Faktor oseanografi yang mempengaruhi ukuran dan densitas ikan

Densitas ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, tetapi pada leg 8 yang berlokasi di Perairan Belawan densitas ikan demersal yang terdeteksi lebih tinggi dibandingkan dengan 13 leg lainya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kesuburan perairan pada lokasi tersebut, sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh BRPL 2004, disebutkan bahwa wilayah yang berlokasi di Perairan Belawan bagian yang mengarah ke Laut Andaman memiliki kesuburan perairan dominan tinggi dibandingkan lokasi lainnya di wilayah ini. Selain hal tersebut di atas perbedaan densitas ikan juga dipengaruhi oleh jenis ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan demersal yang ada di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Jenis ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau didominasi oleh jenis ikan-ikan yang lebih kecil dari family Scianidae, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan didominasi oleh ikan-ikan demersal yang lebih besar dari family Mullidae. Penyebaran densitas ikan demersal di daerah penelitian menunjukan penurunan kepadatan dengan bertambahnya kedalaman perairan. Ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau tersebar pada kedalaman 20-60 meter. Nilai densitas ikan demersal tertinggi terkonsentrasi di sekitar perairan dangkal Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat sedangkan nilai densitas rendah terdapat pada perairan yang lebih dalam Perairan Tanjung Balai Asahan. Menurut Pujiyati 2008, penyebaran densitas ikan demersal di perairan dangkal relatif tinggi, sedangkan di perairan dalam lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut di atas keberadaan ikan-ikan demersal dapat dihubunganya dengan metode operasi penangkapan ikan untuk mendapat daerah penangkapan ikan yang baik berkaitan dengan keberadaan ikan demersal. Daerah penangkapan ikan demersal yang baik di wilayah penelitian berada pada perairan dangkal dan jenis alat tangkap yang dapat dioperasikan pada wilayah tersebut adalah gillnet, dan jaring dasar lainnya.

5.2.3 Faktor oseanografi yang mempengaruhi ukuran dan densitas ikan

Suhu perairan di Selat Malaka pada umumnya menurun dengan bertambahnya kedalaman, sebaliknya salinitas meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Kondisi lingkungan perairan sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme yang ada di dalamnya, termasuk ikan. Suhu dan salinitas di Perairan Kepulauan Riau relatif rendah rata-rata 29,76°C dan 29,69 psu dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan rata-rata 29,70°C dan 32,11 psu. Kisaran suhu dan salinitas ini masih dapat ditoleransi oleh ikan untuk kelangsungan hidupnya, seperti diutarakan oleh Laevestu dan Hayes, 1981, bahwa lingkungan perairan yang disukai oleh ikan pelagis adalah perairan yang masih mendapatkan sinar matahari eufotik dengan kisaran suhu antara 28-30°C. Perbedaan suhu dan salinitas di kedua perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh letak geografis masing-masing daerah. Perairan Kepulauan Riau merupakan perairan dangkal terletak di tenggara Selat Malaka yang merupakan bagian sempit dari selat ini, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan merupakan perairan yang lebih dalam terletak di barat laut Selat Malaka dan merupakan bagian yang lebar dari selat ini. Berdasarkan nilai TS, baik ikan pelagis maupun ikan demersal tampak bahwa semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai TS cenderung meningkat. Hasil deteksi hidroakustik dan hasil tangkapan trawl menunjukan bahwa, ukuran ikan yang ada di Perairan Kepulaun Riau sebagian besar berukuran kecil, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan umumnya berukuran besar. Hal ini berarti bahwa ikan-ikan yang berada pada lokasi perairan dangkal memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan yang berada di perairan yang lebih dalam. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa ikan-ikan yang berukuran kecil selalu mencari makan di lapisan permukaan dan perairan dangkal yang memiliki suhu relatif hangat dan salinitas rendah, sebaliknya ikan yang berukuran besar mencari makan pada lapisan perairan yang lebih dalam dengan suhu rendah dan salinitis relatif tinggi. Densitas ikan mempunyai penyebaran yang berbeda dengan TS, yaitu semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai densitas ikan semakin rendah. Hal ini menunjukan bahwa densitas ikan lebih padat pada lapisan permukaan dan bagian perairan dangkal dan mulai menurun pada perairan yang lebih dalam. Densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau paling tinggi terdapat pada kedalaman 24-54 berbeda dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan yang memiliki kepadatan densitas ikan pelagis tertinggi pada strata kedalaman 4-14 meter. Suhu di Perairan Kepulauan Riau pada lapisan kedalaman dengan kepadatan densitas ikan tertinggi tersebut berkisar antara 29,53-29,64°C dan salinitas 29,87-29,89 psu. Kondisi demikian menunjukan bahwa ikan berusaha mencari lapisan perairan dimana mereka masih mampu untuk beradaptasi dengan perubahan suhu dan salinitas perairan, sebagaimana diutarakan oleh Laevastu dan Hayes 1981, bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil 0,03°C saja dapat menyebabkan perubahan densitas ikan. Kepadatan densitas ikan pelagis tertinggi, baik di Perairan Kepulauan Riau maupun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terkonsentrasi pada lapisan kedalaman 4 meter sampai 54 meter, dengan suhu berkisar antara 29,24- 29,76°C dan salinitas 29,69-33,06 psu. Hal ini disebabkan karena pada lapisan kedalaman tersebut mendapatkan masukan sinar matahari eufotik yang cukup untuk fitoplankton dalam melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen sebagai sumber kehidupan organisme laut terutama ikan. Densitas ikan demersal di Selat Malaka umumnya tinggi di perairan dangkal dan rendah pada perairan yang lebih dalam. Suhu dan salinitas di selat ini pada bagian dasar perairan rata-rata berkisar antara 29,24-29,53°C dan 29,89-33,07 psu. Kondisi lingkungan tersebut masih dapat ditoleransi oleh ikan demersal sebagai lingkungan hidupnya, sebagaimana diutarakan oleh Widodo in Affandi 1998, bahwa salinitas optimum bagi ikan demersal sekitar 33 psu. Umumnya ikan demersal tidak terlalu dipengaruhi oleh fluktuasi suhu maupun salinitas. Ikan demersal tidak akan melakukan ruaya hanya karena perubahan fluktuasi suhu dan salinitas, akan tetapi ikan demersal lebih dipengaruhi oleh kondisi substrat yang berpengaruh terhadap ketersediaan makanan Okonski in Gunarso, 1985. Penyebaran densitas ikan pelagis dan demersal di Selat Malaka secara horizontal dari barat laut Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan ke arah tenggara Perairan Kepulauan Riau cenderung semakin meningkat. Perbedaan densitas ikan tersebut, juga dipengaruhi oleh pola arus yang terjadi di selat ini. Pola dan sirkulasi massa air dominan yang bergerak ke arah barat laut Selat Malaka merupakan arus permukaan yang berasal dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan pada dua musim yang berbeda, walaupun demikian pada musim timur, massa air yang bergerak dari Samudera Hindia masuk ke Selat Malaka melalui Laut Andaman Wyrtki, 1961. Dua massa air tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda berupa suhu, salinitas dan zat-zat hara yang terkandung di dalamnya, karena wilayah perairan yang dilewatinya berbeda. Kondisi demikian menyebabkan sumberdaya ikan yang ada di dalamnya juga akan berbeda, baik densitas, jenis maupun pola penyebarannya Simbolon, 1996.

5.2.4 Penyebaran daerah penangkapan ikan