu, dan hal-hal baru lainnya pun dapat meluas.
f. Individu yang mampu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran secara spontan dan jujur dapat mencegah terjadinya keretakan hubungan dengan orang-orang terdekat. Individu yang berani mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya membuat orang lain berusaha untuk memahami dan memenuhi kebutuhan maupun keinginan tersebut sehingga hubungan menjadi lebih nyaman dan bertahan lama. Sebaliknya, kebutuhan yang tidak terpenuhi terus-menerus dapat menimbulkan kebencian yang akan membawa individu menjadi agresif sehingga menyebabkan rusaknya suatu hubungan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki perilaku asertif tinggi menimbulkan dampak yang lebih positif daripada individu yang perilaku asertifnya rendah.
(38)
3. Aspek-aspek Perilaku Asertif
Individu perlu untuk mengungkapkan perasaan secara terbuka, langsung dan jujur untuk mencapai hubungan yang sehat dengan orang lain. Kemampuan tersebut merupakan pengertian dari perilaku asertif. Perilaku asertif mengandung aspek-aspek yang terkandung di dalamnya. Alberti dan Emmons (1986) mengemukakan aspek-aspek yang terdapat dalam perilaku asertif, antara lain:
a. Mendukung kesetaraan dalam hubungan manusia
Perilaku ini bertujuan untuk mendapatkan suatu keseimbangan dalam melakukan hubungan interpersonal. Perilaku tersebut juga mendorong kesetaraan dalam hubungan antar manusia. Hal ini berarti individu mengetahui bahwa setiap orang memiliki persamaan derajat yang memungkinkan individu mendapatkan perlakuan yang sama tanpa merasa dirugikan satu sama lain.
b. Bertindak sesuai dengan kepentingan dan minat
Kemampuan untuk membuat keputusan tentang karir, hubungan dengan orang lain, gaya hidup dan manajemen waktu. Individu yang dapat berperilaku asertif juga memiliki inisiatif untuk memulai pembicaraan, mengatur kegiatan, percaya pada keputusan sendiri, dapat menetapkan tujuan dan bekerja untuk mencapainya. Selain itu, kemampuan ini juga membuat individu untuk berani secara jujur meminta bantuan orang lain ketika berada dalam kesulitan.
(39)
c. Mampu mempertahankan hak-hak pribadi
Individu memiliki keberanian untuk mengucapkan kata tidak dan menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Individu mampu mempertahankan hak-hak mereka tanpa melanggar hak dan kebutuhan orang lain. Selain itu, individu yang memiliki kemampuan ini dapat menanggapi suatu kritik tanpa menggunakan emosi negatif seperti marah ataupun melakukan perilaku agresif. Kemampuan ini juga digunakan individu untuk mengekspresikan atau mendukung atau mempertahankan pendapat yang diungkapkan.
d. Mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman
Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan yang dialami secara terbuka baik yang perasaan positif maupun perasaan negatif. Individu mampu untuk tidak menyetujui suatu hal yang tidak sesuai keinginan dan menunjukkan kemarahan secara efektif. Individu juga dapat mengekspresikan kasih sayang dan persahabatan serta menunjukkan persetujuan atau dukungan. Hal ini dilakukan individu secara spontan, tanpa perasaan cemas, ragu-ragu maupun perasaan takut.
e. Tidak melanggar hak-hak orang lain
Individu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan ekspresi tanpa memberikan kritik yang tidak adil bagi orang lain. Dalam berhubungan dengan orang lain individu menghindari perilaku yang dapat melukai dan mengintimidasi orang lain. Selain itu, individu juga
(40)
melakukan hubungan yang jujur tanpa memanipulasi dan mengontrol orang lain.
Adams (1995) mengemukakan bahwa perilaku asertif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Individu mampu bergaul dengan terbuka, otentik, apa-adanya, jujur dan langsung. Artinya, individu dapat menyatakan perasaan-perasaan, kebutuhan-kebutuhan dan ide-ide individu yang sebenarnya kepada orang lain secara langsung.
b. Individu mampu mempertahankan hak-hak individu tanpa melanggar hak dan kebutuhan orang lain.
c. Individu mampu bertindak demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan diri sendiri. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan berinisiatif untuk meminta informasi dan bantuan dari orang lain bilamana membutuhkan. d. Individu bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah
pihak apabila mengalami konflik dengan orang lain.
Individu yang dapat berperilaku asertif menurut Zeuschner (2003) adalah sebagai berikut:
a. Individu memiliki keinginan untuk berkomunikasi. Hal ini berarti individu berkemauan untuk membangun relasi dan berinteraksi dengan orang lain dengan cara menyatakan ide-ide, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan yang dimiliki.
(41)
b. Individu yang asertif merupakan individu yang bertanggungjawab. Individu berarti merupakan orang yang mandiri dan bertanggungjawab terhadap ide-ide, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan yang dimiliki. Individu yang bertanggungjawab berarti individu siap menerima konsekuensi atas segala ide-ide, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan yang dinyatakan kepada orang lain.
c. Individu mampu berkomunikasi sesuai dengan norma sosial dan budaya di lingkungan tempat tinggal. Individu sebaiknya mengetahui cara menyampaikan pendapat yang baik kepada orang lain dengan mengacu pada norma sosial dan budaya dimana individu berada. Hal tersebut dilakukan agar tercipta komunikasi yang nyaman dan terkendali. Komunikasi yang terkendali berarti individu mampu menyampaikan ide-ide, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan tanpa menyerang atau melukai perasaan orang lain.
Aspek-aspek perilaku asertif dalam penelitian ini menggunakan teori Alberti & Emmons (1986) yang didukung oleh teori Adams (1995) dan Zeuschner (2003). Kelima aspek perilaku asertif tersebut, yaitu:
a. Mampu menyatakan perasaan dan pendapat
b. Mampu bertindak sesuai kebutuhan dan kepentingan diri c. Mampu mempertahankan hak-hak pribadi
d. Mampu menghormati hak-hak orang lain
(42)
B. Perilaku Cyberbullying 1. Definisi Perilaku Bullying
Istilah bullying berasal dari kata „bull’ (bahasa Inggris) yang berarti
„banteng‟ yang suka menanduk. Bullying merupakan tindakan yang menyalahgunakan kekuatan/kekuasaan oleh seseorang atau kelompok kepada korban yang tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental. Tindakan dapat dikatakan perilaku bullying apabila tindakan dilakukan berulang-ulang dan membuat seseorang merasa takut atau terintimidasi (SEJIWA, 2008).
Bullying juga didefinisikan sebagai tindakan agresi yang sengaja dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan untuk melukai orang lain secara berulangkali dimana orang lain tidak dapat membela dirinya sendiri. Tindakan bullying tersebut terjadi antara pelaku yang lebih kuat kepada korban yang lebih lemah secara verbal maupun nonverbal, ataupun secara langsung maupun tidak langsung (Olweus, 2012).
Menurut Dracic (2009), bullying adalah bentuk kekerasan atau serangan yang bertujuan untuk menyebabkan luka atau penderitaan dan ketidaknyamanan pada orang lain, baik penderitaan fisik maupun emosional. Tindakan bullying dilakukan tanpa memperdulikan tempat terjadinya, keparahan dan durasi. Perilaku ini terjadi berulang kali dalam bentuk yang sama dan adanya hubungan kekuasaan atau kekuatan yang tidak sama antara
(43)
individu atau kelompok yang kuat melawan individu atau kelompok yang lemah.
Berdasarkan berbagai pengertian bullying diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah tindakan menyerang secara fisik maupun verbal yang dilakukan secara berulang-ulang yang bertujuan untuk melukai dan memberi penderitaan atau ketidaknyamanan dari individu/kelompok yang lebih kuat (secara fisik maupun sosial) kepada individu/kelompok yang lebih lemah dan tidak dapat membela diri.
2. Definisi Perilaku Cyberbullying
Perilaku bullying paling banyak terjadi di lingkungan sekolah, terutama di tempat-tempat yang bebas dari pengawasan guru maupun orangtua. Seiring dengan berkembangnya teknologi yang semakin canggih, perilaku bullying terjadi di kawasan yang lebih luas. Remaja saat ini lebih aktif memonitor komputer atau mengecek smartphone daripada bermain di luar bersama teman-teman sebaya. Perilaku bullying pun sekarang ini lebih mudah dilakukan melalui media elektronik, yang kemudian disebut sebagai cyberbullying (SEJIWA, 2008).
Cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying atau traditional bullying (Olweus, 2012). Cyberbullying atau disebut juga sebagai electronic bullying didefinisikan sebagai tindakan bullying melalui email, Instant Messaging, ruang obrolan (chat room), website, situs game online,
(44)
pesan singkat yang dikirim melalui telepon seluler maupun teknologi informasi dan komunikasi lainnya (Kowalski dkk, 2012).
Hinduja & Patchin (2014) yang khusus meneliti tentang agresi di media online mengemukakan tentang definisi dari cyberbullying. Tindakan yang sengaja dilakukan berulang kali untuk menyakiti melalui penggunaan komputer, telpon selular, dan alat elektronik lain disebut sebagai cyberbullying. Tindakan tersebut mengacu pada insiden dimana remaja menggunakan teknologi untuk mengganggu, mengancam, menghina atau melakukan perbuatan yang menimbulkan pertengkaran dengan teman sebaya. Perbuatan yang termasuk dalam cyberbullying, misalnya seperti mengirimkan pesan teks yang melukai perasaan orang lain, menyebarkan rumor tentang teman sebaya menggunakan smartphones, menyebarkan foto dan video tentang teman sebaya di media sosial, maupun menggunakan aplikasi tanpa nama untuk menghina orang lain.
Cyberbullying juga didefinisikan oleh Smith dkk (2008) sebagai tindakan agresif atau perilaku yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik oleh kelompok atau individu berulang kali dan dari waktu ke waktu terhadap korban yang tidak bisa dengan mudah membela dirinya.
Sedangkan menurut Tokunaga (2010), cyberbullying adalah setiap perilaku yang dilakukan melalui media elektronik atau digital oleh individu atau kelompok secara berulang kali mengkomunikasikan pesan bermusuhan
(45)
atau agresif yang dimaksudkan untuk menimbulkan bahaya atau ketidaknyamanan pada orang lain.
Berdasarkan berbagai pengertian cyberbullying diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku cyberbullying adalah tindakan yang menyakiti, mengganggu, mengancam atau menghina orang lain secara sengaja dan berulang kali oleh individu atau kelompok melalui media elektronik atau digital untuk menimbulkan bahaya atau ketidaknyamanan bagi orang lain.
Perilaku agresi yang digunakan untuk membully orang lain melalui media elektronik memiliki berbagai macam cara. Willard (dalam Kowalski dkk, 2012) kemudian mengklasifikasikan tujuh perilaku yang paling umum digunakan untuk melakukan tindakan cyberbullying, antara lain:
a. Flaming
Individu mengirimkan pesan teks berisi kata-kata yang penuh amarah dan frontal kepada orang lain.
b. Harassment
Individu mengirimkan pesan-pesan berisi gangguan pada email, sms, maupun pesan teks di jejaring sosial yang dilakukan secara terus menerus kepada orang lain.
(46)
c. Denigration
Individu memposting pernyataan yang tidak benar atau kejam tentang seseorang dengan tujuan untuk merusak reputasi dan nama baik orang tersebut.
d. Impersonation
Individu berpura-pura menjadi orang lain untuk membuat seseorang terlihat buruk atau berada dalam bahaya. Misalnya, individu mencuri kata sandi akun jejaring sosial seseorang, kemudian memposting status yang negatif atau mengirimkan kata-kata menghina kepada orang lain.
e. Outing and trickery
Individu terlibat dalam trik untuk mengumpulkan informasi pribadi, foto-foto pribadi atau informasi memalukan tentang orang lain yang kemudian disebarkan dengan mempublikasikan melalui media elektronik.
f. Exclusion
Individu secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari group online.
g. Cyberstalking
Individu mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara intens sehingga menimbulkan ketakutan yang besar pada orang tersebut.
(47)
3. Jejaring Sosial
Jejaring sosial adalah layanan berbasis web yang memungkinkan individu untuk membangun profil yang terbuka untuk umum maupun semi terbuka, berhubungan dengan daftar koneksi dari pengguna lain, melihat dan melintasi daftar koneksi pengguna lain maupun diri sendiri. (Boyd & Ellison, 2008).
Individu dapat menuliskan hal apapun seperti menulis pesan ke orang lain, berbagi foto atau video, juga menuliskan identitas diri untuk melengkapi data yang ada di jejaring sosial (Boyd & Ellison, 2008).
Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI (2014) menerangkan beberapa jejaring sosial yang dibuat dan telah dikenal oleh masyarakat mulai dari Friendster, MySpace, Flickr, Orkut, Multiply, Care2, Digg, Youtube, Facebook, Twitter, Friendfeed, Google Buzz hingga yang terbaru sekarang, yaitu Instagram dan Path.
4. Aspek-aspek perilaku Cyberbullying
Cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying atau traditional bullying (Olweus, 2012). Dalam traditional bullying terdapat empat aspek penting untuk menentukan bahwa perilaku termasuk dalam bullying. Empat aspek tersebut ialah pengulangan (repetitition), ketidakseimbangan kekuatan (power imbalance), kesengajaan (intention), dan agresi (aggressive). Langos (2012) menerangkan pentingnya keempat aspek
(48)
tersebut untuk dimasukkan dalam cyberbullying. Sebelumnya, keempat aspek tersebut harus direvisi/didefinisi ulang agar dapat disesuaikan dalam konteks maya (cyber). Namun, untuk memahami bagaimana aspek-aspek tersebut dapat berlaku di konteks maya (cyber), perlu untuk membedakan antara cyberbullying secara langsung maupun tidak langsung terlebih dahulu.
a. Cyberbullying langsung
Cyberbullying langsung terjadi dalam domain pribadi. Cyberbullying langsung merupakan komunikasi pribadi antara pelaku kepada korban dengan mengirimankan pesan secara langsung melalui media elektronik yang memiliki efek langsung terhadap korban.
b. Cyberbullying tidak langsung
Cyberbullying tidak langsung terjadi dalam domain publik. Cyberbullying tidak langsung ialah tindakan bullying dimana pesan agresi disampaikan melalui forum umum di dunia maya, seperti jejaring sosial atau website. Pesan yang disampaikan tersebut dapat tersebar kepada penonton dengan jumlah yang tidak terbatas.
Setelah menjelaskan tentang cyberbullying secara langsung dan tidak langsung, Langos (2012) menjelaskan tentang keempat aspek yang telah didefinisi ulang sesuai dengan konteks maya (cyber). Aspek-aspek cyberbullying antara lain:
(49)
a. Repetitition (pengulangan)
Pengulangan merupakan kriteria utama dalam cyberbullying (Hinduja & Patchin dalam Langos, 2012). Perilaku agresi yang dilakukan hanya sekali tidak dapat dikatakan sebagai perilaku cyberbullying, melainkan disebut sebagai lelucon atau cyberjoking. Oleh karena itu, pengulangan merupakan kriteria penting untuk membedakan antara lelucon atau serangan yang disengaja.
Aspek pengulangan memiliki perbedaan pada cyberbullying langsung dan tidak langsung. Pada cyberbullying langsung, pengulangan terjadi dengan mengirimkan pesan secara pribadi dari pelaku kepada korban secara berulang-ulang, misalnya pelaku telah mengirimkan pesan agresi melalui SMS sebanyak delapan kali dalam sebulan. Sedangkan pada cyberbullying tidak langsung, aspek pengulangan tidak terjadi seperti pada cyberbullying langsung. Pesan agresi yang diunggah dalam forum umum di dunia maya dapat dilihat berkali-kali atau disalin kemudian didistribusikan oleh para penonton kepada penonton-penonton lain tanpa harus diposting terus-menerus.
b. Power imbalance (ketidakseimbangan kekuatan)
Ketidakseimbangan kekuatan merupakan aspek lain yang dianggap penting oleh beberapa peneliti sebagai kriteria dalam cyberbullying. Ketidakseimbangan kekuatan berkaitan dengan interpretasi bahwa kekuatan pelaku melebihi korban dalam konteks traditional bullying.
(50)
Definisi ketidakseimbangan kekuatan tidak berubah dalam konteks maya (cyber). Meskipun ketidakseimbangan kekuatan dapat dicapai dengan berbagai cara baru di dunia maya (cyber), hal tersebut tidak merubah pandangan bahwa dalam rangka memenuhi syarat sebagai cyberbullying, perilaku harus menempatkan korban dalam posisi dimana korban tidak dapat dengan mudah membela atau mempertahankan diri.
Karakteristik seseorang seperti popularitas tinggi, kecerdasan, kekuatan fisik, usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi dapat memberikan kekuatan atau kekuasaan yang lebih pada pelaku daripada korban dalam traditional bullying. Namun, korban yang dianggap sebagai
„orang buangan sosial‟ dalam traditional bullying juga dapat terus menjadi alasan untuk menjadi korban dalam cyberbullying.
Vandabosch (dalam Langos, 2012) mengemukakan bahwa berbagai derajat keterampilan teknologi dapat membuat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban di dunia maya (cyber). Korban dapat merasa tidak berdaya dalam membela atau mempertahankan diri terhadap tindakan online pelaku dikarenakan pelaku yang dirasa memiliki keahlian teknologi yang lebih besar daripada korban. Korban cyberbullying juga dapat mengalami perasaan tidak berdaya dengan tidak mengetahui identitas pelaku. Hal ini sebagai akibat dari ketersediaan anonymity dalam dunia maya. Pelaku dapat dengan mudah untuk membuat akun menggunakan nama samaran dan identitas palsu. Korban dapat diartikan
(51)
sebagai pihak yang lemah dengan tidak adanya keterbatasan antara ruang atau waktu. Pelaku cyberbullying dapat beraksi dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi. Pelaku juga dapat memiliki kekuasaan lebih ketika melakukan cyberbullying secara tidak langsung. Pesan agresi yang diunggah ke dalam forum umum di dunia maya dengan jumlah penonton yang tidak terbatas membuat korban menjadi kurang berdaya.
c. Intention (kesengajaan) dan Aggression (agresi)
Aspek kesengajaan dan agresi berkaitan satu sama lain dengan kedua aspek sebelumnya, yaitu pengulangan dan ketidakseimbangan kekuatan dalam memenuhi kriteria perilaku cyberbullying. Perilaku umum seperti cyberteasing atau cyberjoking yang tidak memerlukan aspek pengulangan, ketidakseimbangan kekuatan atau kesengajaan untuk menyakiti dilabelkan sebagai tindakan agresif di dunia maya (cyber). Aspek kesengajaan yang hilang menjadikan perilaku tidak dianggap agresif. Hal tersebut dikarenakan perilaku yang dilakukan untuk menyakiti tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain. Perilaku dianggap agresif apabila perilaku yang ditujukan kepada korban menghasilkan konsekuensi negatif yang kemudian membuat korban termotivasi untuk menghidarinya.
(52)
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberbullying
Cyberbullying merupakan masalah yang umum terjadi di kalangan para remaja dalam era globalisasi saat ini. Perilaku cyberbullying para remaja disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Bullying Tradisional
Peristiwa bullying di dunia nyata memiliki pengaruh yang besar pada kecenderungan individu untuk menjadi pelaku cyberbullying. Riebel dkk (2009) menemukan bahwa pelaku cyberbullying juga melakukan bullying di kehidupan nyata. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam bullying kemungkinan besar melanjutkan perilaku intimidasi melalui media elektronik. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi sehingga memudahkan pelaku untuk melanjutkan tindakan mengintimidasi.
b. Karakteristik Kepribadian
Camodeca & Goossens (dalam Kowalski dkk, 2012) memaparkan karakteristik individu yang menjadi pelaku bullying adalah sebagai berikut:
i. Memiliki kepribadian yang dominan dan senang melakukan kekerasan.
ii. Cenderung temperamental, impulsif, dan mudah frustrasi.
iii. Memiliki sikap positif terhadap kekerasan dibandingkan anak lainnya.
(53)
iv. Kesulitan mengikuti peraturan.
v. Terlihat kuat dan menunjukkan sedikit rasa empati atau belas kasihan kepada mereka yang menjadi korban cyberbullying.
vi. Sering bersikap agresif kepada orang dewasa. vii. Pandai berkelit pada situasi sulit.
viii. Terlibat dalam agresi proaktif (seperti agresi yang disengaja untuk meraih tujuan tertentu) dan agresi reaktif (seperti reaksi defensif ketika diprovokasi).
c. Persepsi terhadap Korban
Persepsi terhadap individu tertentu dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap individu tersebut. Para korban bullying yang tidak disukai atau kontroversial biasanya menjadi target intimidasi (Pratiwi, 2011).
d. Strain
Teori strain menitikberatkan pada hubungan yang negatif dengan orang lain, hubungan dimana seseorang tidak diperlakukan sebagaimana dirinya ingin diperlakukan. Strain adalah suatu kondisi ketegangan psikis yang ditimbulkan dari hubungan negatif dengan orang lain yang menghasilkan efek negatif (terutama rasa marah dan frustrasi) yang mengarah pada kenakalan (Agnew dalam Pratiwi, 2011). Frustrasi merupakan situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan
(54)
untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Berkowitz (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa frustrasi bisa mengarahkan individu untuk bertindak agresif.
Individu yang mengalami strain memiliki kecenderungan untuk mengintimidasi orang lain daripada remaja yang tidak mengalami strain (Hinduja & Patchin dalam Pratiwi, 2011). Cyberbullying dapat terjadi karena ingin mengurangi ketegangan, membalaskan dendam atau membuat perasaan menjadi lebih baik (Varjas dkk, 2010).
e. Interaksi Orangtua dan Anak
Peranan orangtua dalam mengawasi aktivitas anak dalam berinteraksi di internet merupakan faktor yang cukup berpengaruh pada kecenderungan anak untuk terlibat dalam cyberbullying. Orangtua yang tidak terlibat dalam aktivitas online anak menjadikan anak lebih rentan terlibat dalam cyberbullying (Willard, 2005).
Varjas dkk (2010) menyatakan bahwa remaja lebih sering melakukan cyberbullying berdasarkan motivasi-motivasi internal, antara lain:
a. Pengalihan perasaan
Individu yang pernah menjadi korban cyberbullyig merasa berhak untuk melakukan cyberbullying kepada orang lain yang tidak bersalah.
(55)
b. Pembalasan dendam
Individu merasa marah terhadap seseorang yang memperlakukan individu dengan tidak baik sehingga menimbulkan niat untuk membalas dendam. c. Membuat perasaan menjadi lebih baik
Individu dapat merasa lebih baik setelah melakukan tindakan cyberbullying terhadap orang lain.
d. Rasa bosan
Individu melakukan tindakan cyberbullying dalam upaya mengisi waktu luang atau membuat hiburan dikarenakan tidak memiliki kegiatan yang lebih baik untuk dilakukan.
e. Perlindungan
Individu menjadi pelaku cyberbullying dengan tujuan melindungi diri agar terhindar menjadi korban dari cyberbullying.
f. Iri hati
Individu yang merasa iri hati dan benci terhadap orang lain sehingga melakukan tindakan cyberbullying.
g. Mendapatkan persetujuan
Individu melakukan cyberbullying dengan maksud ingin mendapatkan perhatian dengan menggertak orang lain untuk mengesankan teman-teman individu.
(56)
h. Mencoba persona baru
Individu ingin menampilkan diri dengan cara yang berbeda di dunia maya daripada yang dilihat orang lain di dunia nyata.
i. Anonymity/rasa malu
Individu dapat melakukan tindakan cyberbullying dengan sebebas-bebasnya ketika korban tidak mengetahui identitas pelaku. Anonymity menghindari individu yang melakukan cyberbullying dari rasa malu. Individu merasa dapat melakukan atau mengatakan apapun ketika tidak bertatap muka dengan korban.
6. Dampak Perilaku Cyberbullying
Hinduja & Patchin (2014) mengemukakan efek negatif cyberbullying berdasarkan pengalaman para korban. Para korban cyberbullying merasa depresi (Ybarra dkk, 2006), sedih, marah dan frustrasi. Beberapa korban mengaku terluka baik secara fisik maupun mental. Cyberbullying yang dialami membuat para korban merasa tidak berdaya (Notar dkk, 2013), tidak berharga dan tidak percaya diri. Beberapa korban sering merasa takut dan malu untuk pergi ke sekolah. Dampak-dampak negatif lain bagi korban yang pernah mengalami cyberbullying adalah menurunnya harga diri (Brewer & Kerslake, 2015; Hinduja & Patchin, 2010), mengalami bermacam-macam masalah akademis seperti ketidakhadiran di sekolah dan kegagalan di sekolah
(57)
(Chibbaro, 2007), kekerasan di sekolah serta keinginan untuk bunuh diri (Klomek dkk, 2011).
Efek negatif dari cyberbullying tidak hanya dirasakan oleh korban. Pelaku cyberbulllying juga mengalami penurunan harga diri (Brewer & Kerslake, 2015; Hinduja & Patchin, 2010). Pelaku kemungkinan mengalami implikasi jangka panjang antara lain peningkatan sikap antisosial, kekerasan atau perilaku kriminal pada masa dewasa (Patchin & Hinduja: Kulig dkk dalam Notar dkk, 2013). Pinchot & Paullet (2013) menemukan fakta-fakta bahwa perilaku cyberbullying dapat berlanjut menjadi masalah ketika siswa memasuki universitas walaupun insiden cyberbullying selama ini terjadi pada tahun-tahun sekolah menengah. Remaja yang terus-menerus melakukan cyberbullyingdapat mengalami penurunan kualitas hubungan dengan teman sebaya. Remaja pelaku cyberbullying akan kehilangan dukungan dari teman-teman sebaya yang kemudian berdampak pada kesejahteraan psikologis (Price dkk, 2010).
C. Remaja
1. Definisi dan Batasan Usia Remaja
Kata „remaja‟atau „adolescence‟ berasal dari kata latin „adolescere’,
yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menuju kedewasaan” (Ali & Asrori, 2005). Masa remaja ialah perkembangan transisi yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional, dan sosial dengan beragam bentuk latar belakang
(58)
sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda. Masa remaja ditentukan sekitar usia 11 dan 19 atau 20 tahun (Papalia, Feldman & Martorell, 2014).
Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu masa remaja awal (early adolescence) dan masa remaja akhir (late adolescence). Masa remaja awal berlangsung kira-kira di masa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir dan perubahan pubertal terbesar terjadi di masa ini. Sedangkan, masa remaja akhir berlangsung kira-kira pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan.
World Health Organization (WHO) (dalam Sarwono, 2002) mengemukakan definisi remaja melalui tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi. Secara biologis, remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda kematangan seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual. Secara psikologis, remaja merupakan individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terakhir definisi remaja secara sosial ekonomi ialah terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan
(59)
yang relatif lebih mandiri (Muangman, dalam Sarwono, 2002). Organisasi kesehatan dunia tersebut membagi remaja menjadi remaja awal yang berkisar antara umur 10 hingga 14 tahun dan remaja akhir sekitar umur 15 hingga 20 tahun.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkan perubahan biologis, psikologis dan sosio-emosional dengan beragam bentuk latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda. Individu dapat dikatakan sebagai remaja ketika individu mencapai usia sekitar 10 hingga 20 tahun.
Dalam kasus cyberbullying, Tokunaga (2010) menyebutkan bahwa cyberbullying banyak terjadi di usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia rata-rata berada pada usia 12 hingga 14 tahun. Price & Dalgeish (2010) menemukan bahwa presentase terbesar usia yang terlibat dalam cyberbullying adalah usia 10 hingga 18 tahun. Lindfors dkk (2012) juga melaporkan bahwa proporsi tertinggi terjadinya cyberbullying diantara usia 14 tahun dan yang terendah usia 18 tahun. Penentuan subjek kemudian disimpulkan berdasarkan pendapat para ahli yaitu mulai dari remaja di usia 12 hingga 18 tahun, dimana remaja memasuki pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Subjek dalam penelitian ini menggunakan remaja yang berada pada masa remaja awal dan masa remaja akhir.
(60)
2. Perkembangan Remaja a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik remaja dimulai dengan masa pubertas. Pubertas adalah perubahan cepat pada kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal. Pertambahan berat badan dan tinggi badan berada pada jadwal perkembangan yang sama. Seiring dengan berat badan yang bertambah, tinggi badan juga akan bertambah. Perubahan tubuh akibat kematangan seksual terjadi pada remaja. Remaja laki-laki mengalami pertumbuhan rambut pada kemaluan dan ketiak, ejakulasi pertama dan perubahan suara. Kematangan seksual pada remaja perempuan terlihat dari datangnya menstruasi dan payudara yang membesar. Tubuh remaja menghasilkan dua jenis hormon yang penting dalam perkembangan pubertal. Hormon tersebut adalah androgen dan estrogen yang merupakan jenis hormon seks. Variabilitas hormon berkaitan dengan fluktuasi emosi di masa remaja (Santrock, 2003). Perkembangan dan perubahan fisik pada remaja membuat remaja harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan pada dirinya sendiri.
b. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif remaja termasuk dalam tahap operasional formal dalam teori Piaget. Pada tahap ini, para remaja mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak. Hal ini berarti para remaja
(61)
memiliki cara-cara yang fleksibel dalam mengelola informasi (Papalia, Old & Feldman, 2008). Para remaja dapat menyusun rencana pemecahan masalah dan secara sistematis menguji cara-cara pemecahan yang telah dipikirkan. Proses tersebut disebut juga dengan kemampuan kognitif dalam mengembangkan hipotesis (Ali & Asrori, 2005).
Santrock (2007) mengungkapkan bahwa remaja juga terlibat dalam cara-cara untuk menyusun konsep dan bernalar mengenai dunia sosial terkait orang-orang disekitar. Egosentrisme remaja muncul dengan kesadaran diri yang mulai meningkat dimana tercermin dalam keyakinan bahwa orang lain berminat terhadap sosok diri remaja seperti halnya diri sendiri (Santrock, 2007). Para remaja cenderung merasa menjadi pusat
perhatian dan berusaha untuk „terlihat di atas panggung‟. Para remaja juga
menghayati diri sebagai sosok yang unik dan tidak terkalahkan. Penghayatan mengenai keunikan dan tidak terkalahkan cenderung membuat para remaja terlibat dalam perilaku yang ceroboh (Dolcini dkk dalam Santrock, 2007). Tindakan yang ceroboh berarti para remaja seringkali bertindak tergesa-gesa dan kurang matang dalam mengambil keputusan sehingga menimbulkan masalah-masalah.
Elkind (dalam Papalia, Feldman & Martorell 2008) mengungkapkan bahwa remaja memiliki pola pikir yang tidak matang. Ketidakmatangan pola pikir remaja ditandai dengan idealisme yaitu remaja percaya bahwa mereka mengetahui bagaimana cara mengatur
(62)
dunianya lebih baik dibanding orang dewasa, menunjukkan kemampuan penalaran, memiliki strategi pengambilan keputusan yang kurang efektif, menganggap orang lain memiliki pandangan yang sama dengan dirinya dan menganggap dirinya unik.
c. Perkembangan Sosio-emosional
Individu memasuki kehidupan sosial yang berbeda ketika menginjak masa remaja. Para remaja mulai membuat jarak dengan orangtua dan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Hal tersebut dikarenakan kegembiraan remaja yang merasa bebas, merasa terbuka, terlibat dalam suatu kelompok dan termotivasi oleh teman-teman sebaya. Para remaja mulai bertumpu lebih pada teman-teman sebaya dibandingkan pada orangtua dalam mendapatkan dukungan dengan cara berbagi rahasia yang kemudian meningkatkan kapasitas kedekatan. Remaja yang memiliki persahabatan yang dekat, stabil dan mendukung umumnya melakukan hal yang baik di sekolah, lebih mudah bersosialisasi dan cenderung bersahabat dan tidak cemas (Papalia, Feldman & Martorell, 2014).
Pada masa perkembangan transisi juga tidak dipungkiri bahwa terdapat beberapa remaja yang memiliki kesulitan dalam hubungan antar teman sebaya. Hal tersebut dikarenakan remaja kurang memiliki kemampuan kognisi sosial yang tepat. Remaja tanpa masalah proses
(63)
penyesuaian dengan teman sebaya menghasilkan lebih banyak cara penyelesaian yang alternatif, memberikan penyelesaian masalah yang lebih asertif dan matang, memberikan penyelesaian masalah dengan kadar agresi yang rendah dan menunjukkan perencanaan yang lebih baik. Sebaliknya, remaja yang mengalami masalah penyesuaian dengan teman sebaya akan menilai positif tentang respon agresif dalam menanggapi masalah (Santrock, 2003).
Pengalaman bersosialisasi tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap emosi remaja. Pada masa remaja, fluktuasi (naik dan turun) emosi berlangsung lebih sering. Remaja memiliki emosi yang meledak-ledak ketika merasa senang maupun merasa sedih. Remaja sukar untuk mengetahui cara mengekspresikan perasaan kepada orang lain dengan kadar yang cukup. Perasaan sangat marah yang dialami dapat membuat remaja meproyeksikan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan kepada orang lain (Santrock, 2007).
Meledaknya teknologi komunikasi online seperti pesan teks, Instant Messanger, dan media sosial telah mempengaruhi banyak cara perkembangan remaja. Kelompok usia remaja merupakan pengguna utama dari teknologi interaksi sosial. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggunakan internet dalam berkomunikasi dengan teman-teman sebaya. Teknologi komunikasi yang semakin canggih mengubah banyak cara pandangan remaja dalam membangun hubungan sosial dengan teman-teman
(64)
sebaya (Papalia, Feldman & Martorell, 2014). Para remaja saat ini lebih sering bernalar mengenai orang-orang disekitar melalui dunia maya. Kebutuhan eksistensi remaja lebih banyak disalurkan melalui media-media sosial untuk menunjukkan diri dan menjadi pusat perhatian. Penggunaan teknologi komunikasi yang berlebihan dapat berdampak pada perkembangan emosi dan sosial remaja. Remaja cenderung lebih senang mengekspresikan emosi melalui status-status di media sosial daripada mengkomunikasikan secara langsung. Saarni dkk (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa remaja yang dapat mengkomunikasikan emosi-emosinya secara konstruktif dapat meningkatkan kualitas relasi dengan teman-teman sebaya.
D. Dinamika Hubungan antara Perilaku Asertif dan Perilaku Cyberbullying pada Remaja
Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional, dan sosial dengan beragam bentuk latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda-beda (Papalia, Feldman & Martorell, 2014). Perubahan fisik dengan bertambahnya variasi hormon pada remaja berpengaruh terhadap penyesuaian diri remaja terhadap perubahan-perubahan dirinya. Variabilitas hormon berkaitan dengan fluktuasi (naik dan turun) emosi yang sering terjadi di masa remaja. Remaja sukar untuk mengetahui cara mengekspresikan perasaan kepada orang lain dengan kadar yang cukup (Santrock, 2007). Elkind (dalam Papalia, Feldman & Martorell, 2008) juga
(65)
mengungkapkan bahwa remaja memiliki pola pikir yang kurang matang. Ketidakmatangan pola pikir ditandai dengan idealisme yaitu strategi pengambilan keputusan yang kurang efektif. Egosentrisme dalam diri remaja membuat remaja berpusat pada diri sendiri dibandingkan memikirkan keadaan orang lain. Hal tersebut membuat remaja menjadi ceroboh dan mengalami masalah dengan orang-orang disekitarnya.
Individu yang menginjak masa remaja memiliki kehidupan sosial yang berbeda ketika masih kanak-kanak. Para remaja mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Hal tersebut dikarenakan remaja merasa gembira untuk terlibat dalam suatu kelompok dan termotivasi oleh teman-teman sebaya (Papalia, Feldman & Martorell, 2014). Pada masa perkembangan transisi tidak dipungkiri bahwa terdapat beberapa remaja yang memiliki kesulitan dalam hubungan antar teman sebaya. Hal tersebut dikarenakan remaja kurang memiliki kemampuan kognisi sosial yang tepat. Remaja tanpa masalah proses penyesuaian dengan teman sebaya menghasilkan lebih banyak cara penyelesaian yang alternatif, memberikan penyelesaian masalah yang lebih asertif. Sebaliknya, remaja yang mengalami masalah penyesuaian dengan teman sebaya akan menilai positif tentang respon agresif dalam menanggapi masalah (Santrock, 2003).
Remaja dengan perilaku asertif tinggi lebih mudah untuk bersosialisasi dalam lingkungan, menghindari konflik karena bersikap jujur dan berterus terang, serta dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi secara efektif. Perilaku tersebut
(1)
P88 205.33 408.167 .459 . .944 P89 205.54 408.517 .381 . .944 P90 205.68 401.691 .601 . .943 P94 205.72 405.085 .531 . .943 P95 206.61 405.418 .413 . .944 P97 205.43 408.543 .367 . .944 P99 205.75 408.659 .395 . .944
Lampiran E. Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Perilaku Cyberbullying
(Pertama)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized
Items N of Items
.791 .824 64
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
P1 134.81 174.157 .492 . .783
P2 134.79 171.897 .584 . .780
P3 134.78 177.010 .331 . .786
P4 134.19 176.784 .182 . .790
P5 133.37 181.878 .008 . .794
P6 134.40 176.213 .296 . .786
P7 133.97 175.074 .320 . .785
P8 134.49 177.567 .229 . .788
P9 133.44 186.668 -.185 . .801 P10 134.65 175.784 .353 . .785 P11 133.88 176.553 .187 . .790 P12 134.71 173.405 .560 . .781
(2)
P13 134.81 175.858 .446 . .784 P14 133.41 187.350 -.224 . .801 P15 134.53 175.805 .369 . .785 P16 134.51 172.970 .486 . .782 P17 133.99 177.268 .214 . .788 P18 134.19 182.127 -.001 . .794 P19 134.57 174.786 .391 . .784 P20 134.56 175.026 .441 . .784 P21 133.35 185.903 -.154 . .800 P22 134.31 173.918 .365 . .784 P23 134.72 174.294 .526 . .782 P24 134.69 175.441 .452 . .784 P25 133.06 184.683 -.118 . .797 P26 134.68 174.521 .452 . .783 P27 133.94 175.579 .234 . .788 P28 133.96 174.908 .296 . .786 P29 133.44 180.340 .080 . .792 P30 133.15 187.620 -.262 . .800 P31 133.96 176.043 .237 . .788 P32 132.94 191.131 -.437 . .804 P33 134.28 177.906 .207 . .789 P34 134.62 175.225 .417 . .784 P35 134.66 174.944 .446 . .784 P36 134.46 178.132 .198 . .789 P37 132.97 189.133 -.323 . .802 P38 134.59 175.529 .338 . .785 P39 134.53 175.716 .316 . .786 P40 133.81 175.918 .240 . .788 P41 133.59 179.798 .082 . .793 P42 133.99 172.940 .335 . .785 P43 134.03 172.835 .315 . .785 P44 134.46 174.371 .347 . .785 P45 134.57 175.412 .398 . .784 P46 132.97 191.313 -.412 . .805 P47 134.01 174.104 .310 . .785 P48 134.00 170.537 .416 . .782 P49 134.46 175.834 .304 . .786
(3)
P50 134.68 174.013 .524 . .782 P51 134.65 173.933 .490 . .782 P52 134.65 173.874 .476 . .783 P53 133.22 191.936 -.422 . .806 P54 133.44 183.414 -.060 . .797 P55 132.82 188.386 -.348 . .800 P56 134.57 174.159 .535 . .782 P57 134.22 171.398 .481 . .781 P58 134.21 168.136 .565 . .777 P59 134.60 175.198 .390 . .784 P60 133.99 170.582 .435 . .781 P61 134.49 175.179 .387 . .784 P62 134.26 177.571 .196 . .789 P63 132.99 189.328 -.347 . .802 P64 134.75 176.071 .453 . .784
Lampiran F. Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Perilaku Cyberbullying (Kedua)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized
Items N of Items
.956 .960 49
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
P2 78.34 334.229 .298 . .957
P3 78.28 333.471 .310 . .957
P4 78.66 333.249 .320 . .957
P5 78.64 333.174 .451 . .956
(4)
P7 79.14 331.960 .754 . .955
P8 78.86 332.409 .412 . .956
P10 78.92 332.565 .526 . .955
P11 78.92 328.565 .677 . .955
P12 78.68 334.957 .346 . .956
P13 78.12 336.557 .344 . .956
P14 78.62 331.506 .602 . .955
P15 78.76 330.472 .515 . .956
P16 78.68 332.834 .481 . .956
P17 78.76 331.696 .544 . .955
P18 78.96 327.549 .830 . .954
P19 78.86 328.653 .672 . .955
P21 78.62 336.608 .347 . .956
P25 78.96 329.917 .706 . .955
P26 78.84 328.790 .667 . .955
P27 78.90 329.112 .587 . .955
P28 78.36 331.704 .389 . .956
P29 78.94 325.445 .824 . .954
P30 78.86 324.858 .803 . .954
P31 78.50 330.173 .471 . .956
P33 79.04 331.182 .664 . .955
P34 78.88 326.149 .679 . .955
P36 78.80 332.980 .339 . .957
P38 78.80 332.490 .450 . .956
P39 78.80 331.755 .610 . .955
P43 78.80 329.918 .659 . .955
P44 78.82 327.824 .758 . .955
P45 78.90 329.520 .672 . .955
P47 78.80 327.347 .636 . .955
P48 78.52 335.438 .348 . .956
P49 78.74 326.278 .660 . .955
P50 78.36 330.276 .532 . .955
P51 78.60 329.102 .537 . .955
P52 78.84 325.892 .691 . .955
P53 78.76 325.574 .786 . .954
P54 78.88 327.577 .721 . .955
(5)
P56 78.54 331.927 .397 . .956
P57 78.92 327.626 .819 . .954
P58 78.90 334.378 .411 . .956
P59 78.62 330.036 .567 . .955
P61 78.70 331.561 .460 . .956
P62 78.76 334.594 .367 . .956
P63 78.86 329.592 .668 . .955
Lampiran G. Uji Normalitas Perilaku Asertif
Lampiran H. Uji Normalitas Perilaku Cyberbullying
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Asertif
N 192
Normal Parametersa,b Mean 156.25 Std. Deviation 13.273 Most Extreme Differences Absolute .076 Positive .076 Negative -.047
Test Statistic .076
Asymp. Sig. (2-tailed) .008c
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test CB
N 192
Normal Parametersa,b Mean 56.32 Std. Deviation 13.791 Most Extreme Differences Absolute .087
(6)
Lampiran I. Uji Linearitas
ANOVA Table Sum of Squares df
Mean
Square F Sig.
CB * Asertif
Between Groups (Combined) 18180.683 53 343.032 2.609 .000
Linearity 8635.458 1 8635.458 65.682 .000
Deviation from
Linearity 9545.225 52 183.562 1.396 .065
Within Groups 18143.296 138 131.473
Total 36323.979 191
Lampiran J. Uji Korelasi Perilaku Asertif dan Perilaku Cyberbullying
Correlations
Asertif CB
Spearman's rho Asertif Correlation Coefficient 1.000 -.482**
Sig. (1-tailed) . .000
N 192 192
CB Correlation Coefficient -.482** 1.000
Sig. (1-tailed) .000 .
N 192 192
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Positive .059 Negative -.087
Test Statistic .087
Asymp. Sig. (2-tailed) .001c
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.