Pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas X SMK Negeri 2 Depok.
viii
ABSTRAK
Wijayanti, Dwi Rahmawati Hanung Puguh. 2015. Pengembangan Materi Pembelajaran Kesantunan Berbahasa Indonesia Bagi Siswa Kelas X SMK Negeri 2 Depok. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji tentang pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas X. Subjek penelitian ini adalah siswa SMK Negeri 2 Depok yang berjumlah 57 siswa. Penelitian ini diawali dengan analisis kebutuhan siswa dengan menggunakan kuesioner, observasi, dan wawancara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah produk berupa pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia.
Produk ini dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu 1) observasi dan pengumpulan data di lapangan, 2) membuat desain produk, 3) penilaian desain produk oleh ahli, 4) melakukan uji coba produk di lapangan. Uji coba produk dilakukan untuk mendapatkan masukan dan saran terhadap produk pengembangan, dan 5) revisi produk.
Penilaian ahli merupakan cara untuk mengetahui kualitas dari hasil pengembangan materi ini. Penilaian yang digunakan meliputi aspek 1) ketepatan pilihan kata, 2) keefektifan kalimat dalam media, 3) penggunaan bahasa yang mudah dipahami, 4) kejelasan petunjuk dalam setiap kegiatan, 5) kesesuaian materi dengan kompetensi dan indikator, 6) kemenarikan urutan materi sehingga mudah untuk dipahami, 7) kemenarikan ilustrasi media, 8) kemenarikan komposisi huruf, tata letak dan warna dalam media, 9) kebermanfaatan media, dan 10) variasi model latihan. Nilai pada poin 4, 9, dan 10 mendapat nilai „baik sekali‟, poin 1,2,3,5,6, dan 8 mendapat nilai „baik‟, dan poin 7 mendapat nilai „kurang baik‟. Hasil dari uji coba di lapangan dan validasi produk tersebut menyatakan bahwa, materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia ini layak dan baik untuk digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas X.
(2)
ix
ABSTRACT
Wijayanti, Dwi Rahmawati Hanung Puguh. 2015. Development of Learning Material on the Politeness of Using Indonesian Language for Grade X Students of SMK Negeri 2 Depok. Thesis. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
This research reviewed the development of learning material on the politeness of using Indonesian language for grade X students. The research subjects were 57 students of SMK Negeri 2 Depok. This research began with a need analysis of the students by using questionnaire, observation, and interview. The objective of this research was to develop a product in the form of the development of learning material on the politeness of using Indonesian language.
The product was developed through several stages: 1) observation and data gathering in the field, 2) making the product design, 3) assessment of the product design by expert, 4) conducting trial of the product in the field. The trial of the product was conducted to obtain feedback and suggestions for product development, and 5) revision of the product.
Expert‟s assessment was a way to see the quality of the result of the material development. The used assessment included several aspects: 1) appropriateness of diction, 2) effectiveness of sentences in media, 3) use of easily understood language, 4) clarity of instruction in each activity, 5) suitability of the material with the competence and indicators, 6) attractiveness of the material sequence to be easily understood, 7) attractiveness of the media illustration, 8) attractiveness of the letter composition, layout and color in the media, 9) usefulness of the media, and 10) variation of the exercise model. Value at points of 4, 9 and 10 scored 'very good', points of 1,2,3,5,6 and 8 scored 'good', and point of 7 scored 'not good'. The result of the trial in the field and the validation of the product showed that the learning material on politeness of using Indonesian language was feasible and good to be used for teaching grade X students.
(3)
i
PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA BAGI SISWA KELAS X
SMK NEGERI 2 DEPOK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh
Oleh:
Dwi Rahmawati Hanung Puguh Wijayanti 101224051
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2015
(4)
(5)
(6)
iv
Motto
Jangan pernah menyesal dengan keputusan
yang telah kau ambil, sebenarnya tak ada
keputusan yang baik atau buruk. Tinggal
bagaimana manusia itu membuat pilihan
tersebut menjadi baik atau buruk.
(Anonim)
Perjuangkanlah hal yang menurutmu
membahagiakan karena bahagiamu
ditentukan oleh dirimu sendiri
bukan orang lain.
(7)
v
Persembahan
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Orang tua tersayang Hadi Suharso dan Suryatijah
Terimakasih atas semua yang kalian berikan, walaupun semua tak pernah sesuai dengan apa yang sewajarnya tapi saya tetap bangga
dengan kalian.
Iwan Risnanto
Yang penuh sabar, setia, sayang, dan pengertian menemani saya selama ini dan sampai selamanya.
Alfadeo Rizky Anthony Faith
Malaikat kecilku yang selalu memberikan motivasi dengan tingkahnya yang pintar, lucu, menggemaskan, dan terkadang
(8)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 21 September 2015 Penulis
(9)
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Dwi Rahmawati Hanung Puguh Wijayanti Nomor Mahasiswa : 101224051
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul :
PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA BAGI SISWA KELAS X
SMK NEGERI 2 DEPOK
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal : 21 September 2015 Yang menyatakan,
(10)
viii
ABSTRAK
Wijayanti, Dwi Rahmawati Hanung Puguh. 2015. Pengembangan Materi Pembelajaran Kesantunan Berbahasa Indonesia Bagi Siswa Kelas X SMK Negeri 2 Depok. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji tentang pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas X. Subjek penelitian ini adalah siswa SMK Negeri 2 Depok yang berjumlah 57 siswa. Penelitian ini diawali dengan analisis kebutuhan siswa dengan menggunakan kuesioner, observasi, dan wawancara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah produk berupa pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia.
Produk ini dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu 1) observasi dan pengumpulan data di lapangan, 2) membuat desain produk, 3) penilaian desain produk oleh ahli, 4) melakukan uji coba produk di lapangan. Uji coba produk dilakukan untuk mendapatkan masukan dan saran terhadap produk pengembangan, dan 5) revisi produk.
Penilaian ahli merupakan cara untuk mengetahui kualitas dari hasil pengembangan materi ini. Penilaian yang digunakan meliputi aspek 1) ketepatan pilihan kata, 2) keefektifan kalimat dalam media, 3) penggunaan bahasa yang mudah dipahami, 4) kejelasan petunjuk dalam setiap kegiatan, 5) kesesuaian materi dengan kompetensi dan indikator, 6) kemenarikan urutan materi sehingga mudah untuk dipahami, 7) kemenarikan ilustrasi media, 8) kemenarikan komposisi huruf, tata letak dan warna dalam media, 9) kebermanfaatan media, dan 10) variasi model latihan. Nilai pada poin 4, 9, dan 10 mendapat nilai „baik
sekali‟, poin 1,2,3,5,6, dan 8 mendapat nilai „baik‟, dan poin 7 mendapat nilai „kurang baik‟. Hasil dari uji coba di lapangan dan validasi produk tersebut menyatakan bahwa, materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia ini layak dan baik untuk digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas X.
(11)
ix
ABSTRACT
Wijayanti, Dwi Rahmawati Hanung Puguh. 2015. Development of Learning Material on the Politeness of Using Indonesian Language for Grade X Students of SMK Negeri 2 Depok. Thesis. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
This research reviewed the development of learning material on the politeness of using Indonesian language for grade X students. The research subjects were 57 students of SMK Negeri 2 Depok. This research began with a need analysis of the students by using questionnaire, observation, and interview. The objective of this research was to develop a product in the form of the development of learning material on the politeness of using Indonesian language.
The product was developed through several stages: 1) observation and data gathering in the field, 2) making the product design, 3) assessment of the product design by expert, 4) conducting trial of the product in the field. The trial of the product was conducted to obtain feedback and suggestions for product development, and 5) revision of the product.
Expert‟s assessment was a way to see the quality of the result of the material development. The used assessment included several aspects: 1) appropriateness of diction, 2) effectiveness of sentences in media, 3) use of easily understood language, 4) clarity of instruction in each activity, 5) suitability of the material with the competence and indicators, 6) attractiveness of the material sequence to be easily understood, 7) attractiveness of the media illustration, 8) attractiveness of the letter composition, layout and color in the media, 9) usefulness of the media, and 10) variation of the exercise model. Value at points of 4, 9 and 10 scored 'very good', points of 1,2,3,5,6 and 8 scored 'good', and point of 7 scored 'not good'. The result of the trial in the field and the validation of the product showed that the learning material on politeness of using Indonesian language was feasible and good to be used for teaching grade X students.
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah dan berkat-Nya hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul “Pengembangan Materi Pembelajaran Kesantunan Berbahasa Indonesia Bagi Siswa Kelas X SMK Negeri 2 Depok”, ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu dan memberi dorongan serta dukungannya dalam penulisan skripsi ini.
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia.
3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing pertama yang dengan sabar dan bijaksana membimbing, menuntun, dan memberikan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku dosen pembimbing kedua yang dengan sabar dan bijaksana membimbing, menuntun, dan memberikan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Robertus Marsidiq karyawan sekretariat PBSI yang selalu sabar memberikan pelayanan dan membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan kuliah di PBSI sampai dengan menyelesaikan skripsi ini. 6. Ayahku tercinta Hadi Suharso dan Ibuku tersayang Suryatijah yang penuh
kasih sayang mendukungku, menuntunku dengan penuh perhatian, serta selalu mendoakan dan memfasilitasi penulis.
7. Iwan Risnanto dan Alfa Deo Rizky Anthony Faith yang menyemangati, menginspirasi dan selalu mendoakan penulis.
8. Sahabat-sahabatku Kristin Anggraeni, S.Pd., Beti Meliana Fitri, yang telah membantu penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini.
(13)
xi
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang telah mendoakan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pengabdi pendidikan dan semua pemerhati pendidikan, terutama bagi penulis sendiri. Selamat membaca, memahami, dan mengkritisi.
Yogyakarta, 21 September 2015 Penulis,
(14)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR ISI MODUL………... xiv
DAFTAR BAGAN ... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 4
1.3Tujuan Penelitian ... 4
1.4Manfaat Penelitian ... 4
1.5Batasan Istilah ... 5
1.6Sistematika Penulisan ... 5
BAB II LANDASAN TEORI ... 7
2.1Penelitian yang Relevan ... 7
2.2Landasan Teori ... 9
2.2.1 Pragmatik ... 9
2.2.2 Teori Tindak Tutur ... 10
2.2.3 Prinsip Kesantunan ... 12
2.2.4 Etika Berbahasa dalam Kegiatan Bertutur ... 13
(15)
xiii
2.2.6 Penentu Kesantunan ... 15
2.2.7 Indikator Kesantunan Berbahasa Indonesia ... 16
2.2.8 Kurikulum 2013 ... 21
2.2.9 Materi Pembelajaran………. 25
2.2.10 Tipe-tipe Materi ... 26
2.2.11 Unsur-unsur Pembelajaran ……… 27
2.2.12 Kerangka Berpikir……… 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 33
3.1Jenis Penelitian ... 33
3.2Sumber Data ... 33
3.3Data Penelitian ... 33
3.4Metode Pengumpulan Data ... 33
3.5Instrumen Penelitian... 34
3.6Teknik Analisis Data ... 34
3.7Metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) ………... 35
3.8Prosedur Pembuatan Produk………. 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ... 42
4.1Deskripsi Data ... 42
4.2Analisis Data ... 44
4.2.1 Analisis Data Kuesioner ... 44
4.2.2 Analisis Data Wawancara ... 56
4.2.3 Analisis Data Observasi ... 57
4.3Pembahasan ... 58
BAB V PENUTUP……… 66
5.1Kesimpulan ... 66
5.2Implementasi ... 67
5.3Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 69
(16)
xiv
DAFTAR ISI MODUL
Halaman Muka
Kata Pengantar………. i
Petunjuk Penggunaan Modul……… ii
Daftar Isi………... iii
BAB I……… 1
A. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar……… 1
B. Berbahasa Indonesia yang Santun………. 2
BAB II……….. 4
BAB III………. 6
BAB IV……….... 8
BAB V………. 10
BAB VI……… 13
(17)
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir ... 30 Bagan 3.1 Prosedur Pembuatan Produk ... 37 Bagan 3.2 Pengembangan Modul Kesantunan Siswa ... 40
(18)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Penggunaan Bahasa yang Beraura Santun ... 45
Tabel 4.2 Penggunaan Bahasa dalam Pergaulan ... 47
Tabel 4.3 Penggunaan Maksim Kerendahan Hati ... 50
Tabel 4.4 Penggunaan Maksim Kebijaksanaan ... 51
Tabel 4.5 Penggunaan Maksim Kemurahan Hati ... 53
Tabel 4.6 Penggunaan Maksim Kesetujuan ... 54
(19)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi dalam masyarakat yang paling utama. Dengan bahasa orang dapat menyampaikan pesan kepada orang lain. Tarigan (1994:2) menyatakan keterampilan berbahasa terdapat empat aspek, yaitu berbicara, membaca, menulis, dan mendengarkan.
Gorys Keraf (1991:6) menyatakan dalam berbahasa tergantung pada medium yang dipakai dan relasi antara partisipan yang terlibat dalam tuturan. Terdapat dua ragam dalam berbahasa, yaitu ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan. Seperti yang kita ketahui, ragam lisan merupakan ragam bahasa yang diucapkan secara langsung oleh penutur kepada lawan tutur. Sedangkan, ragam bahasa tulis merupakan ragam bahasa yang tertulis seperti buku, majalah, surat kabar dan lain sebagainya yang mempunyai beberapa pedoman penulisan pada setiap ragam tulis. Mengungkapkan gagasan tulis tidaklah mudah karena dalam bahasa tulis tidak terdapat intonasi, gerak-gerik ataupun mimik yang dapat membantu pemahaman terhadap isi atau gagasan yang diungkapkan oleh penulis. Oleh karena itu, bahasa tulis harus lebih baik dan lebih jelas daripada bahasa lisan. Tulisan merupakan media komunikasi antara penulis dan pembaca. Penulis mengungkapkan ide, maksud, tujuan, gagasan ke dalam bentuk wacana atau tulisan. Selanjutnya, pembaca menafsirkan apa makna yang tersirat dari wacana atau tulisan tersebut.
(20)
Ragam bahasa tulis maupun lisan tentu tidak akan lepas dari aspek kesantunan. Dalam aspek ini kesantunan sangat diperhatikan karena berpengaruh terhadap interaksi sosial penutur dan lawan tutur. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila bahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Cara berbahasa yang baik sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (penutur dan mitra tutur) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena hal tersebut bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu. 2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu. 3. Kapan giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara. 5. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Banyak ahli yang menyatakan teori kesantunan berbahasa. Diantaranya adalah Grice (1975:45). Ia menyatakan setiap penutur harus menaati empat maksim kerjasama, yaitu: maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan
(21)
maksim pelaksanaan. Austin (dalam Nababan,1987), menyatakan ujaran terbagi menjadi dua jenis yaitu: ujaran konstantif dan ujaran performatif. Sedangkan, Searle (dalam Rahardi,2005), membagi tuturan menjadi lima macam yaitu: asertif, direktif, ekspresif, komisif, deklaratif.
Berbahasa yang baik adalah ketika kita dapat berbahasa dengan baik dan benar. Berbicara yang baik dapat terlihat ketika mitra tutur dapat mengerti secara jelas apa yang kita bicarakan, dan tentunya tidak membuat mitra tutur menjadi rendah diri. Disini kesantunan menjadi perlu dalam sebuah tuturan dengan mitra tutur. Dewasa ini perilaku berbahasa yang baik belum terdapat pedoman pasti. Namun, cara berbahasa yang baik sudah tersosialisasikan secara luas di kalangan masyarakat. Dengan pembelajaran kesantunan berbahasa yang dikolaborasikan dengan pelajaran Bahasa Indonesia di dalam kelas dapat meningkatkan kesantunan berbahasa siswa di sekolah. Di dalam sebuah pembelajaran di kelas, terkadang ada siswa yang berbicara atau bertanya kurang santun terhadap gurunya (biasanya guru tersebut yang tidak disukai siswa). Sehingga terkesan murid kurang menghargai guru yang sedang mengajar di kelas tersebut. Sehingga, materi kesantunan yang ada perlu dikembangkan dan ditingkatkan di sekolah yang nantinya dapat digunakan tidak hanya di lingkungan sekolah, namun dapat digunakan di lingkungan masyarakat.
Pengembangan materi kesantunan ini selain dapat meningkatkan kualitas tuturan antara penutur dan mitra tutur juga merupakan target dalam kurikulum baru (2013) tentang aspek sikap sosial dan keterampilan. Di sekolah khususnya SMK yang pada dasarnya siswa yang dipersiapkan langsung untuk dunia kerja
(22)
tentu membutuhkan keterampilan berbahasa yang memadai untuk terjun di dunia kerja (sosial). Kesantunan berbahasa tentu sangat diperlukan untuk membuat orang lain (atasan atau sesama karyawan) senang dan tidak merasa rendah diri ketika sedang terlibat percakapan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian pengembangan ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Tujuannya adalah ingin mengembangkan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak. 1. Bagi guru bahasa Indonesia, sebagai bahan untuk memperoleh informasi
tentang pengaruh kesantunan berbahasa dalam kegiatan pembelajaran sehingga mampu mencapai tujuan komunikasi yang diinginkan dalam kegiatan pembelajaran.
2. Bagi mahasiswa dan calon guru bahasa Indonesia, sebagai bahan pertimbangan dan renungan dalam melakukan komunikasi di dalam kelas, sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan secara lancar dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
3. Bagi peneliti lain, sebagai bahan informasi atau bandingan untuk melakukan penelitian lain yang mengambil objek kemampuan berbahasa dan penguasaan
(23)
tingkat kesantunan, agar penelitian yang hendak dikaji memiliki ciri dan kekhasan tertentu.
4. Bagi siswa, sebagai upaya peningkatan kemampuan berbahasa santun yang selama ini terabaikan, dan meningkatkan kualitas diri dan kualitas pembelajaran di kelas.
5. Bagi peneliti, sebagai salah satu bagian dari syarat penyelesaian perkuliahan dan tugas akhir.
1.5Batasan Istilah
Pembahasan dalam penelitian ini hanya mencakup beberapa hal saja. Oleh karena itu, penulis mencantumkan batasan istilah yang dipakai supaya pembahasan dalam penelitian ini tidak melebar dan meluas sehingga mudah dimengerti para pembaca.
1. Pengembangan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pengembangan berarti proses atau cara perbuatan mengembangkan. Pengembangan bahasa ditujukan untuk meningkatkan kualitas bahasa agar dapat dipakai untuk berbagai keperluan komunikasi dalam masyarakat.
2. Kesantunan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kesantunan berasal dari kata dasar santun yang berarti halus dan baik ( budi bahasanya, tingkah lakunya).
(24)
3. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran merupakan materi minimal yang dipersiapkan untuk para pengajar dalam menyampaikan pembelajaran kepada peserta didik (Anitah:2010:1).
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada bab I akan diuraikan tentang pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi kajian pustaka, yang terdiri dari: penelitian yang relevan dan landasan teori. Bab III berisi tentang metodologi penelitian, yang terdiri dari: jenis penelitian, sumber data dan data penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, uraian produk penelitian, dan analisis data. Bab IV berisi tentang hasil penelitian, dan pembahasannya. Bab V berisi tentang penutup, yang terdiri dari: kesimpulan dan saran.
(25)
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian yang Relevan
Ada empat penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang pertama dilakukan oleh M.T. Oktaviani Pratiwi pada tahun 2010 dalam skripsinya
yang berjudul “Kesantunan Berbahasa Elit Politik Dalam Tayangan di Metro TV: Today’s Dialogue dan SaveOur Nations”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk tuturan yang tidak santun, bentuk tuturan yang santun, indikator tuturan yang santun, dan kaidah kesantunan berbahasa. Skripsi ini juga mendeskripsikan tentang kesantunan berbahasa yang digunakan oleh elit politik. Hasilnya peneliti menemukan bahwa sebagian tuturan elite politik belum menggunakan bahasa yang santun. Penutur melakukan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah kesantunan berbahasa. Pelanggaran yang paling menonjol adalah pelanggaran konsep muka positif.
Penelitian kedua dilakukan oleh Ayuningtyas Kusumastuti pada tahun 2010 dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan Berbahasa Indonesia Pembawa Acara Stasiun Televisi Swasta Nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan keteraturan pembawa acara televisi dalam merealisasikan kesantunan tuturan. Hasilnya peneliti menemukan enam kelompok tuturan santun pembawa acara televisi, kemudian empat strategi yang digunakan para pembawa acara untuk mewujudkan tuturan santun tersebut, dan peneliti menemukan penanda bahasa verbal dan nonverbal yang menunjukkan kesantunan berbahasa para pembawa acara televisi.
(26)
Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Yohanes Supriyantono pada tahun 2011 dalm skripsinya yang berjudul Kesantunan Menyuruh, menolak, dan Menerima Suruhan Dalam Bahasa Indonesia Antara Guru Dan Murid Di SMP Sanjaya Girimulyo. Skripsi ini mempunyai tujuan untuk menemukan jawaban terhadap masalah bagaimanakah kesantunan menyuruh, menerima, dan menolak antara guru dan murid dalam bahasa Indonesia. Hasilnya peneliti menemukan bahwa kesantunan berbahasa Indonesia dalam bentuk kalimat imperatif dapat diwujudkan dengan penanda kesantunan mari, ayo, tolong, sebaiknya, silakan, dimohon, diminta, dan diharap. Kesantunan berbahasa Indonesia dalam bentuk kalimat interogatif ditandai oleh penggunaan modalitas, kata tanya, dan kata negative tidak. Kesantunan berbahasa Indonesia dalam kalimat deklaratif ditandai oleh pernyataan keadaan tertentu, kebutuhan bagi penutur, pernyataan senang penutur, dan kalimat definitif.
Penelitian keempat dilakukan oleh Weny Anugraheni pada tahun 2011 dalam skripsinya yang berjudul Jenis Kesantunan Dan Penyimpangan Maksim Kesantunan Dalam Tuturan Imperatif Guru Kepada Siwa Kelas VIII SMP Negeri 1 Pringsurat Temanggung Dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Skripsi ini mempunyai tujuan untuk menjawab dua pertanyaan yaitu jenis kesantunan apa yang terdapat dalam tuturan imperatif guru kepada siswa dan jenis penyimpangan maksim kesantunan apa saja yang terdapat dalam tuturan imperatif yang diucapkan guru kepada siswa. Hasil pertama dari penelitian tersebut yaitu terdapat dua jenis kesantunan dalam tuturan imperatif yaitu jenis kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan deklaratif dan kesantunan pragmatik imperatif dalam
(27)
tuturan interogatif. Hasil kedua peneliti menemukan lima penyimpangan maksim yang terjadi dalam tuturan imperatif yang dituturkan guru SMP Negeri 1 Pringsurat yaitu maksim kemurahan hati, maksim kebijaksanaan, maksim cara, maksim pemufakatan, dan maksim penghargaan.
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada spesifikasinya. Peneliti mengambil tema, pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia pada siswa SMK.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pragmatik
Leech (dalam Nababan, 1987) menyatakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu. Bila dikaitkan dengan semantik, studi semantik bersifat komplementer yang berarti bahwa studi tentang penggunaan bahasa dilakukan baik sebagai bagian terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai bagian yang melengkapinya. Levinson (dalam Nababan, 1987) menyatakan bahwa pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Sementara Parker (dalam
Wijana, 1996) menyatakan “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of languange use to communicate”.
Pragmatik akan selalu berhubungan dengan penutur dan makna yang dipengaruhi oleh situasi. Oleh karena itu, sebuah tuturan bisa memiliki makna yang berbeda dari makna secara semantis. Hal itu berarti bahwa makna dalam pragmatik bersifat eksternal karena dipengaruhi oleh konteks, sedangkan makna dalam semantik bersifat internal. Terjadinya perbedaan makna tersebut
(28)
disebabkan oleh konteks yang digunakan. Konteks yang dimaksud adalah ihwal siapa yang mengatakan, kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat dalam tindakan mengutarakan kalimat.
2.2.2Teori Tindak Tutur
Austin (dalam Nababan, 1987) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Pernyataan tersebut kemudian mendasari lahirnya teori tindak tutur. Yule (2006) mendefinisikan tindak tutur sebagai tindakan yang dilakukan melalui ujaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan.
Ada dua jenis ujaran menurut Austin (dalam Nababan, 1987), yaitu ujaran konstatif dan performatif. Ujaran konstantif ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin, ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Jadi, dimensi pada ujaran konstatif adalah benar-salah, contoh: “Kamu terlihat
bahagia”.
Ujaran performatif yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau
(29)
perbuatan si penutur, contoh: “Dengan ini Saudara saya nyatakan bersalah”. Dimensi pada ujaran performatif adalah senang-tidak senang.
Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut.
a. Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).
b. Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).
c. Ekspresif (Expressives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).
d. Komisif (Commissives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).
(30)
e. Deklarasi (Declarations), yakni bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).
2.2.3 Prinsip Kesantunan
Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan mitra tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983). Tuturan yang santun menurut Leech, ditandai oleh adanya enam maksim yang menyertainya sebagai berikut.
a. Maksim kebijaksanaan
Maksim ini menggariskan bahwa setiap pertuturan harus meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
b. Maksim penerimaan
Maksim ini menghendaki setiap peserta pertuturan hendaknya memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
c. Maksim kemurahan hati
Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.
d. Maksim kerendahan hati
Maksim ini menuntut setiap peserta tuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
(31)
e. Maksim kesetujuan
Maksim ini menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan diantara mereka, dan meminimalkan ketidaksetujuan diantara mereka.
f. Maksim simpati
Maksim ini mengharuskan setiap penutur untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.
Teori Leech (1983) menyebutkan ada enam maksim kesantunan. Namun pada penelitian dan pembuatan materi ajar peneliti meyebutkan lima maksim yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan hati, maksim kerendahan hati, dan maksim kesetujuan.
2.2.4 Etika Berbahasa dalam Kegiatan Bertutur
Kesantunan berbahasa erat kitannya dengan substansi bahasanya, sedangkan etika berbahasa selalu erat kaitannya dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur. Geertz (dalam Chaer, 2010) mengatakan bahwa sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya itu disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.
Etika berbahasa berhubungan dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Berbahasa akan mengatur kita dalam hal apa yang harus dikatakan pada seseorang lawan tutur pada waktu dan keadaan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu, ragam bahasa yang paling wajar digunakan dalam waktu dan budaya tertentu, kapan dan bagaimana kita menggunakan waktu untuk menyela atau bergantian berbicara
(32)
dengan lawan tutur, kapan kita harus diam dan mendengarkan tuturan mitra tutur, dan bagaimana kualitas suara dan gerak fisik kita ketika berbicara.
2.2.5 Kesantunan dalam Berbahasa Indonesia
Secara singkat ada beberapa kaidah yang dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan tuturan kita agar terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita, diantaranya sebagai berikut.
a. Formalitas, artinya ketika bertutur dengan mitra tutur kita hendaknya jangan memaksa atau jangan angkuh.
b. Ketidaktegasan, artinya kita harus membuat tuturan yang sedemikian rupa agar lawan tutur kita dapat menemukan pilihan (option).
c. Kesamaan atau kesekawanan, artinya kita harus bertindak seolah-olah kita dan mitra tutur kita menjadi sama atau mitra tutur menjadi senang.
Santun atau tidaknya tuturan kita dapat dilihat dari penggunaan bahasanya. Bahasa yang digunakan dapat berupa bahasa verbal maupun bahasa non verbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang berupa rangkaian kata – kata atau tuturan yang membentuk wacana / teks baik lisan maupun tertulis. Sedangkan bahasa non verbal adalah bahasa yang dinyatakan berupa tindakan, kinesik, kinestetik, gestur, nada, mimik, dan sebagainya ketika seseorang sedang berbicara. Dalam berbahasa kita akan terlihat santun apabila pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa yang kita gunakan tepat. Pilihan kata adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek pada mitra tutur. Sedangkan yang dimaksud dengan gaya bahasa dalam tuturan yaitu kesanggupan penutur menggunakan gaya bahasa
(33)
bukan hanya sekedar untuk mengefektifkan maksud pemakaian bahasa, melainkan juga memperlihatkan keindahan tuturan dan kehalusan budi bahasa penutur.
2.2.6 Penentu Kesantunan
Seperti diungkapkan oleh Pranowo (2009), kesantunan berbahasa ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut.
a. Faktor Penentu Kesantunan
Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan antara lain meliputi aspek intonasi, aspek nada bicara, aspek pilihan kata, dan aspek struktur kalimat.
Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis yaitu pilihan kata (diksi) yang berkaitan dengan nilai rasa, panjang pendeknya struktur kalimat, ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Ketika seseorang berkomunikasi tidak hanya memperhatikan faktor kebahasaan, namun juga faktor non kebahasaan yang diantaranya adalah sikap penutur terhadap mitra tutur, pranata sosial budaya masyarakat, topik yang dibicarakan, dan konteks yang menjadi bahan tuturan.
b. Faktor yang dapat Menggagalkan Komunikasi
Banyak faktor yang menyebabkan komunikasi gagal mencapai tujuan, faktor penyebabnya antara lain; (a) mitra tutur tidak mempunyai informasi lama sebagai dasar memahami informasi baru yang disampaikan penutur, (b) mitra tutur tidak tertarik dengan isi informasi yang disampaikan oleh penutur, (c) mitra tutur tidak berkenan dengan cara penyampaian informasi penutur, (d) apa yang
(34)
diinginkan atau diharapkan memang tidak ada atau tidak dimiliki oleh mitra tutur, (e) mitra tutur tidak memahami apa yang dimaksud oleh penutur, (f) ketika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru melakukan kesalahan atau melanggar kode etik.
c. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan
Faktor yang menentukan santun atau tidaknya pemakaian bahasa ditentukan oleh dua hal, yaitu faktor kebahasaan, dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan adalah faktor yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun nonverbal.
d. Faktor Nonkebahasaan sebagai Penentu Kesantunan
Faktor nonkebahasaan yang ikut menentukan kesantunan berbahasa yaitu topik pembicaraan dan konteks situasi komunikasi. Konteks situasi komunikasi adalah segala keadaan yang melingkupi teradinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya.
2.2.7 Indikator Kesantunan Berbahasa Indonesia
Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa si penutur itu santun atau tidak. Penanda tersebut dapat berupa unsur kebahasaan maupun nonkebahasaan. Berikut indikator kesantunan menurut beberapa ahli, yaitu:
a. Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)
Dell Hymess (dalam Pranowo, 2005) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya memperhatikan beberapa komponen tutur yang
(35)
diakronimkan dengan istilah SPEAKING. Masing-masing huruf dalam akronim merupakan inisial dari istilah berikut.
1. (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi.
2. (P) Participants (peserta) mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi. 3. (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam
komunikasi.
4. (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk pesan yang ingin disampaikan dalam bahasa tulis atau bahasa lisan.
5. (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. 6. (I) Instrument sesuatu yang mendukung maksud.
7. (N) Norms (norma) mengacu pada pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.
8. (G) Genres (ragam / register) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan. b. Indikator Kesantunan Menurut Grice (2000)
Grice menyatakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut.
1. Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan.
2. Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal–hal yang kurang baik mengenai mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur.
(36)
4. Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.
5. Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri.
c. Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983)
Leech memandang prinsip kesantunan merupakan “piranti” untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Tuturan dianggap santun jika ditandai dengan hal-hal berikut.
1. Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan).
2. Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan).
3. Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian). 4. Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati).
5. Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan).
6. Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati).
7. Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak–banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan).
Menurut Kunjana (2005: 66-68), indikator kesantunan Leech terdapat lima macam diantaranya:
(37)
1. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tuturan tersebut menguntungkan diri penutur, maka semakin dianggap tidak santunlah tuturan tersebut.
2. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur. Semakin memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak maka semakin santunlah tuturan tersebut.
3. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, menunjuk pada langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tuturan bersifat tidak langsung, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.
4. Authority scale atau skala keotoritasan, menunjuk pada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak status sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak status sosial antara keduanya, akan cenderung berkurang peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
5. Social distance scale atau skala jarak sosial, menunjuk pada hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Semakin
(38)
dekat jarak sosial diantara keduanya,tuturan yang digunakan akan cenderung kurang santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin jauh jarak sosial antara keduanya maka cenderung semakin santunlah tuturan tersebut.
d. Indikator Kesantunan Menurut Pranowo (2005)
Indikator lain diungkapkan oleh Pranowo, bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut:
1. Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan (angon rasa).
2. Pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan (adu rasa). 3. Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang
berkenan di hati (empan papan).
4. Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (rendah hati).
5. Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi (sikap hormat).
6. Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa salira).
Selain itu, indikator diatas juga dapat dilihat melalui pemakaian kata-kata tertentu sebagai pilihan kata yang dapat mencerminkanrasa santun, misalnya:
1.Gunakan kata „tolong‟ untuk meminta bantuan orang lain.
(39)
3. Gunakan kata „maaf‟ untuk tuturan yang diperkirakan menyinggung perasaan
orang lain.
4. Gunakan kata „beliau‟ untuk menyebut orang ketiga yang lebih dihormati.
5. Gunakan kata „Anda‟ untuk menyebut orang lain yang belun dikenal.
2.2.8 Kurikulum 2013 (SMK)
Kurikulum dikembangkan dan diterapkan secara periodik setiap tahunnya, ini berbanding lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang pesat. Dalam penyusunan kurikulum tersebut sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan nilai-nilai lokal dan nasional, melainkan harus dikembangkan dalam konteks internasional.
Terdapat beberapa karakteristik kebaruan kurikulum 2013 diantaranya sebagai berikut.
a. Cara pandang kurikulum 2013 berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Pada kurikulum 2013 mempunyai orientasi pada siswa, fokus pembelajaran terdapat pada siswa bukan pada guru.
b. Menggunakan pendekatan ilmiah (scientific) yang menekankan pada lima langkah, yaitu mengamati, menanya, menalar / mengumpulkan informasi, mencoba/eksperimen, dan komunikasi (lisan/tulis).
c. Kurikulum 2013 juga memperkenalkan Kompetensi Inti yang terbagi menjadi empat, yaitu.
c.1. KI 1 berisi tentang sikap religius c.2. KI 2 berisi tentang sikap sosial
(40)
c.4. KI 4 berisi tentang keterampilan
d. Penilaian kurikulum 2013 dilakukan untuk seluruh KI. KI 1 dan KI 2 dinilai menggunakan non tes (observasi, angket, dan skala sikap). Penilaian dengan tes biasanya digunakan untuk KI 3. Sedangkan, untuk KI 4 bisa menggunakan penilaian dalam bentuk tes maupun non tes (unjuk kerja, proyek, dan portofolio).
e. Tugas guru dalam kurikulum 2013 disamping sebagai fasilitator juga menyusun RPP sedangkan silabus tidak disusun oleh guru tetapi disediakan oleh pemerintah.
Pada kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik, langkah-langkah pendekatan tersebut adalah:
1. Mengamati (observing)
Pada proses mengamati memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik menjadi senang dan tertantang, mudah pelaksanaannya. Hal lain manfaat dari proses ini adalah untuk pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
2. Menanya (questioning)
Guru yang baik adalah guru yang mampu merangsang peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing/memandu peserta didik belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta
(41)
didik, pada saat itu ia mendorong muridnya untuk menjadi pembelajar yang baik.
3. Menalar (associating)
Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi. Artinya, pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukkannya menjadi penggalan memori.
4. Mencoba (experimenting)
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata, peserta didik harus mencoba terutama untuk mater yang sesuai, mata pelajaran IPA misalnya. Kegiatan pembelajaran dengan metode eksperimen dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu (a) persiapan, (b) pelaksanaan, (c) tindak lanjut.
5. Membentuk jejaring (networking)
Jejaring pembelajaran disebut juga pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif adalah pembelajaran dimana kewenangan guru lebih bersifat direktif, sebaliknya peserta didiklah yang harus lebih aktif.
Pada kurikulum 2013 untuk siswa SMK terdapat beberapa KD yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa Indonesia. Ini terdapat pada setiap jenjang kelas di SMK, mulai dari kelas X, kelas XI, dan kelas XII. Kelas X terdapat pada KI 2 (menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli,
(42)
santun, responsif dan proaktif, dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia), KD 2.4 (menunjukkan perilaku jujur, disiplin, peduli, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk bernegosiasi dalam perundingan). Kelas XI terdapat pada KI 2 (menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, responsif dan proaktif, dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia), KD 2.4 (menunjukkan perilaku jujur, disiplin, peduli, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menyampaikan paparan) dan KD 2.5 (menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggungjawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk menyampaikan penjelasan). Kelas XII terdapat pada KI 2 (menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, responsif dan proaktif, dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia), KD 2.2 (menunjukkan perilaku tanggungjawab, peduli, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyampaikan berita).
(43)
2.2.9 Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan dipelajari peserta didik. Secara khusus, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan sikap atau nilai. Materi pembelajaran atau pokok-pokok materi perlu dirinci atau diuraikan kemudian diurutkan. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam merinci atau menguraikan materi pembelajaran adalah menentukan jenis materi pembelajaran. Isi mata ajar memberikan informasi yang diperlukan dalam pokok bahasan. Pada gilirannya, informasi menumbuhkan pengetahuan yang merupakan tata hubungan antara rincian fakta.
Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya kompetensi inti dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator.
Materi pembelajaran dipilih seoptimal mungkin untuk membantu peserta didik dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pemilihan materi pembelajaran adalah jenis, cakupan, urutan, dan perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran tersebut. Prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam menentukan materi pembelajaran adalah kesesuaian (relevansi), keajegan (konsistensi), dan kecukupan (adequacy). 1.Relevansi atau kesesuaian.
Materi pembelajaran hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi dan pencapaian kompetensi dasar. Jika kemampuan yang diharapkan dikuasai peserta didik berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta, bukan konsep atau prinsip.
(44)
2.Konsistensi atau keajegan.
Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik ada dua macam, maka materi yang harus diajarkan juga harus meliputi dua macam.
3. Adequacy atau kecukupan.
Materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu peserta didik menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit maka kurang membantu tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum.
2.2.10 Tipe-tipe Materi
Tipe-tipe materi pembelajaran dapat diklasifikasi sebagai berikut. 1. Fakta
Fakta adalah segala hal yang bewujud kenyataan dan kebenaran, meliputi nama, objek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau komponen suatu benda, dan sebagainya.
2. Konsep
Konsep adalah segala hal yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat, inti /isi dan sebagainya.
(45)
3.Prinsip
Prinsip dapat berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki posisi terpenting, meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta hubungan antar konsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat.
4. Prosedur
Prosedur merupakan langkah-langkah sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu sistem.
5. Sikap atau Nilai
Sikap merupakan hasil dari proses belajar aspek sikap, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat belajar, dan bekerja.
2.2.11 Unsur-unsur Pembelajaran
Unsur-unsur sebuah pembelajaran, menurut Martha Kaufeldt (2008) dalam buku Teachers, Change Your Bait! Brain – Compatible Differentiated Instruction (dalam Muhammad Faiq), terdapat 6 unsur dalam sebuah proses pembelajaran yaitu: (a) lingkungan fisik, (b) lingkungan sosial, (c) penyajian oleh guru, (d) konten atau materi pembelajaran, (e) proses pembelajaran, (f) produk pembelajaran. Martha Kaufeldt menyarankan dalam menentukan strategi-strategi pengajaran guru harus memperhatikan ke-6 unsur ini dengan baik dan mempertimbangkan keserasiannya dengan otak siswa. Strategi pengajaran terbaik tidak akan dapat memberikan hasil yang optimal apabila diterapkan dalam lingkungan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip cara otak siswa bekerja.
(46)
Beberapa tips yang diberikan oleh Kaufeldt berkaitan dengan ke-6 unsur pembelajaran tersebut adalah:
1. Lingkungan Fisik
a. Pertimbangkanlah bagaimana dampak-dampak yang akan muncul oleh adanya rangsangan lingkungan terhadap otak dan tubuh (fisik) siswa.
b. Buatlah pengubahan tempat duduk dalam ruang kelas anda agar dapat mengakomodasi pilihan-pilihan yang diinginkan oleh siswa.
c. Guru juga mengkaji kemungkinan-kemungkinan penggunaan tempat belajar (sumber belajar) lainnya selain dalam ruang kelas.
2. Lingkungan Sosial
a. Kepada semua siswa, guru harus dapat memantapkan perasaan memiliki dan diikutsertakan dalam kelompok-kelompok belajar.
b. Buatlah pengaturan terlebih dahulu sebelum proses pembelajaran dimulai dalam kaitan pembentukan pasangan diskusi atau kelompok-kelompok belajar. Ini dpat membantu mengurangi kemungkinan stres pada siswa dn tentu saja lebih menghemat waktu.
c. Guru harus mampu mengenali kelompok-kelompok belajar yang terbentuk secara natural di dalam kelas. Ini penting karena dapat membantu guru mengajar ulang atau mengelompokkan siswa-siswa berdasarkan minat mereka.
3. Penyajian oleh Guru
a. Dalam menyajikan materi ajar, guru harus dapat menggunakan hal-hal baru yang dapat menarik perhatian siswa, dan mungkin dengan tambahan humor.
(47)
b. Buatlah koneksi antara konsep dan keterampilan baru dengan kehidupan sehari-hari siswa, sehingga membuat pembelajaran mereka menjadi kontekstual.
c. Buatlah proses-proses pembelajaran dan penemuan dengan sebuah proyek, percobaan, eksperimen, atau pemanfaatan IT.
4. Konten atau Materi Pembelajaran
a. Selalu menekankan arti konten, relevansi, dan manfaatnya sehingga siswa tertantang dan termotivasi untuk belajar.
b. Buatlah siswa menjadi terpikat dengan materi ajar. Caranya dengan mengajarkan suatu wilayah spesifik secara lebih mendalam.
c. Usahakan mengatur agar pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum itu cocok dan dapat memberi akomodasi kepada seluruh siswa dalam berbagai tingkatan dan kesiapan siswa yang berbeda-beda.
5. Proses Pembelajaran
a. Dalam proses pembelajaran, masukkan beragam kegiatan dan refleksi agar terbangun ingatan jangka panjang.
b. Susunlah secara harmonis peluang-peluang untuk pilihan dengan menggunakan berbagai tingkat kemampuan siswa sehingga mereka berkesempatan untuk sukses.
c. Manfaatkan sumber-sumber teknologi yang ada untuk pengumpulan beragam informasi untuk mengintegrasikan pemahaman siswa. 6. Produk-Produk Pembelajaran
(48)
a. Rancanglah urutan-urutan proyek sehingga memungkinkan siswa untuk mengaplikasikan pemahamannya melaluipencapaian-pencapaian nyata. b. Berikan tugas-tugas, atau pertanyaan-pertanyaan pada level yang lebih
tinggi (higher order thinking) dalam taksonomi Bloom.
c. Rancanglah beragam produk dan tes bagi siswa untuk menunjukkan seberapa dalam pemahaman mereka akan suatu konten pembelajaran.
2.2.12 Kerangka Berpikir
Pragmatik
Kesantunan Kurikulum
Pengembangan materi pembelajaran kesantunan
Modul kesantunan
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Pragmatik merupakan ilmu yang mengkaji tentang pemakaian bahasa antara unsur bahasa itu sendiri dan pemakai bahasa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kesantunan berasal dari kata dasar santun yang berarti halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Sedangkan menurut Robin Lakoff (1973), kesantunan adalah sebuah tuturan yang tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan memberi pilihan pada lawan tutur, dan lawan tutur menjadi senang. Bruce Fraser (1978), berpendapat bahwa kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapan si lawan tutur, bahwa si lawan tutur tidak melampaui haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya. Kesantunan menurut
(49)
Leech (1993), adalah sebuah tuturan dikatakan santun apabila memenuhi enam maksim yang termasuk dalam prinsip kesantunan. Maksim tersebut adalah kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hasil, kesetujuan, dan kesimpatian. Menurut Brown dan Levinson (1978), kesantunan itu berkisar atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan agar semua yang dilakukan, dimilikinya diakui oleh orang lain sebagai hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihargai. Sebaliknya, muka negatif mengacu pada citra diri seseorang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Grice (1975), berpendapat kesantunan akan tercapai jika memenuhi empat maksim. Maksim tersebut adalah maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan pelaksanaan. Sedangkan Pranowo (2005), berpendapat bahwa kesantunan dapat dicapai ketika memperhatikan hal-hal berikut : (1) angon rasa, (2) adu rasa, (3) empan papan, (4) sifat rendah hati, (5) sikap hormat, dan (6) tepa selira (Abdul Chaer, 2010:45).
Dari berbagai pengertian kesantunan bahasa yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kesantunan adalah sebuah tuturan yang tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan memberi pilihan pada lawan tutur, dan lawan tutur menjadi senang dan memenuhi maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Kurikulum dikembangkan dan diterapkan secara periodik setiap tahunnya, ini berbanding lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan
(50)
teknologi yang pesat. Sehingga diharapkan penggunaan kurikulum dapat membantu proses belajar siswa dengan lebih baik.
Dari teori kesantunan yang telah ada dan kurikulum sebagai panduan pembelajaran maka disusunlah sebuah pengembangan pembelajaran kesantunan bahasa Indonesia bagi siswa. Sehingga dapat terwujud pembelajaran yang lebih baik dan santun, dan tercipta lingkungan komunikasi yang baik antara guru dan murid.
Setelah pembelajaran di dalam kelas terwujud secara kondusif kemudian disusun modul untuk pembelajaran kesantunan bahasa Indonesia bagi siswa sebagai acuan dalam proses belajar dan mengajar di kelas.
(51)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan pembelajaran (Learning Development Research). Penelitian ini ingin mengembangkan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK, sehingga tuturan yang terjadi di dalam kelas pada saat kegiatan belajar mengajar dapat santun.
3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer, peneliti mengumpulkan data secara langsung dari sumber datanya. Subjek uji coba dari penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Yogyakarta, yang diwakili oleh kelas XII Teknik Pertambangan-A, yang berjumlah 29 siswa dan kelas XII Teknik Otomasi Industri, yang berjumlah 28 siswa, SMK Negeri 2 Depok, Yogyakarta.
3.3Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi.
3.4Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode (1) observasi (untuk mengumpulkan data yang
(52)
berkaitan dengan proses belajar mengajar), (2) analisis kebutuhan siswa, dan (3) wawancara dengan siswa dan guru.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan teknik wawancara dan angket. Analisis kebutuhan materi pembelajaran kesantunan. Peneliti membuat rambu-rambu wawancara dan observasi pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Instrumen tersebut dapat dilihat pada lembar lampiran.
3.6Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada kajian analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis dengan rincian dan menjelaskan secara runtut keterkaitan data penelitian dalam bentuk kalimat. Langkah teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Tahap tabulasi data
Kegiatan pengolahan data diawali dengan tabulasi data dalam suatu tabel induk.
b. Tahap identifikasi
Peneliti melakukan identifikasi terhadap data yang telah terkumpul. c. Tahap interpretasi
Pemaknaan temuan – temuan dalam penelitian. d. Tahap deskripsi
(53)
3.7 Metode Penelitian Dan Pengembangan (Research and Development)
Metode penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiono,2010:408). Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi di masyarakat luas. Penelitian dan pengembangan yang menghasilkan produk tertentu untuk bidang pendidikan dan sosial masih rendah.
Menurut ahli lain penelitian pengembangan adalah penelitian yang bertujuan untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu (Punaji,2010:196). Pengembangan dalam pengertian secara umum berarti pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolusi), dan perubahan secara bertahap. Selain itu, menurut Nana (2005) penelitian dan pengembangan adalah sebuah proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan.
Produk tidak selalu berbentuk benda atau perangkat keras seperti buku, modul, dan sebagainya, tetapi bisa berbentuk perangkat lunak. Penelitian dalam bidang pendidikan umumnya tidak diarahkan pada pengembangan suatu produk, tetapi ditujukan untuk menemukan pengetahuan baru berkenaan dengan fenomena-fenomena yang bersifat fundamental, serta praktik-praktik pendidikan. Berikut langkah-langkah penelitian dan pengembangan yang dapat digunakan dalam penelitian pendidikan.
(54)
3.7.1 Potensi dan Masalah
Penelitian dapat berangkat dari adanya potensi atau masalah. Potensi adalah segala sesuatu yang bila didayagunakan akan memiliki nilai tambah. Sedangkan, masalah adalah penyimpangan antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Kenakalan remaja adalah salah satu contoh masalah dewasa ini. Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa ketidaksantunan atau ketidaksopanan antara guru dan murid. Sehingga potensi untuk memasukkan kesantunan berbahasa Indonesia dalam pembelajaran sangat perlu untuk dilakukan.
3.7.2 Pengumpulan Data
Setelah potensi dan masalah dapat ditunjukkan secara faktual dan terkini, maka selanjutnya perlu dikumpulkan berbagai informasi yang dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan produk tertentu yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut.
3.7.3 Desain Produk
Produk yang dihasilkan dalam penelitian dan pengembangan bermacam-macam. Dalam dunia pendidikan, produk yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas pendidikan. Produk pendidikan misalnya buku ajar, modul, metode mengajar, kurikulum, dan lainnya.
3.7.4 Validasi Desain
Validasi desain merupakan proses kegiatan untuk menilai apakah rancangan produk, dalam hal ini metode mengajar baru secara rasional akan lebih efektif dari yang lama atau tidak. Validasi produk dapat dilakukan dengan menghadirkan
(55)
beberapa pakar atau tenaga ahli yang sudah berpengalaman untuk menilai produk baru yang dirancang tersebut.
3.7.5 Revisi Desain
Setelah desain produk divalidasi melalui diskusi dengan pakar dan para ahli, maka akan diketahui kelemahannya. Dari kelemahan tersebut selanjutnya dicoba untuk dikurangi dengan cara memperbaiki desain oleh peneliti itu sendiri.
3.7.6 Uji Coba Produk
Dalam bidang pendidikan desain produk bisa langsung diuji coba setelah divalidasi dan direvisi. Pengujian dilakukan untuk mendapatkn informasi apakah metode baru tersebut lebih efektif dibandingkan dengan metode mengajar yang lama.
3.7.7 Revisi Produk
Desain metode belajar perlu direvisi agar kreatifitas murid dalam belajar meningkat. Setelah direvisi, maka perlu diuji coba pada kelas yang lebih luas. Setelah diperbaiki maka dapat diproduksi masal, atau digunakan pada lembaga pendidikan yang lebih luas.
3.7.8 Uji Coba Pemakaian Produk
Setelah pengujian terhadap produk berhasil, maka produk baru tersebut dapat diterapkan dalam lingkup lembaga yang lebih luas.
3.7.9 Revisi Produk
Revisi produk ini dilakukan apabila dalam pemakaian di lembaga pendidikan yang lebih luas terdapat kekurangan dan kelemahan. Tahap-tahap di atas apabila digambarkan adalah sebagai berikut.
(56)
Gambar 3.1 Prosedur Pengembangan Produk
3.8 Prosedur Pembuatan Produk
Pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia didasarkan pada teori Sugiono (2010). Berdasarkan hasil analisis data di atas, peneliti mengembangkan produk dengan tahapan sebagai berikut.
a. Melakukan observasi dan mengumpulkan data terhadap masalah
ketidaksantunan di sekolah.
Pada tahap ini peneliti melakukan observasi terhadap masalah kesantunan siswa di SMKN 2 Depok. Peneliti menggunakan teknik observasi kelas, kuesioner, dan wawancara sebagai instrumennya. Teknik observasi kelas digunakan peneliti untuk mengetahui sejauh mana interaksi kesantunan bahasa antara guru dan siswa, maupun siswa dan siswa yang terjalin selama proses belajar mengajar berlangsung.
Langkah selanjutnya adalah dengan memberikan angket kuesioner kepada seluruh siswa. Siswa diharapkan menjawab beberapa pertanyaan dengan mengisi
Pengumpulan data atau informasi
Desain produk
Validasi desain Revisi desain
Uji coba produk
Revisi produk Uji coba
pemakaian produk
Revisi produk Potensi dan
(57)
kolom yang tersedia dengan jawaban yang sejujurnya, mengenai kesantunan bahasa yang mereka kuasai dan mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari, baik dikelas maupun dilingkungan sekolah.
Langkah yang terakhir adalah wawancara dengan siswa dan guru. Langkah ini digunakan sebagai umpan balik dari langkah sebelumnya. Pada langkah wawancara ini peneliti melakukan cross check beberapa pertanyaan dari kuesioner bagaimana pendapat siswa dan guru mengenai kesantunan bahasa yang mereka ketahui.
b. Membuat desain produk yang akan dihasilkan (modul).
Berdasarkan langkah di atas, pada tahap ini peneliti membuat modul pembelajaran kesantunan berbahasa untuk siswa.
c. Penilaian desain produk (modul).
Pada tahap penilaian ini, modul dinilai oleh seorang ahli dibidangnya. Penilaian dilakuakan untuk mengetahui layak atau tidaknya modul tersebut digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan kesantunan berbahasa siswa.
d. Revisi desain
Bila modul belum layak dan belum memenuhi kriteria yang semestinya, maka dilakukan revisi.
e. Melakukan uji coba produk (modul).
Tahap selanjutnya adalah uji coba lapangan. Pada tahap ini modul yang telah dinilai oleh para ahli, dan direvisi menurut saran ahli diujicobakan dilapangan pada proses belajar mengajar.
(58)
f. Revisi Produk
Dari hasil uji coba lapangan tersebut diperoleh saran dan masukan agar modul yang dihasilkan nantinya dapat lebih baik. Setelah mendapat saran dan masukan, dilakukan revisi produk.
g. Produk Akhir
Setelah dilakukan penilaian dari para ahli dan subjek lapangan maka modul tersebut dapat digunakan untuk sarana pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia. Prosedur pembuatan produk apabila disederhanakan dengan bagan akan tampak sebagai berikut.
(59)
Gambar 3.2 Bagan Pengembangan Modul Kesantunan Siswa Pengambilan data
menggunakan analisis kebutuhan
Desain materi yang akan dipergunakan
Penilaian oleh para ahli
Revisi produk
Uji coba lapangan
Revisi produk
Produk akhir
Konsultasi dengan para ahli
Observasi kelas Kuesioner Wawancara
Konsultasi dengan para ahli
(60)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
4.1 Deskripsi Data
Penelitian ini digunakan untuk mengembangkan materi kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK. Hal ini dilakukan karena belum ada penelitian sebelumnya yang membahas tentang kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK. Pengembangan kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK dirasa perlu karena akhir-akhir ini sering sekali terjadi tawuran antar pelajar atau bahkan antar sekolah, yang mungkin penyebabnya adalah sebuah celotehan atau gurauan antar siswa.
Data diperoleh melalui penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 23-24 Januari 2015. Data dalam penelitian ini berjumlah 57 untuk kuesioner, 4 untuk wawancara, dan 2 untuk observasi. Ini terbagi atas siswa kelas XII Teknik Pertambangan-A berjumlah 29 siswa, dan siswa kelas XII Teknik Otomasi Industri berjumlah 28 siswa. Peneliti menggunakan metode observasi, analisis kebutuhan siswa, dan angket.
Data dalam penelitian ini terdiri atas tiga macam. Data pertama berupa hasil kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan dan empat pilihan jawaban yaitu ya, tidak, sering, dan kadang-kadang. Dari data kuesioner tersebut akan dihitung jawaban terbanyak dari setiap pertanyaan yang diajukan. Jawaban tersebut nantinya akan menjadi acuan peneliti dalam menyusun sebuah bahan ajar yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa siswa. Hasilnya lebih dari 50% siswa terkadang siswa menggunakan Bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa gaul
(61)
serta bahasa daerah dalam berinteraksi dengan sesama teman di kelas maupun diluar kelas. Lebih dari 50% siswa dengan sengaja maupun tidak menyinggung perasaan dan mencela barang maupun orang lain. Sebagian besar dari siswa bahkan bisa dikatakan semunya telah menggunakan bahasa Indonesia dengan frasa atau kata yang beraura santun diantaranya tolong, maaf, dan terimakasih.
Namun, kata „beliau‟ dan „Anda‟ masih belum digunakan untuk menyebut orang
lain yang lebih dihormati. Siswa lebih cenderung berbicara secara langsung pada pokok permasalahan dibandingkan dengan berbicara secara panjang lebar. Kurang dari 50% siswa lebih suka berbicara secara langsung daripada berbicara lanjang lebar, sedangkan kurang dari 50% siswa yang lain masih suka berbicara secara tidak langsung.
Data kedua berupa wawancara dengan guru dan siswa yang terdiri dari tiga pertanyaan. Data ini digunakan sebagai umpan balik (cross check) dari pertanyaan kuesioner yang diajukan kepada siswa. Sehingga diperoleh data yang akurat tentang permasalahan yang sedang diteliti. Hasilnya siswa sebenarnya mengetahui bahwa berbahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari itu sangat penting dilakukan dan bahasa merupakan sebuah identitas dari orang tersebut. Semakin santun bahasa yang digunakan, akan semakin dihargailah orang tersebut.
Data ketiga berupa observasi kegiatan belajar-mengajar di kelas. Jika data pertama dan kedua bersumber langsung dari objek penelitian, maka data yang ini merupakan hasil dari pengamatan peneliti terhadap objek penelitian itu sendiri. Bagaimana mereka berinteraksi dengan teman dan guru di dalam kelas maupun diluar kelas. Dari observasi ini diperoleh data, di kelas siswa menggunakan
(62)
bahasa yang kurang santun terhadap guru dan sesama siswa yang lain. Ketika siswa berbicara dengan sesama teman, dan menegur teman yang salah, dengan
kata yang tidak santun seperti “goblok (bodoh)”, ada pula yang menyoraki teman
yang mendapat nilai jelek, tak sedikit pula yang memenggal atau memotong kalimat teman atau guru yang sedang menjelaskan sesuatu.
4.2 Analisis Data
4.2.1 Analisis Data Kuesioner
Dewasa ini penggunaan bahasa yang santun cenderung kurang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya dalam lingkungan pendidikan/sekolah. Siswa lebih cenderung mengikuti tren bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta santun. Bahasa yang tidak santun dapat berakibat lunturnya kepedulian antar sesama, bahkan akibat buruknya dapat menjadi sumber permusuhan dan perselisihan. Dari hasil angket, peneliti mengelompokkan hasilnya kedalam beberapa kolom sebagai berikut.
1. Penggunaan Bahasa yang Beraura Santun
Santun atau tidaknya sebuah tuturan dapat dilihat dari bahasa yang digunakan oleh penutur dan lawan tuturnya. Bahasa yang santun dapat dilihat dari beberapa aspek pilihan kata dan kalimat yang digunakan, nada atau intonasi suara, dan gerak mimik wajah. Data dapat dilihat pada deskripsi berikut.
(63)
Tabel 4.1 Penggunaan Bahasa yang Beraura Santun
No Pertanyaan Ya Tidak Sering
Kadang-kadang 1. Apakah Anda selalu
menggunakan kata „tolong‟ untuk
meminta bantuan pada orang lain?
32 - 11 14
2. Apakah Anda selalu
menggunakan frasa „terima kasih‟
sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain?
41 - 10 6
3. Apakah Anda selalu
menggunakan kata „maaf‟ketika
tuturanmu menyinggung perasaan orang lain?
35 1 9 12
4. Apakah Anda selalu
menggunakan kata „beliau‟ untuk
menyebut orang ketiga yang lebih dihormati?
16 14 2 25
5. Apakah Anda selalu
menggunakan kata „Anda‟ untuk
menyebut orang lain yang belum dikenal?
13 20 6 18
Dapat dilihat dari hasil kuesioner di atas, pada penggunaan kata yang beraura santun. Terdapat 14 siswa (56%) yang menjawab kadang-kadang ketika
menggunakan kata „tolong‟ ketika mereka meminta bantuan pada orang lain.
Jumlah ini masih lebih banyak dibanding dengan jawaban sering sebanyak 11 siswa (19%). Dari sini dapat kita katakan bahwa ada beberapa siswa yang masih
belum menggunakan kata „tolong‟ untuk meminta bantuan pada orang lain. Ketika menginginkan bantuan dari orang lain seharusnya menggunakan kata “tolong”.
Dengan menggunakan kata tersebut, orang lain yang membantu akan dengan sukarela dan senang hati membantu dibandingkan dengan langsung menyuruh
(1)
14
Latihan
1. Berilah tanda cek (v) pada tuturan yang mengandung sikap penerimaan!
No Tuturan Penerimaan Bukan
Penerimaan 1 Kalau kamu tidak bisa dan butuh bantuan aku bisa
membantumu. Aku siap 24 jam membantumu. 2 Sudah diantar pulang, tak bilang terima kasih
malah marah-marah.
3 Yang belum membayar uang gedung tidak boleh mengikuti ujian.
4 Kalau besok mau pulang, biar diantar adikmu sekalian dia mau bertemu budhenya.
5 Kalau ingin pandai dan sukses, belajarlah yang rajin. Jangan hanya mengandalkan jawaban teman dan mencontek.
6 Kalau Deo diterima di UGM, dia bisa tinggal dirumah saya. Biar saya punya teman untuk ngobrol.
7 Bawa saja bukuku, nanti kalau belum faham kamu bisa bertanya besok disekolah.
8 Bagaimanapun juga dia tidak boleh tinggal disini, meskipun ia mau bayar berapapun harganya. 9 Sakitmu bukan sebuah alasan untuk tidak mencuci
bajumu sendiri bukan?
10 Ini uang yang saya janjikan, nanti jika kurang kamu bisa datang ke kantor saya.
(2)
15
BAB 7
Berbahasa Indonesia dengan Menggunakan Frasa Yang Beraura Santun
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Karena jika tidak digunakan sesuai dengan fungsinya, bahasa dapat menjadi alat kekerasan verbal yang terwujud dalam tutur kata seperti memaki, memfitnah, menghasut, menghina, dan lain sebagainya. Selain itu dampak dari kekerasan verbal tersebut akan berlanjut pada kekerasan fisik seperti permusuhan, perkelahian, aksi anarkisme, provokasi dan sebagainya. Di Indonesia hal tersebut sering terjadi. Bahkan perilaku tersebut sudah menjadi rahasia umum. Seseorang dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata yang tak pantas. Tak aneh bila pembicaraan yang mengabaikan sopan santun menjadi pemicu terjadinya kekerasan.
Seringkali kita bertanya-tanya, siapa sih yang wajib berbicara dengan santun? Untuk apa berbicara santun itu? Bukankah dengan bahasa percakapan sehari-hari orang sudah mengerti dan tidak merasa keberatan? Secara teoritis, semua orang harus berbahasa secara santun. Setiap orang harus berbahasa santun agar bisa menjaga etika, dan tujuan komunikasi dapat tercapai. Komunikasi akan santun jika antara penutur dengan mitra tutur selalu berprasangka baik satu sama lain. Komunikasi juga akan terasa santun jika penutur berbicara secara terbuka dan seandainya menyampaikan kritik disampaikan secara umum, tidak ditujukan khusus kepada pribadi tertentu. Berbicara juga dapat dikatakan santun jika penutur menggunakan bentuk tuturan yang lugas, dan tidak ada yang ditutup-tutupi, penutur harus mampu membedakan situasi dan kondisi, antara serius dan bercanda.
Kompetensi Dasar : a. Memahami bahasa Indonesia yang mengandung frasa beraura santun.
b. Menggunakan bahasa Indonesia yang mengandung frasa beraura santun.
Indikator : a. Mampu menjelaskan pengertian kata beraura santun.
b. Mampu menggunakan kata dan frasa beraura santun dalam percakapan sehari-hari.
c. Mampu menunjukkan atau membedakan kata yang beraura santun dengan kata yang tidak beraura santun.
(3)
16
Ada beberapa cara yang apat membuat sebuah tuturan menjadi santun, salah satunya adalah menggunakan pilihan kata (diksi) yang mencerminkan kesantunan, misalnya:
1. Menggunakan kata “tolong” ketika hendak meminta bantuan dari orang lain.
2. Menggunakan kata “terima kasih” setelah orang lain melakukan tindakan yang diinginkan
oleh penutur, atau sebagai penghargaan atas kebaikan orang lain. 3. Menggunakan kata “beliau” untuk orang ketiga yang lebih dihormati.
4. Menggunakan kata “maaf” untuk ucapan yang merugikan mitra tutur dan dapat menyinggung
perasaan orang lain.
5. Menggunakan kata “Anda” untuk orang lain yang belum dikenal.
Disamping bentuk-bentuk verbal diatas, ternyata bentuk non-verbal juga dapat menunjukkan kesantunan, misalnya:
1. Memperlihatkan wajah ceria.
2. Selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara.
3. Melihat ke arah wajah mitra tutur ketika sedang berbicara (tidak melihat ke arah lain). 4. Posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak berkacak pinggang).
A. Latihan
Berilah tanda cek (v) pada kolom yang disediakan dari setiap tuturan berikut yang menunjukkan tuturan santun atau tidak santun!
No. Tuturan Santun Tidak
santun 1. Apakah Ibu mau hadir dalam rapat besok?
2. Mohon maaf saya terlambat datang, jalanan macet sekali. 3. Sekiranya ada waktu, saya mohon Anda datang untuk
meramaikan acara.
4. Apakah ada buku yang tertinggal disini?
5. Terimakasih sudah mengantarkan saya pulang ya Nak. 6. Saya tidak bisa hadir Pak, karena ada acara keluarga besok. 7. Tolong antarkan saya ke minimarket dekat jembatan itu! 8. Apakah benar Anda tidak salah menulis alamatnya? 9. Besok jemput Dio sekalian ya Pak!
(4)
17
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Pranowo. 2010. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soewandi, A.M. Slamet. 2007. Bahan Penataran Wartawan KOMPAS dan Tambahan.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
(5)
18
Tentang Penulis
Dwi Rahmawati Hanung Puguh Wijayanti, lahir pada 20 Oktober 1991 di Ngawi, Jawa Timur. Pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri 1 Majasem, dan lulus pada 2004. Kemudian, 2007 lulus dari SMP Negeri 1 Kendal. Pada tahun 2010 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 2 Magetan.
Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S1 program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
(6)
BIOGRAFI PENULIS
Dwi Rahmawati Hanung Puguh Wijayanti, lahir pada 20 Oktober 1991 di Ngawi, Jawa Timur. Pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri 1 Majasem, dan lulus pada 2004. Kemudian, 2007 lulus dari SMP Negeri 1 Kendal. Pada tahun 2010 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 2 Magetan.
Penulis melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi pada tahun 2010 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menempuh pendidikan penulis mengikuti organisasi dan kepanitiaan lomba yang diselenggarakan oleh prodi, sebagai salah satu tugas dan mata kuliah wajib.