lxxx L sangat percaya pada sahabatnya, karena dengan sahabatlah kita membagi
semua masalah pada sahabat. L tidak pernah menutup-nutupi masalah yang sedang di alaminya, walaupun L lebih sering menceritakan masalah kuliah,
namun tidak menutup kemungkinan L untuk menceritakan masalah yang lain ada sahabatnya. Bukti kepercayaan L pada sahabatnya adalah, dengan L
menceritakan semua masalah yang sedang L rasakan pada sahabatnya. Dengan tidak adanya masalah yang di tutup-tutupi menurut L itu adalah
sebuah kepercayaan kita pada sahabat.
L menerima kekurangan dan kelebihan dari sahabatnya, baik dalam keadaan senang maupun susah. Bila sahabat L sedang merasa senang L juga
merasakannya, karena di antara mereka semua masalah baik senang maupun tidak akan di ceritakan. Ketika perasaan sahabat sedang susah L
juga merasakannya, begitu juga sahabat L. Bila sahabat L sedang terkena musibah sebisa mungkin L membantunya, dan ikut merasakan kesusahan
yang di alami oleh sahabatnya.
d. Kegiatan Bersama dan Kontak Fisik
Kegiatan yang sering di lakukan L dengan sahabatnya adalah pergi keperpustakaan utama, dan belajar bersama. L lebih sering melakukan
kegiatan kuliah bersama, dibandingkan melakukan kegiatan di luar kuliah
lxxxi seperti, olahraga, jalan-jalan ke mall itu belum di lakukannya. Namun suatu
saat menurut L itu akan di lakukan.
“kita berdua jarang melakukan kegiatan bersama kecuali masalah kuliah, itu di karenakan rumah kita berjauhan, mungkin kalau saya satu kosan pasti
semua kegiatan kita lakukan bersama”. L sangat ingin melakukan kegiatan apapun bersama, namun tidak harus di
lakukan bersama-sama yang paling penting bagaimana kita menjaga perasaan dan kepercayaan pada sahabat sahabat kita.
Ketika L, bertemu di jalan dengan sahabatnya L selalu berjabat tangan dan cium pipi kanan dan kiri. Itu selalu L lakukan, ketika hendak pulang kerumah
dari kampus atau setelah jam kuliah berakhir. Menurut L itu berarti menambah rasa kedekatan dalam persahabatnya.
e. Manfaat dan Tujuan Persahabatan
“Sahabat adalah orang yang mau menerima dan memahami kita apa adanya, dan menjadi pendengar yang baik”
Dengan adanya sahabat kita bisa mengetahui di mana kelemahan kita dan sahabat jugalah yang memberikan saran dan masukkan kepada kita saat kita
salah atau melakukan kesalahan. Atau lebih sering sahabat adalah orang yang memberikan dukungan pribadi. Sahabat merupakan sumber yang
secara terus-menerus bermanfaat untuk membantu seseorang mengatasi
lxxxii persoalan yang di hadapinya, seperti dukungan emosional dan moral.
Dukungan praktis. Pertolongan materi dan lain-lain, sama halnya seperti pernyataan Lobel 1994: 33.
L juga bilang bahwa manfaat sahabat itu banyak 1. Mengingatkan kita di saat kita salah, 2. Menegur kita di saat kita salah dan 3. Jika kita punya masalah
bisa di ceritakan kepada sahabat selain dengan orangtua. Sahabat itu penting merut L, karena kita tidak bisa hidup sendirian di Dunia ini, walaupun
nantinya jika kita meninggal tidak dengan sahabat. L mengatakan di dunia ini tidak ada yang bisa sendiri pasti membutuhkan seseorang untuk
mendampinginya entah itu sahabat, teman, orangtua dan lain sebagainya. Yang paling terpenting sahabat adalah orang yang bisa mengerti kekurangan
dan kelebihan diri kita.
L memiliki misi khusus dalam bersahabat yaitu mendapat banyak teman dimanapun L berada. L juga pernah memikirkan untuk mengajak sahabatnya
mengaji Al’ Qur’an bareng di majlis ta’lim dan dzikir Thariqat Al-Idrisiyyah bersamanya. L merasa bahwa bersahabat tidak hanya beruntung dalam hal
psikologis dalam bersahabat, tetapi ada manfaat akademik. Ketika kita tidak masuk kuliah, sahabatlah yang lebih memberikan penjelasan detail pada L.
Gambaran Penyesuaian Diri L
lxxxiii Walaupun L mengenakan cadar, penyesuaian diri L bagus terbukti pada saat
peneliti sedang mewawancarai L, L banyak menyapa teman-temannya termasuk menyapa teman laki-lakinya “kita rapat yah sekarang?” L berkata
kepada teman laki-lakinya bahwa L tidak bisa ikut karena ada keperluan sebentar. Dan ketika peneliti melanjutkan wawancara, Dosen L
memberitahukan pada L bahwa hari kamis libur. Dari situ sudah terlihat bahwa mengenakan cadar bukan berarti menutup diri dan tidak memiliki
teman atau sahabat. Penyesuaian diri L terhadap, peneliti juga baik. L selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti dengan senang dan terbuka.
“Memakai cadar bukan berarti tidak gaul kan kak? dengan nada riang dan sambil tersenyum”.
L juga meyakinkan diri sendiri kalau ia mampu menyesuaikan diri dengan semuanya, meyakinkan orangtua bahwa mengenakan cadar bukan berarti
tidak memiliki teman dan di jauhi teman.
L merasa bahwa hidup di dunia harus bisa menyesuaikan diri dengan baik, kepada siapapun dan di manapun kita berada.
“Bercadar bukan berarti harus mejauhi semua teman-teman yang tidak mengenakan cadar”,
dengan nada yang cukup jelas, L menerangkan kepada peneliti. Penyesuaian diri yang di lakukan oleh L termasuk penyesuaian diri yang efektif dan normal
lxxxiv karena mampu menyesuaiakan diri dan menghindari ekspresi emosi, mampu
belajar dan mampu mengembangkan kwalitas dirinya. L sadar bahwa hidup di dunia harus bisa menyesuaikan diri dengan siapapun bergaul termasuk
dengan laki-laki, asalkan tahu batasan mana yang di larang oleh agama antara hijab laki-laki dan perempuan.
L merasa penyesuaian diri, L sudah maksimal. Dan L selalu menyakinkan dirinya bahwa orang yang bercadar juga bisa menyesuaikan diri dengan baik,
sehingga semua orang juga senang bergaul dengan orang yang mengenakan cadar, sekalipun itu dengan laki-laki. Akan tetapi kita tahu
aturan dan rambu-rambu yang memang telah di terapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Dari analisa L, secara umum dapat di simpulkan: a. Gambaran persahabatan yang dilakukan oleh L adalah persahabatan
asosiatif seperti yang di paparkan Reisman dalam Hays, 1988:28. Persahabatan asosiatif adalah persahabatan yang tidak mendalam dan
bersifat umum. Biasanya, persahabatan ini bertahan karena adanya kondisi yang membuat mereka sering bertahan adanya kondisi yang
membuat mereka sering bertemu dan berada bersama-sama.
lxxxv b. Gambaran penyesuaian diri yang di lakukan oleh L tergolong dalam
penyesuaian diri yang di sebutkan oleh Schneiders, 1964 dalam Yusuf, 2004: 27 adalah, sebagai berikut:
1. Mampu belajar, mampu mengembangkan dirinya, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi
masalah sehari-hari. 2. Mampu menerima kenyataan hidup yang di hadapi secara wajar.
4.2.2. Subyek 2 A Hasil Observasi terhadap Subyek
Pada saat A di wawancarai, A mengenakan baju kurung Blus warna coklat, rok berwarna coklat, manset berwarna coklat, dan mengenakan
kerudung+cadar warna coklat. A memiliki tinggi badan sekitar 159 cm dan berat badan 45 kg. Wawancara di
lakukan pada tanggal 09 Februari 2008, pukul 15.00 WIB di Ruang tamu di rumah subyek, di daerah Roxy Mas. Pada saat wawancara berlangsung
suasana rumah sepi dan nyaman untuk melakukan tanya jawab, namun karena rumah A berdekatan dengan rel kereta sesekali ada suara kereta.
Tetapi keadaan di buat sedemikian santai sehingga subyekpun merasa nyaman. Selama wawancara berlangsung A tidak banyak melakukan
gerakan, hanya sesekali memasukkan tangannya kedalam kerudungnya. A
lxxxvi cukup lancar dalam menjawab semua pertanyaan dari Peneliti dan kata-
katanyapun cukup jelas, tidak berbelit-belit. Jawaban A pun mengalir seperti sedang mengobrol biasa pada seorang teman. Wawancara kedua di lakukan
di Halaman Mesjid Fathullah pada pukul 09.00- 11.30 WIB, pada tanggal 10 Februari. A sangat ramah dan terbuka kepada siapapun bahkan pada orang
yang baru di kenal. Intonasi suara A juga cukup jelas dan lantang. Wawancara di lakukan kurang lebih 2 jam, di mulai sekitar pukul 15.00 dan
berakhir pada pukul 17.30 WIB.
Gambaran Penggunaan Cadar
A mengenal cadar sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiah setingkat SMP kelas 1, pada saat itu A bersekolah Pesantren Tharikat Fatimah Al-
Idrisiyyah yang semua muridnya mengenakan cadar. Namun ketika itu A belum mengenakan cadar, hanya sesekali saja dan pada saat-saat tertentu
pengajian di pesantren. Bahkan ketika A pulang ke rumah orangtuanya dari pesantren A tidak mengenakan cadar. Setelah lulus Madrasah Tsanawiah, A
melanjutkan sekolah di tempat yang sama dan baru terpikirkan oleh A untuk mengenakan cadar, sampai akhirnya A memutuskan untuk mengenakannya.
Namun, A mengenakan cadar pada pertengahan kelas 2 Madrasah Aliyah atau kurang lebih ketika A berusia 16 tahun. Pada saat itu A mengetahui apa
yang akan terjadi kemudian hari mengenai resiko yang harus di hadapi bila mengenakan cadar. Ibu, Ayah, dan kakak-kakaknya tidak setuju ketika A
lxxxvii memutuskan untuk mengenakan cadar. Namun ada satu orang kakak yang
mendukungnya, yaitu kakak ke-2 A. Dan mereka yang tidak setuju A mengenakan cadar mengungkapkan bahwa A terlihat lebih cantik apabila
memakai kerudung biasa.
Ketika itu A mulai memikirkan apakah mengenakan cadar atau mengenakan kerudung biasa saja. Dalam hati A pun berpikir bahwa setiap manusia butuh
di puji, di sanjung dan sebagainya. Namun A mengatakan itu hanya nafsu belaka yang ada di Dunia, menurut A
“bukan hanya istri-istri nabi yang harus menutup seluruh auratnya, namun seluruh wanita muslim juga wajib menutup seluruh auratnya”.
Ada peperangan dalam hatinya, antara mengenakan cadar dan tidak, namun setelah A konsultasi dan meminta saran kepada Syeh guru “yang tidak mau
di sebutkan identitasnya” yang biasa di panggil A, A memantapkan hatinya untuk mengenakan cadar. Dan setelah A berkonsultasi dengan kakak ke 2 A
ternyata sang kakak pun setuju dan mendukung A untuk mengenakan cadar. Dari situlah kemantapan hatinya untuk eksis mengenakan cadar.
“Pertama kali saya memakai cadar ya karena kesadaran diri dan timbul dalam hati, bahwa setiap wanita muslim wajib menutup seluruh auratnya, dan
Bismillahirohmannirohim, lalu saya memakainya” Dengan lantangnya A mengatakan itu kepada peneliti. ”Alhamdulillah” A bisa
mengatasi semua ini pemakaian cadar sampai akhirnya semua bisa menerima A sampai sekarang. Memang pada awalnya tetangga A
lxxxviii memandang aneh dan anak-anak kecil takut bila melihat A, namun lama-
kelamaan semua lingkungan rumah A bisa menerima A apa adanya seperti sekarang. A melakukan ini tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun,
melainkan dari dalam dirinya yang kuat. Bahkan kakak ipar A juga mengenakannya, dan A sering berdiskusi dengan kakak iparnya tersebut
mengenai cadar. A melakukan pengajian 1 minggu 2 kali, hari Jum’at dan Ahad di rumah dan
di daerah harmoni, untuk membahas masalah tentang pakaian dan membaca Al-Qur’an untuk memantapkan hatinya. A mengenakan cadar dari lubuk hati
yang paling dalam dan A mengenakan cadar karena memang dalam Al- Quran. A juga tahu ada beberapa pendapat tentang aurat wanita itu tidak
termasuk muka dan telapak tangan, namun setelah di kaji dan kaji lebih dalam A menemukan surat yang benar-benar membuktikan bahwa aurat
wanita itu adalah dari ujung kaki sampai kepala, termasuk muka dan telapak tangan.
“kakak baca deh surat Al- Ahzab Ayat 59, disitu ada penjelasan tentang jilbab dan penggunaannya. Jilbab itu kan dipakenya harus menutupi kepala sampai
menutup muka dan dada biar kalo di luar ngga di ganggu tapi gampang dikenali”.
Dari petunjuk Al-Quran dan Guru, A merasa mantap untuk mengenakan cadar. Pertama kali A mengenakannya, sering di cela oleh orang-orang
terutama tetangganya. “ A kenapa sih ko pake gituan?”. Bahkan anak-anak
lxxxix kecil di rumah A takut, bahkan sampai ada yang menangis melihat A seperti
itu. Berkat dukungan dan arahan yang kuat dari Syekh Guru, A berani menghadapi semua ini, meskipun lingungan rumah A kurang baik dan kurang
sehat A tetap mengenakannya.
Sedangkan di lingkungan kampus, ada yang memandang aneh. Bahkan ada teman A yang sampai memanggil A, dan bilang kalau dia suudzon melihat A
seperti teroris.
Pada saat itu pula A menjelaskan kepada teman A bahwa orang yang mengenakan cadar bukan berarti tidak memiliki teman laki-laki dan bukan
berarti tidak bisa menyesuaikan diri dengan yang lain. Tekad itu yang menjadi senjata utama bagi A,
“Saya percaya kalau saya bisa menyesuaikan diri dengan baik terhadap teman-teman saya, siapapun dia”.
Meskipun banyak persepsi negatif mengenai dirinya, A tidak terlalu memikirkannya, menurut A lebih baik selalu berpikir positif dari pada
menanggapi hal-hal negatif tersebut. A selalu berfikir bahwa setiap manusia memiliki keimanan dan kepercayaan
masing-masing. “Kenapa saya seperti ini dan kenapa saya mengenakan cadar yah inilah
keimanan saya”.
xc A tidak pernah memaksakan kalau semua wanita muslim harus bercadar.
Lagi-lagi A, berkata “itu tergantung keimanan masing-masing Nafsi-nafsi saja lah tentang berpakaian”, karena kita sudah tahu dalam Al-quranpun sudah di
berikan penjelasan yang jelas dalam hal berpakaian.
Gambaran Persahabatan
A di kampus mempunyai 4 orang sahabat Y, R, A, N, yang menurutnya amat cocok dalam segala hal, dan usia semua sahabat A juga sama dengan A.
Sahabat A juga berada dalam Fakultas yang sama dan kelas yang sama dengan A. Namun A lebih dekat pada satu sahabat, yaitu Y. A bersahabat
dengan sahabatnya sejak masuk kuliah pada saat propesa, A lebih sering bersama dengan Y daripada ketiga sahabatnya yang lain, sampai saat ini
semester 4 masih bersahabat. A bersahabat dengan Y kurang lebih selama 2 tahun, A memilih Y karena, karena A merasa Y sama dengan A. Dari segi
Finansial, Fisik, dan kehidupan keluarga. Bahkan ketika A belum membayar uang spp, sahabat A juga belum membayarnya. Dari situlah A merasakan
ada kecocokan dan kemiripan sifat dan keadaan keuangan keluarga mereka. Keduanya saling memberikan masukakan dan mengakui bila ada kesalahan,
keduanya bisa menerima dengan senang hati. Dari situlah A merasa nyaman dengan Y meskipun mereka sangat jauh berbeda dari segi berpakaian, dan
jarak rumah mereka. A juga merasa nyaman bila menceritakan semua masalah pada Y.
xci A merasa nyaman bila bercerita dengan Y, daripada harus bercerita dengan
ketiga sahabatnya. Bukan berarti ketiga sahabatnya itu tidak di ceritakan tetapi hanya sebatasnya saja, tidak mendetail seperti A menceritakan kepada
Y. Gambaran persahabatan yang dilakukan oleh A adalah persahabatan timbal balik seperti yang di paparkan oleh Reisman dalam Hays, 1988:28.
Persahabatan timbal balik seperti ini hubungan akan menjadi lebih dekat secara emosional dan terikat dalam waktu yang lama.
a. Pembentukan Persahabatan
Ketika pertama kali bertemu dengan Y di Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan, Jurusan Bahasa Arab, dan ketika itu keduanya 1 kelompok dalam
propesa ospek maahasiswa baru. Pertama kali A merasa dekat dengan Y, karena mereka berdua sering pulang bareng saat propesa.
Dan ketika kuliah di mulai, ternyata A dan Y satu kelas, yah di teruskanlah pertemanan mereka sampai ke jenjang persahabatan. A dan Y sering
mengerjakan tugas kuliah berdua dan sering menjadi pemakalah berdua, bahkan ada salah satu dosen yang menyebutkan di mana ada A di situ ada
Y, dari situlah awal kecocokan mereka. Sama halnya seperti yang di sebutkan oleh Berg dan Archer dalam Fehr, 1996: 29 seberapa sering kita
bertemu dengan seseorang, apakah terdapat ketergantungan kepada seseorang tentang suatu hal, serta apakah tersedianya “temapt” untuk
xcii membentuk hubungan persahabatan pada masing-masing pihak yang terlibat
dalam interaksi.
Y memahami A, bahkan dari segi berpakaian Y tidak merasa aneh. A dan Y menerima, memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tidak ada
perasaan risih atau canggung walaupun A mengenakan cadar dan Y tidak bercadar.
Alasan utama A memilih Y, karena Y bisa memahami dan menerima kekurangan dan kelebihan A. Begitupun juga sebaliknya, bahkan mereka
berdua sudah seperti saudara. Begitupun dengan keluarga sahabatnya, A sangat dekat bahkan sudah seperti anak dan orangtua sendiri. Keluarga
sahabat A, bisa menerima A apa adanya dan tidak pernah aneh dengan penampilan A yang mengenakan cadar.
b. Keterbukaan Diri dan Kepercayaan