Hubungan Panjang Berat Ikan Betok

31 Panjang maksimum ikan betok yang tertangkap di lokasi penelitian adalah 195 mm, lebih kecil ukurannya dari panjang maksimum ikan betok yang pernah dilaporkan pernah tertangkap di Indonesia yaitu 200 mm Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat I Jambi 1995, 250 mm www.fishbase.org, dan 350 mm Kuncoro 2009. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan lokasi penangkapan, keterwakilan contoh yang diambil, kondisi lingkungan, dan faktor genetis ikan itu sendiri. Selain itu, tingginya kerusakan perairan yang dialami Sungai Mahakam membawa dampak buruk bagi kondisi lingkungan disekitarnya, terutama bagi ikan - ikan yang hidup di dalamnya termasuk ikan betok Media Indonesia 2003. Kondisi tersebut membuat ikan betok harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, salah satunya dengan matang gonad pada ukuran yang lebih kecil. Hal tersebut mencerminkan bahwa perairan rawa banjiran Sungai Mahakam kurang menyediakan kondisi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan ikan betok.

4.3. Hubungan Panjang Berat Ikan Betok

Model persamaan hubungan panjang berat ikan betok jantan adalah W = 8 x 10 -5 L 2.6735 , dengan koefisien korelasi r sebesar 0.8725 dan ikan betok betina adalah W = 4 x 10 -5 L 2.8181 dengan koefisien korelasi r sebesar 0.9021, sedangkan model persamaan secara keseluruhan gabungan ikan jantan dan betina adalah W = 5 x 10 -5 L 2.7544 dengan koefisien korelasi r sebesar 0.8865 Gambar 6. Tingginya nilai koefisien korelasi yang mendekati 1 r 0.7 menunjukkan adanya hubungan yang erat antara panjang dan berat ikan betok baik ikan jantan, betina, maupun gabungan keduanya yang berarti pertambahan panjang ikan betok diikuti oleh pertambahan berat ikan itu sendiri Walpole 1992. Berdasarkan model pertumbuhan tersebut diatas, diperoleh koefisien regresi b untuk ikan betok jantan sebesar 2.6735 dan untuk ikan betok betina sebesar 2.8181. Nilai b ikan betina lebih besar daripada ikan jantan disebabkan karena ikan betina terdapat lebih banyak pada ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan Tabel 3 dan Gambar 5. Dari hasil uji t diperoleh nilai b ikan betok jantan dan gabungan keduanya berbeda nyata dengan nilai 3 b ≠ 3 sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhan ikan betok jantan dan gabungan keduanya adalah allometrik negatif b 3 yang berarti pertambahan panjang ikan lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan beratnya Lampiran 10. Sedangkan nilai b ikan betok betina tidak berbeda nyata dengan 32 W = 4E-05L 2.8181 R 2 = 0.8138 r = 0.9021 n = 165 20 40 60 80 100 120 50 100 150 200 250 Panjang Total mm B e ra t T u b u h g r nilai 3 b = 0 sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhannya adalah isometrik yang berarti pertambahan panjang dan beratnya seimbang Lampiran 10. Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan ikan betok memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yang berarti pertambahan panjang ikan lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Pola pertumbuhan ini juga ditemukan pada ikan betok di Danau Arang - arang provinsi Jambi Samuel et al. 2002. Adanya perbedaan pola pertumbuhan antara ikan betok jantan dengan ikan betok betina diduga disebabkan oleh frekuensi ikan yang tertangkap, ketersediaan makanan, jenis kelamin, serta TKG masing-masing ikan. Ditemukannya frekuensi ikan jantan yang lebih banyak tertangkap dengan ukuran kecil sampai sedang dibandingkan dengan ikan betina yang lebih sedikit tertangkap tetapi memiliki ukuran sedang sampai besar dengan perbandingan TKG antara ikan yang belum dan sudah matang gonad yaitu 1 : 1.2 pada ikan jantan dan 1 : 3.5 pada ikan betina serta ditemukannya jenis makanan yang berbeda diantara keduanya Haloho 2009 dapat mempengaruhi berat ikan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ikan itu sendiri. Gambar 6. Grafik hubungan panjang berat ikan betok jantan a, betina b, dan gabungan c di rawa banjiran DAS Mahakam a b c W = 8E-05L 2.6735 R 2 = 0.7612 r = 0.8725 n = 235 20 40 60 80 100 120 50 100 150 200 250 Panjang Total mm B er at T u b u h g r W = 5E-05L 2.7544 R 2 = 0.7858 r = 0.8865 n = 400 20 40 60 80 100 120 50 100 150 200 250 Panjang Total mm B er at T u b u h B T B e ra t T u b u h g ra m B e ra t T u b u h g ra m B e ra t T u b u h g ra m 33 Tabel 4. Hasil analisis hubungan panjang berat ikan betok jantan dan betina pada setiap stasiun penelitian Stasiun JK n Persamaan a b R 2 r Pola Pertumbuhan J 122 W = 0.00003L 2.8571 0.00003 2.8571 84.40 0.9187 Allometrik negatif Rawa B 87 W = 0.00003L 2.931 0.00003 2.9310 92.58 0.9622 Isometrik J 42 W = 0.00007L 2.6729 0.00007 2.6729 77.20 0.8786 Allometrik negatif Sungai B 29 W = 0.00001L 3.0143 0.00001 3.0143 71.84 0.8476 Isometrik J 71 W = 0.0001L 2.5665 0.0001 2.5665 66.78 0.8172 Allometrik negatif Danau B 49 W = 0.00008L 2.6656 0.00008 2.6656 69.86 0.8358 Allometrik negatif Berdasarkan Tabel 4 dan Lampiran 11, diperoleh nilai koefisien korelasi r ikan betok jantan dan betina pada masing-masing stasiun penelitian mendekati 1 r 0.7. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara panjang dan berat ikan betok baik untuk ikan jantan maupun ikan betina pada masing - masing stasiun penelitian yang berarti pertambahan panjang ikan betok diikuti oleh pertambahan berat ikan itu sendiri Walpole 1992. Selain itu, diperoleh juga hasil koefisien regresi b ikan jantan pada stasiun rawa, sungai, dan danau secara berurutan adalah 2.8571, 2.6729, dan 2.5665. Sedangkan nilai b ikan betina pada ketiga stasiun yang sama secara berurutan adalah 2.9310, 3.0143, dan 2.6656. Berdasarkan hasil uji t diperoleh nilai b ikan betok jantan pada ke-3 stasiun dan betina pada stasiun danau berbeda nyata dengan nilai 3 b ≠ 3 sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhan ikan betok tersebut adalah allometrik negatif b3 yang berarti pertambahan panjang ikan lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Sedangkan nilai b ikan betok betina stasiun rawa dan sungai tidak berbeda nyata dengan nilai 3 b=0 sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhannya adalah isometrik yang berarti pertambahan panjang dan beratnya seimbang Lampiran 12. Adanya perbedaan pola pertumbuhan jantan dan betina pada setiap stasiun diduga disebabkan oleh TKG, pemijahan, ketersediaan makanan, kondisi lingkungan, frekuensi hasil tangkapan, dan faktor genetik ikan itu sendiri. Menurut Effendie 1997, faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan antara lain jumlah ikan, ukuran dan jenis makanan yang tersedia serta kualitas air seperti suhu, oksigen terlarut, dll, sedangkan faktor dalam yang mempengaruhi dan pada umumnya sulit dikontrol adalah keturunan, jenis kelamin, umur, pengaruh genetik, parasit, dan penyakit. Makanan merupakan faktor yang lebih penting dari pada suhu perairan untuk pertumbuhan ikan di daerah tropik. Keberhasilan mendapatkan makanan 34 dan pertama kali ikan matang gonad dapat menentukan dan mempengaruhi pertumbuhan. Jika ikan tidak berhasil memperoleh makanan yang sesuai maka ikan tersebut akan cenderung memakan makanan apa saja yang ada disekitarnya sehingga kebutuhan asam amino protein yang dibutuhkan oleh tubuh ikan tidak terpenuhi dan menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat. Saat ikan mengalami kematangan gonad maka akan menyebabkan kecepatan pertumbuhan menjadi lambat karena makanan yang di konsumsi dan dicerna oleh ikan akan terlebih dahulu digunakan untuk perkembangan gonadnya. Selain itu, pemijahan juga mempengaruhi pertumbuhan karena pada waktu memijah pada umumnya ikan tidak makan sehingga pertumbuhan terhenti Effendie 1997. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda akan memiliki pola pertumbuhan yang berbeda karena faktor - faktor tersebut di atas. Nilai dari perhitungan panjang berat dapat memberikan keterangan mengenai reproduksi ikan betok. Dengan mengetahui hubungan panjang berat kita dapat mengetahui pola pertumbuhan ikan betok. Pola pertumbuhan ini dapat digunakan untuk menentukan faktor kondisi ikan betok, musim pemijahan, dan perubahan lingkungan Effendie 1997, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan pada stasiun rawa dan danau lebih stabil dalam mendukung kehidupan ikan betok di kawasan rawa banjiran DAS Mahakam. Hal tersebut dilihat dari tingginya persentase penutupan tumbuhan air dan frekuensi hasil tangkapan ikan yang matang gonad pada ke-2 stasiun dibandingkan dengan stasiun sungai Tabel 2 dan 3.

4.4. Faktor Kondisi Ikan Betok

Dokumen yang terkait

Kajian kebiasaan makanan dan kaitannya dengan aspek reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch) pada habitat yang berbeda di lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara Kalimantan Timur

0 30 250

Karakterisik Fenotip Morfometrik dan Genotip RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Ikan Betok Anabas testudineus (Bloch, 1792)

0 6 33

Keanekaragaman genetik ikan betok (Anabas testudineus Bloch) pada tiga tipe ekosistem perairan rawa di Provinsi Kalimantan Selatan

0 3 105

Evaluasi Waktu Pemberian Pakan Buatan Pada Larva Ikan Betok (Anabas Testudineus Bloch)

0 7 31

Studi perkembangan dan pematangan akhir gonad ikan betok (Anabas testudineus Bloch) dengan rangsangan hormon

0 4 98

PEMIJAHAN IKAN BETOK (Anabas Testudineus Bloch) YANG DIRANGSANG EKSTRAK HIPOFISA IKAN BETOK DENGAN RASIO BERAT IKAN DONOR DAN RESIPIEN BERBEDA

0 1 12

PEMIJAHAN IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch) YANG DIINDUKSI DENGAN EKSTRAK HIPOFISA AYAM BROILER

0 14 13

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch, 1792) DI WADUK SEMPOR, KEBUMEN BIOLOGICAL ASPECT OF REPRODUCTION OF CLIMBING GOURAMY (Anabas testudineus Bloch, 1792) IN SEMPOR RESERVOIR, KEBUMEN

0 0 15

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch, 1792) DI RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR [Reproductive biology of climbing perch (Anabas testudineus Bloch, 1792) in floodplain of Mahakam River, East Kalimantan]

0 1 15

Masyarakat Iktiologi Indonesia Morfologi, fisiologi, preservasi sel sperma ikan betok, Anabas testudineus Bloch 1792 dan ketahanannya terhadap kejut listrik

0 0 13