Etika Pariwara Indonesia PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

12 dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. Penggunaan kata ”satu-satunya” atau yang bermakna sama juga dilarang digunakan dalam iklan tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. Demikian juga penggunaan kata ”100”, ”murni”, ”asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber otentik. Penerapan Etika Pariwara Indonesia diberlakukan kepada setiap pelaku periklanan nasional, baik sebagai individu atau profesional, maupun sebagai entitas, atau usaha. Pengawasan pelaksanaan Etika Pariwara Indonesia dilakukan oleh lembaga pemantau, pengamat, atau pengawas periklanan serta masyarakat luas dan pamong. Penegakan dilakukan oleh Dewan Periklanan Indonesia DPI dengan membentuk organisasi internal yang bertugas khusus untuk itu. Disamping hal tersebut diatas, peran Dewan Periklanan Indonesia adalah menjalankan kemitraan dengan pamong dalam membina industri periklanan nasional. Sebagai bentuk komitmen dalam melindungi konsumen, industri periklanan mempunyai prinsip yang dinamakan swakarma self-regulation atau pengaturan diri sendiri. Rumusan tentang prinsip tersebut adalah jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum negara; sejalan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat serta mendorong persaingan, namun dengan cara-cara yang adil dan sehat. Etika Pariwara tahun 2005 menyatakan bahwa periklanan harus memenuhi tiga 3 asas, yaitu 1 jujur dan bertanggung jawab, dimana iklan tidak boleh menyesatkan, seperti memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui, memberikan janji yang berlebihan, dan menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat, 2 bersaing secara sehat, dimana penggunaan kata-kata yang berlebihan, perbandingan langsung, merendahkan produk lain baik langsung maupun tidak langsung dan peniruan harus dihindarkan, 3 melindungi dan menghargari khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. 13

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta pada periode Januari sampai dengan Desember 2009. Penilaian dilakukan pada dua 2 jenis media cetak tabloid, yaitu yaitu Nova dan Nakita, dan tiga 3 majalah, yaitu Femina, Kartini dan Ayahbunda. Kelima jenis media cetak tersebut dipilih karena banyak memuat iklan produk pangan. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1 Data sekunder hasil pengawasan iklan pangan di Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan; dan 2 Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan iklan pangan, yaitu a Undang-undang Pangan No. 7 tentang Pangan, b Undang-undang No. 8 tentang Perlindungan Konsumen, c Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman, d Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, serta e Surat Keputusan Kepala badan POM No. HK. 00.05.52.1831 tahun 2008 tentang Pedoman Periklanan Pangan.

3.3. Metode

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengevaluasi secara post-market iklan- iklan yang terdapat di lima media massa yang dipilih. Tahapan yang dilakukan adalah 1 mengambil seluruh iklan pangan yang diiklankan pada 5 media cetak yang dipilih selama periode Januari sampai Desember 2010 2 Mengumpulkan iklan produk pangan yang telah mempunyai nomor pendaftaran dan mendokumentasikan iklan pangan tersebut dengan alat pemindai scanner, 3 mengelompokkan iklan pangan berdasarkan 16 kategori pangan dan jenis pangannya; 4 menganalisis kesesuaian antara iklan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dengan menggunakan form penilaian iklan pangan 14 Lampiran 1; 5 Mengkategorikan iklan pangan tersebut menjadi iklan yang memenuhi ketentuan MK dan yang tidak memenuhi ketentuan TMK, dimana iklan pangan dikategorikan tidak memenuhi ketentuan MK jika iklan pangan tersebut melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 6 Mengelompok-kan jenis pelanggaran dalam lima 5 kategori seperti tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Kategori pelanggaran yang digunakan untuk mengevaluasi iklan pangan Kategori Pelanggaran Deskripsi Pelanggaran Iklan Kategori I Iklan pangan yang mencantumkan keterangan tidak benar dan menyesatkan, berhubungan dengan gizi, manfaat kesehatan dan keamanan pangan, yaitu: 1. Mencantumkan kata yang bermakna superlatif seperti super, paling, nomor satu, top, awalan ter- terbaik, termurni. 2. Mencantumkan kata Satu-satunya jika telah ada produk pembandingnya. 3. Mencantumkan kata jauh lebih . Kecuali apabila diban- dingkan dengan produknya sendiri dan pernyataan tersebut terukur serta bersifat obyektif. 4. Mencantumkan kata sehat, cerdas. pintar yang terkait dengan sebab dan akibat dari mengkonsumsi pangan yang diiklankan. 5. Mencantumkan kata aman,tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau tidak ada efek samping tanpa keterangan yang lengkap. 6. Mencantumkan keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut sumber energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan. 7. Mencantumkan kata-kata higienis, sanitasi,CPPB, dan lain- lain yang sudah merupakan keharusan dalam proses produksi pangan. 8. Mencantumkan keterangan-keterangan yang harus menda- patkan pembuktian secara ilmiah 9. Mencantumkan kata-kata, gambar dan memberikan janji jaminan. 10. Mencantumkan kalimat tanpa bahan pengawet.

11. Mencantumkan keterangan-keterangan lain yang dapat

menimbulkan gambaran yang menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan.