Pengaruh penambahan virgin coconut oil [VCO] pada perasan daging buah makuto dewo [Phaleria macrocarpa [Scheff.] Boerl.] pada mencit putih betina : kajian terhadap daya analgesik.

(1)

INTISARI

Nyeri adalah salah satu sensasi yang acapkali mengganggu dan mempengaruhi kerja dan fungsi tubuh serta ingin dihilangkan oleh penderitanya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memakai obat tradisional dari bahan tumbuh-tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai pereda nyeri adalah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). Virgin Coconut Oil atau yang lebih dikenal sebagai VCO saat ini telah banyak dikonsumsi untuk mengobati berbagai macam penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keefektivan kerja air perasan daging buah makuto dewo dengan penambahan Virgin Coconut Oil dalam menghilangkan nyeri dan untuk melihat komposisi campuran yang menghasilkan daya analgesik yang optimal.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Pengujian daya analgesik dilakukan dengan metode rangsang kimia. Sebanyak enam puluh tiga ekor mencit betina, galur Swiss, umur 2-3 bulan dibagi secara acak dalam 9 kelompok, yaitu : Kelompok I merupakan kelompok kontrol negatif diberi aquadest. Kelompok II merupakan kelompok kontrol positif diberi parasetamol. Kelompok III – IX merupakan kelompok perlakuan diberi air perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil dengan perbandingan 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4. Setelah sepuluh menit diberi rangsang kimia berupa asam asetat 1% dengan dosis 50 mg/kg BB secara intraperitoneal kemudian respon geliat diamati dengan selang waktu 5 menit selama 1 jam. Jumlah kumulatif geliat kemudian diubah ke dalam persentase penghambatan terhadap geliat menggunakan persamaan Handersoth – Forsaith.

Dari penelitian ini diperoleh hasil daya analgesik air perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil dengan perbandingan 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4 sebesar 61,90%, 56,24%, 63,03%, 60,32%, 68,71%. Sedangkan daya analgesik air perasan daging buah makuto dewo murni sebesar 57,14% dan Virgin Coconut Oil murni sebesar 58,05%.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo akan efektif meningkatkan daya analgesik. Daya analgesik terbesar dihasilkan oleh penambahan 4 bagian Virgin Coconut Oil murni pada 1 bagian perasan daging buah makuto dewo.

Kata kunci : Analgesik, perasan daging buah makuto dewo, Virgin Coconut Oil


(2)

ABSTRACT

. Pain is one sensation which often annoying and gives a direct functional impact to the body. Some of the sufferers try to recover this sensation by using traditional medicines that usually natural. The medicines are made of plants. For example makuto dewo Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). in the other hand, we may also familiar with Virgin Coconut Oil (VCO) that is well known of its ability in curing some disease. Essentially, this research is made not only to analyze the effectivity of the combination of Makuto dewo essence and Virgin Coconut Oil in curing the pain, but also to find out the exact composition of those ingredients in produsing the maximum analgesic ability.

This research was a pure experimental one used simple randomize design. The analgesic ability was evaluated by using chemical stimulant method. It used 63 white female rat divided randomizely into 9 group. The first group (negative control) was given aquadest. The second group (positive group) was given paracetamol. The third to ninth group (treatment group)was given the pure essence of makuto dewo and pure Virgin Coconut Oil and combination of them with camparison range 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4. the análisis started by monitoring the wriggle responses with 5 minutes respites in 1 hours. It could be started 10 minutes right alter the objects were treated with chemical stimulant of 1% asetic acid with dose 50 mg/kgBB intraperitoneally. The accumulative amount of the wriggles were changed into resistant percentages of the wriggles using Handersooth-Forsaith method.

Based on this research, there was a fact that the analgesic ability of the combination of makuto dewo pure essence and VCO with the comparison range 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4 for 61,90%, 56,24%, 63,03%, 60,32%, 68,71%. Separately, the analgesic ability of makuto dewo pure essence was 57,14% and pure VCO was 58,05%.

Conclusively, the process of adding VCO in makuto dewo essence effectively produced the analgesic ability in curing the pain. The biggest analgesic ability was produced by the combining those ingredients in 4 : 1 comparison range.

Key Word : Analgesic, essence of makuto dewo, Virgin Coconut Oil


(3)

PENGARUH PENAMBAHAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) PADA PERASAN DAGING BUAH MAKUTO DEWO (PHALERIA MACROCARPA

(SCHEFF.) BOERL.) PADA MENCIT PUTIH BETINA : Kajian Terhadap Daya Analgesik

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Ignatius Madya S.P. Putra NIM : 038114055

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

AD MAIOREM DEI GLORIAM

(St. Ignatius Loyola)

KEMBANGKAN SAYAP TUK MELAYANG JAUH TINGGI MENGGAPAI CITA dan CINTA

TIADA KATA MENYERAH UNTUK SEBUAH KEGAGALAN TIADA WAKTU TUK BERMALAS dan BERMANJA YANG ADA HANYALAH USAHA-KERJA KERAS-DOA SELAMA ADA KEMAUAN DISITU TUHAN KAN BERI JALAN

TERUNTUK :

YESUS KRISTUS JURU SLAMATKU

BUNDA MARIA PELINDUNGKU

AYAH dan IBU TERCINTA

ADIK-ADIKKU

VICKY,

HENRY,

DION

KEKASIHKU

FRANSISKA

INDAH

PRATIWI

SAHABAT-SAHABATKU

ALMAMATERKU TERCINTA


(7)

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Bapa di Surga atas karunia rahmat dan terang Roh Kudus-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada perasan daging buah makuto dewo pada mencit putih betina kajian terhadap daya analgesik.

Selama pelaksanan penelitian hingga penyusunan skripsi, penulis memperoleh banyak bantuan, dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Yosef Wijoyo, M.Si.,Apt. selaku dosen pembimbing dan dosen penguji yang telah memberikan bantuan berupa saran, kritik, serta dorongan sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

3. Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat bagi skripsi ini.

4. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat bagi skripsi ini.

5. Ayah dan Ibuku tercinta atas kehidupan yang indah selama ini, atas biaya selama kuliah dan selama penelitian berlangsung hingga akhir penyusunan dan atas dukungan cinta, kasih, perhatian dan doa yang tanpa henti sehingga semua ini dapat terjadi.


(9)

6. Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Andre, dan Mas Sigit atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium dan selama penulis menjadi asisten praktikum.

7. Sahabatku Jimmy Prasetyo, Daniel Hendri Saputra Siagian, Luhur Arief atas doa, dukungan, canda tawa dan kebersamaan selama waktu lalu hingga saat ini.

8. Teman-teman “seperjuanganku“ Punto (wawan) dan Vera (cicik), Terimakasih telah mau berbagi suka dan duka selama di laboratorium, kerja sama yang sangat luar biasa selama penelitian hingga saat saat akhir dan sesudah penelitian.

9. My “Little Girl”, untuk cinta, semangat, doa dan dukungan yang terus menerus selama ini sehingga membuatku semakin dewasa dan matang. Terima kasih pula atas Makuto dewonya.

10.Teman-teman seperjuangan angkatan 2003 kelompok praktikum C (Anien, Siska, Ratna, Komang, Yulia, Eveline, Hartono, Titien, Devi, Indu, Punto, Esti, Budi, Tata, Vian, Rosa, Vera, Maria, Ratih) atas canda tawa, suka duka selama ini serta dukungan dan keakraban yang terus menerus yang telah kalian berikan yang membuat hidupku menjadi lebih hidup.

11.Anak- anak Kontrakan (Bang Aan, Hengky, Manto, Daru, Taufan, Bakrie, Vendi, Vian, Budi, Rizky, dan Irwan untuk olokan, celaan, kegilaan, keceriaan, dan semangat yang kalian berikan. Warna-warni hidup telah kalian isikan dalam lembaran hidupku.


(10)

12.Teman-teman KKNku di Dusun Gatak, Desa Gesikan, Gantiwarno Klaten, Ardian, Sugi, Dhajeng, Dewi, Septi, Vica, Fifi, untuk secercah kisah indah bersama kalian.

13.Teman-teman angkatan 2003 seluruhnya untuk canda tawa, kebersaman, dan dukungannya selama ini.

14.Teman-teman di POSKES Kotabaru, untuk pengalaman dan pembelajaran yang sangat membantuku.

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada skripsi ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.

Yogyakarta, Maret 2007

Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Makuto Dewo ... 7


(12)

1. Morfologi ... 7

2. Nama Daerah ... 8

3. Sistematika ... 9

4. Kandungan kimia ... 9

5. Kegunaan makuto dewo ... 12

B. Virgin Coconut Oil ... 14

1. Kandungan kimia ... 14

2. Kegunaan ... 14

C. Nyeri ... ... 15

D. Analgetika ... 19

1. Analgetika narkotik ... 20

2. Analgetika non narkotik ... 21

E. Prostaglandin ... 25

F. Radikal bebas dan Antioksidan ... 26

G. Parasetamol ... 27

H. Antaraksi obat ... 28

1. Antaraksi farmakokinetik ... 28

2. Antaraksi farmakodinamik ... 29

3. Antaraksi farmasetika ... 29

I. Metode pengujian daya analgesik ... 29

1. Golongan analgetika narkotika ... 29

2. Golongan analgetika non narkotika ... 32


(13)

J. Landasan Teori ... 34

K. Hipotesis ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 36

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 36

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 36

C. Bahan atau Materi Penelitian... 37

D. Alat Penelitian ... 38

E. Tata Cara Penelitian ... 38

1. Pengumpulan dan determinasi tanaman ... 38

2. Pembuatan perasan daging buah makuto dewo ... 38

3. Pencampuran larutan uji ... 38

4. Pembuatan CMC-Na 1% ... 39

5. Pembuatan suspensi parasetamol ... 39

6. Penetapan kriteria geliat ... 39

7. Penetapan kontrol negatif ... 39

8. Penetapan dosis parasetamol ... 39

9. Pemilihan konsentrasi dan dosis asam asetat ... 39

10.Penentuan waktu pemberian rangsang ... 40

11.Perlakuan hewan uji ... 40

12.Perhitungan persen proteksi nyeri ... 41

13.Analisis data ... 41

14.Tolok ukur penelitian ... 41


(14)

15.Pembandingan hasil ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Determinasi Tanaman ... 43

B. Pembuatan Larutan Uji ... 44

1. Pembuatan air perasan daging buah makuto dewo ... 44

2. Pencampuran larutan uji ... 44

C. Uji Pendahuluan ... 44

1. Penentuan kriteria geliat ... 45

2. Penetapan dosis asam asetat ... 45

3. Penentuan selang waktu pemberian rangsang ... 48

4. Pemilihan kontrol negatif ... 50

5. Pemilihan dosis parasetamol ... 51

D. Pengujian Daya Analgesik ... 54

E. Perbandingan Hasil ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN ... 77


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Rata rata jumlah kumulatif respon geliat setelah pemberian asam asetat

pada berbagai dosis pada mencit betina ... 46

Tabel 2. Data Ringkasan analisis variansi satu arah pada penetapan dosis asam asetat ... 47

Tabel 3. Hasil Uji Scheffe penetapan dosis asam asetat ... 47

Tabel 4. Rata-rata jumlah geliat pada beberapa selang waktu ... 48

Tabel 5. Analisis variansi satu arah penentuan selang waktu pemberian asam asetat ... 49

Tabel 6. Uji Scheffe pada penentuan selang waktu pemberian rangsang .... 49

Tabel 7. Rata-rata jumlah kumulatif geliat mencit pada pemilihan kontrol negatif ... 50

Tabel 8 Rata-rata jumlah geliat pada pemilihan dosis parasetamol ... 51

Tabel 9 Analisis variansi satu arah pada pemilihan dosis parasetamol ... 52

Tabel 10 Data uji Scheffe pada pemilihan dosis parasetamol ... 52

Tabel 11 Data rata-rata geliat, % proteksi nyeri, dan perubahan % proteksi nyeri ... 55

Tabel 12 Hasil analisis variansi satu arah persen proteksi nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan... 56

Tabel 13 Hasil uji Scheffe persen proteksi nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ... 57


(16)

Tabel 14 Hasil uji daya anti-inflamasi, proteksi nyeri, dan daya hepatoprotektif pada kelompok perlakuan ... 67


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1a. Stuktur Flavonoid ... 10 Gambar 1b. Aturan Penomoran turunan Flavonoid ... 10 Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan

jaringan... 18 Gambar 3. Diagram perombakan asam arakidonat... 23 Gambar 4. Diagram batang persen proteksi nyeri pada masing-masing

kelompok ... 56 Gambar 5. Diagram batang perbandingan persen proteksi nyeri dengan daya anti

inflamasi pada masing-masing kelompok ... 65 Gambar 6. Diagram batang perbandingan uji daya antiinflamasi, persen proteksi

nyeri dengan daya hepatoprotektif pada kelompok perlakuan 68 Gambar 7. Mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh flavonoid 69 Gambar 8. Mekanisme resonansi radikal bebas flavonoid ... 70 Gambar 9. mekanisme penggabungan radikal bebas flavonoid ... 70


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Surat pengesahan Identifikasi /Determinasi tanaman makuto

dewo ... 77

Lampiran 2. Foto buah makuto dewo ... 78

Lampiran 3. Foto Hasil Perasan Buah Makuto dewo ... 79

Lampiran 4. Foto Virgin Coconut Oil ... 80

Lampiran 5. Foto Homogenizer ... 81

Lampiran 6. Data jumlah geliat serta hasil variansi analisis satu arah pada penetapan konsenterasi asam asetat ... 82

Lampiran 7. Data jumlah geliat dan hasil analisis pada penetapan selang waktu pemberian rangsang ... 84

Lampiran 8. Data jumlah geliat dan hasil analisis pada penetapan kontrol negatif ... 86

Lampiran 9. Data jumlah geliat dan hasil analisis pada pemilihan dosis parasetamol ... 87

Lampiran 10. Data jumlah geliat pada semua kelompok kontrol ... 89

Lampiran 11. Data jumlah geliat kelompok perlakuan ... 91

Lampiran 12. Analisis data kelompok perlakuan ... 98


(19)

INTISARI

Nyeri adalah salah satu sensasi yang acapkali mengganggu dan mempengaruhi kerja dan fungsi tubuh serta ingin dihilangkan oleh penderitanya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memakai obat tradisional dari bahan tumbuh-tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai pereda nyeri adalah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). Virgin Coconut Oil atau yang lebih dikenal sebagai VCO saat ini telah banyak dikonsumsi untuk mengobati berbagai macam penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keefektivan kerja air perasan daging buah makuto dewo dengan penambahan Virgin Coconut Oil dalam menghilangkan nyeri dan untuk melihat komposisi campuran yang menghasilkan daya analgesik yang optimal.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Pengujian daya analgesik dilakukan dengan metode rangsang kimia. Sebanyak enam puluh tiga ekor mencit betina, galur Swiss, umur 2-3 bulan dibagi secara acak dalam 9 kelompok, yaitu : Kelompok I merupakan kelompok kontrol negatif diberi aquadest. Kelompok II merupakan kelompok kontrol positif diberi parasetamol. Kelompok III – IX merupakan kelompok perlakuan diberi air perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil dengan perbandingan 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4. Setelah sepuluh menit diberi rangsang kimia berupa asam asetat 1% dengan dosis 50 mg/kg BB secara intraperitoneal kemudian respon geliat diamati dengan selang waktu 5 menit selama 1 jam. Jumlah kumulatif geliat kemudian diubah ke dalam persentase penghambatan terhadap geliat menggunakan persamaan Handersoth – Forsaith.

Dari penelitian ini diperoleh hasil daya analgesik air perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil dengan perbandingan 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4 sebesar 61,90%, 56,24%, 63,03%, 60,32%, 68,71%. Sedangkan daya analgesik air perasan daging buah makuto dewo murni sebesar 57,14% dan Virgin Coconut Oil murni sebesar 58,05%.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo akan efektif meningkatkan daya analgesik. Daya analgesik terbesar dihasilkan oleh penambahan 4 bagian Virgin Coconut Oil murni pada 1 bagian perasan daging buah makuto dewo.

Kata kunci : Analgesik, perasan daging buah makuto dewo, Virgin Coconut Oil


(20)

ABSTRACT

. Pain is one sensation which often annoying and gives a direct functional impact to the body. Some of the sufferers try to recover this sensation by using traditional medicines that usually natural. The medicines are made of plants. For example makuto dewo Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). in the other hand, we may also familiar with Virgin Coconut Oil (VCO) that is well known of its ability in curing some disease. Essentially, this research is made not only to analyze the effectivity of the combination of Makuto dewo essence and Virgin Coconut Oil in curing the pain, but also to find out the exact composition of those ingredients in produsing the maximum analgesic ability.

This research was a pure experimental one used simple randomize design. The analgesic ability was evaluated by using chemical stimulant method. It used 63 white female rat divided randomizely into 9 group. The first group (negative control) was given aquadest. The second group (positive group) was given paracetamol. The third to ninth group (treatment group)was given the pure essence of makuto dewo and pure Virgin Coconut Oil and combination of them with camparison range 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4. the análisis started by monitoring the wriggle responses with 5 minutes respites in 1 hours. It could be started 10 minutes right alter the objects were treated with chemical stimulant of 1% asetic acid with dose 50 mg/kgBB intraperitoneally. The accumulative amount of the wriggles were changed into resistant percentages of the wriggles using Handersooth-Forsaith method.

Based on this research, there was a fact that the analgesic ability of the combination of makuto dewo pure essence and VCO with the comparison range 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4 for 61,90%, 56,24%, 63,03%, 60,32%, 68,71%. Separately, the analgesic ability of makuto dewo pure essence was 57,14% and pure VCO was 58,05%.

Conclusively, the process of adding VCO in makuto dewo essence effectively produced the analgesic ability in curing the pain. The biggest analgesic ability was produced by the combining those ingredients in 4 : 1 comparison range.

Key Word : Analgesic, essence of makuto dewo, Virgin Coconut Oil


(21)

BAB I

PENGANTAR

A. LATAR BELAKANG

Sejak dahulu bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan. Alam Indonesia yang sangat mendukung telah menyediakan berbagai macam jenis tumbuhan yang berkhasiat obat yang sangat berlimpah sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.

Salah satu tanaman yang terkenal karena memiliki khasiat obat dan telah digunakan secara turun temurun dalam masyarakat Indonesia adalah tanaman makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.).

Selama ini daun dan buah makota dewo dimanfaatkan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, sebagai obat penyakit kulit, gatal-gatal, dan eksim. Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya tanaman ini telah diketahui memiliki manfaat sebagai pelindung hati dan jaringan organ dalam manusia, sebagai anti radang, sebagai pereda rasa nyeri, sebagai obat untuk penyakit jantung, ginjal dan anti tumor, untuk mengobati penyakit ringan seperti flu, batuk, pusing, sakit perut serta berbagai manfaat lainnya.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ekstrak etanol daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) memiliki khasiat sebagai analgesik (Anggoro, 2005), menurut penelitian yang dilakukan oleh Marissa (2006) dan Puspitasari (2006), ekstrak etanol daging buah makuto dewo terbukti memiliki


(22)

daya anti inflamasi pada mencit putih betina. Berdasarkan penelitian (Sisilia, 2001; Linawati, 2002; Wijayanti, 2003; Hariyanto, 2003; Prasetia, 2003; Yudanti, 2005; Purwandani, 2005) juga telah dibuktikan bahwa buah makuto dewo dapat berkhasiat sebagai hepatoprotektif.

Kurang lebih tiga tahun yang lalu orang masih asing bila mendengar istilah Virgin Coconut Oil (VCO) atau yang lebih dikenal dengan minyak perawan. Namun memasuki awal tahun 2005 lalu, wacana mengenai Virgin Coconut Oil mulai mengemuka dan meluas ke seluruh pelosok nusantara serta menjadi bahan pembicaraan para praktisi kesehatan di Indonesia. Bahkan saat ini Virgin Coconut Oil telah mulai diresepkan oleh banyak dokter spesialis di Indonesia seperti yang dilaporkan oleh Trubus, April 2006. Manfaat dari Virgin Coconut Oil diantaranya mematikan berbagai virus yang menyebabkan mononucleosis, influenza, hepatitis C, cacar air, herpes dan penyakit lainnya, memperbaiki sekresi insulin dan pendayagunaan glukosa darah, membantu meredakan gejala-gejala dan mengurangi resiko kesehatan yang dihubungkan dengan diabetes, berfungsi sebagai antioksidan pelindung, dan membantu mencegah sakit liver serta berfungsi sebagai anti radang dan pereda rasa nyeri (Faris, 2005). Virgin Coconut Oil mengandung asam lemak jenuh minyak kelapa yang didominasi oleh asam laurat yang merupakan Medium Chain Trigliceride (MCT) (Sukartin dan Sitanggang, 2005). Asam laurat inilah yang menjadikan minyak kelapa mampu menambah kesehatan bagi tubuh. Menurut H. Kono dan dr. A. Nanji, ahli penyakit dalam dari Amerika Serikat, MCT minyak kelapa akan langsung disalurkan dari saluran cerna menuju hati. Medium Chain Trigliceride akan menonaktifkan virus yang ditemuinya. Seperti yang telah


(23)

3

diketahui, salah satu penyebab hepatitis adalah infeksi virus, sehingga VCO dapat digunakan menjadi obat antihepatitis.

Menurut Donatus (1992), obat hepatitis yang ideal seharusnya tidak hanya mempunyai aspek preventif (perlindungan hati dari aneka hepatotoksin/ hepatoprotektif) tetapi harus pula mempunyai aspek kuratif (penanggulangan radang/ inflamasi) dan aspek suportif (meningkatkan sistem imun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa obat hepatitis yang ideal harus memiliki efek hepatoprotektif, daya anti inflamasi dan daya analgesik.

Melihat kenyataan bahwa buah makuto dewo memiliki efek hepatoprotektif, efek analgesik dan anti inflamasi dan karena kandungan senyawa dari Virgin Coconut Oil yang cukup menjanjikan ini telah memunculkan ide menggabungkan keduanya agar dapat menjadi salah satu alternatif obat hepatitis yang ideal, dan dalam hal ini peneliti secara spesifik ingin menguji daya analgesiknya pada mencit putih betina.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ini.

a. Apakah campuran Virgin Coconut Oil dan air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) mempunyai efek analgesik?

b. Apakah daya analgesik penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) lebih tinggi dibandingkan dengan air perasan makuto dewo murni?


(24)

c. Berapakah besar penambahan Virgin Coconut Oil yang efektif pada air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) dalam kajian daya analgesik?

C. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian mengenai buah makuto dewo yang pernah dilakukan antara lain dengan judul sebagai berikut ini.

a. Efek Hepatoprotektif Perasan Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol (Sisilia, 2001). b. Efek Hepatoprotektif Perasan Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa

(Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi CCl4 (Wijayanti, 2002).

c. Efek Hepatoprotektif Infusa Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi CCl4 (Linawati, 2002).

d. Efek Hepatoprotektif Infusa Simplisia Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol (Prasetia, 2002).

e. Efek Hepatoprotektif Infusa Simplisia Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi Karbontetraklorida (Harianto, 2003).

f. Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi CCl4 (Yudanti, 2005).


(25)

5

g. Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol (Purwandani, 2005).

h. Daya Analgesik Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Betina Terinduksi Kimia (Anggoro, 2005).

i. Daya Anti-Inflamasi Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Betina Terinduksi Karagenin (Marissa, 2006).

j. Daya Anti-Inflamasi Ekstrak Etanol Daging Buah Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Mencit Betina Terinduksi Formalin (Puspitasari, 2006).

Penelitian mengenai pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada perasan daging buah makuto dewo pada mencit betina kajian terhadap daya analgesik, sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian mengenai pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo ini diharapkan memiliki manfaat yaitu sebagai berikut ini.

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian yaitu mengenai penggunaan


(26)

tanaman obat tradisional yang berkhasiat sebagai analgesik, seperti daging buah makuto dewo dan Virgin Coconut Oil.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada perasan daging buah makuto dewo sebagai obat tradisional.

E. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian mengenai pengaruh penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo ini memiliki tujuan sebagai berikut ini.

a. Tujuan Umum

Penelitian ini dikerjakan untuk membuktikan kebenaran dan keefektifan penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) sebagai obat analgesik.

b. Tujuan khusus

Penelitian ini dikerjakan bertujuan untuk mendapatkan bukti bahwa penambahan Virgin Coconut Oil pada air perasan daging buah makuto dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) dapat memberikan daya analgesik yang lebih besar dibandingkan perasan daging buah makuto dewo itu sendiri.


(27)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Makuto dewo

1. Morfologi

Tanaman makuto dewo merupakan tanaman berupa herba dengan tinggi kira-kira mencapai 5 meter. Tanaman ini tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (Anonim, 2000).

a. Pohon makuto dewo terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah. Bunga: merupakan bunga majemuk payung dengan anak bunga berjumlah 2-4 tanpa tangkai; daun tenda bunga berjumlah 4 berlekatan membentuk tabung, tenda bunga berwarna putih bagian pangkalnya berwarna hijau, bagian ujung dari tenda bunga berbelah 4, panjang bunga sekitar 1,5-2 cm; bunga sempurna (berkelamin dua); benang sari dua kali jumlah tenda bunga dalam dua lingkaran panjang dan pendek, tangkai sari yang panjang melekat pada bagian tengah daun tenda bunga dan yang pendek diantara daun tenda bunga; tangkai putik bulat panjang berwarna putih, setinggi tenda bunga, bakal buah bulat menumpang.

b. Daun: daun tunggal, berhadapan, bangun daun memanjang (oblongus), tepi rata ujung daun meruncing, warna hijau tua, permukaan atas mengkilat, permukaan bawah suram; pertulangan daun menyirip; urat daun agak menonjol tersusun agak rapat melengkung ke atas; tangkai daun kurang dari 1 cm, warna hijau.


(28)

c. Buah: merupakan buah batu, berdaging dengan daging buah berserat, permukaan licin dan mengkilat; buah muda berwarna hijau, buah masak berwarna merah cerah, ukuran diameternya lebih dari 1,5 cm, bentuk buah bulat.

d. Batangnya terdiri dari kulit dan kayu. Kulitnya berwarna coklat kehijauan, sementara kayunya berwarna putih. Batangnya bergetah. Diameternya mencapai 15 cm. percabangan batang cukup banyak. Batang ini secara empiris terbukti bisa mengobati penyakit kanker tulang (Ning, 2001).

e. Biji makuto dewo memiliki bentuk bulat, warna putih, sangat beracun.

2. Nama Daerah

Tanaman makuto dewo memiliki berbagai macam nama yang diberikan oleh berbagai masyarakat di dunia. Di Indonesia sendiri, tanaman ini memiliki berbagai nama seperti Makuto dewo (Jawa), Makuto rojo (Jawa), Makuto ratu (Jawa), Raja obat (Banten), Simalakama (Jawa), Mahkota dewa (Indonesia) atau Simalakama (Sumatera/ Melayu). Dalam bahasa Cina disebut Pau, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut the crown of god (Winarto, 2005).


(29)

9

3. Sistematika

Kedudukan tanaman makuto dalam sistematika tumbuhan adalah :

Regnum : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiosperma

Classis : Dicotyledonae

Subclassis : Archichlamydeae

Ordo : Thymelaeles

Familia : Thymelaceae

Genus : Phaleria

Species : Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.

( Backer & Bakhuizen Van De Brink, 1963)

4. Kandungan kimia

Zat aktif yang terkandung dalam daun dan kulit buah antara lain alkaloid, terpenoid, saponin, dan senyawa resin. Pada daun diketahui terkandung polifenol, sedangkan pada kulit buah terkandung zat flavonoid (Winarto, 2005).

a. Flavonoid

Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dan sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepungsari, nektar, bunga, buah buni, dan biji. Flavonoid berkhasiat sebagai anti-inflamasi, anti alergi, anti-thrombolik, vasoprotektif sebagai penghambat promotor tumor dan


(30)

untuk proteksi pada mukosa saluran cerna atau gastrik. Efek-efek tersebut berhubungan dengan pengaruh flavonoid pada metabolisme asam arakhidonat (Evan, 1989).

Kerangka dasar flavonoid dan sistem penomoran untuk turunan flavonoid terlihat pada gambar 1.

C C C

O A B 1 2 3 4 5 6 7 8 1' 2' 3' 4' 5' 6'

1a 1b

Gambar 1. Kerangka flavonoid (1a) dan sistem penomoran turunan flavonoid (1b) (Robinson, 1995)

Efek flavonoid terhadap organisme banyak macamnya, sehingga tumbuhan yang mengandung flavonoid dapat dipakai dalam pengobatan (Robinson, 1995). Diantara senyawa flavonoid yang telah lama dikenal dan merupakan suatu kelompok antioksidan yakni, kelompok polifenol memiliki kemampuan sebagai scavenger superoksida, oksigen singlet, dan radikal peroksi lipid.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa aktivitas antioksidan flavonoid ditentukan oleh gugus tertentu dalam struktur flavonoid tersebut. Karakteristik struktur flavonoid yang mampu memberikan efek antioksidan antara lain karena adanya (1) gugus katekol (O-dihidroksi) pada cincin B yang mempunyai sifat sebagai donor proton, (2) gugus pirogalol (trihidroksi) pada cincin B, (3) gugus 4-oxo pada cincin heterosiklik, serta (5) gugus 5-OH dan 7-OH yang potensial pada

keadaan tertentu (Middleton dkk, 2000 cit Ladoangin, 2004). Ketika

senyawa-senyawa ini bereaksi dengan radikal bebas maka terbentuk radikal baru yang distabilisasi oleh efek resonansi inti aromatik.


(31)

11

a. Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol dan telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne, 1984).

Saponin merupakan surfaktan alami, atau detergent yang banyak ditemukan pada beberapa jenis tanaman. Ekstrak dari tanaman ini biasa digunakan sebagai

foaming agent pada banyak minuman. Sifat biokimianya juga memiliki aplikasi komersial di bidang industri dan banyak digunakan pada beberapa produk kosmetik dan shampo.

Senyawa glikosida seperti saponin dan glikosida jantung tidak larut dalam pelarut non polar. Senyawa ini paling cocok diekstraksi dari tumbuhan memakai etanol atau metanol panas 70-95% (Robinson, 1995).

b. Tanin

Tanin merupakan substrat kompleks yang biasanya terjadi sebagai campuran polifenol yang sulit diseparasi karena tidak dapat dikristalkan. Tanin dapat tersebar luas dalam tumbuhan berpembuluh dalam angiospermae khususnya dalam jaringan kayu (Harborne, 1984).

Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein. Dalam dunia kesehatan tanin digunakan sebagai astringen yang mengakibatkan pengurangan bengkak (edema), radang, dan sekresi pada gastrointestinal dan pada abrasi kulit (Harborne, 1984).


(32)

5. Kegunaan makuto dewo

Pengobatan dengan ramuan makuto dewo diyakini dan telah terbukti secara turun-temurun dapat menyembuhkan beberapa penyakit seperti kanker, tumor, diabetes mellitus, hepatitis, jantung, rematik, asam urat tinggi, penyakit kulit, dan gangguan ginjal (Winarto, 2005). Tanaman makuto dewo dapat menyembuhkan penyakit seperti sakit lever, kanker, sakit jantung, kencing manis, asam urat, reumatik, sakit ginjal, tekanan darah tinggi, lemah syahwat. Dan ketagihan narkoba. Dapat digunakan untuk obat luar seperti eksim, jerawat dan luka gigitan serangga. Pengolahannya dengan cara direbus atau diperas. Makuto dewo banyak digunakan untuk mengobati penyakit liver, ginjal, kanker, jantung, diabetes, darah tinggi, rematik, asam urat, penambah stamina, penyakit kulit, alergi, penurun kolesterol dan ketergantungan narkoba. Buah yang dikeringkan dikonsumsi sebagai obat ginjal dan kanker. Daun dan kulit buah segar ataupun yang telah dikeringkan berkhasiat mengobati penyakit desentri, eksim, kulit, dan anti tumor (Jamaluddin, 2001). Selain itu makuto dewo juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit insomnia (Anonim, 2004).

Khasiat dari tanaman makuto dewo yang telah diteliti adalah :

a. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sumastuti (2001a) menyebutkan

bahwa ekstrak daun dan buah tua maupun buah muda makuto dewo menyebabkan penurunan kontraksi histamin murni.

b. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sumastuti (2001b) menyebutkan

bahwa ekstrak daun dan buah makuto dewo mempunyai efek memacu kontraksi otot polos uterus serupa dengan oksitosin dan sintosinon.


(33)

13

c. Penelitian yang telah dilakukan Saragih (2001) menyebutkan bahwa

rebusan daging buah makuto dewo dapat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada tikus Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI) dengan kekuatan rendah dibandingkan insulin. Dosis efektifnya sebesar 27,64 dan 35,28 g/kgBB serta memberikan efek hipoglikemik pada menit ke-30 dan berakhir pada menit ke-180.

d. Penelitian yang telah dilakukan Bestari (2001) menyebutkan bahwa

perasan daging buah makuto dewo dapat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada tikus Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) dengan kemampuan yang hampir sama dengan tolbutamid. Dosis efektifnya sebesar 52,63; 5,263; dan 0,5263 g/kgBB.

e. Penelitian yang telah dilakukan oleh Renety (2001) menyebutkan bahwa potensi ketoksikan akut (LD50) rebusan daging buah makuto dewo pada

mencit galur Swiss adalah semu yaitu 44,226 g/kgBB (relatif tidak berbahaya).

f. Penelitian yang dilakukan oleh Sisilia (2001) menyebutkan bahwa air perasan daging buah makuto dewo dapat memberikan efek hepatoprotektif pada mencit yang terinduksi parasetamol. Dosis efektif

tengah (ED50 ) yang didapat sebesar 0,67 g/kgBB. Disebutkan pula

bahwa kemungkinan besar dari keempat kandungan buah makuto dewo yang berperan sebagai hepatoprotektif adalah flavonoida.


(34)

B. Virgin Coconut Oil

Minyak kelapa murni (VCO) merupakan salah satu hasil olahan dari buah kelapa (Cocos nucifera) famili Arecaceae (Palmae).

1. Kandungan kimia

Komponen minyak kelapa terdiri dari asam lemak jenuh (90%) dan minyak tak jenuh (10%). Tingginya kandungan asam lemak jenuh menjadikan minyak kelapa sebagai sumber saturated fat.

Asam lemak pada minyak kelapa banyak mengandung medium chain fatty

acid (MCFA) yang berfungsi memperbaiki asam lemak tubuh secara sinergis dengan asam lemak esensial. Dengan mengonsumsi MCFA, bisa meningkatkan efisiensi asam lemak esensial sebesar 100%. Kandungan MCFA juga sama seperti air susu ibu (ASI), yaitu memberi gizi dan melindungi tubuh dari penyakit menular dan penyakit degeneratif. Selain itu, MCFA juga bermanfaat dalam mengubah protein menjadi sumber energi (Sutarmi dan Rozaline, 2005).

Minyak kelapa mengandung fosfatida, gums, sterol, dan tokoferol. Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan alami yang dapat memperpanjang periode terjadinya proses oksidasi sampai timbulnya bau tengik. Tokoferol juga mengandung komponen aktif biologis yang secara umum diterima sebagai aktivitas vitamin E dalam menjaga kekebalan tubuh manusia (Sutarmi dan Rozaline, 2005).

2. Kegunaan

Menurut guru besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Walujo S. Soejobroto, minyak kelapa sebenarnya memiliki banyak kelebihan, 50% asam lemak pada minyak kelapa adalah asam laurat dan 7% asam kapriat. Kedua


(35)

15

asam tersebut merupakan asam lemak jenuh rantai sedang yang mudah dimetabolisir dan bersifat antimikroba (antivirus, antibakteri, dan antijamur) sehingga dapat meningkatkan imun tubuh (kekebalan tubuh) dan mudah diubah menjadi energi. Dalam tubuh, asam laurat menjadi monolaurin, sedangkan asam kapriat menjadi monokaprin. Selain itu, ternyata hasil pecahan lemak jenuh rantai sedang jarang disimpan sebagai lemak dan jarang menumpuk di pembuluh darah. Minyak kelapa

memiliki kadar asam lemak tidak jenuh ganda omega-3 eicosa-penta-einoic acid

(EPA) dan docasa-hexaenoic acid (DHA) yang dapat menurunkan very low density lipoprotein (VLDL) dan viskositas darah, menghambat tromboksan, serta mencegah penyumbatan pembuluh darah.

Asam laurat dan asam lemak jenuh berantai pendek, seperti asam kaprat, kaprilat, dan miristat yang terkandung dalam minyak kelapa murni dapat berperan positif dalam proses pembakaran nutrisi makanan menjadi energi. Fungsi lain dari zat ini, antara lain sebagai antivirus, antibakteri, dan antiprotozoa (Sutarmi dan Rozaline, 2005).

C. Nyeri

Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering diderita. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan, melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien sering merasakannya sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan bahkan menyiksa sehingga mereka berusaha untuk menghilangkannya (Mutschler, 1995).


(36)

Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa yang sering disebut senyawa nyeri (Mutschler, 1995).

Nyeri seringkali disertai reaksi otonomik. Biasanya ini mengawali aktivitas dari sistem saraf simpatik dan pelepasan katekolamin. Reaksi otonomik ini seringkali terlihat pada nyeri viseral (Anonim, 2001).

Nociceptor atau reseptor nyeri terhubung dengan akson saraf yang mengirim informasi nyeri ke spinal cord. Informasi elektrik bekerja secara otonom dan refleks nociceptif mengirim transmit sinyal nyeri ke otak. Secara fungsional, reseptor nyeri bekerja melalui empat tahap; transduksi, abstraksi, modulasi dan plastikasi (Anonim, 2001).

Karakteristik yang paling penting dari reseptor nociceptive somatoviseral

adalah bagaimana mereka merespon hanya pada stimulus yang merusak jaringan. Rangsang mekanik, termal dan kimiawi yang tidak sampai merusak jaringan, tidak akan mengaktivasi reseptor nyeri (Anonim, 2001).

Nyeri secara kualitatif dapat dibagi menurut tempat terjadinya, yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral atau yang juga dikenal sebagai nyeri dalaman.

Nyeri somatik ini lalu dibagi lagi ke dalam dua golongan yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila rasa nyeri berasal dari kulit maka disebut nyeri permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang dan jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi dan sering menyebar ke daerah sekitarnya (Mutschler, 1995).


(37)

17

Nyeri dalaman (viseral) atau nyeri perut terjadi antara lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1995).

Rangsang nyeri diterima oleh reseptor khusus yang disebut dengan reseptor nyeri. Reseptor nyeri berupa saraf khusus dengan ujungnya yang bebas sehingga dapat menerima rangsang sensasi lain. Secara fungsional, reseptor nyeri dibedakan menjadi dua jenis reseptor yang dapat menyusun dua sistem serabut yang berbeda yaitu.

a. Mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri permukaan melalui serabut A- delta bermielin

b. Termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C yang tidak bermielin (Mutschler, 1995).

Serabut A-delta merupakan saraf unimodal dan memiliki myelin pada aferen. Kecepatan penghantaran listriknya 2-30 m/s. Reseptor ini merespon rangsang mekanik dan termal serta memproduksi nyeri yang terlokalisasi (Anonim, 2001).

Serabut C merupakan saraf polimodal yang tidak bermyelin sehingga daya hantar listriknya lebih lambat menjadi sekitar 0,5-2 m/s. Luas area wilayah pada permukaan kulit sekitar 1 mm2. reseptor ini merespon stimulus mekanik, termal dan

secara khusus kimiawi. Efek yang dirasakan terasa lama dan rasa nyeri yang membakar (Anonim, 2001).

Rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri adalah kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan. Di sini senyawa tubuh sendiri dibebaskan dari sel-sel yang rusak, yang disebut zat nyeri (mediator nyeri), yang dapat menyebabkan perangsangan reseptor nyeri. Mediator nyeri kini juga disebut


(38)

autacoida dan terdiri dari antara lain histamin, serotonin, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin 2. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang, dan jaringan yang lain (Tjay dan Rahardja, 2002).

Yang termasuk zat nyeri dengan potensi kecil adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi rasa nyeri yang meningkat pada kenaikan konsentrasi ion H+ lebih lanjut. Kerja lemah yang mirip dipunyai juga oleh

ion kalium yang keluar dari ruang intrasel setelah terjadi kerusakan jaringan dan dalam interstitium pada konsentrasi >20 mmol/liter menimbulkan rasa nyeri. Demikian pula berbagai neurotransmitter dapat bekerja sebagai zat nyeri pada kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8 g/l) terbukti

sebagai zat nyeri (Guyton dan Hall, 1995; Mutschler, 1995).

Rangsangan atau noksius

Kerusakan jaringan

Pembentukan Kinin (misalnya: bradikinin)

Prostaglandin

Sensibilitas reseptor Pembebasan:

H+(pH < 6) K+ (> 20 mmol/L) Asetilkolin

Serotonin Histamin

Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan jaringan

Nyeri pertama Nyeri lama


(39)

19

Asetilkolin pada konsentrasi rendah menstabilisasi reseptor nyeri terhadap zat nyeri lain sehingga senyawa ini bersama sama senyawa yang dalam konsentrasi yang sesuai secara mandiri tidak berkhasiat dapat menyebabkan nyeri pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri. Kelompok senyawa penting lainnya adalah golongan kinin, terutama bradikinin yang merupakan salah satu senyawa penyebab nyeri terkuat.

Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri, menstabilisasi reseptor nyeri dan di samping itu menjadi penentu pada nyeri lama (Mutschler, 1995).

Nyeri merupakan suatu hal yang kompleks sehingga dalam penanggulangannya memerlukan keakuratan diagnosis serta pengobatan yang tepat dan efektif. Dalam penanggulangan nyeri, perlu dilakukan evaluasi atas seluruh komponen nyeri seperti aspek perilaku pasien, aspek kognitif, aspek sosial dan kultural (Baumann, 2005).

Dalam mengatasi nyeri dan menghilangkan penyebabnya dapat dilakukan berbagai macam tindakan seperti terapi farmakologi, terapi stimulasi, dan terapi psikologi (Baumann, 2005).

D. Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum (Mutschler, 1995). Menurut Djamhuri (1996), analgetika adalah obat yang menghilangkan rasa nyeri dengan cara meningkatkan nilai ambang nyeri di SSP tanpa menekan kesadaran.


(40)

Efek ini dapat dicapai dengan berbagai cara, seperti menekan kepekaan reseptor terhadap rangsang nyeri mekanik, termik listrik atau kimiawi di pusat atau dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin sebagai mediator sensasi nyeri (Anonim, 1991). Turner (1965) secara umum membagi analgetika menjadi tiga tipe, yaitu analgetika perifer, analgetika hipotalamus, dan analgetika narkotika. Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua kelompok, yaitu analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat dan analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer (Mutschler, 1995). Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar oleh Tjay dan Rahardja (2002), yakni analgetika perifer (non-narkotik) dan analgetika narkotik.

Berdasarkan kerja farmakologisnya, Tjay dan Rahardja (2002) membagi analgetika dalam dua kelompok besar, yakni:

1. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,

seperti pada fractura dan kanker.

2. analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.

1. Analgetika narkotik

Analgetika narkotik, kini disebut juga opioida (= mirip opiat), adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opiod khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respons emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002).

Analgetika kuat diindikasi pada kondisi nyeri yang sangat kuat yang jika tidak, tak cukup untuk dipengaruhi. Di sini terutama nyeri akibat kecelakaan, nyeri setelah operasi, dan nyeri tumor (Mutschler, 1995).


(41)

21

2. Analgetika non narkotika

Analgetika jenis ini, yang juga disebut analgetika yang bekerja perifer atau ‘kecil’, memiliki spektrum kerja farmakologi yang mirip walaupun struktur kimianya berbeda. Di samping kerja analgetika, senyawa-senyawa ini menunjukkan kerja antipiretika dan juga komponen kerja antiflogistika dengan kekecualian turunan asetilanilida. Sebaliknya senyawa-senyawa ini tidak mempunyai sifat-sifat psikotropik dan sifat sedasi dari hipnoanalgetika. Akibat spektrum kerja ini, pemakaian luas dan karena itu termasuk pada bahan-bahan obat yang paling banyak digunakan (Mutschler, 1995).

Istilah ‘analgetika berkhasiat lemah’ tidak benar untuk sifat-sifat dari kelompok obat ini karena beberapa senyawa ini memiliki efek analgetik lebih kuat jika dibandingkan hipnoanalgetika lemah. Walaupun demikian, untuk membedakan dari hipnoanalgetika, pengertian ini telah diambil (Mutschler, 1995).

Obat ini mampu meringankan atau menghalau rasa nyeri, tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretik dan / atau antiradang. Oleh karena itu, obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada gangguan demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002).

Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).


(42)

Untuk mengetahui kerja dan efek samping analgetika berkhasiat lemah, penemuan Vane menunjukkan bahwa senyawa ini bekerja mempengaruhi proses sintesis prostaglandin dan terbukti bermanfaat. Senyawa-senyawa ini menghambat sistem siklooksigenase yang menyebabkan asam arakhidonat dan asam-asam C20 tak

jenuh lain menjadi endoperoksida siklik. Endoperoksida siklik merupakan prazat dari prostaglandin, serta prazat dari tromboksan A2 dan prostasiklin (Mutschler,

1995).

Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin yang mampu menghasilkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Sejumlah besar histamin disimpan dalam sel mast, sel basofil, dan trombosit. Banyak cedera fisik

menyebabkan degranulasi sel mast dan melepaskan histamin (Price and Wilson,

1992)

Pada beberapa tahun terakhir ini perhatian dipusatkan pada metabolit asam arakhidonat sebagai mediator inflamasi yang penting. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida yang terdapat di situ menjadi asam arakhidonat (Tjay dan Rahardja, 2002).

Asam arakhidonat yang merupakan suatu asam lemak 20-karbon, disimpan atau tersedia dalam bentuk ester dari struktur fosfolipid di membran sel dari kebanyakan jaringan, tetapi dapat juga berasal dari ester trigliserida atau ester kolesterol (Wilmana, 1995). Agar dapat dipergunakan sel membentuk mediator, asam arakhidonat harus dibebaskan dari membran fosfolipid oleh aktivitas fosfolipase sel. Selama proses radang, lisosom neutrofil diyakini merupakan sumber fosfolipase yang penting (Robbins and Kumar, 1995).


(43)

23

Asam arakhidonat dimetabolisme melalui dua alur utama yaitu alur siklooksigenase (COX) dan alur lipoksigenase.

Perombakan asam arakidonat dapat dilihat pada gambar 3.

Fosfolipida (membrane sel)

Fosfolipida (membran sel)

kortikosteroid fosfolipase A2

Asam arakidonat

NSAID’s siklooksigenase lipooksigenase

O2-

COX-1 COX-2 Leukotrien LTA

-vasokonstriksi -proteksi peradangan peradangan -permeabilitas ↑ endoperoksida

Prostasiklin PGI2

Prostaglandin PGE2 / F2 Tromboxan

TXA2

Asam hidroperoksida

LTC4-LTD4-LTE4 LTB4

-bronchidilatasi lambung -agregasi ↑

-vasodilatasi -vasodilatasi

-anti agregasi

Gambar 3. Diagram perombakan asam arakidonat (Tjay dan Rahardja, 2002) Keterangan:

--- : golongan obat yang menghambat proses kerja

: proses pembentukan

Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim liposomal;


(44)

arachidonic acid kemudian dilepaskan dari persenyawaan-persenyawaan terdahulu,

dan berbagai ercosanoid disintesis. Pada jalur cyclooxygenase (COX) dari

metabolisme arakhidonat menghasilkan prostaglandin-prostaglandin, yang mempunyai berbagai efek pada pembuluh darah, ujung saraf, dan pada sel-sel yang terlibat dalam inflamasi. Penemuan isoform-isoform COX (COX-1 dan COX-2). Isoform COX-1 yang konstitutif cenderung menjadi homeostatis dalam fungsinya, sedangkan COX-2 diinduksi selama inflamasi dan digunakan untuk memfasilitasi respons inflamasi (Katzung, 2002).

Menurut Tjay dan Rahardja (2002) analgesik atau obat penghalang nyeri adalah zat zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Berdasarkan proses terjadinya, rangsang nyeri dapat dilawan dengan berbagai cara seperti mencegah sensibilitas reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin menggunakan analgsik yang bekerja perifer, merintangi penyaluran rangsangan dari saraf saraf sensorik, blokade pusat nyeri sistem saraf pusat dengan analgesik sentral serta mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan menggunakan anastetik lokal.

Sebagai analgesik sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik (Wilmana, 1995). Gambaran umum dari nefropati analgesik meliputi gagal ginjal kronis, hipertensi, anemia. Kebanyakan penderita mengalami nefropati karena memakai kombinasi fenasetin, aspirin, asetaminofen dalam waktu lama dan berlebihan (Robbins dan Kumar, 1995).


(45)

25

E. Prostaglandin

Salah satu mediator nyeri adalah prostaglandin (PG), yang merupakan golongan zat serupa hormon yang mempengaruhi tekanan darah, peradangan jaringan dan rasa sakit, serta menaikan suhu tubuh. Struktur indeknya adalah asam prostanoat tak jenuh, turunan asam lemak (Pine, Hendrickson, Cram dan Hammond, 1998).

Prostaglandin bertanggung jawab terhadap jalannya berbagai respon fisiologi, beberapa diantaranya adalah inflamasi, tekanan darah, demam dan nyeri.

Semua PG memiliki kerangka karbon dengan 20 C, 5 cincin dengan C7 memiliki

substituen asam karboksilat dan C8 memiliki substituen hidrokarbon. Prostaglandin

disintesis dari asam arakhidonat, 20 C asam lemak dengan 4 cis ikatan rangkap. Asam arakhidonat kembali disintesis dari asam linoleat (Bruice, 1998).

Langkah awal biosintesis PG adalah pelepasan enzim fosfolipase A2.

Interleukin I yang dihasilkan oleh leukosit dapat meningkatkan aktivitas enzim ini

dan memerantarai peradangan. Enzim fosfolipase A2 akan membebaskan asam

arakhidonat dari penyimpanan fosfolipid. Asam arakhidonat yang bebas dapat dimetabolisme oleh kompleks enzim COX menjadi endoperoksida PG yang tidak stabil. Endoperoksida dikonversi menjadi PGI2, TXA2 atau PG utama seperti PGE2

atau PGF2α. Jalur alternatif dari metabilisme arakhidonat adalah oksidasi oleh enzim lipooksigenase (Colegate dan Molyneux, 1993). Tempat sintesis PG adalah membran sel di fosfolipid. Asam linoleat yang menghasilkan asam arakhidonat untuk pembentukan PG tidak dihasilkan oleh tubuh, biosintesisnya adalah melalui


(46)

oksidasi asam lemak prazatnya dengan enzim oksigenase, melibatkan zat radikal bebas (Pine et al, 1998).

F. Radikal bebas dan Antioksidan

Radikal bebas dibentuk oleh suatu ion radikal yang kehilangan satu elektron. Radikal dapat terbentuk melalui proses homolytic fission yang terjadi karena putusnya ikatan kovalen sehingga masing masing ataom memiliki elektron tunggal (Gutteridge dan Halliwell, 1999). Ciri umumnya adalah kereaktivan kimianya sangat besar karena ada kecenderungan elektron untuk berpasangan. Jumlah radikal bebas berlebihan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan jaringan dan menimbulkan nyeri (Pine et al, 1998).

Radikal bebas turunan oksigen yang dihasilkan terdiri dari H2O2, superoksida

(O2 •¯), dan radikal hidroksil (OH*). Radikal oksigen ini menyebabkan kerusakan sel

endotel yang akhirnya meningkatkan permeabilitas vaskuler. Anion superoksida dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi molekul lain yang reaktif seperti hidrogen peroksida (H2O2), serta radikal hidroksil (OH*)

(Robbins and Kumar, 1995). Radikal bebas terpenting yang terdapat dalam tubuh adalah radikal derivat oksigen atau sering disebut sebagai Reactive Oxygen Species

(ROS). Radikal-radikal tersebut berada dalam bentuk triplet (3O2), singlet (1O2),

superoksida (O2˙¯), radikal hidroksida (OH˙), nitrit oksida (NO˙), dll (Kurnani,

2001).

Reaksi radikal yang tidak diinginkan dapat dicegah oleh suatu inhibitor radikal, yakni komponen yang menghancurkan radikal reaktif. Contoh dari inhibitor


(47)

27

radikal adalah hidrokuinon. Jika radikal reaktif dibentuk, hidrokuinon dapat menangkapnya. Radikal semikuinon yang terbentuk terstabilkan oleh resonansi dan menjadi tidak reaktif dibandingkan radikal lain. Contoh lain inhibitor radikal yang hadir dalam sistem biologi adalah vitamin C dan E (Bruice. 1998).

Bila produksi radikal bebas terus meningkat sistem pertahanan antioksidan tubuh tidak akan efektif lagi bekerja sebagai pelindung terhadap serangan radikal bebas. Dalam keadaan ini akan terjadi apa yang disebut dengan stress oksidatif atau kerusakan oksidatif. Untuk mencegah terjadinya stress oksidatif ini, antioksidan dari luar (antioksidan eksogen) sangat diperlukan (Subarnas, 2001).

Sistem antioksidan endogen diperkuat oleh sistem antioksidan eksogen yang diperoleh dari makanan (Setiati, 2003). Antioksidan eksogen bekerja dengan cara menangkap radikal dan mencegah reaksi berantai, misalnya retinol, β-karoten, vitamin C, α-tokoferol (vitamin E), serta albumin. Antioksidan eksogen bekerja melalui 3 macam mekanisme, yakni pemotongan rantai propagasi dari radikal bebas, melalui mekanisme khelasi terhadap metal transisi sehingga efek prooksidan dari metal dapat dihambat, serta memadamkan pengaruh singlet oksigen (Setiati, 2003).

G. Parasetamol

Parasetamol yang juga disebut sebagai asetaminofen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2 dihitung terhadap zat

anhidrat. Pemerian berupa serbuk hablur berwarna putih; tidak berbau dan rasa sedikit pahit. Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N dan juga mudah larut dalam etanol (Anonim, 1995).


(48)

Asetaminofen berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, myalgia, nyeri pasca persalinan, dan keadaan lain dimana aspirin efektif sebagai analgesik. Parasetamol lebih disukai pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau bilamana salisilat tidak bisa ditoleransi (Furst dan Munter, 2001).

Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin yang mengurangi sensasi nyeri. Obat ini efektif untuk menghilangkan nyeri ringan, nyeri sedang, dan sakit kepala. Mula kerjanya cepat dan lama kerjanya 5 jam atau kurang (Kee dan hayes, 1996). Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam-basa (Santoso dan Dewoto, 1995).

H. Antaraksi Obat

Antaraksi obat adalah suatu peristiwa dimana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan secara bersamaan (Suryawati, 1995). Dalam berbagai faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap pengobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, dan atau dengan obat lain. Antaraksi obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan (Setiawati, 1995).

1. Antaraksi farmakokinetik

Antaraksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya akan terjadi peningkatan toksisitas atau malah menurunkan efektivitas obat tersebut (Setiawati, 1995).


(49)

29

2. Antaraksi farmakodinamik

Antaraksi farmakodinamik adalah antaraksi obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik (Setiawati, 1995).

3. Antaraksi farmasetik

Antaraksi ini merupakan antaraksi fisika kimia antar obat sehingga mengubah aktivitas farmakologiknya. Yang sering terjadi misalnya dalam mencampur obat obat dalam cairan secara bersamaan seperti pada infus atau sediaan injeksi (Suryawati, 1995). Pada antaraksi farmasetik terjadi inkompatibilitas karena penyiapan atau inaktivasi ketika obat dicampur (Ritter and Mant, 1999).

I. Metode Pengujian Daya Analgesik

Secara umum, pengujian aktivitas analgetika dilakukan secara in vitro dan in vivo. Uji in vitro lebih banyak dilakukan untuk menguji aktivitas analgetika sentral yaitu dengan menguji kemampuan suatu zat uji dalam menduduki atau berikatan dengan reseptor. Berdasarkan jenis analgetika, metode pengujian efek analgesik dibagi menjadi 2 (Turner, 1965), yaitu:

1. golongan analgetika narkotika

Metode penapisan aktivitas analgesik untuk analgetika narkotika antara lain sebagai berikut ini.

a. Metode jepitan ekor. Sekelompok mencit disuntik dengan senyawa uji dengan dosis tertentu secara subkutan (s.c.) atau intravena (i.v.). Tiga puluh menit kemudian, jepitan dipasang pada pangkal ekor mencit selama 30 detik.


(50)

Mencit yang tidak diberi senyawa uji akan berusaha melepaskan diri dari kekangan tersebut, tetapi mencit yang diberi analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut. Dalam rentang waktu tertentu jepitan dipasang kembali. Respon positif yang menunjukkan adanya daya analgesik apabila tidak ada usaha untuk melepaskan jepitan selama 15 detik pada tiga kali pengamatan. b. Metode rangsang panas. Hewan percobaan ditempatkan di atas lempeng

panas dengan suhu 50o C sampai 55o C sebagai stimulus nyeri, dilengkapi

dengan penangas yang berisi campuran sama banyak aseton dan etil format yang mendidih. Mencit yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral, diletakkan pada hot plate yang sudah dipersiapkan. Reaksi mencit adalah menjilat kaki depan, kaki belakang lalu meloncat. Selang waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon, disebut waktu reaksi, dapat diperpanjang oleh obat-obat analgetika. Perpanjangan waktu reaksi selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas analgesik.

c. Metode pengukuran tekanan. Metode ini menggunakan suatu alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada ekor tikus secara seragam. Alat tersebut terdiri dari 2 syringe yang dihubungkan ujung dengan ujungnya yang bersifat elastis, fleksibel, dan pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisa

pipa dihubungkan dengan manometer. Syringe yang pertama diletakkan

secara vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari

syringe yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik pada syringe yang pertama kemudian dengan ekor tikus. Tekanan yang sama


(51)

31

pada syringe yang kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus.

Manometer akan membaca ketika tikus memberikan respon. Respon tikus yang pertama adalah meronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) tanda kesakitan.

d. Metode potensi petidin. Metode ini kurang baik, karena dibutuhkan hewan uji dalam jumlah besar, tetapi dapat digunakan untuk uji sedatif. Tiap kelompok tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 kelompok kecil dan diberi petidin dengan dosis berturut-turut yaitu 2, 4, dan 8 mg/kg. Setengah kelompok dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok petidin dan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgesik dihitung

dengan bantuan metode rangsang panas.

e. Metode antagonis nalorfin. Uji analgesik dengan metode ini bertujuan untuk menunjukkan aksi obat-obat seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan untuk meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam metode ini adalah tikus, mencit, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti pemberian nalorfin (0,5-10,0 mg/kgBB) secara intravena. Sebuah obat yaitu piritramid dapat menyebabkan respon seperti hilangnya refleks korneal dan refleks bradipnea. Efek tersebut dapat dilawan setelah 1 menit pemberian nalorfin 1,25 mg/kgBB yang disuntikkan secara intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya.

f. Metode kejang oksitosin. Oksitosin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior, dapat menyebabkan kontraksi uterus sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kontraksi


(52)

abdominal sehingga menarik pinggang dan kaki belakang. Respon kejang dapat diatasi dengan pemberian morfin atau turunannya. Tikus betina diberi estrogen dengan menanam atau memasukkan 15 mg pelet dietilstilbestrol secara subkutan pada paha tikus. Setelah 10 minggu hewan uji siap diuji analgesik. Senyawa yang akan diuji diberikan 15 menit secara subkutan sebelum diberi oksitosin secara intraperitoneal. Penurunan kejang dapat teramati dan ED50 dapat diperkirakan. Selain morfin senyawa analgetika

yang bisa diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kodein, meperidin.

g. Metode pencelupan air panas. Sepuluh tikus disuntik intraperitoneal dengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air panas (suhu 58o C).

respon tikus dilihat dari hentakan ekornya dari air panas. 2. golongan analgetika non narkotika

a. metode induksi kimia

Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang secara intraperitonial pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral pada selang waktu tertentu. Zat kimia yang biasa digunakan untuk memberikan respon berupa nyeri yaitu fenilkuinon. Respon nyeri pada mencit adalah geliat berupa konstraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai. Geliat diamati setiap 5 menit selama 1 jam. Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi berkurang. Metode ini peka untuk pengujian senyawa-senyawa analgesik yang memiliki daya analgesik lemah. Selain itu, metode ini cukup sederhana dan memberikan hasil yang spesifik. Pada metode ini, daya


(53)

33

analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat, yaitu:

% penghambatan terhadap geliat = 100 – [ (P/K) x 100 ] Keterangan:

P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang telah ditetapkan

K = jumlah rata-rata geliat hewan uji kelompok kontrol

Sumber lain menyatakan bahwa pada metode rangsang kimia, adanya aktivitas analgetika dinyatakan oleh jumlah terjadinya geliat pada hewan uji lebih sedikitnya ≥ 50% dari kelompok kontrol (Anonim, 1991).

b. Metode pedodolometer. Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya analgesik. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut kemudian dialiri listrik. Respon ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.

c. Metode rektodolometer. Tikus diletakkan dalam kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut kemudian dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan dengan konduktor yang berada di atas gulungan. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2 volt.


(54)

J. Landasan Teori

Nyeri (pain) merupakan suatu gejala yang umum dan sering terjadi

mengikuti salah satu atau lebih penyakit. Hampir sebagian besar penyakit memberi gejala nyeri yang dimanifestasikan dalam bentuk rasa sakit pada organ atau jaringan tubuh (Anonim, 1991).

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) dimana nyeri dirasakan untuk pertama kali.

Makuto dewo merupakan obat tradisional yang digunakan masyarakat Indonesia untuk mengobati penyakit seperti diabetes, asam urat, darah tinggi, darah rendah, kanker, sakit kepala, dan sakit perut. Selain itu juga untuk mengobati penyakit jantung, liver, rematik, penyakit ginjal, serta untuk penambah stamina. Makuto dewo kaya akan senyawa kimia, diantaranya alkaloid, saponin, flavonoid, dan senyawa polifenol (Anonim, 2004).

Parasetamol dikenal sebagai obat yang berkhasiat analgesik antipiretik. Mekanisme kerjanya dengan menghambat enzim siklooksigenase, yaitu suaru enzim yang menjadi perantara bagi asam arakhidonat mengkonversi diri menjadi prostaglandin. Dengan adanya penghambatan enzim siklooksigenase ini maka akan mengganggu konversi asam arakhidonat menjadi endoperoksida siklik, biosintesis prostaglandin sebagai mediator nyeri pun akan terganggu sehingga rasa nyeri dapat ditekan.


(55)

35

Flavonoid adalah penghambat metabolisme asam arakhidonat yang poten. Jika metabolisme asam arakhidonat dihambat, mediator-mediator nyeri seperti prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin tidak terbentuk, dengan demikian maka perangsangan reseptor nyeri juga tidak terjadi (Robinson, 1995).

Minyak kelapa memiliki kadar asam lemak tidak jenuh ganda omega-3

eicosa-penta-einoic acid (EPA) dan docasa-hexaenoic acid (DHA) yang dapat

menurunkan very low density lipoprotein (VLDL) dan viskositas darah,

menghambat tromboksan, serta mencegah penyumbatan pembuluh darah.

Karena proses penghambatan metabolisme asam arakhidonat sehingga mediator nyeri seperti tromboksan tidak terbentuk oleh asam lemak tidak jenuh ganda omega-3 eicosa-penta-einoic acid (EPA) dan docasa-hexaenoic acid (DHA)

pada virgin coconut oil dan karena proses penghambatan pembentukan mediator

nyeri seperti tromboksan oleh flavonoid yang terdapat pada makuto dewo maka perangsangan reseptor nyeri juga lebih efektif dapat dihambat.

K. Hipotesis

Penambahan virgin coconut oil pada perasan daging buah makuto dewo

akan meningkatkan aktivitas daya analgesik dari perasan daging buah makuto dewo itu sendiri.


(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Utama

a. Variabel bebas yaitu perasan daging buah makuto dewo yang dicampur dengan Virgin Cocconut Oil (VCO) dengan merk “Vicol” yang diproduksi oleh CV. Kelapa Mas Yogyakarta.

b. Variabel tergantung yaitu jumlah kumulatif geliat mencit selama 1 jam.

2. Variabel Pengacau Terkendali

a.Subjek uji berupa mencit putih betina galur swiss yang berumur antara 2,5 – 3,0 bulan. Berat badan antara 20 – 30 gram. Keadaan patologi berstatus sehat dan tidak mengalami penurunan aktivitas fisik.

b.Bahan uji berupa buah makuto dewo yang sudah tua, berwarna merah segar dan Virgin Cocconut Oil (VCO) dengan merk “Vicol” yang diproduksi oleh CV. Kelapa Mas Yogyakarta.

3. Variabel Pengacau Tak Terkendali

a.Ketahanan mencit, yaitu kemampuan individu mencit dalam menahan rasa sakit.


(57)

37

b. Kemampuan absorpsi, yaitu kemampuan absorbsi perasan daging buah makuto dewo dan Virgin Cocconut Oil oleh individu mencit.

c. Umur tanaman makuto dewo.

d. Jumlah kandungan kimia tanaman makuto dewo

C. Bahan atau Materi Penelitian

Penelitian ini menggunakan bahan-bahan sebagai berikut:

1. Hewan uji berupa mencit betina galur Swiss, berumur sekitar 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram.

2. Sediaan uji berupa perasan daging buah makuto dewo yang sudah masak

3. Aquades.untuk kontrol negatif yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

4. Asam asetat sebagai perangsang nyeri berupa asam asetat glasial yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

5. Parasetamol kualitas berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, dan rasa sedikit pahit yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

6. CMC-Na untuk melarutkan parasetamol yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.


(58)

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain : spuit injeksi, jarum oral (ujung tumpul), alat-alat gelas (Pyrex), kain saring, neraca elektrik, stopwatch, homogenizer.

E. Tata Cara Penelitian

1. Pengumpulan dan determinasi tanaman.

Buah makuto dewo yang digunakan berasal dari tanaman yang dipanen dari kebun makuto dewo desa Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Determinasi dilakukan dengan menggunakan buku acuan dengan tujuan untuk memastikan bahwa bahan yang digunakan memang benar makuto dewo

2. Pembuatan perasan daging buah makuto dewo.

Buah makuto dewo yang tidak rusak kemudian dikupas dan dipisahkan dari bijinya lalu diperas dengan menggunakan kain saring kemudian disaring kembali sehingga didapat air perasan yang bebas dari serat.

3.Pencampuran larutan uji

Setelah air perasan daging buah makutodewo didapat maka selanjutnya dicampurkan dengan Virgin Coconut Oil dengan bantuan alat homogenizer selama 30 detik.


(59)

39

4. Pembuatan CMC-Na 1%

Larutan ini dibuat dengan melarutkan serbuk CMC Na sebanyak 1 gram dalam air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga mengembang kemudian ditambah aquades sampai 100 ml.

5. Pembuatan suspensi parasetamol

Dibuat dengan menimbang 100 mg parasetamol lalu digerus dan dilarutkan dalam larutan CMC-Na 1% sedikit demi sedikit hingga volume 10 ml.

6. Penetapan kriteria geliat

Respon geliat yang ditunjukkan bervariasi sehingga perlu ditetapkan kriteria pastinya agar memudahkan pengamatan. Kriteria geliat yang dipakai apabila mencit mengempiskan perutnya sambil menarik satu atau kedua kakinya ke belakang.

7. Penetapan kontrol negatif

Kontrol negatif merupakan zat yang tidak memiliki efek analgesik sehingga dapat digunakan sebagai pembanding terhadap zat yang diuji. Kontrol negatif yang diuji adalah aquades dan CMC-Na 1%.

8. Penetapan dosis parasetamol

Dosis parasetamol yang digunakan 500 mg/50kgBB dikonversikan ke mencit menjadi 91 mg/kgBB. Pada orientasi digunakan dosis 91, 136,5, dan 182 mg/kgBB yang diperoleh dengan menaikkan dosis 91 mg/kgBB sebesar 1,5 dan 2 kalinya. Hasil orientasi dosis parasetamol ini digunakan sebagai kontrol positif. 9. Pemilihan konsentrasi dan dosis asam asetat

Konsentrasi asam asetat yang digunakan adalah berdasarkan penelitian terdahulu yaitu 1% yang dibuat dengan melarutkan 0,5 ml asam asetat glasial dalam


(60)

50 ml aquades. Dosis asam asetat yang digunakan juga berasal dari penelitian terdahulu yaitu 50 mg/kgBB.

10. Penentuan waktu pemberian rangsang

Diharapkan pada selang waktu pemberian bahan uji dengan asam asetat, telah terjadi absorpsi sehingga segera menimbulkan efek.

11. Perlakuan hewan uji

Sebelum perlakuan, mencit dipuasakan selama kurang lebih 18 - 24 jam tetapi tetap diberi minum. Mencit betina sebanyak 63 ekor dalam keadaan sehat dibagi menjadi 9 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 7 ekor dengan pembagian acak.

Kelompok I merupakan kontrol negatif. Setiap mencit dalam kelompok ini dilakukan pemberian aquades. Kelompok II merupakan kontrol positif. Setiap mencit dalam kelompok ini dilakukan pemberian parasetamol sesuai dosis hasil orientasi. Kelompok III - IX merupakan kelompok perlakuan. Diberi air perasan buah makuto dewo yang dicampur Virgin Coconut Oil (VCO) dengan perbandingan campuran makuto dewo : VCO yang digunakan adalah (1:0; 1:1/4; 1:1/2; 1:1; 1:2; 1:4; dan 0:1). Setelah sepuluh menit diberi rangsang kimia berupa asam asetat 1% dengan dosis 50 mg/kg BB secara intraperitoneal kemudian respon geliat diamati dengan selang waktu 5 menit selama 1 jam.


(61)

41

12. Perhitungan persen proteksi nyeri

Besarnya penghambatan jumlah geliat dihitung dengan memakai persamaan Handershot dan Forsaith, yaitu :

% Proteksi nyeri = (100 – (P/K x 100)) Keterangan :

P : Jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian sari perasan buah makuto dewo yang dicampur dengan Virgin Coconut Oil (VCO) K : Jumlah rata-rata kumulatif geliat hewan uji kontrol negatif

Data kuantitatif persentase proteksi nyeri kemudian dianalisis menggunakan analisis variasi satu arah dengan taraf kepercayaan 95%.

Perubahan persen proteksi nyeri terhadap kontrol positif dihitung dengan menggunakan rumus :

Perubahan % proteksi nyeri = ( )x100% Kp

P Kp

Keterangan :

P = % proteksi nyeri pada tiap kelompok perlakuan Kp = rata-rata % proteksi nyeri pada kontrol positif 13. Analisis data

Data yang diperoleh selama 1 jam pada tiap kelompok dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov dilanjutkan dengan metode ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%. Selanjutnya dilakukan uji Scheffe.

14. Tolok ukur penelitian

Tolok ukur penelitian ini adalah berdasar ketentuan bahwa adanya aktivitas analgesik jika dapat menghambat jumlah geliat hewan uji lebih dari 50% dan bila kurang dari 50% dikatakan mempunyai efek analgesik minimal.


(1)

1 : 2

Menit Ke- Mencit 1 Mencit 2

Mencit 3

Mencit 4

Mencit 5 Mencit 6 Mencit 7

0

5

0 0 0 4 3 0 0

5

10

3 2 4 3 6 4 3

10

15

9 4 4 8 6 1 7

15

20

7 5 2 1 1 7 4

20

25

4 6 1 0 2 3 1

25

30

0 5 2 4 1 2 1

30

35

0 0 4 0 0 7 0

35

40

0 2 2 1 3 1 0

40

45

0 3 3 0 0 0 1

45

50

1 1 1 0 1 0 2

50

55

1 0 0 0 1 1 2

55

60

1 0 1 2 2 0 1


(2)

1 : 4

Menit Ke- Mencit 1 Mencit 2

Mencit 3

Mencit 4

Mencit 5 Mencit 6 Mencit 7

0

5

3 0 0 6 0 1 4

5

10

4 8 1 4 0 0 5

10

15

5 3 3 3 6 3 2

15

20

3 2 5 3 2 9 2

20

25

4 4 3 1 2 2 0

25

30

3 1 3 2 3 1 1

30

35

0 0 1 0 0 1 3

35

40

0 1 2 0 1 0 1

40

45

2 1 0 0 3 1 1

45

50

0 0 0 1 0 0 0

50

55

0 0 0 0 0 0 0

55

60

0 0 0 0 0 1 1


(3)

Lampiran 12. Analisis Data Kelompok Perlakuan

Oneway

Descriptives

VAR00002

7

,0000

,00000

,00000

,0000

,0000

,00

,00

7

52,3800

1,29823

,49068

51,1793

53,5807

50,79

53,97

7

57,1414

3,42862

1,29590

53,9705

60,3124

52,38

61,90

7

58,0486

5,41001

2,04479

53,0451

63,0520

47,62

65,08

7

61,9029

4,67630

1,76748

57,5780

66,2277

55,55

66,67

7

56,2343

5,25301

1,98545

51,3761

61,0925

46,03

61,90

7

63,0386

4,36816

1,65101

58,9987

67,0784

57,14

69,84

7

60,3157

3,30505

1,24919

57,2591

63,3724

55,55

65,08

7

68,7057

3,51810

1,32972

65,4520

71,9594

61,90

73,02

63

53,0852

19,75895

2,48939

48,1090

58,0615

,00

73,02

kontrol negatif

kontrol positif

makutodewo murn

VCO murni

1 : 1/4

1 : 1/2

1 : 1

1 : 2

1 : 4

Total

N

Mean

Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum

Test of Homogeneity of Variances

VAR00002

2,227

8

54

,039

Levene

Statistic

df1

df2

Sig.

ANOVA

VAR00002

23398,494

8

2924,812

195,636

,000

807,313

54

14,950

24205,808

62

Between Groups

Within Groups

Total

Sum of


(4)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable: VAR00002 Scheffe

-52,3800* 2,06676 ,000 -60,8818 -43,8782 -57,1414* 2,06676 ,000 -65,6433 -48,6396 -58,0486* 2,06676 ,000 -66,5504 -49,5467 -61,9029* 2,06676 ,000 -70,4047 -53,4010 -56,2343* 2,06676 ,000 -64,7361 -47,7324 -63,0386* 2,06676 ,000 -71,5404 -54,5367 -60,3157* 2,06676 ,000 -68,8176 -51,8139 -68,7057* 2,06676 ,000 -77,2076 -60,2039 52,3800* 2,06676 ,000 43,8782 60,8818 -4,7614 2,06676 ,721 -13,2633 3,7404 -5,6686 2,06676 ,492 -14,1704 2,8333 -9,5229* 2,06676 ,016 -18,0247 -1,0210 -3,8543 2,06676 ,895 -12,3561 4,6476 -10,6586* 2,06676 ,004 -19,1604 -2,1567 -7,9357 2,06676 ,089 -16,4376 ,5661 -16,3257* 2,06676 ,000 -24,8276 -7,8239 57,1414* 2,06676 ,000 48,6396 65,6433 4,7614 2,06676 ,721 -3,7404 13,2633 -,9071 2,06676 1,000 -9,4090 7,5947 -4,7614 2,06676 ,721 -13,2633 3,7404 ,9071 2,06676 1,000 -7,5947 9,4090 -5,8971 2,06676 ,434 -14,3990 2,6047 -3,1743 2,06676 ,965 -11,6761 5,3276 -11,5643* 2,06676 ,001 -20,0661 -3,0624 58,0486* 2,06676 ,000 49,5467 66,5504 5,6686 2,06676 ,492 -2,8333 14,1704 ,9071 2,06676 1,000 -7,5947 9,4090 -3,8543 2,06676 ,895 -12,3561 4,6476 1,8143 2,06676 ,999 -6,6876 10,3161 -4,9900 2,06676 ,666 -13,4918 3,5118 -2,2671 2,06676 ,996 -10,7690 6,2347 -10,6571* 2,06676 ,004 -19,1590 -2,1553 61,9029* 2,06676 ,000 53,4010 70,4047 9,5229* 2,06676 ,016 1,0210 18,0247 4,7614 2,06676 ,721 -3,7404 13,2633 3,8543 2,06676 ,895 -4,6476 12,3561 5,6686 2,06676 ,492 -2,8333 14,1704 -1,1357 2,06676 1,000 -9,6376 7,3661 1,5871 2,06676 1,000 -6,9147 10,0890 -6,8029 2,06676 ,238 -15,3047 1,6990 56,2343* 2,06676 ,000 47,7324 64,7361 3,8543 2,06676 ,895 -4,6476 12,3561 -,9071 2,06676 1,000 -9,4090 7,5947 -1,8143 2,06676 ,999 -10,3161 6,6876 -5,6686 2,06676 ,492 -14,1704 2,8333 -6,8043 2,06676 ,237 -15,3061 1,6976 -4,0814 2,06676 ,860 -12,5833 4,4204 -12,4714* 2,06676 ,000 -20,9733 -3,9696 63,0386* 2,06676 ,000 54,5367 71,5404 10,6586* 2,06676 ,004 2,1567 19,1604 5,8971 2,06676 ,434 -2,6047 14,3990 4,9900 2,06676 ,666 -3,5118 13,4918 1,1357 2,06676 1,000 -7,3661 9,6376 6,8043 2,06676 ,237 -1,6976 15,3061 2,7229 2,06676 ,987 -5,7790 11,2247 -5,6671 2,06676 ,492 -14,1690 2,8347 60,3157* 2,06676 ,000 51,8139 68,8176 7,9357 2,06676 ,089 -,5661 16,4376 3,1743 2,06676 ,965 -5,3276 11,6761 2,2671 2,06676 ,996 -6,2347 10,7690 -1,5871 2,06676 1,000 -10,0890 6,9147 4,0814 2,06676 ,860 -4,4204 12,5833 -2,7229 2,06676 ,987 -11,2247 5,7790 -8,3900 2,06676 ,056 -16,8918 ,1118 68,7057* 2,06676 ,000 60,2039 77,2076 16,3257* 2,06676 ,000 7,8239 24,8276 11,5643* 2,06676 ,001 3,0624 20,0661 10,6571* 2,06676 ,004 2,1553 19,1590 6,8029 2,06676 ,238 -1,6990 15,3047 12,4714* 2,06676 ,000 3,9696 20,9733 5,6671 2,06676 ,492 -2,8347 14,1690 8,3900 2,06676 ,056 -,1118 16,8918 (J) VAR00001

kontrol positif makutodewo murni VCO murni 1 : 1/4 1 : 1/2 1 : 1 1 : 2 1 : 4 kontrol negatif makutodewo murni VCO murni 1 : 1/4 1 : 1/2 1 : 1 1 : 2 1 : 4 kontrol negatif kontrol positif VCO murni 1 : 1/4 1 : 1/2 1 : 1 1 : 2 1 : 4 kontrol negatif kontrol positif makutodewo murni 1 : 1/4 1 : 1/2 1 : 1 1 : 2 1 : 4 kontrol negatif kontrol positif makutodewo murni VCO murni 1 : 1/2 1 : 1 1 : 2 1 : 4 kontrol negatif kontrol positif makutodewo murni VCO murni 1 : 1/4 1 : 1 1 : 2 1 : 4 kontrol negatif kontrol positif makutodewo murni VCO murni 1 : 1/4 1 : 1/2 1 : 2 1 : 4 kontrol negatif kontrol positif makutodewo murni VCO murni 1 : 1/4 1 : 1/2 1 : 1 1 : 4 kontrol negatif kontrol positif makutodewo murni VCO murni 1 : 1/4 1 : 1/2 1 : 1 1 : 2 (I) VAR00001

kontrol negatif

kontrol positif

makutodewo murni

VCO murni

1 : 1/4

1 : 1/2

1 : 1

1 : 2

1 : 4

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(5)

Homogeneous Subsets

VAR00002

Scheffe

a

7

,0000

7

52,3800

7

56,2343

56,2343

7

57,1414

57,1414

7

58,0486

58,0486

7

60,3157

60,3157

60,3157

7

61,9029

61,9029

7

63,0386

63,0386

7

68,7057

1,000

,089

,237

,056

VAR00001

kontrol negatif

kontrol positif

1 : 1/2

makutodewo murni

VCO murni

1 : 2

1 : 1/4

1 : 1

1 : 4

Sig.

N

1

2

3

4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 7,000.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis mempunyai nama lengkap

Ignatius

Madya Surya Permana Putra

dilahirkan di

Surakarta pada tanggal 28 Juli 1985. Terlahir

dari Keluarga Ir. A.M. Ajie Widyantoro dan drg.

Rosa Pratiwi sebagai anak pertama dari empat

bersaudara.

Penulis mengawali masa pendidikannya di TK Kanisius Kotabaru Yogyakarta.

Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Kanisius Kotabaru dan SD

Xaverius Ambon, lulus pada tahun 1997. Menempuh pendidikan Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 4 Ambon dan SLTP Stella Duce I

Yogyakarta, lulus pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan di SMU

Kolese De Britto Yogyakarta hingga lulus tahun 2003. Penulis menyelesaikan

pendidikan sarjana di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2003-2007).

Semasa menempuh kuliah penulis juga aktif sebagai asisten praktikum yaitu

praktikum Botani Dasar, Bioanalisis dan Biofarmasetika. Selain itu, penulis juga

aktif dalam berbagai kepanitiaan baik dalam fakultas maupun di luar fakultas

seperti TITRASI 2004 dan 2005, La Fiesta de la Gioia USD 2004, Pengambilan

Sumpah Apoteker 2005, Pharmacy Event Cup 2004 dan PIMFI 2005. Penulis

juga pernah aktif dalam kegiatan UKF bola basket (2003 – 2005) dan Pos

Kesehatan Kotabaru.