7 Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisasi dengan
baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau di jual di laut. 8
Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikomsumsi sendiri bersama keluarganya.
Dengan mendominasi 85 armada perikanan tangkap di indonesia, kontribusi nelayan skala kecil sangat besar dalam produksi perikanan tangkap
tetapi nelayan skala kecil masih diidentikan dengan kemiskinan. Banyak faktor yang menyebabkan nelayan kecil terbelenggu kemiskinan, selain faktor utama
keterbatasan permodalan dan teknologi ada faktor penghambat lain yang cukup penting yaitu terbatasnya informasi mengenai harga ikan. Informasi pasar hanya
dikuasai segelintir orang dengan hubungan patron-client, yakni nelayanburuh nelayan memiliki posisi tawar rendah dan cenderung dikendalikan juragan pemilik
modal atau pedangang pengumpul Dwihendrosono 2009. Sistem sosial budaya ini sudah melembaga pada masyarkat nelayan Kusumastanto 1997. Masyarakat
nelayan Kabupaten Halmahera Utara masih terjerat dalam persoalan sosial hubungan patron-client. Dibo-dibo dikenal sebagai pedagang pengumpul hasil
tankapan ikan nelayan. Dibo-dibo memberikan keperluan nelayan melaut biaya perbekalan. Konsekuensinya, nelayan jadi terikat kepada dibo-dibo sehingga
menyebabkan posisi tawar nelayan menjadi lemah. Pada umumnya dibo-dibo memiliki perekonomian yang lebih baik dikalangan masyarakat pesisir, sedangkan
nelayan pada posisi yang lemah hanya menerima pinjaman modal dan tidak bisa menguasai akses pasar.
2.5 Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
Masyarakat pesisir khususnya nelayan skala kecil masih terbelenggu kemiskinan. Kondisi ini lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial
ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan Nikijuluw 2002. Menurut Smith 1979 menyatakan bahwa
kekakuan aset perikanan fixity and rigidity of fishing assets merupakan alasan utama kenapa nelayan tetap bergelut dengan kemiskinan dan
sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang sulit untuk dilikuidasi
atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu
untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi
penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. Subade dan Abdullah 1993 menekankan bahwa nelayan lebih senang
memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan
pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya tidak dianggap sebagai masalah bagi meraka. Way of life
sangat sukar dirubah, maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam strategi kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa
saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu. Menurut Nikijuluw 2002, faktor-faktor utama penyebab kemiskinan
nelayan adalah 1 keterbatasan modal untuk mengembangkan usaha, keterbatasan permodalan dikarenakan tidak dimiliki akses ke pelayanan kredit, selain
kurangnya informasi mengenai perkreditan juga ketidakmampuan nelayan dalam memenuhi persyaratan dan ketentuan yang diajukan oleh pihak pemberi kredit;
2 Tingkat pendidikan rendah, sumberdaya manusia yang rendah merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan nilai tambah mengapa nelayan miskin
karena nelayan merasa tidak memerlukan pendidikan formal karena sebagian besar waktunya lebih banyak dihabiskan di laut; 3 pendapatan yang rendah,
karena nilai tukar nelayan yang rendah yang disebabkan komoditas yang mereka hasilkan dibayar murah.
Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan nelayan, pemerintah telah melakukan berbagai program yang salah satunya motorisasi armada nelayan
skala kecil. Program ini dikembangkan pada awal tahun 1980-an untuk meningkatkan produktivitas. Program motorisasi dilaksanakan di daerah padat
nelayan, juga sebagai respons atas dikeluarkannya Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan pukau harimau trawl. Program ini semacam
kompensasi untuk meningkatkan produksi udang nasional. Intervensi program pemerintah tersebut telah memberikan pengaruh peningkatan hasil produksi ikan
nelayan tradisional,
namun peningkatan
produksi tidak
semata-mata meningkatkan pendapatan nelayan. Hal ini disebabkan pola hubungan kerja antar
juragan dan buruh yang dibangun berdasarkan patron client masih melekat di sosial masyarakat nelayan. Para juragan masih menguasai akses pasar sehingga
posisi tawar nelayan menjadi lemah. Disadari atau tidak, program bantuan unit penangkapan ikan ternyata telah menguntungkan sekelompok orang saja
sedangkan kehidupan nelayan kecil masih terbelenggu kemiskinan. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan lembaga ekonomi lokal dan pendidikan diantara
kalangan nelayan kecil Dwihendrosono 2009. Pada saat ini bila ada program pemerintah untuk mengadakan armada
kapalperahu penangkapan ikan, atau bila ada rencana investasi oleh nelayan, harus atas asprasi atau permintaan nelayan Nikijuluw 2002. Hal ini sejalan yang
dinyatakan Pomeroy and Williams 1999, bahwa keberhasilan manajemen sumberdaya perikanan lebih bergantung pada keterlibatan atau partisipasi
pemegang kepentingan stakeholder. Jika nelayan adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut, biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan
tujuannya. Jika keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Menurut Nikijuluw 2002, ada lima pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan yaitu: 1 penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber
pendapatan lain bagi keluarga; 2 mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri
self financing mechanism; 3 mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna; 4 mendekatkan masyarakat
dengan pasar; serta 5 membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara
sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat nelayan.
3 METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian