Analisis Pembebanan Lalu Lintas pada Perencanaan Jalan Perintis.
HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN
ANALISIS PEMBEBANAN LALU LINTAS PADA
PERENCANAAN JALAN-JALAN PERINTIS
Studi Kasus: Jalan Lingkar Barat-Selatan Nusa Penida, Bali
Nama Peneliti:
Dr. Ir. I Wayan Suweda, MSP. MPhil. Ir. Nyoman Widana Negara, MSc.
Kadek Arisena Wikarma, ST. I Putu Bela Yusdiantika, ST.
Program Studi Magister Teknik Sipil Program Pascasarjana
(2)
KATA PENGANTAR
Rasa syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Wihi Wasa
menyelimuti kami, karena atas karuniaNya penelitian dengan judul “ANALISIS
PEMBEBANAN LALU LINTAS PADA PERENCANAAN JALAN-JALAN PERINTIS, Studi Kasus: Jalan Perintis sebagai Lingkar Barat-Selatan Nusa Penida, Bali” dapat terselesaikan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mempersiapkan suatu metode pembebanan lalu lintas dalam perencanaan jalan pengembangan wilayah melalui pembangunan infrastruktur jalan di Nusa Penida, sehingga dapat diajukan untuk memperoleh bantuan dana pembangunan, baik dari Pemerintah Daerah tingkat I Provinsi Bali maupun dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian, harapan masyarakat untuk memiliki jalan melingkar di Nusa Penida dapat terwujud.
Penelitian ini didanai dari Hibah Penelitian Ketekniksipilan, Program Studi Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Udayana. Untuk itu, pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada ketua dan Pengurus Program Studi Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Udayana Bapak Alit Suthanaya, ST., MEng.Sc., Ph.D. dan staf yang telah menyetujui Dana Hibah Pascasarjana untuk dimanfaatkan dalam penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Penelitian ini, baik pada saat tahapan survai data maupun dalam proses penyusunan laporannya.
Akhir kata, semoga laporan Penelitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Terima kasih.
Denpasar, September 2015
(3)
ABSTRAK
ANALISIS PEMBEBANAN LALU LINTAS PADA PERENCANAAN JALAN-JALAN PERINTIS Studi Kasus: Jalan Lingkar Barat-Selatan Nusa Penida, Bali
Luas wilayah Kecamatan Nusa Penida sekitar 20.284 ha hampir dua kali lipat dibandingkan luas 3 kecamatan kabupaten Klungkung lainnya yang berlokasi di Bali daratan (11.216 Ha). Namun, kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan pembangunannya sangat tertinggal. Disparitas antar wilayah ini dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah “keterisolasian” wilayah Nusa Penida yang ditandai dengan rendahnya tingkat aksesibilitas ke kawasan yang terpisahkan oleh selat ini. Keterbelakangannya terlihat jelas, apalagi di wilayah Nusa Penida bagian Barat dan Selatan yang berbukit dengan pantai yang bertebing curam. Untuk itu perlu direncanakan dan dibangun jalan perintis/pioneering yang melingkar dari wilayah Barat dan Selatan, untuk meningkatkan aksesibilitas terutama kebagian wilayah Utara yang memiliki banyak pelabuhan menuju Pulau Bali daratan.
Secara geografis, lokasi Nusa Penida relatif dekat dengan objek-objek wisata yang sudah mendunia, seperti Sanur, Nusa Dua, Kuta, Gianyar dan Kota Denpasar. Apalagi dari ketersediaan lahan masih sangat luas dan alamiah dengan harga yang relatf rendah. Disisi lain, wilayah ini memiliki banyak objek-objek wisata menarik yang masih terisolasi sepanjang pantai Barat dan Selatan. Semua ini tentunya akan memberikan prospek pengembangan wilayah yang pesat apabila aksesibilitasnya ditingkatkan.
Dalam prediksi pembebanan lalu lintas pada rencana jalan perintis Nusa Penida ini tentunya tak dapat semata-mata didasarkan atas bangkitan perjalanan eksisting yang sangat kecil. Sementara ini belum adanya jaringan jalan eksisting yang memadai hanya jalan-jalan lokal dengan kontur jalan setapak dan kalaupun diperkeras relatif sudah rusak tanpa adanya pemeliharaan. Bangkitan perjalanan eksisting yang sangat kecil namun berprospek untuk berkembang pesat dikemudian hari membutuhkan asumsi-asumsi dan metode pembebanan tersendiri, untuk mengantisipasi perkembangan sesuai dengan umur rencana jalan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nusa Penida. Untuk itu dikembangkan metode analogi dengan wilayah yang mempunyai karakteristik masyarakat dan jaringan jalan yang sama. Metode analogi dikembangkan melalui studi banding terhadap wilayah Bali lainnya yang juga berkapur dengan kawasan wisata sejenis. Untuk tahun eksisting (Nusa Penida belum dilewati jalan berkelas/hanya jalan setapak) bangkitan perjalanan zona yang berbasis desa relatif analog dengan Desa Pecatu di wilayah Bukit tahun 2000, yaitu setiap penduduk rata-rata melakukan perjalanan 0,34 orang-perjalanan/hari. Sedangkan, untuk prediksi tahun 2020 dimana jalan lingkar Nusa Penida diasumsikan sudah selesai, masyarakat sudah jauh lebih berkembang dan perjalananpun semakin meningkat. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan Desa Jimbaran tahun 2000 dengan lintasan utama jalan By-pass Ngurah Rai dengan perjalanan per penduduk meningkat dua kali lebih, yaitu 0,81 orang-perjalanan/hari. Dengan demikian, sesuai perkembangan wilayah Nusa Penida dimasa depan maka dapat diprediksi bahwa lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang membebani jalan perintis di awal Umur Rencana (2020) adalah 5.800,62 smp/hari dengan volume jam sibuk sebagai Volume Jam Perencanaan (VJP) sebesar 725,08 smp/jam. Sedangkan, bangkitan perjalanan yang harus diakomodasi jalan perintis diakhir Umur Rencana jalan (2045) sudah mencapai 37.576,31 smp/hari dengan volume jam sibuk/VJP 4.697,05 smp/jam. Dengan asumsi kondisi lingkungan yang masing perdesaan, maka kapasitas jalan 2/2UD didaerah perbukitan tersebut adalah 2.910 smp/jam. Selanjutnya, dari analisis pembebanan dan kapasitas jalan menunjukkan bahwa tahun 2038 jalan perintis Nusa Penida sudah harus diperlebar dari 2 lajur menjadi 4 lajur untuk melayani lalu lintas pada ke-2 arahnya.
(4)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Maksud, Tujuan dan Sasaran Penelitian ... 2
1.4 Skope Penelitian ... 3
1.5 Lokasi Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Umum ... 5
2.2 Penetapan Sistem Zona dalam Perencanaan Pembebanan Jalan ... 5
2.3 Sistem Transportasi Makro ... 8
2.3.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi ... 8
2.3.2 Sistem Jaringan atau Prasarana Transportasi ... 8
2.3.3 Sistem Pergerakan atau Arus Lalu Lintas ... 8
2.3.4 Sistem Kelembagaan atau Institusi ... 9
2.4 Prinsip-prinsip yang Mendasari Interaksi Sistem Aktivitas/Tata Guna Lahan (TGL) dan Sistem Jaringan/Transportasi ... 10
2.5 Perkiraan Arus Lalu Lintas ... 13
2.5.1 Bangkitan Perjalanan ... 15
2.5.2 Distribusi Perjalanan ... 16
2.5.3 Pemilihan Moda Perjalanan ... 17
2.5.4 Pemilihan Rute ... 18
2.6 Konsep Pembebanan Lalu lintas pada Jalan-Jalan Perintis ... 20
BAB III METODE PENELITIAN ... 24
3.1 Umum ... 24
3.2 Tahapan dan Diagram Alir Penelitian ... 24
3.3 Survei Geometri Jalan Eksisting ... 26
3.4 Survei Lalu Lintas ... 27
3.4.1 Survei Volume Kendaraan ... 27
(5)
3.5 Bangkitan Perjalanan Nusa Penida ... 27
3.5.1 Pengembangan Model Bangkitan Perjalanan pada Zona Berbasis Desa ... 27
3.5.2 Pengembangan Model Bangkitan Perjalanan pada Zona Berbasis Pelabuhan ... 28
3.5.3 Pengembangan Model Bangkitan Perjalanan pada Zona Kawasan Efektif Pariwisata (KEP) ... 29
3.6 Proyeksi Bangkitan Perjalanan Nusa Penida ... 29
3.6.1 Tingkat Pertumbuhan Bangkitan Perjalanan ... 29
3.4.2 Analisis dan Peramalan Lalu lintas di Nusa Penida ... 30
3.7 Proyeksi Pembebanan Lalu Lintas pada Ruas Jalan Perintis Nusa Penida ... 30
3.8 Kesimpulan dan Saran-saran dari Studi Kasus Penelitian ... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
4.1 Sistem Zona dalam Pemodelan Wilayah Pengaruh (WP) Jalan ... 32
4.2 Jaringan Jalan dan Jarak Antar-Zona ... 37
4.3 Kondisi Lalu Lintas Eksisting di Nusa Penida ... 41
4.3.1 Volume Jam Sibuk dan Lalu Lintas Harian Rata-Rata ... 41
4.3.2 Komposisi Arus Lalu-Lintas ... 42
4.3.3 Kecepatan Perjalanan ... 42
4.4 Bangkitan Perjalanan Zona-Zona di Wilayah Pengaruh ... 43
4.4.1 Pengembangan Model Bangkitan Perjalanan pada Zona Berbasis Desa .. ... 44
4.4.2 Pengembangan Model Bangkitan Perjalanan pada Zona Berbasis Pelabuhan .. ... 46
4.4.3 Pengembangan Model Bangkitan Perjalanan pada Zona Kawasan Efektif Pariwisata (KEP) .. ... 47
4.5 Tingkat Pertumbuhan Bangkitan Perjalanan ... 49
4.6 Proyeksi Pembebanan Lalu Lintas pada Ruas Jalan Perintis di Nusa Penida ... 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 54
5.1 Kesimpulan ... 54
5.2 Saran-Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
(6)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Lokasi Penelitian ... 4
Gambar 2.1 Hubungan Zona di Wilayah Penelitian dan Asal-Tujuan Perjalanan ... 6
Gambar 2.2 Pemodelan Zona Internal dan Eksternal dalam Wilayah Penelitian Nusa Penida ... 7
Gambar 2.3 Sistem Transportasi Makro ... 10
Gambar 2.4 Definisi Perjalanan Eksisting dan Bangkitan Perjalanan Akibat Adanya Jalan Baru ... 12
Gambar 2.5 Keterkaitan Tata Guna Lahan/Transportasi dalam Metode 4 Tahap ... 14
Gambar 2.6 Bangkitan Perjalanan ... 15
Gambar 2.7 Distribusi Perjalanan ... 17
Gambar 2.8 Pemilihan Moda Transportasi ... 18
Gambar 2.9 Arus Lalu Lintas pada Jaringan Jalan ... 19
Gambar 2.10 Tahapan Perkiraan Arus Lalu Lintas dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh ... 20
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian dalam Analisis Pembebanan Lalu Lintas ... 26
Gambar 4.1 Lokasi 14-Zona Desa di Pulau Nusa Penida (Nusa Gede) ... 33
Gambar 4.2 Lokasi 4 (Empat) Zona Kawasan Efektif Pariwisata di Pulau Nusa Penida ... 34
Gambar 4.3 Lokasi 5 (Lima) Zona Pelabuhan di Pulau Nusa Penida ... 35
(7)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Zona Bangkitan Perjalanan di Nusa Penida ... 37 Tabel 4.2 Jarak Antar-zona di Pulau Nusa Penida melewati Jaringan Jalan
Eksisting (dalam satuan: meter) ... 39 Tabel 4.3 Jarak Antar-zona di Pulau Nusa Penida melewati Jaringan Eksisting
dan Rencana Jalan Lingkar Nusa Penida (dalam satuan: meter) ... 40
Tabel 4.4 Volume Lalulintas Segmen jalan Toyapakeh-Suana ... 41
Tabel 4.5 Komposisi Arus Lalulintas di Jalan Toyapakeh-Suana Nusa Penida 42
Tabel 4.6 Fluktuasi Kecepatan Lalu lintas pada jam-jam sibuk segmen jalan
Toyapakeh-Suana, Nusa Penida ... 42
Tabel 4.7 Derajat Kejenuhan Pada Jalan Toyapakeh-Suana, Nusa Penida ... 43
Tabel 4.8 Karakteristik tiap-tiap zona bangkitan perjalanan di Nusa Penida .... 45
Tabel 4.9 Jumlah Penumpang Naik di Pelabuhan Bali Daratan Menuju Nusa
Penida ... 46
Tabel 4.10 Jumlah Penumpang Turun pada Pelabuhan Nusa Penida tahun 2013 46
Tabel 4.11 Data Kunjungan Wisatawan di Nusa Penida, Kabupaten
Klungkung Tahun 2013 ... 48
Tabel 4.12 Prediksi Bangkitan Perjalanan pada 23 zona di Nusa Penida ... 50
Tabel 4.13 Proyeksi VJP dan LHR pada jalan Lingkar Nusa Penida
(8)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Telah disadari infrastruktur jalan berperan penting dalam mendukung pengembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan. Namun, dalam pembangunannya seringkali menimbulkan berbagai dilema kepentingan. Untuk dapat memenuhi fungsinya, jaringan jalan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan, baik lokal maupun secara nasional. Di wilayah Klungkung sendiri pengembangan infrastruktur jalan relatif lambat dan hanya terdapat 17,40 km jalan negara (arteri primer), 20,97 km jalan provinsi (kolektor provinsi), 342,46 km jalan kabupaten (kolektor kabupaten) dan 203,226 km jalan desa (lokal). Ketiadaan anggaran dalam perencanaan dan pembangunan merupakan alasan klasik utama.
Secara geografis, Kabupaten Klungkung memiliki dua cakupan wilayah yaitu wilayah daratan dan wilayah pulau dengan kondisi yang sangat berbeda. Bila dilihat perbandingan komposisi luas wilayah terlihat bahwa hanya sepertiga terletak di daratan Pulau Bali (11.216 Ha) dan duapertiganya terletak di wilayah kepulauan Kecamatan Nusa Penida (20.284 Ha). Meskipun secara geografis luas wilayah Kecamatan Nusa Penida lebih besar, namun kondisi sosial-ekonomi dan pembangunan dirasakan sangat tertinggal dibandingkan dengan 3 (tiga) kecamatan lainnya yang berada di daratan Bali. Kedua wilayah yang dipisahkan oleh laut ini, mengalami disparitas pertumbuhan (growth disparities) sosial ekonomi yang begitu menjolok. Disparitas pertumbuhan ini
dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah “keterisolasian” wilayah
Nusa Penida yang ditandai dengan rendahnya tingkat aksesibilitas ke kawasan ini. Kecamatan Nusa Penida yang meliputi wilayah Nusa Penida (Nusa Gede), Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan dengan kondisi geografis terpisah dari daratan Pulau Bali, sampai saat ini satu-satunya akses transportasi yang tersedia adalah transportasi laut atau penyeberangan. Pelabuhan penyeberangan yang representatif adalah pelabuhan Mentigi yang terletak di Nusa Penida dan pelabuhan Padangbai di Kabupaten Karangasem. Sedangkan, beberapa pelabuhan penyeberangan tradisional yang ada di Kabupaten Klungkung daratan adalah Kusamba, Banjar Bias dan Banjar Tribuana yang ketiganya terletak di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, dimana semua pelabuhan
tersebut mempunyai kapasitas yang sangat terbatas. Selama ini, asal-tujuan (origin and
destination) pergerakan dihubungkan dengan perahu motor yang dikelola secara tradisional dengan skala kecil dengan asal-tujuan yang juga tersebar dibeberapa lokasi lainnya. Demikian juga dengan sarana dan prasarana pelabuhan belum terencana dengan baik.
Disamping itu, ruas-ruas jalan eksisting di Pulau Nusa Penida kurang memenuhi standar yang disyaratkan oleh Bina Marga. Untuk mengantisipasi hal tersebut supaya
(9)
pulau Nusa Penida bisa tumbuh perekonomiannya perlu memprioritaskan pembangunan jalan sebagai infrastruktur perintis pembangunan wilayah. Pemerintah dapat memanfaatkan dana yang berasal dari Dana APBD Kabupaten Klungkung dan APBD Provinsi Bali maupun Dana Pusat APBN. Hal ini telah disadari yang tercermin dari diprogramkannya pembangunan jalan di Pulau Nusa Penida, baik berupa jalan arteri kolektor, maupun jalan lokal yang mempunyai fungsi utama untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Demokratisasi ruang yang belum terwujud menyebabkan Nusa Penida, khususnya bagian Barat dan Selatan masih alamiah, sepi penduduk dengan bangkitan perjalanan yang relatif sangat kecil. Oleh karenanya, perencanaan pembebanan lalu lintas dalam penyediaan sistem jaringan harus dapat memprediksi secara akurat perkembangan wilayah dan kebutuhan pergerakan yang diakibatkan oleh perubahan sistem kegiatan dan aktifitas penduduk, apabila akan dibangun jalan perintis untuk pengembangan wilayahnya dimasa depan.
1.2 Rumusan Masalah
Kondisi eksisting yang masih alamiah namun berlokasi relatif dekat dengan kawasan-kawasan pariwisata yang sudah berkembang mendunia seperti Nusa Dua, Sanur, Kuta, Denpasar Gianyar mempunyai prospek dan potensi perkembangan yang pesat apabila ditunjang infrastruktur jalan yang memadai. Hal ini memerlukan analisis pembebanan yang berbeda dengan daerah atau wilayah yang sudah berkembang dalam perencanaan pembebanan lalu lintas jalannya. Permasalahan-permasalahan utama dalam analisis lalu lintasnya dapat meliputi:
o Faktor-faktor apa saja yang secara signifikan berpengaruh terhadap bangkitan
perjalanan dimasa depan,
o Bagaimanakah potensi pengembangannya bila dikaitkan dengan kawasan wisata
sekitarnya yang sudah berkembang lebih dulu,
o Bagaimanakah analisis pembebanan lalu lintasnya bila dibangun jalan pada wilayah
yang belum berkembang ini.
o Bagaimanakah kebutuhan terhadap jumlah lajur jalan perintis yang direncanakan.
1.3 Maksud, Tujuan dan Sasaran Penelitian
Maksud diadakan studi analisis pembebanan lalu lintas ini adalah untuk mempersiapkan suatu perencanaan jalan dalam pengembangan wilayah melalui pembangunan infrastruktur di Nusa Penida, sehingga dapat diajukan untuk memperoleh bantuan dana pembangunan, baik dari Pemerintah daerah tingkat I Provinsi Bali maupun dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian, program-program yang telah dicanangkan dapat terwujud tahap demi tahap.
Tujuan dari analisis pembebanan lalu lintas pada perencanaan jalan-jalan perintis sebagai Jalan Lingkar Barat-Selatan Nusa Penida adalah sebagai berikut:
a) Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitan perjalanan apabila
dibangun jalan perintis dibagian Barat-Selatan Nusa Penida, dalam rangka mempercepat pengembangan wilayah yang belum berkembang saat ini.
b) Menentukan faktor pertumbuhan pembebanan lalu lintasnya sampai akhir Umur
(10)
c) Menganalisis pembebanan lalu lintas yang akan mempengaruhi kebutuhan jumlah lajur jalan.
d) Menentukan kebutuhan lajur jalan pada jalan perintis yang direncanakan berdasarkan
pertumbuhan pembebanan yang ada.
Sedangkan, sasaran yang ingin dicapai dalam pembebanan lalu lintas pada
perencanaan jalan perintis Barat-Selatan Nusa Penida yang nantinya diharapkan sebagai Jalan Lingkar Barat-Selatan Nusa Penida ini adalah sebagai berikut:
o Terwujudnya jalan melingkar di Nusa Penida
o Peningkatan kondisi dan kapasitas jalan-jalan eksisting
o Mengatasi disparitas wilayah dalam rangka pemerataan pembangunan di Kabupaten
Klungkung.
1.4 Skope Penelitian
Skope penelitian analisis pembebanan lalu lintas jalan perintis dibagian Barat-Selatan Nusa Penida yang juga sebagai ruas jalan kolektor, adalah:
a. Kajian wilayah dan rencana zona-zona pengembangan wilayah.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang diprediksi mempengaruhi bangkitan perjalanan
sehubungan dengan prinsip trase jalan yang ditetapkan.
c. Menganalisis perkembangan kawasan sekitar yang menentukan faktor pertumbuhan
lalu lintas yang berpengaruh langsung terhadap besarnya beban lalu lintas jalan.
d. Menganalisis pembebanan lalu lintas dari tahun ke tahun sepanjang Umur Rencana
(UR) jalan perintis Barat-Selatan Nusa Penida yang direncanakan.
e. Menghitung jumlah lajur yang dibutuhkan sesuai perkembangan beban lalu lintas
yang harus diakomodasi oleh jalan perintis tersebut.
1.5 Lokasi Penelitian
Lokasi kegiatan penelitian untuk analisis pembebanan lalu lintas yang diharapkan sebagai jalan perintis melingkari pulau Nusa Penida ini adalah di Kecamatan Nusa Penida bagian Barat dan Selatan dengan cakupan wilayah perencanaan relatif berada didaerah yang mendekati kawasan pantai, seperti ditunjukkan Gambar 1.1, berikut.
(11)
Gambar 1.1 Lokasi Penelitian
U
Jalan Perintis Lingkar Barat-Selatan
Nusa Penida
Jalan Eksisting
(12)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Perencanaan pembangunan jaringan jalan pada suatu wilayah ditujukan untuk mengupayakan keserasian dan keseimbangan pembangunan antar kota/wilayah sesuai dengan potensi alamnya dan memanfaatkan potensi tersebut secara efisien, adil dan aman. Prinsipnya, pada pembangunan dan pengembangan wilayah pendekatan
pembagian ruang dapat dilakukan berdasarkan aspek fungsi, kegiatan dan administrasi.
Berdasarkan aspek fungsi, ruang dibagi atas kawasan lindung, yaitu kawasan yang dapat
menjamin kelestarian lingkungan; dan kawasan budidaya, yaitu kawasan yang
pemanfaatannya dioptimasikan bagi kegiatan budidaya. Berdasarkan aspek kegiatannya,
ruang dibagi atas dominasi kegiatan perkotaan, perdesaan dan kawasan tertentu. Termasuk dalam kawasan tertentu antara lain kawasan cepat/berpotensi tumbuh, kawasan kritis lingkungan, kawasan perbatasan, kawasan sangat tertinggal, dan kawasan
strategis. Sedangkan berdasarkan administrasi, ruang dibagi atas ruang wilayah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Pada intinya, dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan, ruang harus dilihat sebagai satu kesatuan yang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang perlu dipelihara kelestariannya, bukan saja untuk perioda sekarang, tetapi juga mempertimbangkan generasi yang akan datang.
Namun, terkait dengan kondisi wilayah yang berbeda, respon pembangunan masyarakat disetiap wilayah juga berbeda-beda. Apalagi dominasi pemerintah pusat di semua daerah dengan standar pembangunan berskala nasional masih sangat besar,
menyebabkan semakin terjadinya disparitas kemajuan antar daerah yang kian berbeda
(Keban, 1999). Tidak dapat pula diabaikan adalah perbedaan potensi, kendala, limitasi alam, termasuk gejolak sosial, ekonomi yang juga menimbulkan dan telah semakin membuka berbagai masalah ketimpangan pembangunan antar daerah (Maskur Riyadi, 2000). Disisi lain, kondisi wilayah yang terkebelakang memerlukan percepatan pembangunan dalam mengejar ketertinggalan wilayahnya, khususnya pembangunan infrastruktur jalan. Dengan tingginya aksesibilitas wilayah, biaya-biaya transportasi relatif murah, sehingga pengembangan dan pemanfaatan potensi wilayah dan pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakatnya menjadi efisien.
2.2 Penetapan Sistem Zona dalam Perencanaan Pembebanan Jalan
Untuk analisis wilayah regional sebagai Wilayah Pengaruh (WP) keberadaan sustu segmen jalan, penanganan masalah-masalah disparitas perlu dilakukan secara regional pula, yaitu melalui analisis pengembangan zona-zona, sesuai permasalahan dan potensi yang dimiliki masing-masing zonanya. Dengan demikian, tahap awal dalam perencanaan jalan adalah penetapan Sistem Zona (SZ). Setiap perjalanan orang atau kendaraan di wilayah pengaruh jalan tersebut harus ditetapkan lokasi atau zona yang menjadi asal dan tujuannya. Secara umum zona asal/tujuan dapat dikelompokkan sebagai berikut:(13)
a) Zona internal, yaitu zona-zona asal dan/atau tujuan perjalanan yang berada di dalam wilayah penelitian, termasuk zona-zona pengembangan kawasan yang direncanakan. Zona-zona internal ini dibatasi oleh Batas-batas Kordon Eksternal (External Cordon Line).
b) Zona eksternal, yaitu zona-zona asal atau tujuan perjalanan yang berada di luar
wilayah penelitian/diluar External Cordon Line.
Oleh karena itu, dengan mengasumsikan “Zona Internal Nusa Penida” sebagai
“Wilayah Penelitian” jalan perintis Lingkar Barat-Selatan Nusa Penida, maka dalam
setiap bangkitan perjalanan yang terjadi, dapat dibedakan menjadi 3 komponen lalu lintas (lihat Gambar 2.1), yaitu:
1. Lalu lintas menerus (through traffic): asal-tujuan perjalanan lalu lintas tidak ada kaitan dengan zona-zona di Nusa Penida, tetapi arus lalu lintas melewati wilayah yang bersangkutan;
2. Lalu lintas lokal (terminating traffic): asal atau tujuan perjalanan lalu lintas, salah
satunya berada pada Zona Internal Nusa Penida dan yang lain pada Zona Regional di Luar Nusa Penida; dan
3. Lalu lintas didalam zona internal Nusa Penida itu sendiri (intrazonal traffic): asal dan tujuan perjalanan keduanya berada di Nusa Penida (di dalam wilayah eksternal Kordon).
Gambar 2.1 Hubungan Zona di Wilayah Penelitian dan Asal-Tujuan Perjalanan
Karakteristik lalu lintas menerus (through traffic) tergantung pada karakteristik
variabel-variabel bangkitan perjalanan didalam kedua Wilayah Regional diluar Nusa
Penida yang dihubungkannya. Dipihak lain, lalu lintas lokal (terminating traffic) dan
lalu lintas didalam Zona Internal (intrazonal traffic) merupakan fungsi dari karakteristik
variabel-variabel aktivitas masyarakat dan pembangunan guna lahan di Nusa Penida sebagai wilayah penelitian. Praktisnya, secara keseluruhan wilayah akan dibagi menjadi
beberapa zona berdasarkan batasan “administrasi daerah” dan “batas alami” sesuai
keseragaman fungsi wilayah zona. Dengan demikian keseluruhan Asal-Tujuan (A-T) perjalanan yang ada dapat didefinisikan secara geografis dan variabel-variabel yang
(1) Lalu-lintas Menerus (through trips)
(External-external)
(3) Lalu-lintas di dalam Zona Lokal (intrazonal trips) Internal-internal (2) Lalu-lintas Lokal
(Terminating Trips) (External-internal)
(2) Lalu-lintas Lokal (Terminating trips) (Internal-external)
Batas Zona Lokal Jalan Jimbaran (External cordon)
(14)
berkaitan dengan bangkitan perjalanan, secara spasial seperti jarak perjalanan dapat ditentukan besarannya. Prosedur dan model perancangannya dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat Gambar 2.2 di bawah):
Gambar 2.2 Pemodelan Zona Internal dan Eksternal dalam Wilayah Penelitian Nusa Penida
Langkah-langkah Penetapan Zona Penelitian:
Pertama, mendefinisikan wilayah Bangkitan Perjalanan yang potensial mempengaruhi
volume lalu lintas „Rencana Jalan Lingkar Barat-Selatan Nusa Penida’, baik saat ini
maupun dimasa yang akan datang (perioda umur rencana 2020 - 2045).
Kedua, membagi wilayah tersebut kedalam zona-zona berdasarkan batas-batas administrasi atau kesamaan fungsi wilayah (kawasan), sehingga diperoleh jumlah zona, baik zona-zona internal maupun eksternal. Penzoningan ini dibutuhkan untuk mendapatkan Asal-Tujuan (A-T) setiap perjalanan yang ada. Dengan mempergunakan variabel Jumlah Penduduk, kondisi wilayah dan prediksi perkembangan Tata Guna Wilayahnya dimasa depan, akan didapatkan bangkitan lalu lintas dari masing-masing zona sebagai fungsi dari kondisi sosial ekonomi, lokasi, jaringan jalan dan Tata Guna Lahan (TGL).
Zona-zona Internal
Zona Eksternal (Regional-zones) Wilayah
Pengaruh Diluar Nusa Penida
Batas-batas Administrasi Wilayah Nusa
Penida
Wilayah Pengaruh Diluar
Nusa Penida Lainnya
(15)
Ketiga, menempatkan pusat-pusat zona (zone centroids) sebagai awal dan akhir perjalanan antar-zona (interzonal trips). Oleh karena itu, pusat zona haruslah sebagai titik pusat gravitasi semua perjalanan didalam zona tersebut.
Terakhir, menggabungkan pusat-zona dan jaringan jalan yang ada. Pada beberapa
kasus, mungkin jaringan bersifat imaginer (dummy connector), sehingga jarak
perjalanan antar zona dapat ditentukan panjangnya sebagai salah satu unsur Generalised
Cost yang menentukan pembebanan jalan yang direncanakan.
2.3 Sistem Transportasi Makro
Secara umum sistem transportasi suatu wilayah dapat dibagi menjadi empat subsistem transportasi yang lebih kecil (mikro), dimana yang satu dengan yang lain saling terkait dan saling mempengaruhi. Subsistem-subsistem tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
2.3.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi (Transport Demand)
Merupakan pola kegiatan tata guna lahan (land use) yang terdiri dari sistem
kegiatan sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Sistem kegiatan dengan tipe,
intensitas, skala dan tata letak (juxtaposition) kegiatan tertentu akan memproduksi
perjalanan (trip production) dan juga akan menarik perjalanan (trip attraction) yang tertentu pula. Dalam sistem kegiatan ini, perjalanan merupakan alat untuk pemenuhan kebutuhan seseorang yang diperoleh ditempat lain yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna lahan ditempat kediamannya.
2.3.2 Sistem Jaringan atau Prasarana Transportasi (Transport Supply)
Perjalanan manusia atau barang dari suatu moda transportasi (sarana) tertentu adalah melalui/melewati jaringan jalan (prasarana). Dalam perancangannya telah ditetapkan pada masing-masing ruas jalan seperti: lebar jalan, bahu jalan, kekuatan yang
disesuai dengan kelas dan fungsi jalan, tempat parkir diluar badan jalan (off street
parking), trotoar, tempat penyeberangan jalan, halte, dan terminal angkutan umum. Sebagai sarana transportasi atau moda transportasi adalah kendaraan roda dua, roda empat, bus dan sejumlah armada angkutan umum. Sedangkan, perangkat penunjang prasarana lainnya adalah median jalan, lampu lalu lintas, marka dan rambu jalan.
Perangkat lunak (software) sebagai sarana yang diperlukan adalah undang-undang lalu
lintas serta peraturan daerah (suprasarana). Sebagai penunjang sarana transportasi lainnya, khususnya angkutan umum adalah rute, tarif, dan waktu operasi angkutannya. 2.3.3 Sistem Pergerakan atau Arus Lalu Lintas (Traffic Flow)
Kelancaran arus lalu lintas pada suatu ruas jalan dapat dilihat dari tingkat
pelayanan (level of service) jalan tersebut, yaitu suatu ukuran yang tergantung dari rasio
antara volume lalu lintas yang melewati jalan tersebut dengan kapasitas jalan (merupakan fungsi dari lebar jalan dan gangguan samping pada ruas jalan). Penentuan kriteria tingkat pelayanan dalam menggunakan perbandingan antara volume dan kapasitas (V/C) dibagi atas 6 (enam) tingkat pelayanan, yaitu: tingkat pelayanan A, B, C, D, E dan F dengan masing-masing karakteristik kondisi dan kelancaran arus lalu lintas yang berbeda satu dengan yang lainnya.
(16)
2.3.4 Sistem Kelembagaan atau Institusi (Institutional Framework)
Merupakan suatu lembaga, instansi pemerintah dan/atau pihak swasta yang terkait dengan pola kebijakan yang dapat mempengaruhi subsistem atau sistem transportasi secara keseluruhan. Untuk menjamin terwujudnya interaksi yang baik (keseimbangan) dalam sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem arus perjalanan yang aman, nyaman, lancar, murah, dan sesuai lingkungan, maka dalam sistem transportasi
makroada subsistem kelembagaan yang harus berperan aktif dalam melakukan tindakan
kontrol. Di Indonesia sistem kelembagaan/instansi yang terkait dengan masalah transportasi adalah sebagai berikut:
Sistem kegiatan : Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), Bangda (Badan Anggaran Daerah), Pemda (Pemerintah Daerah).
Sistem Jaringan : Departemen Perhubungan (darat, laut, udara), Departemen
Pekerjaan Umum (Bina Marga).
Sistem Pergerakan : Dinas Perhubungan, Organda (Organisasi Angkutan Daerah), Polantas (Polisi Lalu-Lintas), Masyarakat.
Kelembagaan Bappenas, Bappeda, Bangda, Pemda memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan tata guna lahan, wilayah, regional, maupun sektoral. Kebijaksanaan sistem jaringan secara umum ditentukan oleh Departemen Perhubungan baik darat, laut, maupun udara serta Departemen Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Bina Marga. Sistem pergerakan ditentukan oleh Dinas Perhubungan, Organda, Polantas, dan masyarakat sebagai pemakai jalan.
Disisi lain, interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan suatu arus perjalanan, baik manusia ataupun barang. Pada sistem kegiatan
atau sistem kebutuhan (Transport Demand), perubahan peruntukan tata guna lahan akan
merubah bangkitan perjalanan (Trip Generation) yang terdiri dari tarikan perjalanan
(Trip Attraction) dan penghasil/produksi perjalanan (Trip Production). Pada sistem
penyediaan transportasi (Transport Supply), ketersediaan fasilitas transportasi seperti
jaringan jalan dan sarana angkutan kendaraan, sangat menentukan kapasitas pelayanan.
Pada sistem arus perjalanan (Traffic), interaksi antara kebutuhan transportasi dan
penyediaan transportasi dapat dilihat dari rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan yang ada. Makin besar nilai rasio tersebut makin rendah tingkat pelayanan jalan tersebut dan pengguna akan melakukan evaluasi untuk mencari alternatif rute dan pemilihan penggunaan moda angkutan (menggunakan angkutan umum atau angkutan pribadi).
Sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem arus perjalanan akan saling mempengaruhi. Perubahan pada sistem kegiatan akan mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan jalan pada sistem pergerakan, begitu pula perubahan pada sistem jaringan dapat mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksebilitas dari sistem pergerakan tersebut, dimana semua perubahan sangat tergantung kebijakan-kebijakan yang diambil oleh sistem Kelembagaan. Keseluruhan subsistem transportasi makro tersebut dapat diilustrasikan melalui Gambar 2.3, berikut.
(17)
Gambar 2.3 Sistem transportasi makro Sumber: Tamin, 2000
2.4 Prinsip-prinsip yang Mendasari Interaksi Sistem Aktivitas/Tata Guna Lahan (TGL) dan Sistem Jaringan/Transportasi
Transportasi adalah kebutuhan turunan (derived demand) dan merupakan bagian
integral kehidupan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari (Hills, 1996). Perkembangan transportasi khususnya dinegara-negara berkembang sangat ditentukan
oleh potensi dan pembangunan guna lahan diwilayah yang bersangkutan (Ships follow
the Trades). Namun, disisi lain, hampir semua perencanaan Tata Guna Lahan tergantung pada bagaimana bentuk-bentuk transportasinya, walaupun perencanaan
transportasi tidak diijinkan untuk mendikte perencanaan Tata Guna Lahan (Lane et al,
1974). Dapat dikatakan bahwa kedua sistem berinteraksi erat dan harus saling menunjang dalam pengembangan wilayah kedepan, sehingga sangat diperlukan adanya data karakteristik dan perencanaan terintegrasi (IHT, 1997).
Bangkitan perjalanan dalam sistem transportasi terdiri dari berbagai maksud perjalanan, seperti bekerja, sekolah, olahraga, berbelanja, dan sebagainya yang kegiatannya berlangsung di atas sebidang lahan baik berupa permukiman, kantor, sekolah, pasar dan lain-lain. Pengaturan kegiatan pada potongan lahan di permukaan bumi ini biasanya disebut Tata Guna Lahan (TGL). Untuk memenuhi kebutuhannya, maka manusia melakukan perjalanan diantara dua atau beberapa tata guna lahan tersebut dengan menggunakan berbagai moda transportasi, misalnya dengan berjalan kaki atau naik kendaraan. Hal ini menimbulkan adanya pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang (Tamin, 2000). Tata guna lahan yang berbeda dan adanya kebutuhan manusia yang bermacam-macam serta tidak berada dalam satu tempat akan menimbulkan transportasi, yaitu perpindahan orang atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Disisi lain, dalam memproduksi barang-barang untuk pemenuhan
(18)
kebutuhan manusia, transportasi mempunyai peranan yang sangat penting untuk menghubungkan daerah sumber bahan baku, daerah produksi/pabrik, daerah pemasaran dan daerah permukiman sebagai tempat tinggal konsumen. Jadi transportasi berperan menghubungkan kegiatan antar tata guna lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Keterkaitan antara Tata Guna Lahan (activity system) dan Transportasi
(transport system) umumnya menghasilkan permintaan perjalanan yang membebani fasilitas (arus lalu lintas) dan menimbulkan berbagai permasalahan transportasi, yang menjadi pencapaian dalam tujuan-tujuan perencanaan. Dalam hal ini, konsep-konsep relevan yang menggambarkan keterkaitan antar subsistemnya, dapat dijelaskan dengan 6 (enam) konsep keterkaitan/interaksi, yaitu:
1). Aksesibilitas / Accessibility,
2). Bangkitan Perjalanan /Trip Generation (TG),
3). Distribusi Perjalanan / Trip Distribution (TD),
4). Pemilihan Moda / Modal Split (MS),
5). Pembebanan Jaringan / Traffic Assignment (TA), dan
6). Teori arus Lalu-lintas (Kapasitas, Tingkat Pelayanan dan lain lain).
Keterkaitan tersebut menjelaskan bahwa setiap kebijakan, apakah terkait langsung atau tidak dengan pembangunan guna lahan atau penyediaan fasilitas transportasi, tidak dapat dihindari akan mempengaruhi dimensi/sistem yang lain,
walaupun tidak harus pada waktu yang bersamaan (Webster et al, 1988b). Bahkan
Khisty dan Lall (2005) menganggap perencanaan transportasi adalah salah satu bentuk perencanaan Guna Lahan yang akan digunakan untuk transportasi. Banyak yang mengklaim bahwa masalah-masalah transportasi yang belakangan muncul dibanyak kota didunia ini adalah akibat kesalahan perencanaan penempatan lokasi-lokasi kegiatan. Ini menyebabkan semakin menjauhnya jarak asal-tujuan perjalanan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Banister, 1999), pemilikan dan penggunaan kendaraan meningkat dengan sangat pesat (Dissnayake, 2006). Selain itu juga menimbulkan dampak kemacetan lalu lintas, polusi terhadap lingkungan, dll. Srinivasan dan Ferreira (2002) menjelaskan bahwa tidak terkontrolnya kenaikan harga lahan di
pusat kota/Central Business District (CBD) mendorong penduduk kota untuk berpindah
tempat tinggal ke daerah sub-urban/pinggiran, menyebabkan kota atau perkotaan melebar dan peranan daerah pinggiran menjadi semakin penting. Berbagai permasalahan transportasi timbul manakala penyediaan prasarana dan sarananya tidak mencukupi dari daerah pinggiran ke pusat kota, seperti antara lain meningkatnya pemakaian mobil pribadi.
Namun walaupun penyediaan prasarana dan sarana diusahakan semaksimal mungkin, beberapa efek negatif akibat keberadaan prasarana baru harus tetap dihadapi. Hills (1996) menguraikan dengan detail kemungkinan bangkitan perjalanan akibat adanya prasarana baru tersebut, baik karena munculnya asal-tujuan perjalanan yang
baru, perubahan rute, waktu perjalanan, perpindahan ke moda lain, pengurangan load
factor ataupun bertambahnya frekuensi perjalanan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.4 di bawah.
(19)
TUJUAN PERJALANAN EKSISTING Rute, waktu, vehicle-occupancy, moda dan frequensi eksisting Perubahan Rute Perubahan Waktu Perjalanan Perpindahan Moda Satu ke
Moda lain Penurunan vehicle-occupancy Peningkat an frequensi Perjalanan TUJUAN PERJALANAN BARU ASAL PERJALAN AN EKSISTING Eksisting seperti semula + Pembebanan
Ulang (Penjadwalan kembali)
(Transfer ke moda lain) (Bangkitan Baru) (Distribusi) ASAL PERJA-LANAN BARU + + (Distribusi) +
Gambar 2.4 Definisi Perjalanan Eksisting dan Bangkitan Perjalanan akibat adanya Jalan Baru
Sumber: Hills (1996).
Sehubungan dengan adanya interaksi dan permasalahan yang semakin berkembang ini, maka usaha-usaha logis untuk menyeimbangkan Sistem Transportasi (Suplai) dan Sistem Aktivitas (Permintaan) harus dilakukan yaitu melalui kontrol terhadap permintaan perjalanan (IHT, 1996). Kesuksesan terhadap penyelesaian masalah-masalah bukan saja dilihat dari terkontrolnya interaksi tata guna lahan dan transportasi, tetapi belakangan sudah meliputi berbagai indikator-indikator multisektoral
kehidupan. Bahkan Gakenheimer (1999) mengatakan karena kompleksnya
permasalahan tata guna lahan dan transportasi ini, mobilitas dan aksesibilitas di kebanyakan kota-kota dinegara-negara berkembang telah mengalami penurunan. Padahal, keterkaitan antara Tata Guna Lahan dengan Transportasi di negara-negara berkembang jauh lebih kuat dibandingkan negara-negara yang sudah maju. Hal-hal ini didasarkan atas penilaian kebutuhan dan keinginan seseorang untuk melakukan perjalanan yang sangat terkait dengan faktor-faktor sosial-ekonomi, adat budaya, aksesibilitas, kemacetan, keselamatan dalam perjalanan dan faktor lingkungan. Untuk lebih detailnya, beberapa indikator yang dianjurkan bila dikaitkan dengan masing-masing tujuan dalam pengembangan dan pengontrolan interaksi Sistem Aktivitas/Tata Guna Lahan dan/atau Transportasi, dapat dideskripsikan sbb.:
Induced traffic (tambahan kend-km) + Lalu-lintas Eksisting (equivalen kend-km) EXISTING TRIPS INDUCED TRIPS Induced Traffic (tambahan kend-km)
Lalu lintas Eksisting (equivalen kend-km)
T R I P S E K S I S T I N G
Induced Traffic INDUCED TRIPS akibat pembangunan INDUCED TRIPS
Induced Traffic Induced Traffic
(tambahan kend-km) E x i s t i n g T r a f f i c
(equivalen kend-km)
(20)
- Efisiensi Ekonomi
- Tundaan pejalan kaki pada zebra cross.
- Delay (tundaan) pada berbagai moda kendaraan (Kendaraan Pribadi,
Angkutan Umum, Pesepeda dan lain lain), baik pada segmen jalan (link)
dan/atau Persimpangan
- Biaya atau waktu perjalanan pada suatu asal/tujuan tertentu.
- Biaya-biaya operasi untuk tingkat pelayanan transportasi yang berbeda
kualitasnya, dan lain lainnya. - Pelestarian Lingkungan
- Tingkat kebisingan, Tingkat getaran/vibrasi dan Level pollutant yang ada
pada polusi udara. - Visual intrusion.
- Derajat pemisahan masyarakat yang terjadi dan lain lain.
- Keselamatan Lalu-lintas
- Personal Injury Accident (PIA) berdasarkan moda, lokasi (link, junction, dan lain lain).
- Peningkatan Aksesibilitas
- Tipe aktivitas pada suatu lahan untuk suatu waktu, biaya, moda dan asal
perjalanan tertentu. - Pembangunan Berkelanjutan
- Keasrian lingkungan.
- Kecelakaan, polusi, penggunaan Sumber Daya Alam (SDA).
- Pemerataan Pendapatan
- Pendapatan untuk sosio-group tertentu di masyarakat.
- Keselarasan Kelembagaan dan Policy/kebijakan terhadap Konflik-konflik yang terjadi
- Derajat kontrol (Degree of control).
- Skala sumber daya keuangan (funding body).
2.5 Perkiraan Arus Lalu Lintas
Arus lalu lintas sangat ditentukan oleh Tata Guna Lahan, yaitu untuk apa lahan itu digunakan. Setiap tata guna lahan dapat dicirikan dengan beberapa ukuran dasar yaitu jenis/tipe kegiatan, intensitas/density, skala, juxtaposition (tata letak). Jenis kegiatan akan menerangkan untuk apa sebenarnya sebidang lahan digunakan. Intensitas/density tata guna lahan ditunjukkan oleh kepadatan bangunan dan luas lantai
per unit luas lahan (Plot Ratio). Skala mencerminkan luas area lahan yang dimanfaatkan
untuk kegiatan tertentu. Juxtaposition menjelaskan tata letak kegiatan yang satu
terhadap yang lain dari berbagai tipe/jenis kegiatan yang ada dalam suatu area. Disisi lain, arus lalu lintas juga merupakan fungsi kualitas fasilitas transportasi yang ada. Untuk fasilitas transportasi yang semakin baik cenderung akan meningkatkan bangkitan arus lalu lintasnya. Namun, ukuran-ukuran ini belum dapat mencerminkan intensitas lalu lintas secara lengkap pada lahan yang bersangkutan dan diperlukan ukuran lain, misalnya hubungan tata guna lahan yang berkaitan dengan jarak yang harus ditempuh orang dan/atau barang untuk mencapai lokasi tertentu.
(21)
Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, komersial, dll.) mempunyai karakteristik/ciri-ciri bangkitan arus lalu lintas yang berbeda, meliputi:
Jumlah/volume lalu-lintas
Moda/tipe lalu-lintas (pejalan kaki, kendaraan tak bermotor, sepeda motor, mobil)
Maksud perjalanan
Waktu bangkitan lalu lintas yang berbeda (kantor menghasilkan lalu-lintas pada pagi
dan sore hari, sedangkan perumahan menghasilkan arus lalu-lintas sepanjang hari, dll.).
Asal – Tujuan perjalanan, dan
Jarak perjalanan yang berbeda
Jadi, karakteristik perjalanan lalu lintas dari suatu Tata Guna Lahan tertentu dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, Non-spasial dan Spasial. Dalam kasus ini,
kategori Non-spasial termasuk Maksud perjalanan/trip purpose (mengapa perjalanan
terjadi), waktu perjalanan/trip timing (waktu perjalanan terjadi) dan moda
perjalanan/modes of transport (kendaraan macam apa yang digunakan). Sedangkan
kategori Spasial, meliputi Asal-Tujuan Perjalanan (Trip Origin-Destination) dan Jarak
Perjalanan (Trip Distance) dari satu tempat ke tempat lain didalam ruang kewilayahan.
Informasi karakteristik perjalanan ini berkaitan erat dengan sistem jaringan jalan yang dibutuhkan sebagai suplainya.
Untuk mengetahui karakteristik bangkitan arus lalu lintas, khususnya yang terkait dengan pembebanan rencana jalan lingkar Nusa Penida, dibutuhkan suatu metode mulai dari perhitungan bangkitan perjalanan wilayah sampai pembebanan rencana jalan lingkar tersebut. Metode yang digunakan adalah Metode Empat Tahap dalam Perencanaan Transportasi, yaitu:
- Bangkitan Perjalanan (Trip Generation),
- Distribusi Perjalanan (Trip Distribution),
- Pemilihan Moda (Modal Split/Choice), dan
- Pemilihan Rute (Traffic Assignment).
Gambar 2.5 Keterkaitan Tata Guna Lahan/Transportasi dan Metode 4 Tahap Sumber: Diturunkan dari Mannheim (1979).
Guna Lahan (Sistem Aktifitas)
Jaringan (Sistem Transportasi) Arus Lalu Lintas
Pemilihan Moda Distribusi
Perjalanan Bangkitan Perjalanan
Kebijakan Pemerintah/ Kinerja Institusi
Kecenderungan Dunia Global - Pembebanan Jalur
- Teori Arus Aksesibilitas
(22)
2.5.1 Bangkitan Perjalanan
Bangkitan perjalanan adalah banyaknya lalu lintas yang dibangkitkan/ ditimbulkan oleh suatu zona (tata guna lahan) atau daerah persatuan waktu. Dengan kata lain, bangkitan perjalanan adalah banyaknya orang dan/atau kendaraan yang bepergian, yang timbul oleh suatu zona atau daerah per satuan waktu.
i d
Gambar 2.6 Bangkitan Perjalanan
Keterangan: i = zona-i, Arus yang meninggalkan zona-i
d = zona-d, Arus yang memasuki zona-d
Bangkitan perjalanan termasuk:
- Lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi (trip production)
- Lalu lintas yang masuk/tiba disuatu lokasi (trip attraction)
Pemodelan bangkitan perjalanan digunakan untuk memperkirakan jumlah perjalanan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan. Jadi tujuan perencanaan bangkitan adalah untuk mengetahui besarnya bangkitan perjalanan pada masa sekarang yang dapat bermanfaat untuk memprediksi perjalanan di masa yang akan datang. Hasil dari perhitungan bangkitan dan tarikan perjalanan berupa jumlah kendaraan atau satuan mobil penumpang (smp) per jam. Karena itu dapat dihitung pula jumlah orang atau kendaraan yang keluar dan/atau masuk dari suatu tempat dalam satu hari untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan perjalanan tipe/jenis kegiatan tertentu.
Ada sepuluh (10) faktor penentu bangkitan lalu lintas menurut Martin, B dalam Warpani (1990) dan semua sangat mempengaruhi volume lalu lintas serta penggunaan sarana transportasi yang tersedia. Kesepuluh faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Maksud perjalanan
2. Penghasilan keluarga 3. Pemilikan kendaraan 4. Guna lahan di tempat asal 5. Jarak dari pusat keramaian kota. 6. Jauh/jarak perjalanan
7. Moda perjalanan 8. Penggunaan kendaraan 9. Guna lahan di tempat tujuan 10. Saat/waktu
(23)
Untuk tujuan pemodelan yang lebih spesifik, seperti pemodelan produksi dan tarikan pergerakan manusia, hal yang perlu dipertimbangkan antara lain (Tamin, 1997): 1. Produksi pergerakan untuk manusia.
Faktor-faktornya adalah: a. Pendapatan
b. Pemilikan kendaraan c. Struktur rumah tangga d. Ukuran rumah tangga e. Nilai lahan
f. Kepadatan daerah permukiman, dan g. Aksesibilitas.
4 (Empat) faktor pertama (pendapatan, pemilikan kendaraan, struktur, dan ukuran rumah tangga) telah digunakan pada beberapa kajian bangkitan pergerakan. Sedangkan, nilai lahan dan kepadatan daerah permukiman hanya sering dipakai untuk kajian mengenai zona.
2. Tarikan pergerakan untuk manusia. Faktor yang paling sering digunakan adalah:
a. luas lantai untuk kegiatan industri,
b. komersial,
c. perkantoran,
d. pertokoan, dan
e. pelayanan lainnya (misalnya: faktor lain yang dapat digunakan adalah lapangan
kerja).
f. Akhir-akhir ini beberapa kajian mulai berusaha memasukkan ukuran
aksesibilitas.
Jumlah lalu lintas tergantung pada kegiatan zona/kota, karena penyebab lalu lintas ialah adanya jarak antara keberadaan barang/alat pemenuhan dan lokasi kebutuhan. Setiap perjalanan pasti mempunyai asal yaitu zona yang menghasilkan pelaku perjalanannya dan zona tujuan yaitu zona yang menarik pelaku perjalanan untuk mencapai maksud perjalanan/pemenuhan kebutuhan. Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan perjalanan berupa jumlah kendaraan, orang atau angkutan penumpang persatuan waktu. Bangkitan perjalanan bertujuan untuk mendapatkan jumlah perjalanan
yang masuk di suatu zona (Trip Attraction) dan yang meninggalkan suatu zona (Trip
Production). Kedua hal tersebut dianalisis secara terpisah. 2.5.2 Distribusi Perjalanan
Distribusi perjalanan adalah penyaluran bangkitan perjalanan dari suatu zona ke sejumlah zona lain yang dikenal dengan perjalanan antar zona. Distribusi perjalanan merupakan salah satu tahapan peramalan pola perjalanan, yang umumnya dihitung setelah tahap bangkitan perjalanan. Jumlah bangkitan perjalanan akan memperlihatkan berapa banyak perjalanan yang dapat dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan. Sedangkan, distribusi perjalanan menunjukkan asal dan tujuan dari perjalanan tersebut. Tujuan utama dari distribusi perjalanan adalah untuk mendapatkan gambaran seluruh perjalanan yang berasal dari setiap zona asal terdistribusi ke semua zona tujuan. Distribusi perjalanan dari suatu tata guna lahan terjadi karena suatu zona tidak dapat memenuhi semua kebutuhan penduduk/penghuninya. Besarnya distribusi perjalanan
(24)
dari suatu zona dengan tata guna lahan tertentu ke zona dengan tata guna lahan lainnya
dipengaruhi oleh adanya pemisah jarak, yang menimbulkan hambatan perjalanan (trip
impedance) yang direpresentasikan dengan nilai jarak, waktu dan biaya serta nilai kualitatif keamanan dan kenyamanan, yang secara keseluruhan sering disebut Biaya
Gabungan (Generalised Cost).
Dengan kondisi pelayanan jalan (geometrik dan perkerasan jalan) yang masih sangat alamiah dan belum mengikuti peraturan yang ada, serta volume arus lalu lintas antar zona yang relatif sangat rendah, maka bangkitan perjalanan antar zona dominan ditentukan oleh daya tarik zona dan jarak antar-zona yang ada. Peningkatan aksesibilitas antar zona akan merubah distribusi perjalanan, sehingga pendekatan dengan model gravitasi akan dapat merangkum semua perubahan yang ada, baik penduduk maupun kualitas pelayanan transportasi dikemudian hari.
i
d
Gambar 2.7 Distribusi Perjalanan Keterangan: i = zona-i
d = zona-d
Untuk setiap pasangan zona (id), akan dihitung berapa besarnya volume arus lalu lintas dari zona i ke zona d. Khusus untuk penelitian Nusa Penida, dengan dibuatnya jalan Lingkar Nusa Penida, struktur jaringan jalan di Nusa Penida tentunya
akan berubah dan secara umum masyarakat akan memilih hambatan/generalized cost
yang terkecil untuk mencapai tempat tujuan perjalanannya. Dengan demikian pertimbangan jarak sebagai penghambat masih sangat relevan
2.5.3 Pemilihan Moda Perjalanan (Modal Split/Choice)
Dalam upaya untuk pengembangan sistem transportasi yang berkualitas, perlu diketahui jumlah pelaku dan karakteristik perjalanan yang berbeda-beda dari suatu daerah ke daerah lainnya. Diperlukan pula untuk mengetahui bagaimana pelaku perjalanan itu terbagi-bagi ke dalam (atau memilih) moda angkutan yang berbeda-beda.
Pembagian ini dikenal dengan pilihan moda (modal choice/split). Dengan kata lain,
pilihan moda dapat didefinisikan sebagai pembagian atau proporsi jumlah perjalanan ke dalam cara atau moda perjalanan yang berbeda-beda, sehingga suplai fasilitas pelayanannya dapat direncanakan dengan baik pula. Disamping itu, model ini menggambarkan bagaimana persepsi masyarakat mengenai dasar pemilihan jenis moda. Hal ini dipengaruhi oleh pemilikan kendaraan pribadi dan tingkat pelayanan angkutan umum yang ada, seperti: rute, tarif, kenyamanan, keamanan, dan lain-lain. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan moda tersebut dan yang terpenting adalah
(25)
waktu perjalanan (Meyer dan Miller, 2001). Namun untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah lebih ditentukan oleh biaya perjalanan (Tamin, 2000).
Gambar 2.8 Pemilihan Moda Transportasi Keterangan:
i = zona-i; d = zona-d
Angkutan pribadi Angkutan umum
Dengan melihat status dan kedekatan Pulau Nusa Penida sebagai bagian dari Provinsi Bali, serta karakteristik masyarakat yang juga relatif sama, maka kecenderungan pilihan dan pemanfaatan moda-moda transportasi tentu juga akan sama. Untuk itu, karakteristik moda transportasi Nusa Penida akan relatif sama dengan Bali daratan di tahun-tahun mendatang. Data sekunder Bali saat ini akan sangat menunjang prediksi pemilihan moda perjalanan di Nusa Penida dimasa depan, selain data yang diperoleh sebagai hasil survei primer tentunya.
2.5.4 Pemilihan Rute (Traffic Assignment)
Pemilihan rute atau pembebanan jaringan jalan menyatakan besarnya volume lalu lintas pada lintasan (jaringan jalan) atau arus perjalanan yang melalui rute-rute tertentu yang menghubungkan zona asal ke zona tujuan yaitu dari perjalanan zona asal i ke zona tujuan j. Model ini menggambarkan bagaimana persepsi masyarakat mengenai dasar pemilihan rute yang digunakan dari daerah/zona asal ke daerah/zona tujuan. Pada
dasarnya masyarakat akan memilihi rute dengan biaya gabungan (Generalised Cost)
termurah dari pilihan hambatan perjalanan, yaitu jarak terpendek, waktu tercepat, tarif termurah dengan kondisi jalan yang teraman dan ternyaman untuk sampai ke tempat tujuan perjalanan. Pada daerah perkotaan, pilihan ini akan sulit ditentukan karena jarak terpendek belum tentu dapat ditempuh dengan waktu tercepat karena adanya masalah-masalah transportasi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pelayanan ruas-ruas jalan pada rute yang dilalui dan Biaya Operasi Kendaraan (BOK) yang dikeluarkan.
Sebelum dilakukan analisis pemilihan rute/lintasan input data yang harus tersedia adalah sbb.:
Data jarak, kapasitas jalan, waktu tempuh, biaya perjalanan tiap ruas jalan yang
menghubungkan zona asal i ke zona tujuan j.
Sebaran perjalanan antar zona ( matriks asal dan tujuan dalam bentuk perjalanan
/smp)
(26)
Variabel yang mempengaruhi pelaku perjalanan, seperti variabel terukur/ kuantitatif (waktu tempuh, jarak tempuh, biaya perjalanan, ongkos/bahan bakar dan variabel tak terukur/kualitatif (pemandangan alam, keamanan dan kenyamanan, kebiasaan).
Namun, data yang digunakan pada umumnya adalah penghitungan volume lalu lintas atau penghitungan penumpang kendaraan umum pada lintasan yang dimaksud. Perlu diingat bahwa alternatif (pilihan lintasan) bagi kendaraan umum jumlahnya terbatas. Dari kenyataan diketahui bahwa tidak semua pelaku perjalanan antara dua titik atau noda memilih lintasan yang tepat sama. Hal ini disebabkan karena banyaknya alternatif lintasan yang dinilai/persepsi berbeda-beda oleh masing-masing para pelaku perjalanan. Disamping itu, bagian lalu lintas pada sejumlah lintasan terus berkembang karena semua lalu lintas cenderung mencari titik keseimbangan. Bila arus lalu lintas lebih kecil dibandingkan kapasitas jalan maka alternatif lintasan dapat digunakan. Bila lalu lintas semakin padat maka pemilihan rute bagi lalu lintas yang melewati menjadi semakin penting.
Dalam prakteknya, tujuan utama perhitungan pembebanan ini adalah untuk
mendapatkan dasar penentuan banyaknya lajur (lane) yang diperlukan pada suatu ruas
jalan. Angka ini diperoleh dari jumlah satuan mobil penumpang (smp) yang membutuhkan ruang gerak pada ruas jalan tersebut pada suatu kurun waktu tertentu. Tujuan-tujuan lainnya dapat pula untuk mendapatkan gambaran karakteristik sistem transportasi akibat adanya pergerakan kendaraan, mengestimasi volume lalu lintas pada ruas didalam jaringan/persimpangan, menentukan rute yang digunakan antara pasangan Asal-Tujuan dan untuk memperoleh biaya estimasi perjalanan.
i d
d e b
c a
Gambar 2.9 Arus lalu lintas pada jaringan jalan Keterangan:
i = zona-i d = zona-d
a, b, c, d, e = rute perjalanan
4 (empat) bagian analisis yang harus dilakukan dalam pemilihan rute, yaitu:
Alasan pelaku perjalanan memilih suatu rute dibanding rute lainnya.
Pengembangan model pemakai jalan memilih rute tertentu
Kemungkinan pemakai jalan berbeda persepsi mengenai rute terbaik
Kemacetan (V/C ratio analysis), yang membatasi jumlah arus lalu lintas diruas
jalan tertentu.
Pada sistem transportasi umumnya dapat dilihat bahwa kondisi keseimbangan dapat terjadi pada beberapa tingkat. Yang paling sederhana adalah keseimbangan pada
(27)
masing yang meminimumkan biaya perjalanan (misalnya waktu). Hasilnya, mereka mencoba mencari beberapa rute alternatif yang akhirnya berakhir pada suatu pola rute yang stabil (kondisi keseimbangan) setelah beberapa kali mencoba-coba. Proses pengalokasian pergerakan tersebut menghasilkan suatu pola rute yang arus pergerakannya dapat dikatakan berada dalam keadaan keseimbangan, jika setiap pelaku perjalanan tidak dapat lagi mencari rute yang lebih baik untuk mencapai zona tujuannya, karena mereka telah bergerak pada rute terbaik yang tersedia. Kondisi ini dikenal dengan kondisi keseimbangan jaringan jalan.
Dalam berbagai studi mengenai perkiraan arus lalu lintas, termasuk dalam
pengembangan jalan Perintis Nusa Penida ini, penggunaan model perencanaan transportasi empat tahap sudah sangat umum diaplikasikan, karena selain kemudahannya juga kemampuannya dalam menggambarkan berbagai interaksi antara sistem transportasi jalan dan pembangunan tata ruang di wilayah studi (Oppenheim,1995). Struktur umum konsep dan tahapan aplikasi model perencanaan transportasi empat tahap (the classical four stages in transportation planning) dan faktor-faktor yang berpengaruh disajikan pada Gambar 2.10, di bawah ini.
Gambar 2.10 Tahapan Perkiraan Arus Lalu Lintas dan Faktor-faktor yang Berpengaruh
2.6 Konsep Pembebanan Lalu Lintas pada Jalan-Jalan Perintis
Agar aktifitas guna lahan dapat terwujud dengan baik maka kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik. Sistem transportasi yang macet tentunya akan menghalangi aktivitas tata guna lahannya. Sebaliknya, transportasi yang tidak melayani suatu tata guna lahan akan menjadi sia-sia, tidak termanfaatkan secara efisien.
Pergerakan manusia dan barang yang disebut arus lalu lintas (traffic flow), merupakan
Karakteristik Jaringan Transportasi
Tata Ruang zona
MAT antar zona Model Pemilihan
Moda Model Distribusi Perjalanan
Model
Bangkitan Perjalanan
Sistem dan Karakteristik zona wilayah studi
Karakteristik Keluarga Produksi perjalanan
(trip ends) per zona
MAT per moda Karakteristik Pelaku
Perjalanan Aksesibilitas
(Generalised Cost) antar zona
Karakteristik Moda
Karakteristik Rute Pembebanan
(28)
konsekuensi gabungan dari aktifitas lahan (permintaan) dan kemampuan sistem transportasi dalam mengatasi masalah dan mengakomodasi arus lalu lintas (penawaran). Biasanya terdapat interaksi langsung antara jenis dan intensitas tata guna lahan dengan penawaran fasilitas-fasilitas transportasi yang tersedia. Salah satu tujuan utama perencanaan setiap tata guna lahan dan sistem transportasi adalah untuk menjamin adanya keseimbangan yang efisien antara aktifitas tata guna lahan dengan kemampuan transportasi (Khisty dan Lall, 2005).
Pada sisi yang berlawanan, elemen-elemen yang terdapat dalam sistem transportasi juga ikut memberikan kontribusi seperti atribut-atribut sistem transportasi yang menggambarkan bagaimana tingkat pelayanan yang diberikan oleh sistem transportasi berupa kondisi pelayanan, diantaranya adalah: waktu perjalanan, biaya perjalanan, pelayanan, kenyamanan, keamanan, keberhandalan, dan ketersediaan armada sesuai dengan waktu yang diinginkan. Hubungan yang saling menguntungkan antara transportasi dan tata guna lahan menghasilkan pergerakan dan pola-pola arus lalu lintas yang terlihat di suatu wilayah. Aksesibilitas tempat memiliki dampak besar terhadap nilai lahan, dan lokasi suatu tempat di dalam jaringan transportasi menentukan tingkat aksesibilitasnya. Dengan demikian dalam jangka panjang, sistem transportasi dan arus lalu lintas di dalamnya akan membentuk pola tata guna lahan yang menentukan bangkitan perjalanan dan pembebanan terhadap jaringan jalan disekitarnya.
Dipihak lain, Black menyatakan bahwa pola perubahan dan besaran pergerakan serta pemilihan moda pergerakan merupakan fungsi dari adanya pola perubahan guna lahan di atasnya. Sedangkan, setiap perubahan guna lahan dipastikan akan membutuhkan peningkatan pelayanan yang diberikan oleh sistem transportasi dari kawasan yang bersangkutan (Black, 1981). Hubungan antara pengembangan lahan dan bangkitan pergerakan yang pada hakekatnya akan membebani jalan yang direncanakan dapat dijelaskan dalam tiga konteks berikut ini (Khisty dan Lall, 2005):
1. Hubungan fisik dalam skala makro, yang memiliki pengaruh jangka panjang dan umumnya dianggap sebagai bagian dari proses perencanaan.
2. Hubungan fisik dalam skala mikro, yang memiliki pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dan umumnya dianggap sebagai masalah desain (seringkali pada skala lokasi-lokasi atau fasilitas-fasilitas tertentu).
3. Hubungan proses, yang berhubungan dengan aspek hukum, administrasi, keuangan, dan aspek-aspek institusional tentang pengaturan lahan dan pengembangan transportasi.
Dengan demikian tujuan dari perencanaan pembebanan lalu lintas adalah:
1. Menentukan angka (besaran) jumlah arus lalu-lintas (kebutuhan akan jasa transportasi) pada masa tahun Umur Rencana (UR) jalan, yang akan dijadikan
sebagai basis pengambilan keputusan (decision making) untuk menetapkan berapa
jumlah fasilitas-fasilitas pelayanan sistem transportasi yang akan dibangun/ disediakan untuk menuju keseimbangan ideal antara jumlah kebutuhan dengan jumlah fasilitas yang disediakan.
2. Untuk mengamati perilaku saling mempengaruhi antara tata guna lahan, sistem transportasi, dan jumlah kebutuhan yang ditimbulkannya.
(29)
3. Untuk meneliti sampai dimana kekuatan saling mempengaruhi (strong influences/significant level) di antara variabel-variabel tata guna lahan, sistem transportasi, dan jumlah kebutuhan akan jasa transportasi.
4. Untuk memberikan pemahaman/kesadaran kepada kita, khususnya para perencana transportasi dan masyarakat yang terlibat dengan transportasi, baik langsung ataupun tidak, betapa eratnya hubungan antara ketiga variabel tersebut (tata guna lahan, sistem transportasi, dan jumlah kebutuhan akan jasa transportasi/arus lalu lintas), dan itu berarti ketiga variabel ini tidak bisa kita pisahkan dalam studi perencanaan. Suatu perubahan pemanfaatan lahan akan menyebabkan meningkatnya bangkitan pergerakan sehingga sangat perlu uintuk dipahami.
Untuk suatu segmen jalan, perkiraan pembebanan lalu lintas yang melewati segmen-jalan tersebut menjelaskan berbagai bentuk interaksi bangkitan perjalanan antara 2 sub-wilayah yang dihubungkannya. Ada beberapa perbedaan penting dalam penerapan interaksi spasial sistem transportasi jalan, jika dibandingkan dengan telepon atau interaksi udara. Sebagian besar perjalanan kendaraan, bagaimanapun juga akan
melibatkan serangkaian kegiatan melewati dan berhenti di jalan (Taaffe et al, 1996).
Perkiraan lalu lintas menggunakan segmen-jalan juga dapat dilakukan baik pada tingkat agregat zona atau pada tingkat disagregat rumah tangga (Oppenheim, 1995). Umumnya,
ada 4 metoda pembebanan lalu lintas yang mungkin dapat dilakukan (Taylor et al,
2000), yaitu:
1). Pembebanan All or nothing,
2) Pembebanan dengan Kurva Dispersi,
3) Pembebanan dengan Kapasitas Terbatas, dan
4) Pembebanan Bertahap (Incremental Loading).
Namun, untuk bangkitan perjalanan dan pembebanan pada wilayah-wilayah terkebelakang yang masing alamiah dengan penduduk sangat jarang memerlukan metode tersendiri. Salah satunya adalah metode analogi. Metode ini mengasumsikan bahwa kondisi wilayah yang sama didiami oleh penduduk dengan karakteristik yang sama serta dilewati jaringan jalan dengan kondisi relatif sama akan mempunyai bangkitan perjalanan yang sama pula, sesuai dengan jumlah penduduk wilayah yang bersangkutan. Metode analogi dibutuhkan karena bangkitan perjalanan eksisting yang sangat kecil bahkan mendekati nol (penduduk tidak melakukan perjalanan ke zona-zona lainnya). Dalam aplikasi metode analogi ini memerlukan data kondisi wilayah, jaringan dan penduduk untuk dibandingkan dengan wilayah yang dianalogikan dimasa depan. Dengan metode ini diperoleh bangkitan dan pembebanan lalu lintas pada tahun rencana.
Untuk perkiraan arus lalu lintas dari tahun ke tahun sesuai umur rencana proyek, khususnya pembebanan lalu lintas pada proyek jalan perintis di bagian Barat-Selatan
Nusa Penida (2020 – 2045) dilakukan melalui proyeksi volume eksisting dengan
skenario Faktor Pertumbuhan (FP) lalu lintas. Metode untuk menentukan besarnya pertumbuhan lalu lintas diperoleh melalui analisis peramalan yang dinyatakan dalam persen per tahun (%/tahun). Diketahui ada berbagai jenis faktor-faktor pertumbuhan lalu lintas, antara lain:
a. Normal Growth: meningkatnya arus lalu lintas akibat meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah perjalanan (trips) berdasarkan fasilitas yang ada. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan perjalanan, yaitu:
1) Peningkatan pendapatan merupakan sifat manusia bahwa apabila penghasilannya meningkat maka standar kebutuhan hidupnya juga akan meningkat. Kebutuhan
(30)
yang meningkat dapat menyebabkan peningkatan jumlah perjalanan untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
2) Kepemilikan kendaraan. Kepemilikan kendaraan pada suatu rumah tangga dapat menyebabkan kecenderungan peningkatan jumlah perjalanan pada suatu rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian di Detroit Area disebutkan bahwa peningkatan pemilikan kendaraan menyebabkan meningkatnya jumlah perjalanan penduduk perorang perhari maupun jumlah perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi;
3) Struktur rumah tangga. Struktur rumah tangga merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam menentukan peningkatan bangkitan yang terjadi di daerah pemukiman. Keluarga yang memiliki semakin banyak jumlah anggota keluarga yang produktif (berusia antara 5 sampai batas akhir usia kerja) maka kecenderungan untuk meningkatnya jumlah perjalanan semakin besar;
4) Semakin dekatnya jarak pemukiman terhadap pusat kegiatan, menurut penelitian dikatakan bahwa daerah pemukiman yang terletak di pusat kota (di mana merupakan pusat berbagai aktivitas sosial, ekonomi, politik dan lainnya) mempunyai jumlah perjalanan akan lebih meningkat dibandingkan dengan jumlah perjalanan dari kawasan pemukiman yang berada di pinggiran kota, (Dickey, 1980).
5) Kepadatan daerah permukiman; semakin padat jumlah penduduk di suatu daerah pemukiman maka cenderung semakin meningkat jumlah perjalanan yang terjadi; b. Diverted Growth: meningkatnya jumlah kendaraan akibat beralihnya rute
perjalanan karena alasan tertentu, misalnya adanya keuntungan yang didapat apabila melalui ruas jalan baru tersebut.
c. Generated atau Induced Growth: meningkatnya jumlah kendaraan akibat semakin mudahnya mobilitas dan aksesibilitas di ruas jalan tersebut, misalnya ada pembangunan jalan baru atau perbaikan jalan lama.
d. Converted Growth: meningkatnya jumlah kendaraan akibat adanya rute angkutan umum baru (sebelumnya tidak ada).
Disisi lain, berbagai faktor yang juga mempengaruhi pertumbuhan lalu lintas diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kepemilikan kendaraan, pertumbuhan tata guna lahan, pertumbuhan Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR), pertumbuhan lalu lintas jam puncak, dan sebagainya, yang memerlukan survei data dan pembahasan lebih lanjut. Sedangkan, dalam perhitungan, untuk perkiraan arus lalu lintas yang membebani jaringan rencana jalan diwaktu mendatang dapat ditentukan melalui metode skenario. Skenario Faktor Pertumbuhan rendah, sedang maupun tinggi. Skenario-skenario tersebut dapat diasumsikan berdasarkan Faktor Pertumbuhan (FP) penduduk, panjang jalan, lalu lintas, pemilikan kendaraan dan lain-lainnya yang umumnya diperoleh melalui data sekunder.
(31)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Umum
Sesuai dengan permasalahan dan skope yang akan dibahas dalam mencapai tujuan penelitian ini, maka perlu adanya rancangan metode penelitian yang merupakan langkah-langkah rinci pelaksanaan penelitian. Rancangan penelitian ini merupakan kerangka kegiatan terstruktur untuk menampilkan urutan kerja yang sistematis dari awal sampai keluar hasil yang diharapkan. Kerangka kegiatan ini umumnya meliputi Studi Pendahuluan untuk mengetahui kondisi eksisting. Kemudian, mengidentifikasi permasalahan dan tujuan sesuai kondisi ideal yang diharapkan. Dengan demikian, berdasarkan metode yang akan diaplikasikan dapat selanjutnya dilakukan klasifikasi data yang dibutuhkan dan pengumpulan data sesuai jenis dan tingkat keterbatasan penelitian yang ada. Langkah berikutnya adalah analisis data dan pembahasan terhadap hasil perhitungan yang diperoleh. Terakhir, berdasarkan permasalahan dan tujuan yang telah ditetapkan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan serta saran-saran sebagai rekomendasi penyempurnaan kondisi eksisting dan perbaikan terhadap kegiatan penelitian yang telah dilakukan. Penetapan langkah-langkah dalam penelitian ini adalah hal yang paling utama, dengan harapan agar tujuan dan sasaran tercapai dengan baik serta terarah, terutama bila dikaitkan terhadap waktu, kualitas dan biaya yang tersedia.
3.2
Tahapan dan Diagram Alir Penelitian
Dalam penelitian ini, Rancangan Penelitian (Survey Design) selanjutnya
dijabarkan lebih detail dalam tahapan langkah-langkah penelitian. Pengorganisasian tahapan langkah dalam penelitian ini, dijelaskan dengan diagram alir pemikiran seperti ditunjukkan Gambar 3.1, di bawah ini. Pada beberapa Sub-bab berikut akan dijelaskan masing-masing tahapan penelitian tersebut secara detail. Masing-masing tahapan penelitian mencakup langkah-langkah pelaksanaan penelitian dari awal sampai akhir. Dalam bab ini dijelaskan metode untuk melakukan langkah-langkah pembebanan lalu lintas pada jalan perintis di wilayah Barat-Selatan Nusa Penida, yang diharapkan nantinya menjadi jalan perintis Lingkar di Nusa Penida.
Tahapan dalam penelitian ini diawali dengan suatu identifikasi daerah/wilayah rencana lokasi pembangunan jalan, mengenali permasalahannya, sehingga dapat ditetapkan sebagai suatu lokasi kasus penelitian. Selanjutnya, mengidentifikasi kebutuhan pustaka yang akan digunakan serta data yang dibutuhkan. Dengan menetapkan tujuan sebagai acuan setiap tahapan penelitian, serta berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi terkait dilakukan pentahapan analisis sbb:
1. Membagi wilayah yang bangkitan lalu lintasnya berpengaruh terhadap kinerja Jalan
Lingkar Barat-Selatan Nusa Penida kedalam zona-zona, sehingga asal-tujuan setiap bangkitan lalu lintas dapat diketahui.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang diprediksi mempengaruhi bangkitan perjalanan
pada setiap zona sehubungan dengan prinsip trase jalan yang ditetapkan, sehingga dapat ditentukan besaran bangkitan lalu lintas pada masing-masing zona.
(32)
3. Menganalisis perkembangan kawasan sekitar yang menentukan Faktor Pertumbuhan (FP) lalu lintas yang berpengaruh langsung terhadap besarnya beban lalu lintas jalan sepanjang Umur Rencana (UR) jalan..
4. Menganalisis pembebanan lalu lintas dari tahun ke tahun sepanjang Umur Rencana
(UR) jalan perintis Barat-Selatan Nusa Penida yang direncanakan dari tahun 2020 (awal Umur Rencana) sampai dengan tahun 2045 (akhir Umur Rencana) jalan tersebut.
5. Menghitung kapasitas jalan dan menentukan jumlah lajur yang dibutuhkan sesuai
perkembangan beban lalu lintas yang harus diakomodasi oleh jalan perintis tersebut, sehingga diperoleh kebutuhan jumlah lajur awal dan saat perlunya pelebaran (tambahan lajur) sesuai peningkatan beban lalu lintas yang terjadi.
Berdasarkan kebutuhan langkah-langkah analisis dan pembahasan tersebut di atas, sesuai dengan tahapan dan tujuan yang hendak dicapai, maka diagram alir dari penelitian ini dapat disajikan seperti pada Gambar 3.1.
Batasan Masalah
Tujuan Penelitian Tinjauan Pustaka
dan
Studi-studi terdahulu
Pengumpulan Data
2. Data Sekunder
Lay out Rencana Jalan
Wilayah dan Jaringan Jalan
Penduduk dan Pertumbuhannya
Pemilikan Kendaraan
Jumlah penumpang pada pelabuhan.
RTRW Kecamatan Nusa Penida
1. Data Primer
Observasi kondisi fasilitas jalan
eksisting
Data kecepatan lalu lintas
Volume lalu lintas
Komposisi moda–moda
kendaraan
Studi Pendahuluan
Analisis dan Pembahasan
Bangkitan Perjalanan Eksisting pada
masing-masing zona
Bangkitan Perjalanan: Desa Pecatu tahun 2000
(0,34 orang-perj/hari) Kondisi wilayah:
Berkapur, Masih Alamiah, Hanya jalan stapak
(33)
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian dalam Analisis Pembebanan Lalu lintas
3.3 Survei Geometri Jalan Eksisting
Tujuan survei geometri jalan eksisting adalah untuk mengetahui karakteristik jalan dalam kaitannya dengan pembebanan lalu lintas yang harus diakomodasi saat ini. Data yang diambil pada geometri jalan meliputi panjang jalan, lebar perkerasan, lebar efektif, lebar bahu jalan, jenis perkerasan, kondisi permukaan, median jalan, kemiringan dan jumlah lajur.
Peralatan yang digunakan
Surveyor dilengkapi dengan alat ukur berupa meteran, blangko survei dan alat tulis.
Metoda survei pada pengumpulan data ini adalah:
- Pencatatan dilakukan secara manual melalui pengukuran langsung di lapangan.
- Survei dilakukan oleh tiga orang surveyor, yaitu satu orang mencatat data dan dua
orang melakukan pengukuran.
Bangkitan Perjalanan pada Awal Umur Rencana (UR)
Jalan tahun 2020
Kebutuhan pengembangan Jalan dalam Interval Umur Rencana (UR) 25 tahun
Kesimpulan dan Saran
Kapasitas Jalan Perintis sbg Jalan Lingkar
Barat-Selatan Nusa Penida Asumsi: Karakteristik Jalan Perintis dan Hambatan Samping Data Pertumbuhan:
- Pesimis (Rendah), - Moderat (Medium) dan - Optimis (Tinggi)
Prediksi Pembebanan Lalu Lintas
25 Tahun Kedepan (2020-2045)
Bangkitan Perjalanan: Desa Jimbaran thn 2000
(0,81 orang-perj/hari
Perkembangan Wilayah dari tahun ke tahun - Penduduk
- - Penumpang Pelabuhan
- - Wisatawan ke Nusa
Penida
Kondisi wilayah: Berkapur, Sudah mulai terbangun,
Dilewati jalan berkelas
Pembebanan Lalu lintas pada Awal Umur Rencana
(UR) Jalan tahun 2020 A
(34)
3.4
Survei Lalu lintas
3.4.1 Survei Volume Kendaraan (Traffic Counting Survey)
Data pencacahan volume lalu lintas dimaksudkan sebagai informasi dasar yang diperlukan untuk fase perencanaan, desain, manajemen sampai pengoperasian jalan. Data tersebut dapat mencangkup jaringan jalan pada satu daerah yang diinginkan atau pada jalan-jalan yang melintasi garis batas yang mewakili volume rencana. Survei volume lalu lintas pada penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data mengenai tingkat penggunaan jaringan yang telah ada di Nusa Penida, seperti: volume lalu lintas per jam, volume lalu lintas per hari, klasifikasi/komposisi kendaraan dan lain-lain.
Pada hakekatnya jangka waktu survei tergantung dari maksud pelaksanaan survei dan kondisi lalu lintas yang akan dianalisis. Survei dapat dilakukan mulai dari satu jam hingga satu hari penuh, tergantung informasi awal yang diperoleh mengenai terjadinya jam-jam sibuk lalu lintas. Pada penelitian ini survei dilakukan dengan metode
manual melalui pencacahan volume lalu lintas mulai dari jam 6.00 hingga 10.00 untuk mendapatkan jam sibuk tertinggi sebagai Volume Jam Perencanaan (VJP), yang berdasarkan informasi awal berada diantara jam-jam tersebut.
Prosedur pelaksanaan survei ini yaitu penyurvei menempati suatu titik yang tetap di tepi jalan sedemikian rupa, sehingga dia mendapatkan pandangan yang jelas dan sedapat mungkin agar penyurvei terhindar dari panas dan hujan. Penyurvei mencatat setiap kendaraan yang melintasi titik yang telah ditentukan pada formulir survei lapangan. Pencatatan volume kendaraan dilakukan tiap interval 15 menit. Alat-alat yang diperlukan dalam survei ini adalah formulir survei, alat tulis dan pencatat waktu (stop watch). Pencatatan data dilakukan secara terpisah untuk masing-masing arah lalu lintas, dan kemudian dijumlahkan pada tahap analisis guna memperoleh volume total untuk kedua arah.
3.4.2 Survei Kecepatan Perjalanan
Survei ini bertujuan untuk menentukan kecepatan rata-rata perjalanan dari satu
zona ke zona lainnya. Metode yang digunakan adalah Metode Manual. Dalam metode
ini ditentukan jarak 200m pada segmen jalannya dan kecepatan masing-masing sampel kendaraan dicatat per 15 menit sebagai dasar untuk distribusi sampel kecepatan. Setelah waktu tempuh dan jarak perjalanan diperoleh, maka kecepatan dari masing-masing sampel dapat dicari dengan rumus:
t S V
dengan:
V = kecepatan tempuh (km/jam)
S = jarak perjalanan (km)
t = waktu perjalanan (jam)
3.5
Bangkitan Perjalanan Nusa Penida
3.5.1 Pengembangan Model Bangkitan Perjalanan pada Zona berbasis Desa. Bangkitan perjalanan pada zona berbasis desa menunjukkan hubungan antara tata guna lahan di wilayah desa tersebut dengan jumlah pergerakan yang memasuki dan
(1)
Laporan Penelitian Analisis Pembebanan Lalu Lintas pada Perencanaan Jalan-Jalan Perintis
Daftar Pustaka 57
DAFTAR PUSTAKA
Andrimulia, M dan Kusumantoro, I. P. (2001), “Kajian Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kinerja Ruas Jalan Arteri Perkotaan”, Simposium ke-4 FSTPT, Udayana Bali, 8 November 2001.
Ashley, C. A. (1994), Traffic and Highway Engineering for Developments, Oxford Blackwell Scientific Publications, Oxford.
Banister, D. (1995), “Transport and Urban Development” (Ed.), E and FN Spon, An Imprint of Champman and Hall, London.
Baraas, H. Ahmad (2007), “Pembangunan Bali Kurang Menyentuh Rakyat Miskin”,
Republika, 25 Juni 2007.
Black, J. (1981), Urban Transport Planning, Theory and Practice, Croom Helm Ltd., London.
Blunden, W. R. dan Black, J. A. (1984), The Land Use / Transport System, 2nd edition, Pergamon Press, Sydney.
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Klungkung (2004), Klungkung Dalam Angka 2004, Katalog BPS: 1403.5105.
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Klungkung (2009), Klungkung Dalam Angka 2009, Katalog BPS: 1102001.5105.
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Klungkung (2012), Kecamatan Nusa Penida Dalam Angka, 2012.
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Klungkung (2013), Klungkung Dalam Angka, 2013.
Daly, A. (1997), “Improved Methods for Trip Generation”, in Transport planning methods volume II, Proceeding of seminar F, Brunell University, England. Diparda Kabupaten Klungkung, 2002. Analisis Potensi Wisata Nusa Penida, Kabupaten
Klungkung. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Kepariwisataan Jurusan Manajemen Kepariwisataan Sekolah Tinggi Pariwisata Bali.
Dissanayake, Dilum (2006), “Integrated Transport and Land Use Policies for Developing Countries”, Transport Operations Research Group, Advanced OR and AI Methods in Transportation, University of Newcastle upon Tyne, Newcastle.
DURD (Directorate of Urban Road Development) (1997), Indonesian Highway Capacity Manual, Jakarta, Indonesia.
Gakenheimer R (1999), “Urban Mobility in the Developing World”, Transportation Research Part A, No.33: PP 671–689.
Hills, P. J. (1996), “What Is Induced Traffic?”Transportation, vol.23, pp.5-16, Kluwer Academic Publishers, Netherlands.
IHT/Institution of Highways and Transportation (1996), Guidelines for Developing Urban Transport Strategies, London.
IHT/Institution of Highway and Transportation (1997), Transport in the Urban Environment, IHT Publishing, London.
Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Nusa Penida (2014), Data Operasional Pelabuhan Kantor Pelabuhan Nusa Penida.
Keban, Y.T. (1999), “Pemberdayaan Pemda”. Makalah pada Lokakarya Kecamatan
sebagai pusat pengembangan ekonomi, Yogyakarta.
Khisty,C.J. dan Lall, B. K. (2005), Dasar-dasar Rekayasa Transportasi (terjemahan), Edisi Ke-3, Penerbit Erlangga, Jakarta.
(2)
Laporan Penelitian Analisis Pembebanan Lalu Lintas pada Perencanaan Jalan-Jalan Perintis
Daftar Pustaka 58
Kinog, K., 2006. Pembangunan Klungkung Terpadu dan Berdasarkan Potensi. Klungkung Tourism Board.
Lane, R., T. J. Powell and P. P. Smith (1974). Analytical Transport Planning, Gerald Duckworth and Company Ltd., London.
Mannheim, M. L. (1979), Fundamentals of Transportation Systems Analysis, The MIT Press Massachusetts.
Maskur Riyadi, D.M. (2000). Pengembangan Wilayah dan Ekonomi Masyarakat di Daerah, Kepala Biro Kewilayahan, Deputi Regional dan Sumber Daya Alam, Bappenas, Diseminasi dan Diskusi Hotel Novotel, Bogor, 15-16 Mei 2000. Miller, E. J., Kriger, D. S. dan Hunt, J. D. (1998), Integrated Urban Models for
Simulation of Transit and Land-Use Policies. TCRP Project H-12.
May, A. D. (1990), Traffic Flow Fundamentals, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Oglesby, C. H. and Hicks, R. G. (1982), Highway Engineering, Fourth edition, John Wiley and Son Ltd., New York.
Oppenheim, N. (1995), Urban Travel Demand Modeling: From individual choices to general equilibrium, A Wiley-Interscience Publication John Wiley and Sons, inc., Toronto.
Ortuzar, J. de D. dan Willumsen, L. G. (1994), Modeling Transport, Second edition, John Wiley and Sons Ltd., Chichester.
Pemerintah Provinsi Bali (2003), Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2003-2010, Buku Rencana, Denpasar.
Pemerintah Provinsi Bali (2005), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005, Denpasar, Bali.
Pemerintah Provinsi Bali (2009), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali tahun 2009-2029, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009, Denpasar, Bali.
Salter, R. J. dan N. B. Hounsell (1996), Highway Traffic Analysis and Design, Third edition, Macmillan Press Ltd., London.
Snelson, P. et al(1994), “Determining Highway Capacity and Level of Service”, in The 22nd European Transport Forum, September 1994, Warwick, England. Suweda, I W. (2002), Conflict Between Through and Terminating Traffic on A Link-road with Frontage Development, PhD Thesis, University of Newcastle upon Tyne, England, United Kingdom.
Taaffe, E. J., Gauthier, H. L. dan O’Kelly, M. E. (1996), Geography of Transportation, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Tamin, O.Z. (2000), Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB, Jalan Ganesa 10, Bandung.
Taylor M. A. P., Young, W. dan Bonsall, P. W. (2000), Understanding Traffic System: Data, analysis and presentation, Second Edition, Athenaeum Press Ltd., Gateshead, Tyne and Wear, England.
Transportation Research Board (1985), Highway Capacity Manual, Special report 209, TRB, Washington D.C.
Webster, F. V., F. H. Bly and N. J. Paulley (1988). Urban Land-Use and Transport Interaction: Policies and Models, Report of the International Study Group on Land-Use/Transport Interaction (ISGLUTI), HMSO, London.
(3)
(4)
(5)
(6)