Jati, sesuai dengan kelas perusahaannya karena KBD dan Bonita yang masih memungkinkan untuk ditanami jenis Jati. Selain itu untuk mengantisipasi
kerusakan hutan akibat pencurian kayu,maka ditanami juga jenis Jati yang berdaur pendek, yaitu Jati Plus Perhutani JPP dan jenis lain yang bernilai ekonomis
tinggi dan berdaur pendek, yaitu Fast Growing Species FGS, seperti: mindi, sengon, dan akasia.
4.7 Kegiatan Pemanenan Kayu
Kegiatan pemanenan kayu di KPH Nganjuk menggunakan sistem tebang habis permudaan buatan segera menanami kembali lokasi-lokasi yang dilakukan
tebang habis yang hanya boleh dilaksanakan pada areal hutan produksi. Jenis kayu yang dipanen di KPH Nganjuk adalah jenis Jati dan Rimba Sono brit,
tetapi yang lebih diutamakan adalah jenis Jati karena harganya lebih tinggi dibangdingkan dengan jenis Rimba.
Dua tahun sebelum dilaksanakan penebangan Jati, terlebih dahulu dilaksanakan teresan yaitu dengan membuat koakan melingkar yang dibuat rata
tanah serendah mungkin dari permukaan tanah sampai memotong jaringan kambium pada tanaman Jati dengan keliling minimal 40 cm dengan maksud agar
pada saat penebangan akan mendapatkan kayu yang kering udara sehingga kualitasnya baik dan ringan dalam pengangkutan. Seiring dengan kegiatan
tersebut dilakukan juga penomoran pohon yang yanga akan ditebang. Pengamatan langsung kondisi riil di lapangan terhadap penerapan K3
menunjukkan bahwa pihak perusahaan dan pekerja masih memiliki kesadaran yang rendah terhadap pentingnya perlindungan K3. Pihak manajemen perusahaan
belum menerapkan peraturan K3 dan juga belum menyediakan alat pelindung diri APD bagi pekerja sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan pemanenan di KPH
Nganjuk memiliki resiko kecelakaan kerja yang tinggi. Selain itu resiko kecelakaan kerja juga dapat dipengaruhi oleh kondisi topografi pada lokasi kerja
yang beragam, cuaca panas pada siang hari, resiko jatuhnya cabang dan ranting yang kering pada pohon yang di teres, dan kondisi lingkungan kerja yang buruk
ketika hujan sehingga pada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan dan sangat
berbahaya apabila dilakukan kegiatan, maka kegiatan tersebut diberhentikan untuk sementara waktu sampai kondisi kembali normal.
Kegiatan penebangan di KPH Nganjuk menggunakan chainsaw yang penggunaannya memiliki resiko kecelakaan kerja. Dalam hal ini sebenarnya ada
perhatian dari pihak perusahaan yang tertulis pada buku petunjuk kerja yang menganjurkan pemakaian alat-alat pengaman dan menyediakan kotak P3K
pertolongan pertama pada kecelakaan, tetapi pada kenyataan di lapangan ternyata belum demikian karena pekerja penebangan belum menggunakan alat-
alat pengaman dan kotak P3K juga belum tersedia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya perhatian dari pihak perusahaan terhadap
pentingnya perlindungan K3 bagi pekerja atau kurangnya kesadaran dari pekerja penebangan terhadap K3 keselamatan dan kesehatan kerja. Kondisi kegiatan
penebangan ditunjukkan pada Gambar 3. Penebangan yang dilakukan di KPH Nganjuk ada 4 jenis, yaitu Tebangan A,
tebangan B, tebangan D, dan tebangan E. Tebangan A merupakan kegiatan penebangan dengan sistem tebang habis permudaan buatan pada jenis Jati dengan
dilakukan teresan. Tebangan B merupakan kegiatan penebangan dengan sistem tebang habis permudaan buatan pada jenis Rimba tanpa dilakukan teresan.
Tebangan D merupakan kegiatan penebangan yang dilakukan karena adanya becana alam yang tidak terduga dan perlu untuk dilakukan tebangan, misalnya
pada pohon yang hampir roboh karena disambar petir. Sedangkan tebangan E merupakan kegiatan penebangan yang dilakukan dengan tujuan mengatur jarak
antar pohon agar diperoleh tegakan akhir dengan massa kayu yang sebesar- besarnya sesuai dengan tujuan pembangunan hutan dan kemampuan tempat
tumbuh yang bersangkutan, biasanya disebut dengan istilah penjarangan. Kegiatan penjarangan juga memiliki resiko kecelakaan kerja karena pekerja
penebangan berada di lokasi yang cenderung gelap dan kemungkinan besar dapat terjadi pemantulan arah rebah pohon. Selain pekerja tidak menggunakan peralatan
pelindung yang memadai, terdapat pekerja pada kegiatan penjarangan yang juga melakukan tindakan yang sangat beresiko, yaitu memotong batang pohon yang
tersangkut dengan posisi chainsaw berada di atas.
Sumber: koleksi pribadi Gambar 3. Kegiatan Penebangan Pohon
Menurut ILO 2002 apabila merobohkan pohon yang tersangkut pekerja tidak diperbolehkan melakukan hal-hal sebagai berikut: a bekerja dibawah pohon
yang tersangkut; b merobohkan pohon penahan; c memanjat pohon yang tersangkut; d memotong panjang pohon dari tunggak pohon yanmg tersangkut
kecuali untuk kayu kecil yang diameter dasarnya kurang dari 20 cm; e merobohkan pohon lain ke pohon yang tersangkut. Sedangkan metode yang aman
dilakukan terhadap pohon yang tersangkut adalah sebagai berikut: a memotong engsel secara tidak sama agar lepas dari poros pohon, kemudian gelindingkan
pohon tersebut menggunakan kabel atau kait pemutar yang memiliki ukuran dan kekuatan yang sesuai untuk melepas tajuk dari pohon dari pohon yang menahan,
menyebabkan batang pohon tersebut dari pohon meluncur ke bawah dari pohon yang menahannya; b mengungkit pohon pohon yang tersangkut dari arah
sandarannya, dengan menggunakan batang kayu yang kuat sampai pohon tersebut jatuh ke tanah. Kondisi kegiatan penjarangan di lokasi penelitian ditunjukkan pada
Gambar 4. Sebelum kegiatan penebangan dilakukan, terlebih dahulu ditentukan arah
rebah pohon dengan mempertimbangkan kerusakan pecah banting seminimal mungkin. Pada kenyataan di lapangan sering terjadi ketidak sesuaian arah rebah
pohon dengan rencana yang ditentukan. Hal ini disebabkan karena kondisi kemiringan pohon yang tidak sesuai dengan arah rebah yang ditentukan. Selain itu
hal tersebut dapat disebabkan karena kesalahan dalam membuat takik rebah dan takik balas.
Sumber: koleksi pribadi Gambar 4. Kegiatan Penjarangan Posisi Chainsaw Berada di Atas
Setelah pohon rebah, dilakukan pemangkasan cabang- cabang yang rata dengan batangnya dan kemudian dilakukan pembagian batang bucking dengan
prinsip menghimpun cat- cat di suat potongan batang kayu sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh nilai kayu yang setinggi- tingginya. Manajemen batang
per batang adalah urutan pelaksanaan pemotongan yang dimulai dari pangkal ke ujung, dengan tetap memperhatikan mutu kayu pada cabang yang dapat dipungut
untuk kayu pertukangan. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan potongan. berikutnya apabila ditemukan cacat pada permukaan bontos setelah dipotong.
Pada pembagian batang jati terdiri dari 3 sortimen kayu, yaitu: 1.
Sortimen kayu bundar kecil jati A I dengan panjang 0,40 m – 15,00 m dan diameter 4–19 cm.
2. Sortimen kayu bundar sedang jati A II dengan panjang 0,40–15,00 m dan
diameter 22–28 cm. 3.
Sortimen kayu bundar besar jati A III dengan panjang 0,40 –15,00 m dan diameter 30–130 cm.
Sortimen AI dan A II disebut juga dengan istilah kayu bundar tidak bernomor. Sedangkan untuk sortimen A III disebut juga dengan istilah kayu bundar
bernomor karena pada saat pembagian batang, sortimen A III diberi nomor batang.
Sumber: koleksi pribadi Gambar 5. Kegiatan Pemangkasan Cabang dan Pembagian Batang
Setelah pembagian batang selesai, maka dilakukan penyaradan yang dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Pekerja penyaradan melakukan
pemindahan batang tanpa menggunakan alat pelindung diri APD. Batang tersebut dipindahkan dengan cara dipikul secara perorangan dengan meletakkan
kayu di atas bahu pada batang dengan ukuran kecil sortimen A 1 sampai dengan sedang sortimen A II dengan diameter dan panjang tertentu yang masih dapat
dijangkau untuk dipikul. Batang yang berukuran besar A III dipikul secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih menggunakan alat bantu berupa batang
berukuran tertentu dan kawat yang dilingkarkan pada batang, disebut dengan istilah “ender”. Batang yang disarad biasanya dipindahkan dari areal tebang ke
tempat pengumpulan TP, tetapi batang yang ringan biasanya langsung dimuat ke atas truk. Hal ini menunjukkan bahwa pada kegiatan penyaradan di KPH Nganjuk
tergolong masih kurang memperhatikan K3 karena pekerja penyaradan melakukan kegiatan pemindahan kayu dengan menggunakan tangan dan peralatan bantu yang
digunakan masih sangat terbatas tanpa menggunakan APD. International Labour Organization 2002 menyebutkan jika
memungkinkan penyaradan secara manual harus menghindarkan pemindahan kayu dengan menggunakan tangan dan jika mengguanakan tangan, jarak harus
dijaga sependek mungkin dengan menggunakan suatu arah rebah yang tepat dan jaringan jalan sarad yang cukup dekat, penggunaan perkakas bantu seperti kait,
penjepit atau sapi-sapi. APD harus disediakan dan dikenakan sesuai dengan ketentuan dan Jika tidak ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan
hukum nasional, berat kayu yang harus ditangani dengan tangan oleh satu pekerja tidak boleh melebihi suatu tingkatan yang mungkin membahayakan keselamatan
atau kesehatan. Selain itu beban kerja yang melebihi kapasitasnya dapat mempengaruhi kesehatan pekerja Yovi et al, 2006.
Sumber: koleksi pribadi Gambar 6. Kegiatan Penyaradan Manual dengan Tenaga Manusia
Dipikul
Dalam melakukan penyaradan manual perlu memperhatikan teknik penyaradan yang benar. Para pekerja harus menjaga punggung mereka dalam
keadaan lurus dan menggunakan otot kaki mereka saat pengangkatan. Beban harus dijaga tetap dekat dengan tubuh dan dengan keseimbangan yang baik. Para
pekerja harus memilih jalan mereka hati-hati dan menghindari rintangan ILO, 2002. Sedangkan Pusat Kesehatan Kerja 2009 menyebutkan bahwa mengangkat
beban merupakan pekerjaan yang cukup berat, terutama teknik yang dilakukan tidak benar dapat berakibat cidera pada punggung. Pencegahan dapat dilakukan:
beban yang diangkat tidak terlalu berat, tidak berdiri terlalu jauh dari beban, tidak mengangkat beban dengan posisi membungkuk tapi hendaknya menggunakan
tungkai bawah sambil berjongkok, dan hendaknya menggunakan pakaian yang tidak terlalu ketat sehingga pergerakan tidak terhambat.
Sumber: koleksi pribadi Gambar 7. Kegiatan Pemuatan Kayu
Setelah kegiatan penyaradan dan pemuatan, maka dilakukan kegiatan pengangkutan yaitu memindahkan kayu dari TP ke TPK tempat pengumpulan
kayu dengan menggunakan truk. Truk yang digunakan untuk mengangkut kayu tersebut bukanlah milik Perhutani KPH Nganjuk, tetapi milik operator truk supir
itu sendiri yang sudah berpengalaman dalam mengoperasikan truk.
Sumber: koleksi pribadi Gambar 8. Kegiatan Pengangkutan Kayu
Pada kegiatan pengangkutan operator truk dalam melaksanakan kegiatan pengangkutan belum mematuhi peraturan lalu-lintas yang juga ada kaitannya
dengan K3 karena kesadaran yang kurang, maka operator truk mau menggunakan sabuk keselamatan hanya karena takut dengan adanya pemeriksaan polisi.
Sumber: koleksi pribadi Gambar 9. Kegiatan Pembongkaran Kayu
Setelah kayu sampai ke TPK, dilakukan pembongkaran yang dilakukan oleh pekerja penyaradan yang juga ikut ke TPK dan pekerja TPK sendiri. Kondisi
kegiatan pembongkaran kayu ditunjukkan pada Gambar 9.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN