UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING MATA PELAJARAN IPA SISWA KELAS V SD NEGERI BANGUNREJO 2 YOGYAKARTA.

(1)

UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING MATA PELAJARAN IPA SISWA KELAS V SD NEGERI BANGUNREJO 2

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Eka Vebri Lestari NIM 12108241175

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

Bekerjasama dan saling membantu dalam kebaikan adalah kunci keberhasilan, baik yang membantu atau pun yang menerima bantuan.

(Eka Vebri Lestari)

Ketika sekelompok manusia bersatu dan bekerjasama dengan harmonis, peningkatan energi yang tercipta melalui kerjasama tersebut dialami setiap inividu

di dalam kelompok tersebut. (Napoleon Hill)

Hal terbaik yang bisa Anda lakukan untuk orang lain bukanlah membagikan kekayaan Anda, tetapi membantu ia untuk memiliki kekayaannya sendiri.

(Benjamin Disraeli)

“...Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa..” (terjemahan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 2)


(6)

PERSEMBAHAN

Karya yang sederhana ini kupersembahkan kepada: 1. Bapak Prehanta dan Ibu Suharyanti


(7)

UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING MATA PELAJARAN IPA SISWA KELAS V SD NEGERI BANGUNREJO 2

YOGYAKARTA Oleh Eka Vebri Lestari NIM 12108241175

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh cara-cara meningkatkan keaktifan belajar siswa Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2 dalam pembelajaran IPA melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning dan mengetahui besar peningkatannya.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas model Kemmis dan Mc. Taggart berupa siklus yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan observasi, serta refleksi. Penelitian ini terdiri dari dua siklus. Subjek penelitian berjumlah 20 siswa Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2. Data keaktifan belajar siswa dikumpulkan menggunakan teknik observasi, wawancara, dan pencermatan dokumen dengan instrumen lembar observasi. Selanjutnya, data tersebut dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keaktifan belajar siswa Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2 dalam pembelajaran IPA dapat meningkat melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning. Pada Siklus I, rata-rata keaktifan belajar siswa berdasarkan hasil observasi sebesar 68,8%. Hasil tersebut belum mencapai indikator keberhasilan sehingga tindakan dilanjutkan pada Siklus II. Pada Siklus II, perbaikan yang dilakukan yaitu 1) Siswa diberikesempatan lebih banyak untuk berbicara; 2) Tugas diskusi dan presentasi dituliskan secara lebih detail pada lembar kerja siswa; dan 3) Setiap kelompok diwajibkan memberikan tanggapan terhadap presentasi kelompok lain. Pada Siklus II, rata-rata keaktifan belajar siswa berdasarkan hasil observasi sebesar 75,3%. Hasil tersebut sudah mencapai indikator keberhasilan yaitu berdasarkan hasil observasi sudah ≥75% sehingga tindakan dihentikan pada siklus tersebut


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan seluruh alam, atas limpahan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan sahabatnya. Skripsi ini tersusun atas bimbingan, bantuan, dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan izin penelitian. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar, yang telah memberikan

kesempatan melakukan penelitian.

3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Ikhlasul Ardi Nugroho, M.Pd. yang telah membimbing dengan sabar.

4. Kepala SD Negeri Bangunrejo 2, Ibu Antonia Retno Sriningsih, M.Pd yang telah memberikan izin dan dukungan penelitian.

5. Guru Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2, Ibu Sulastri, S.Pd. yang telah bersedia berkolaborasi melaksanakan penelitian.

6. Siswa-siswi Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2 yang telah bersedia belajar bersama.

7. Orang tua tercinta, Bapak Prehanta dan Ibu Suharyanti yang telah memberikan dukungan material, motivasi, dan kasih sayang serta senantiasa berdoa.

8. Adik tersayang yang telah memberikan semangat dan selalu mengingatkan. 9. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen yang telah memberikan bekal ilmu selama

perkuliahan di PGSD FIP UNY.

10. Seluruh pegawai Tata Usaha dan Perpustakaan kampus di UNY yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik.

11. Keluarga Lele Adventure, Asput, dan sahabat-sahabatku yang selalu memberikan motivasi dan dukungan yang tidak dapat disebutkan satu per satu 12. Sahabat D’Javu PGSD FIP UNY 2012 Kelas D.


(9)

Semoga segala bantuan yang diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat imbalan dari Allah Swt. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi keluarga, nusa, bangsa, dan agama. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan pada penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 21 September 2016 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

G. Definisi Operasional ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran IPA SD ... 10

1. Hakikat Pembelajaran IPA SD... 10

2. Ruang Lingkup IPA SD ... 13

B. Karakteristik Siswa di Sekolah Dasar Inklusi ... 14

1. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar ... 14


(11)

C. Keaktifan Belajar ... 24

1. Pengertian Keaktifan Belajar ... 24

2. Cara Menumbuhkan Keaktifan Belajar ... 26

D. Model Pembelajaran Kooperatif ... 29

1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif ... 29

2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif ... 31

3. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif ... 32

4. Unsur-unsur Dasar Pembelajaran Kooperatif ... 33

5. Prinsip Model Pembelajaran Kooperatif ... 35

6. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD ... 37

E. Penelitian Yang Relevan ... 38

F. Kerangka Berpikir ... 39

G. Hipotesis Tindakan ... 41

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

C. Subyek dan Obyek Penelitian ... 43

D. Setting Penelitian ... 43

E. Model Penelitian ... 43

F. Teknik Pengumpulan Data ... 46

G. Instrumen Penelitian ... 47

H. Uji Validitas Instrumen ... 49

I. Teknik Analisis Data ... 49

J. Indikator Keberhasilan ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 51

B. Pembahasan ... 70

C. Keterbatasan Penelitian ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 76


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN ... 82


(13)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Kerangka Pikir ... 41 Gambar 2. Proses Penelitian Tindakan Kelas Model Kemmis dan Mc Taggart . 44


(14)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas V SD ... 14

Tabel 2. Inisial Subjek Penelitian... 51

Tabel 3. Jadwal Pengumpulan Data ... 52

Tabel 4. Hasil Observasi Keaktifan Belajar Siswa pada Siklus I ... 60

Tabel 5. Hasil Observasi Keaktifan Belajar Siswa pada Siklus II ... 68

Tabel 6. Peningkatan Keaktifan Belajar Siswa ... 69


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Silabus Pembelajaran ... 82

Lampiran 2. RPP Siklus I ... 84

Lampiran 3. RPP Siklus II ... 96

Lampiran 4. Jadwal Penelitian ... 109

Lampiran 5. Kisi-kisi Observasi Keaktifan Belajar Siswa ... 110

Lampiran 6. Instrumen Observasi Siklus I Pertemuan ke-1 ... 111

Lampiran 7. Instrumen Observasi Siklus I Pertemuan ke-2 ... 113

Lampiran 8. Instrumen Observasi Siklus II ... 116

Lampiran 9. Analisis Data Hasil Observasi Keaktifan Belajar Siswa Siklus I Pertemuan ke-1 ... 119

Lampiran 10. Analisis Data Hasil Observasi Keaktifan Belajar Siswa Siklus I Pertemuan ke-2 ... 120

Lampiran 11. Analisis Data Hasil Observasi Keaktifan Belajar Siswa Siklus II ... 121

Lampiran 12. Hasil Wawancara dengan guru ... 122

Lampiran 13. Kekurangan Siklus I dan Rencana Tindakan Siklus II ... 123

Lampiran 14. Foto Pelaksanaan Pembelajaran IPA melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif ... 125

Lampiran 15. Contoh Hasil Kerja Siswa Siklus II ... 127

Lampiran 16. Contoh Hasil Evaluasi Siklus I ... 129

Lampiran 17. Contoh Hasil Evaluasi Siklus II... 130

Lampiran 18. Surat Izin Penelitian dari FIP UNY ... 131

Lampiran 19. Surat Izin Penelitian dari Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta ... 132


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang semakin pesat memberikan konsekuensi bagi manusia untuk terus selalu meningkatkan kualitasnya. Salah satu cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab I Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Setiap manusia berhak memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Hal ini sesuai dengan pasal 31 UUD 1945 bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Begitu pula dengan Anak Berkebutuhan Khusus, juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak seperti manusia normal lainnya. Hak pendidikan bagi penyandang kelainan atau ketunaan ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 bahwa “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental dan sosial”.


(17)

Hal ini sangat berarti karena anak berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran.

Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang diberikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah umum. Pendidikan inklusi ada untuk menyamakan hak anak berkebutuhan khusus agar mendapatkan pendidikan sama dengan teman lainnya secara inklusif (tidak terpisah). Pendidikan inklusi berasumsi bahwa perbedaan pada manusia merupakan hal yang normal sehingga pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Kurikulum sekolah inklusi merupakan kurikulum normal yang dimodifikasi sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa. Aktivitas belajar di sekolah inklusi tidak menbedakan antara siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus.

Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berfikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan (Sardiman, 2007: 100). Siswa dikatakan aktif apabila sering bertanya kepada guru atau siswa lain, mau mengerjakan tugas yang diberikan guru, mampu menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara siswa dengan guru ataupun dengan siswa itu sendiri.

Keaktifan belajar siswa merupakan unsur dasar yang penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Belajar adalah berbuat, oleh karena itu


(18)

tidak ada belajar tanpa aktivitas. Pengalaman belajar hanya dapat diperoleh jika siswa aktif berinteraksi dengan lingkungan. Pengalaman tersebut dapat diperoleh dari interaksi dengan lingkungan sekitar, baik dari proses mengamati, meniru, maupun memodifikasi melalui mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, salah satunya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

IPA merupakan salah satu mata pelajaran wajib pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada sekolah dasar dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Selain itu, Usman Samatowa (2006: 3) juga mengungkapkan empat alasan perlunya IPA diajarkan di SD yaitu 1) karena IPA merupakan dasar teknologi sehingga berfaedah bagi suatu bangsa; 2) IPA memberikan kesempatan berpikir kritis jika IPA diajarkan salah satunya dengan mengikuti metode menemukan sendiri; 3) IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan belaka bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang “dilakukan sendiri oleh anak”; dan 4) IPA mempunyai nilai-nilai pendidikan yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Oleh karena itu, IPA sangat berperan penting dalam meningkatkan aktifitas siswa yang berpengaruh terhadap keaktifan belajar siswa.


(19)

Berdasarkan uraian tentang pendidikan inklusi dan pembelajaran IPA tersebut, siswa SD Inklusi diharapkan memiliki hasil belajar yang baik dalam pembelajaran IPA sebagai salah satu aspek perkembangannya. Perkembangan yang dimaksud adalah meningkatnya keaktifan siswa saat proses pembelajaran dan meningkatnya pemahaman siswa terhadap materi yang diterima tanpa tergantung dengan orang lain (guru pembimbing khusus) pada pembelajaran IPA.

Peneliti menemukan permasalahan terkait hasil belajar siswa di sekolah inklusi pada saat Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) tahun 2015 di SD Negeri Bangunrejo 2. SD Negeri Bangunrejo 2 merupakan SD Inklusi dengan perbandingan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang hampir sama dengan jumlah siswa normal pada umumnya. Hasil observasi menunjukkan siswa kurang aktif dalam pembelajaran. Hal tersebut berdasarkan hasil pengamatan terhadap siswa, yaitu siswa tidak mau bertanya apabila tidak ditunjuk, siswa tidak memiliki inisiatif untuk mengeluarkan buku pelajaran atau alat tulis jika tidak disuruh, saat diberikan pertanyaan oleh guru tidak ada siswa yang berani menjawab secara individu bahkan beberapa siswa tetap diam meskipun sudah ditunjuk. Hasil belajar siswa Kelas V juga belum optimal. Berdasarkan pada rata-rata nilai Ulangan Tengah Semester (UTS) ada dua mata pelajaran yang masih dibawah nilai standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yaitu matematika dan IPA. Rata-rata nilai matematika dan IPA masing-masing adalah 55 dan 59, nilai standar KKM yang ditetapkan oleh sekolah adalah 60. Selisih nilai UTS antara nilai tertinggi dan terendah


(20)

mata pelajaran matematika adalah 35, dengan nilai tertinggi 80 dan terendah 45. Sedangkan pada mata pelajaran IPA selisih nilai tertinggi dan terendah yaitu 54, dengan nilai tertinggi 90 dan terendah 36. Pada penelitian ini peneliti memilih mata pelajaran IPA karena selisih nilai tertinggi dan terendah mata pelajaran IPA lebih besar dari pada matematika serta rata-rata nilai mata pelajaran matematika hanya sedikit dibawah IPA.

Variasi nilai IPA di kelas V disebabkan oleh kemampuan intelegensi siswa yang beragam. Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2 terdiri dari 20 orang siswa. Kelas ini merupakan kelas dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang paling banyak dibandingkan kelas lainnya, yaitu dari 20 anak ada 13 anak merupakan siswa berkebutuhan khusus yang terdiri dari enam anak penyandang tunagrahita ringan dan tujuh anak dengan keterlambatan belajar.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas didapati bahwa cukup banyak siswa yang berkesulitan membaca, menulis, atau berhitung. Siswa yang mengalami kesulitan (berkebutuhan khusus) dibantu oleh Guru Pendamping Khusus (GPK) selama proses pembelajaran. Siswa berkebutuhan khusus juga dibantu oleh GPK pada evaluasi pembelajaran atau ulangan harian sehingga nilai siswa bisa mencapai nilai KKM, tetapi pada Ulangan Tengah Semester (UTS) maupun Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) siswa berkebutuhan tidak lagi didampingi oleh GPK sehingga banyak diperoleh nilai yang belum mencapai KKM. Jadi, dapat dikatakan bahwa siswa berkebutuhan khusus dikelas V masih sangat bergantung pada GPK.


(21)

Berdasarkan hasil observasi, siswa tidak dilibatkan secara aktif pada kegiatan pembelajaran IPA. Siswa cenderung hanya mendengarkan penjelasan guru dan belajar secara individual. Siswa jarang dilibatkan dalam kerja kelompok. Padahal, pembelajaran IPA sangat memungkinkan siswa melakukan kegiatan yang menuntut siswa belajar secara aktif dalam kelompok.

Adanya beberapa permalasahan tersebut memancing keinginan peneliti untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa melalui kerja tim atau kelompok, khususnya pada mata pelajaran IPA. Salah satu model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa aktif dalam kelompok sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa yaitu dengan pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Agus Suprijono, 2015: 80). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Upaya Peningkatan Keaktifan Belajar Menggunakan Model Pembelajaran Cooperative Learning Mata Pelajaran IPA Siwa Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2 Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:


(22)

2. Terjadi selisih nilai yang besar antara nilai tertinggi dan terendah dalam mata pelajaran IPA, yaitu 54.

3. Penyampaian materi yang disampaikan oleh guru cenderung verbalistik. 4. Sikap siswa kurang aktif bertanya atau berpendapat dalam pembelajaran. 5. Siswa berkebutuhan khusus masih tergantung pada guru pendamping. 6. Hasil belajar IPA siswa Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2 rendah. C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, permasalahan penelitian ini dibatasi pada upaya peningkatan keaktifan belajar menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning mata pelajaran IPA siswa kelas V SD Negeri Bangunrejo 2.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut.

“Bagaimana meningkatkan keaktifan belajar menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning mata pelajaran IPA siswa kelas V SD Negeri Bangunrejo 2?”

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut.

“Untuk meningkatkan keaktifan belajar menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning mata pelajaran IPA siswa kelas V SD Negeri Bangunrejo 2.”


(23)

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat diperoleh beberapa manfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi pihak sekolah, kontribusi hasil penelitian ini adalah bukti konkrit untuk memberikan informasi dan sebagai refleksi kualitas proses pembelajaran.

2. Bagi guru, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan agar terus meningkatkan keaktifan belajar siswa.

3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini adalah bagian dari pengabdian yang dapat dijadikan refleksi untuk terus mengembangkan inovasi dalam hal pembelajaran menuju hasil yang lebih baik serta menjadikan pengalaman yang sangat berharga sehingga menjadi bekal dan acuan dalam penyusunan karya ilmiah selanjutnya.

4. Bagi siswa, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu latihan meningkatkan keaktifan belajar.

G. Definisi Operasional

1. Keaktifan belajar dalam pembelajaran IPA yaitu proses kegiatan belajar siswa baik fisik maupun mental yang dilakukan secara optimal agar dapat mencapai tujuan pembelajaran IPA. Keaktifan belajar siswa SD dapat dilihat dari: 1) turut serta siswa dalam melaksanakan tugas belajar; 2) keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah; 3) melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru; 4) keterlibatan siswa dalam mengambil keputusan, berpendapat atau menerima pendapat orang lain.


(24)

2. Model pembelajaran Cooperative Learning adalah sebuah model pembelajaran proses dimana siswa aktif belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama dan pemahaman yang sama. Model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran ini yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Student Team-Achievement Division.


(25)

BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran IPA SD

1. Hakikat Pembelajaran IPA SD

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan terjemahan kata-kata dalam Bahasa Inggris yaitu natural science yang artinya adalah ilmu pengetahuan alam (Usman Samatowa, 2010: 3). Sri Sulistyorini (2007: 39) mengemukakan bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Sri Sulistyorini (2007: 39) juga mengungkapkan bahwa IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. IPA dapat dikatakan sebagai suatu proses yang sistematis tentang mempelajari alam dengan memecahkan berbagai masalah sehingga berguna bagi kehidupan manusia.

Pada hakikatnya, IPA dapat dipandang dari segi produk, proses, dan dari segi pengembangan sikap (Sri Sulistyorini, 2007: 9). IPA sebagai produk adalah hasil dari para perintis IPA terdahulu dan umumnya tersusun secara lengkap dan sistematis dalam bentuk buku teks. IPA sebagai proses adalah upaya manusia untuk memahami berbagai gejala alam dengan metode ilmiah. Siswa SD diharapkan dapat mengembangkan


(26)

metode ilmiah tersebut secara bertahap dan berkesinambungan sehingga dapat melakukan penelitian sederhana. IPA sebagai sikap pada siswa SD dibatasi pengertiannya pada sikap ilmiah terhadap lingkungan sekitar. Disimpulkan bahwa IPA merupakan sebuah proses menemukan sesuatu (produk) dengan metode ilmiah yang dilakukan dengan sikap ilmiah.

IPA merupakan mata pelajaran wajib pada kurikulum KTSP di Sekolah Dasar. IPA di SD membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu siswa secara alamiah (Usman Samatowa, 2010: 2). Aspek pokok dalam pembelajaran IPA adalah siswa dapat menyadari keterbatasan pengetahuannya, memiliki rasa ingin tahu untuk menggali berbagai pengetahuan baru, dan akhirnya dapat mengaplikasikannya dalam kehidupannya (Usman Samatowa, 2010: 10). Adanya mata pelajaran IPA di SD memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan baru yang dapat ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Sri Sulistyorini (2007: 40) menyebutkan tujuan pembelajaran IPA SD berdasarkan KTSP 2006 salah satunya adalah mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang


(27)

saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Rasa ingin tahu tersebut dapat mendorong siswa agar lebih aktif dalam proses pembelajaran. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, IPA wajib diberikan kepada siswa SD karena menanamkan cara berpikir kritis, mandiri, dan kreatif sehingga muncul rasa selalu ingin tahu yang mendorong siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran IPA di kelas dipandang sebagai suatu proses yang aktif dan sangat dipengaruhi oleh apa yang sebenarnya ingin dipelajari siswa (Usman Samatowa, 2010: 9). Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan guru dalam memberdayakan potensi siswa melalui pembelajaran IPA adalah 1) Guru perlu memahami bahwa siswa telah memiliki pengetahuan awal sehingga guru sebaiknya tidak terlalu cepat mengabaikan apa yang dipikirkan; 2) Aktivitas anak melalui berbagai kegiatan nyata dengan alam menjadi hal utama dalam pembelajaran IPA; 3) Kegiatan bertanya menjadi bagian yang penting bahkan menjadi bagian utama dalam pembelajaran; dan 4) Pembelajaran IPA memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam menjelaskan suatu masalah (Usman Samatowa, 2010: 11). Kesimpulannya pembelajaran IPA harus disesuaikan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa dan diajarkan secara bertahap agar pengetahuan baru yang diberikan dapat dipahami siswa dengan maksimal.


(28)

2. Ruang Lingkup IPA di SD

Penjelasan atas UU Sisdiknas Pasal 37 menyebutkan bahwa bahan kajian ilmu pengetahuan alam, antara lain, fisika, biologi, dan kimia dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap lingkungan alam dan sekitarnya. Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek, antara lain 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan; 2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas; 3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana; dan 4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya (Sri Sulistyorini, 2007: 40). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa ruang lingkup IPA di SD meliputi aspek-aspek atau pengetahuan tentang alam sekitar yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari sehingga mudah dimengerti anak SD dan dapat diterapkan dalam kehidupan.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPA Kelas V SD Semester 2 berdasarkan KTSP adalah sebagai berikut (Sri Sulistyorini, 2007: 45).


(29)

Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas V SD

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Energi dan Perubahannya

5. Memahami hubungan antara gaya, gerak, dan energi, serta fungsinya

5.1 Mendeskripsikan hubungan antara gaya, gerak dan energi melalui

percobaan (gaya gravitasi, gaya gesek, gaya magnet)

5.2 Menjelaskan pesawat sederhana yang dapat membuat pekerjaan lebih mudah dan lebih cepat

6. Menerapkan sifat-sifat cahaya melalui kegiatan membuat suatu

karya/model

6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya 6.2 Membuat suatu karya/model, misalnya

periskop atau lensa dari bahan sederhana dengan menerapkan sifat-sifat cahaya

Bumi dan Alam Semesta

7. Memahami perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan sumber daya alam

7.1 Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan

7.2 Mengidentifikasi jenis-jenis tanah 7.3 Mendeskripsikan struktur bumi 7.4 Mendeskripsikan proses daur air dan

kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya

7.5 Mendeskripsikan perlunya penghematan air

7.6 Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan lingkungan 7.7 Mengidentifikasi beberapa kegiatan

manusia yang dapat mengubah

permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb)

B. Karakteristik Siswa di Sekolah Dasar Inklusi 1. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

Siswa kelas V SD termasuk dalam masa kanak-kanak akhir (7-12 tahun). Siswa kelas V SD memiliki tugas perkembangan yang muncul sesuai periode perkembangannya. Rita Eka Izzaty dan kawan-kawan


(30)

(2008: 103) menyebutkan tugas-tugas perkembangan siswa SD adalah sebagai berikut.

a. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.

b. Sebagai makhluk yang sedang tumbuh, mengembangkan sikap yang sehat mengenai diri sendiri.

c. Belajar bergaul dengan teman sebaya.

d. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita.

e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung.

f. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.

g. Mengembangkan kata batin, moral, dan skala nilai.

h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga. i. Mencapai kebebasan pribadi.

Ahman dan Sunaryo Kartadinata (Mohammad Ali dan kawan-kawan, 2007: 87) mengemukakan salah satu tugas perkembangan siswa SD yaitu belajar menjadi pribadi mandiri, yang meliputi:

a. Memiliki kemampuan mengurus diri sendiri.

b. Mampu menyusun rencana kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain.

c. Mampu melaksanakan rencana kegiatan secara konsekuen.

Sejalan dengan pendapat Ahman dan Sunaryo Kartadinata, Suharjo (2006: 37) mengungkapkan bahwa anak-anak SD memiliki karakteristik


(31)

pertumbuhan kejiwaan yang semakin menyadari diri selain mempunyai keinginan, perasaan tertentu juga semakin bertumbuhnya minat tertentu dan ketergantungan kepada orang dewasa semakin berkurang serta kurang memerlukan perlindungan orang dewasa.

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh tersebut tugas perkembangan siswa SD dapat disimpulkan sebagai berikut.

a. Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial.

b. Mengembangkan perannya sesuai dengan jenis kelaminnya. c. Memiliki tanggungjawab.

d. Mengembangkan minat dan potensi diri.

Rita Eka Izzaty dan kawan-kawan. (2008: 116) menyebutkan ciri-ciri khas anak masa kelas-kelas tinggi (IV-VI) Sekolah Dasar sebagai berikut.

a. Perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari. b. Ingin tahu, ingin belajar dan realistis.

c. Timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus.

d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.

e. Anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk bermain bersama, mereka membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya.


(32)

Ciri-ciri siswa kelas tinggi menurut Usman Samatowa (2006: 11) antara lain:

a. Sudah mulai mandiri.

b. Sudah ada rasa tanggung jawab pribadi.

c. Penilaian terhadap dunia luar tidak hanya dipandang dari dirinya sendiri tetapi juga dilihat dari diri orang lain.

d. Sudah menunjukkan sikap yang kritis dan rasional.

Berdasarkan pendapat kedua tokoh tersebut, dapat disimpulkan ciri-ciri siswa kelas tinggi sebagai berikut:

a. Sudah memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri. b. Memiliki pemikiran yang rasional (realistis).

c. Memiliki rasa ingin tahu dan keinginan belajar yang besar. d. Memiliki minat khusus terhadap pelajaran tertentu.

e. Bermain secara berkelompok.

f. Menganggap nilai sebagai ukuran prestasi. 2. Karakteristik Siswa dengan Gangguan Intelektual

a. Pengertian Anak Gangguan Intelektual

Anak dengan gangguan intelektual atau mental dikenal dengan istilah tunagrahita, yaitu anak yang memiliki kecerdasan mental di bawah normal (degradasi mental). Bratanata menyatakan bahwa seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya


(33)

memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam bidang pendidikannya (Mohammad Efendi, 2006: 88).

Menurut Rochyadi dan Alimin (2005: 10-12), istilah tunagrahita (intellectual disability) atau dalam perkembangan sekarang lebih dikenal dengan istilah developmental disability. Tunagrahita merupakan kondisi yang komplek menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah dan mengalami hambatan dalam perilaku adaptif. Perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, dan bersifat kondisi sesuai dengan tahap perkembangannya.

Mumpuniarti (2003: 23) menyebutkan bahwa anak tunagrahita ialah anak yang memiliki hambatan di bidang mental. Hambatan tersebut ditunjukkan dengan gejala keterbelakangan atau keterlambatan perkembangan dibanding dengan usia kronologisnya, serta dibanding dengan anak yang usia sebaya menunjukkan keterlambatan dalam segala aspek kemampuan mereka. Anak tunagrahita memiliki hambatan mental untuk mengikuti pembelajaran yang setaraf anak normal.

Penggolongan anak tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut Kemis dan Rosnawati (2013: 12-13) dibagi menjadi empat, yaitu: 1) taraf perbatasan (borderline/slow lerner) dengan IQ 70-85; 2) tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded) dengan IQ 50-75; 3) , tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded) dengan IQ 30-50; dan 4) tunagrahita butuh rawat (deperndent or profoundly


(34)

mentally retarded) dengan IQ dibawah 30. Penggolongan anak tunagrahita dilakukan dengan tes intelegensi.

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki kemampuan berpikir di bawah rata-rata, yaitu anak yang memiliki IQ ≤ 70. Penentuan seorang anak tunagrahita atau bukan dilakukan menggunakan tes intelegensi (IQ). Anak tunagrahita dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu mampu didik (tunagrahita ringan), mampu latih (tunagrahita sedang), dan butuh rawat (tunagrahita berat).

b. Pengertian dan Karakteristik Anak Tunagrahita Mampu Didik

Mohammad Efendi (2006: 90) berpendapat bahwa anak tunagrahita mampu didik disebut juga debil adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa tetapi masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Kemampuan yang dapat dikembangkan adalah kemampuan bidang akademis, sosial, dan pekejaan. Kemampuan akademis antara lain membaca, menulis, mengeja, dan menghitung. Kemampuan bidang sosial dalam bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. Kemampuan dalam bidang pekerjaan yaitu anak tunagrahita ringan memiliki kemampuan sederhana yang dapat digunakan untuk kepentingan kerja di kemudian hari.


(35)

Anak tunagrahita mampu didik (tunagrahita ringan) secara fisik umumnya tidak berbeda dengan anak normal tetapi secara psikis berbeda. Anak tunagrahita mampu didik memiliki ciri-ciri atau karakteristik khusus yang membedakannya dengan anak normal. Karakteristik anak tunagrahita mampu didik menurut Amin (1995: 37) antara lain:

1) Lancar berbicara tetapi memiliki kurang dalam perbendaharaan kata.

2) Mengalami kesukaran berpikir abstrak.

3) Sebagian tunagrahita ringan usia 16 tahun baru mencapai umur kecerdasan sama dengan usia 12 tahun.

4) Kecerdasan berpikir paling tinggi sama dengan anak usia 12 tahun (The New American Webster dalam Amin, 1995: 37).

Menurut Mumpuniarti (2003: 41-42) dalam pembelajaran anak tunagrahita ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut.

1) Sukar memahami masalah yang abstrak. 2) Sukar dalam memusatkan perhatian.

3) Perhatiannya cepat beralih sehingga sulit fokus pada satu tugas. 4) Pelupa dan mengalami kesukaran mengungkapkan kembali

ingatannya.

5) Kurang mampu membuat asosiasi. 6) Sukar membuat kreasi baru.


(36)

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan dalam pembelajaran antara lain:

1) Bentuk fisik atau penampilan anak tunagrahita ringan sama dengan anak normal pada umumnya.

2) Memiliki perbendaharaan kata yang kurang sehingga saat bicara sedikit terbatah-batah.

3) Memiliki kemampuan intelektual yang lemah sehingga hanya dapat diajarkan membaca, menulis, mengeja, dan berhitung sederhana. 4) Kurang mampu berpikir abstrak dan logis serta menganalisa. 5) Memiliki daya ingat yang lemah.

6) Tidak dapat fokus pada satu hal dalam waktu yang lama (konsentrasinya mudah teralihkan).

Karakteristik anak tunagrahita yang berbeda dengan siswa normal menjadikan guru harus menerapkan strategi khusus dalam pembelajaran. Menurut Mumpuniarti (2007: 26) strategi pembelajaran untuk anak tunagrahita ringan (mampu didik) sebagai prosedur meningkatkan daya ingat antara lain:

1) Mengurangi rangsangan lingkunyan yang perlu

2) Menghadirkan masing-masing komponen rangsangan secarajelas yang nilainya sepadan dengan sebelumnya.

3) Dimulai tugas yang sederhana, dilanjutkan tugas yang lebih kompleks.

4) Menghindari materi yang tidak relevan dengan tugas belajar. 5) Melabel rangsangan.

6) Meminimalkan penguat untuk mengurangii antisipasi dari hadiah.


(37)

8) Mengintegrasikan materi praktik dengan bidang subject bantu membuat pengalaman sukses pada anak.

9) Mempertunjukkan keterampilan-keterampilan yang melibatkan ingatan jangka pendek, yang menjadikan terpusat pada cara-cara program.

c. Pengertian dan Karakteristik Anak Keterlambatan Belajar (Slow Lerner)

Menurut Toto (Nini Triani dan Amir, 2013: 3) siswa lamban belajar (slow lerner) ialah siswa yang intelegensinya berada pada taraf perbatasan (borderline) dengan IQ 70-85 berdasarkan tes intelegensi baku. Cooter & Cooter Jr. berpendapat bahwa anak lamban belajar atau slow lerner adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah atau sedikit dibawah rata-rata dari anak pada umumnya, pada salah satu atau seluruh area akademik. Jika dilakukan pengetesan pada IQ, skor IQ mereka 70-90 (Nini Triani dan Amir, 2013: 3).

Tingkat intelegensi yang di bawah anak normal namun masih di atas anak tunagrahita membuat anak lamban belajar memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik anak lamban belajar menurut Nini Triani dan Amir (10-12) adalah sebagai berikut.

1) Intelegensi

Anak lamban belajar (slow lerner) mengalami masalah hampir pada semua mata pelajaran yang berkenaan dengan hafalan dan pemahaman. Sulit memahami hal-hal abstrak. Nilai hasil belajar lebih rendah dibandingkan anak normal.


(38)

2) Bahasa

Anak lamban belajar memiliki kesulitan dalam bahasa ekspresif atau pun menyampaikan ide atau gagasan maupun dalam memahami percakapan orang lain atau bahasa reseptif. Hanya memahami bahasa sederhana yang singkat dan jelas.

3) Emosi

Anak lamban belajar memiliki emosi yang kurang stabil, sensitif dan mudah marah, serta mudah putus asa (down).

4) Sosial

Anak lamban belajar kurang dapat bersosialisasi dengan baik, bersikap pasif atau bahkan menarik diri dari lingkungan sosial. 5) Moral

Anak lamban belajar cenderung tidak patuh atau melanggar aturan karena mereka tidak paham untuk apa peraturan dibuat. Hal tersebut dikarenakan kemampuan mengingat yang rendah sehingga perlu sering diingatkan.

Giburrg dan Opper dalam Nini Triani dan Amir (2013: 18) membagi tahap perkembangan kognitif anak lamban belajar (slow lerner) berdasarkan umur, yaitu 1) sensorimotor (0-2 tahun); 2) praoperasional (2-7 tahun); 3) Formal Operasioanal (lebih dari 11 tahun).

Tahap operasi formal dimulai pada sekitar umur 11 tahun. Pada tahap ini anak memperlihatkan adanya suatu masa transisi utama dalam


(39)

proses berpikir. Anak telah mampu berpikir abstrak, menggunakan berbagai teori dan menggunakan berbagai hubungan logis tanpa harus menunjukkan pada hal-hal yang konkret. Tahap operasi formal merupakan landasan yang memungkinkan anak melakukan pemecahan berbagai masalah. Banyak anak berkebutuhan khusus yang meskipun umurnya mencapai 11 tahun tetapi masih berada pada tahapan operasi konkret. Mereka memerlukan banyak bantuan dan latihan agar memiliki landasan yang kuat untuk mencapai tahapan operasi formal. Transisi dari suatu tahapan ke tahapan yang lain memerlukan kematangan. Menurut Piaget dalam Nini Triani dan Amir (2013: 19), tahapan-tahapan tersebut berurutan dan hierarkis. Anak hendaknya diberi kesempatan untuk memantapkan perilaku dan berpikir sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangannya.

Anak-anak lamban belajar mengalami kelambatan kematangan fungsi neurologis, kognitif, motorik, dan lain-lain (Nini Triani dan Amir, 2013: 18). Pemberian program pembelajaran atau tuntutan-tuntutan yang tidak sesuai dengan kematangan peserta didik tidak hanya kurang sesuai, melainkan dapat menyebabkan timbulnya masalah baru atau semakin memperparah kondisi peserta didik.

C. Tinjauan Tentang Keaktifan Belajar 1. Pengertian Keaktifan Belajar

Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreatifitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan


(40)

pengalaman belajar. Keaktifan belajar siswa merupakan unsur dasar yang penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Keaktifan dapat berupa kegiatan fisik maupun psikis (Dimyati, 2006: 45). Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilan-keterampilan dan sebagainya. Kegiatan psikis misalnya menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan satu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan, dan kegiatan psikis yang lain.

Melvin Silberman (2006: 28) menyebut istilah keaktifan belajar dengan belajar aktif. Belajar aktif yaitu kegiatan belajar ketika siswa akan mengupayakan sesuatu. Siswa menginginkan jawaban atas sebuah pertanyaan, membutuhkan informasi untuk memecahkan masalah, atau mencari cara untuk mengerjakan tugas. Belajar adalah berbuat dan sekaligus merupakan proses yang membuat anak didik harus aktif (Sardiman: 2007:99).

Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalaminya sendiri. John Dewey (Dimyati, 2006: 44) mengemukakan bahwa belajar adalah apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari dirinya sendiri.

Belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman (Baharuddin dan Esa , 2015: 14). Ernes ER.


(41)

Hilgard mendefinisikan belajar sebagai berikut: Learning is the process by which an activity originates or is charged throught training procedures (whether in the laboratory or in the natural environments) as disitinguised from changes by factor or not attributable to training (Yatim Riyanto, 2009: 4).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat simpulkan bahwa keaktifan belajar adalah segala kegiatan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh siswa secara optimal untuk mencapai tujuan belajar.

2. Cara Menumbuhkan Keaktifan Belajar

Martinis Yamin (2007: 77) menyatakan bahwa keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan dapat merangsang dan mengembangkan bakat yang dimilikinya, berfikir kritis, dan dapat memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Cara merangsang siswa dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dengan membuat inovasi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru.

Menurut Sten (Dimyati 2006: 62) peran seorang guru akan memberikan jaminan kepada setiap siswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan di dalam proses pembelajaran. Kegiatan yang diberikan oleh guru hendaknya akan dapat menuntut siswa untuk selalu aktif mencari, memperoleh, dan dapat mengolah apa yang telah diperoleh dari hasil belajarnya. Menimbulkan keaktifan belajar pada diri siswa dapat dilakukan oleh guru dengan menerapkan perilaku-perilaku sebagai berikut:


(42)

a. Menggunakan metode dan media pembelajaran

b. Memberikan tugas secara individual maupun kelompok

c. Membetuk kelompok-kelompok kecil dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksperimen atau percobaan

d. Memberikan tugas mempelajari/membaca bahan pelajaran dalam buku pelajaran, atau menyuruh siswa untuk mencatat hal-hal yang kurang jelas

e. Mengadakan tanya jawab dan diskusi.

Berdasarkan pernyataan diatas, guru memiliki peran yang penting dalam meningkatkan keaktifan belajar siswa. Peran seorang guru yaitu menjamin setiap siswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam kondisi yang ada. Guru juga harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keaktifan siswa selama proses pembelajarannya dalam mencari, memperoleh, dan mengolah hasil belajarnya. Guru dapat membuat inovasi dalam kegiatan pembelajaran untuk merangsang keaktifan siswa. Kegiatan pembelajaran dalam kelas dapat menjadi sarana dalam meningkatkan keaktifan belajar siswa.

Keaktifan siswa pada proses pembelajaran menurut Nana Sudjana (2005: 61) dapat dilihat melalui :

a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya b. Terlibat dalam pemecahan masalah

c. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya


(43)

d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah

e. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya

g. Melatih diri dalam memecahkan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.

Menurut Mc Keachie (Martinis Yamin, 2007: 77) terdapat 6 aspek terjadinya keaktifan siswa, yaitu:

a. Partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran b. Tekanan pada aspek afektif dalam belajar

c. Partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa

d. Kekompakan kelas sebagai kelompok belajar

e. Kebebasan belajar yang diberikan kepada siswa, dan kesempatan untuk berbuat serta mengambil keputusan penting dalam proses pembelajaran f. Pemberian waktu untuk menanggulangi masalah pribadi siswa, baik

berhubungan maupun tidak berhubungan dengan pembelajaran

Berdasarkan pendapat kedua tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa dianggap memiliki keaktifan dalam belajar apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Berpartisipasi dalam pembelajaran


(44)

c. Berdiskusi dengan teman atau kelompok sesuai dengan petunjuk guru d. Mampu memecahkan masalah dengan mencari informasi sendiri e. Mampu menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya. f. Memberi penilaian diri sendiri dan orang lain.

Terdapat beberapa strategi belajar-mengajar dan atau kegiatan belajar-mengajar yang dapat memberi peluang pengembangan keaktifan dalam belajar. Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pendekatan yang mendukung siswa untuk itu karena pembelajaran kontekstual menekankan aktivitas pada siswa secara penuh baik fisik maupun mental (Syaefudin Sa’ud, 2012: 165). Slavin menggagas model pembelajaran kelompok (team) yang mendorong siswa untuk bekerjasama dan saling mendukung untuk berhasil yang disebut Cooperative Learning (Slavin, 2010:8).

D. Model Pembelajaran Kooperatif

1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pembelajaran (Slavin, 2010: 4). Pembelajaran kooperatif merupakan sarana yang tepat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa para siswa perlu belajar untuk berpikir, menyelesaikan masalah, dan mengintegrasikan serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka. Selain itu, pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan yang sangat besar untuk


(45)

mengembangkan hubungan antara siswa dari latar belakang etnik yang berbeda dan antara siswa-siswa pendidikan khusu terbelakang secara akademik dengan teman sekelas mereka.

Pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya dalam satu kelompok atau satu tim (Isjoni, 2010: 8). Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Sugiyanto, 2010: 37).

Abdulhak menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif dilaksanakan melalui berbagai proses antara peserta belajar sehingga dapat mewujudkan pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri (Isjoni, 2010: 28). Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang terstruktur dan sistematis, di mana kelompok-kelompok kecil bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, serta bertanggungjawab pada aktivitas belajar anggota kelompoknya, sehingga seluruh anggotanya menguasai materi pelajaran dengan baik (Nur Asma, 2006: 12).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dikatakan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah sebuah model pembelajaran proses dimana siswa aktif belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama dan pemahaman yang sama.


(46)

2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Tujuan utama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok (Isjoni, 2010: 33).

Menurut Nur Asma tujuan pembelajaran kooperatif ada tiga, yaitu untuk pencapaian hasil belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (2006:12). Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik dan meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar sehingga dapat menciptakan budaya lebih dapat menerima prestasi yang menonjol dalam berbagai tugas pembelajaran akademik. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai satu sama lain. Pembelajaran ini juga penting untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk meningkatkan kerjasama dan peran siswa dalam kelompok, melatih keterampilan siswa untuk memecahkan


(47)

masalahan, serta mengajarkan siswa untuk saling menghargai dan menerima keberagaman satu sama lain sehingga dapat mencapai hasil belajar yang maksimal.

3. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif

Karakteristik pembelajaran kooperatif menurut Nur Asma (2006: 22) adalah sebagai berikut.

a. Kelas dibagi atas kelompok kelompok kecil, dengan anggota kelompok yang terdiri dari beberapa orang siswa yang memiliki kemampuan akademik yang bervariasi serta memperhatika jenis kelamin dan etnis. b. Siswa belajar dalam kelompoknya dengan bekerjasama untuk menguasi

materi pembelajaran dengan saling membantu.

c. Sistem penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu.

Menurut Slavin (Isjoni, 2010: 33-34) ada tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut. a. Penghargaan kelompok

Penghargaan kelompok diperoleh dari keberhasilan kelompok yang didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personel yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli


(48)

b. Pertanggungjawaban individu

Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggorta kelompok. Anggota kelompok harus saling membantu agar setiap anggota siap menghadapi

c. Kesempatan yang sama untuk berhasil

Setiap siswa baik yang berprestai rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik karena penilaian menggunakan metode skoring dengan melihat peningkatan nilai awal dan akhir.

Berdasarkan pendapat kedua tokoh tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik model pembelajaran kooperatif yaitu 1) adanya kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran; 2) setiap siswa bertanggung jawab atas kelompoknya dan diri sendiri; dan 3) penghargaan diberikan kepada kelompok bukan individu.

4. Unsur-unsur Dasar Pembelajaran Kooperatif

Tidak semua belajar kelompok bisa diangap sebagai kooperatif learning. Roberrt dan David Johnson (Anita Lie, 2007: 31-35) mengatakan bahwa untuk mencapai hasil maksimal ada lima unsur pembelajaran yang harus diterapkan, yaitu sebagai berikut.

a. Saling ketergantungan positif, yaitu setiap anggota kelompok saling bekerjasama agar tujuan kelompok dapat tercapai.

b. Tanggung jawab perseorangan, setiap siswa dalam kelompok memiliki tanggung jawab atas tugasnya.


(49)

c. Tatap muka, yaitu setiap kelompok diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi sehingga dapat bekerjasaman dengan lebih baik.

d. Komunikasi antar anggota, yaitu komunikasi yang baik antar anggota kelompok sehingga mampu memperkaya pengalaman belajar dan dapat mengembangkan mental dan emosional siswa.

e. Evaluasi proses kelompok, yaitu evaluasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh pengajar untuk mengetahui proses dan hasil kerja kelompok.

Menurut Bennet (Isjoni, 2010: 60) ada lima unsur dasar yang dapat membedakan pembelajaran kooperatif dengan kerja kelompok, yaitu: a. Possitive Interdependence, yaitu hubungan timbal balik yang didasari

adanya kepentingan yang sama atau perasaan di antara anggota kelompok dimana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya.

b. Interaction Face to face, yaitu interaksi langsung antar siswa tanpa ada perantara.

c. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok.

d. Membutuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok, dan memelihara hubungan kerja yang positif.


(50)

e. Meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah (proses kelompok).

Berdasarkan pendapat kedua tokoh tersebut, dapat disimpulkan unsur pembelajaran kooperatif sebagai berikut.

a. Adanya ketergantungan positif antar siswa dalam kelompok. b. Tatap muka secara langsung siswa dalam kelompok.

c. Setiap siswa memiliki tanggung jawab atas tugasnya masing-masing. d. Komunikasi dan hubungan yang baik antar anggota kelompok.

e. Evaluasi diberikan kepada kelompok dan individu selama proses pembelajaran agar dapat bekerjasama lebih efektif.

5. Prinsip Model Pembelajaran Kooperatif

Nur Asma (2006: 14) menyebutkan dalam pembelajaran kooperatif setidaknya ada lima prinsip yang dianut, yaitu prinsip belajar siswa aktif (student active learning), belajar kerjasama (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, mengajar reaktif (reactive teaching), dan pembelajaran menyenangkan (joyfull learning).

a. Belajar siswa aktif

Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif berpusat pada siswa, aktivitas belajar lebih dominan dilakukan siswa, pengetahuan yang dibangun dan ditemukan adalah dengan belajar bersama-sama dengan anggota kelompok sampai masing-masing siswa memahami materi pembelajaran dan mengakhiri dengan membuat laporan kelompok dan individual.


(51)

b. Belajar Kerjasama

Proses pembelajaran dilalui dengan bekerjasama dalam kelompok untuk membangun pengetahuan yang tengah dipelajari. Seluruh siswa terlibat secara aktif dalam kelompok untuk melaakukan diskusi, memecahkan masalah dan mengujinya secara bersama-sama, sehingga bentuk pengetahuan baru dari hasil kerjasama mereka.

c. Pembelajaran Partisipatorik

Melalui model pembelajaran kooperatif siswa belajar dengan melakukan sesuatu (learning by doing) secara bersama-sama untuk menemukan dan membanngun pengetahuan yang menjadi tujuan pembelajaran.

d. Reactive Teaching

Guru menciptakan strategi yang tepat agar seluruh siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi siswa dapat dibangkitkan jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menarik serta dapat meyakinkan siswanya akan manfaat pelajaran untuk masa depan mereka.

e. Pembelajaran yang menyenangkan

Pembelajaran harus berjalan dalam suasana menyenangkan, tidak ada lagi suasana yang menakutkan lagi bagi siswa atau suasana belajar yang tertekan. Suasana belajar yang menyenangkan harus dimulai dari sikap dan perilaku guru di dalam maupun di luar kelas. Guru harus


(52)

memiliki sikap yang ramah dan tutur bahasa yang menyayangi siswa-siswanya.

6. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team-Achievement Division Metode Student Team Learning adalah teknik pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dan dikembangkan oleh John Hopskins University (Slavin, 2010:10). Student Team Learning yang diadaptasi pada sebagian mata pebelajaran dan tingkat kelas ada tiga, salah satunya adalah Student Team-Achievement Division (STAD). Slavin (2010: 143) juga berpendapat bahwa STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. STAD terdiri atas lima komponen utama, yaitu presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, dan rekognisi tim.

Pada pembelajaran STAD menurut Slavin (2010: 11) para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya, semua siswa mengerjakan kuis mengenai meteri secara sendiri-sendiri, dimana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling bantu. Skor kuis pada siswa dibandingkan dengan rata-rata pencapaian mereka sebelumnya, dan kepada masing-masing tim diberikan poin berdasarkan tingkat kemajuan yang diraih siswa dibandingkan hasil yang


(53)

mereka capai sebelumnya. Perolehan poin digunakan untuk mendapatkan penghargaan.

Gagasan utama dari STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru (Slavin, 2010: 12). Siswa memiliki tanggung jawab individual karena siswa tidak bolek saling bantu pada saat kuis, padahal skor siswa akan berengaruh terhadap skor kelompok.

E. Penelitian yang Relevan

1. Skripsi oleh Rossana Nurhayatti dengan judul “Peningkatan Keaktifan Belajar IPA dengan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achieveent Divisions pada Siswa Kelas IV SD Negeri 01 Ngunut Jumantono Karanganyar Tahun Ajaran 2012/2013.

2. Skripsi oleh Anggita Megasari Nasution dengan judul “Upaya Meningkatkan Keaktifan Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team-Game-Tournaent (TGT) dengan Media Teka-teki Silang (TTS) pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Kelas IV A MI Sultan Agung Yogyakarta”.

3. Skripsi oleh Leni Setiyaningsih dengan judul “Peningkatan Keaktifan dan Prestasi Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Negeri Sarikarya Melalui Penerapan Model Pembelajaram Kooperatif Tipe STAD”.

4. Skripsi oleh Tri Budu Nurhasanah dengan judul “Penerapan Cooperative Learning Tipe TGT untuk meningkatkan Keaktifan Siswa dala Pembelajaran IPA”.


(54)

F. Kerangka Berpikir

Belajar terjadi sepanjang hidup manusia. Belajar merupakan kebutuhan setiap manusia. Belajar dapat dilakukan kapan pun, dimana pun, dan oleh siapa pun. Keaktifan dalam belajar sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan belajar tersebut. Pembentukan keaktifan belajar dapat dilakukan melalui kerja tim yang diajarkan melalui pembelajaran IPA di Sekolah Dasar (SD), baik SD reguler atau SD inklusi. Di SD Inklusi pembelajaran IPA dimaksudkan agar siswa dapat aktif berinteraksi dengan lingkungan dan teman sebayanya serta membantu siswa untuk berpikir secara abstrak serta memiliki rasa percaya diri, dan bertanggung jawab. Keaktifan belajar dalam pembelajaran IPA SD yang dimaksud adalah proses kegiatan belajar siswa baik fisik maupun mental yang dilakukan secara optimal agar dapat mencapai tujuan pembelajaran IPA. Keaktifan belajar siswa dapat ditingkatkan dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu strategi yang melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran adalah strategi pembelajaran Cooperative Learning.

Model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) bertujuan untuk meningkatkan kerjasama dan peran siswa dalam kelompok, melatih keterampilan siswa untuk memecahkan masalah, serta mengajarkan siswa untuk saling menghargai dan menerima keberagaman satu sama lain sehingga dapat mencapai hasil belajar yang maksimal. Model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk turut serta dalam melaksanakan tugas belajar, terlibatan dalam pemecahan


(55)

masalah, melaksanakan diskusi kelompok, dan mengambil keputusan atau berpendapat dan menerima pendapat. Penerapan model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) di sekolah Inklusi agar timbul ketergantungan positif antar siswa, siswa saling membantu dalam pemahaman materi. Adanya pembelajaran kooperatif juga diharapkan bisa meningkatkan rasa percaya diri siswa terutama siswa dengan intelegensi rendah agar tidak minder dalam pembelajaran di kelas. Siswa juga diajarkan untuk memiliki tanggung jawab karena nilai akhir adalah hasil kelompok bukan perorangan sehingga siswa akan saling membantu dan berusaha sehingga semua siswa akan aktif bekerja dan tidak mengandalkan dan atau meremehkan orang lain.

Pembelajaran dengan berbagai metode dalam Cooperative Learning diharapkan dapat dijadikan inovasi cara mengajar guru yang melibatkan siswa secara aktif untuk dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa baik siswa normal maupun siswa berkebutuhan khusus. Melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning dalam pembelajaran IPA di sekolah inklusi siswa diharapkan dapat termotivasi untuk selalu belajar dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain sehingga dapat meningkatkan keaktifan belajarnya.


(56)

Gambar 1. Kerangka Pikir G. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran Cooperative Learning pada pembelajaran IPA dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2, Yogyakarta.

Belajar

Interaksi dengan lingkungan Interaksi dengan teman sebaya

Pembelajaran IPA

Model Pembelajaran Kooperatif

Pengamatan Diskusi Konfirmasi

Siswa Aktif

Presentasi Menanya


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi. (2007: 3) mengemukakan bahwa PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan. Menurut Sa’adun Akbar (2010: 28) penelitian tindakan kelas adalah proses investigasi terkendali untuk menemukan dan memecahkan masalah pembelajaran di kelas, proses pemecahan masalah tersebut dilakukan secara bersiklus, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil pembelajaran di kelas tertentu. Penelitian ini dilaksanakan untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa dalam pembelajaran IPA di sekolah inklusi dengan menerapkan model pembelajaran Cooperative Learning yang melibatkan siswa bekerja secara kelompok dalam kegiatan pembelajaran.

Penelitian ini dilakukan secara kolaboratif. Kolaboratif artinya peneliti bekerjasama dengan guru kelas yang bersangkutan dalam pelaksanaan tindakan yang direncanakan. Menurut Suharsimi Arikunto (2007: 17) dalam penelitian kolaborasi, yang melakukan tindakan adalah guru itu sendiri, sedangkan yang diminta melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya proses tindakan adalah peneliti, bukan guru yang sedang melakukan tindakan.


(58)

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas V SD Negeri Bangunrejo 2 yang beralamat di Kricak, Kelurahan Bangunrejo, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2016. Jadwal penelitian secara lebih rinci dipaparkan pada Lampiran 4.

C. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri Bangunejo 2 pada semester II tahun ajaran 2015/2016. Adapun jumlah siswa sebanyak 20 siswa, terdiri dari 14 siswa laki-laki dan 6 siswa perempuan yang meliputi 11 siswa normal, 6 siswa tunagrahita ringan, dan 7 siswa keterlambatan belajar. Objek penelitian ini adalah keseluruhan proses pembelajaran IPA melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas V SD Negeri Bangunrejo 2.

D. Setting Penelitian

Setting penelitian ini menggunakan kelas V SD Negeri Bangunrejo 2 pada saat proses pembelajaran IPA berlangsung.

E. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model PTK yang dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robbin Mc Taggart. Model tersebut terdiri dari siklus yang meliputi empat komponen yaitu perencanaan (planning), aksi/ tindakan (acting), observasi (observing), dan refleksi (reflecting). Sesudah satu siklus selesai diimplementasikan, khususnya sesudah ada refleksi, tahap dilanjutkan dengan perencanaan ulang/ revisi terhadap implementasi selanjutnya. Model


(59)

penelitian ini menyatukan tahap pelaksanaan tindakan dan pengamatan karena keduanya merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan (Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama, 2011: 20). Rancangan penelitian ini divisualisasikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Proses Penelitian Tindakan Kelas Model Kemmis dan Mc Taggart (https://tatangmanguny.wordpress.com)

Penjabaran kegiatan setiap siklus pada upaya peningkatan keaktifan belajar siswa dalam pembelajaran IPA melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning adalah sebagai berikut.

1. Perencanaan (Planning)

Pada kegiatan ini, peneliti menjelaskan tentang rencana tindakan apa yang akan dilakukan peneliti untuk memperbaiki, meningkatkan proses dan hasil belajar di kelas (H. Sujati, 2000: 24). Penelitian ini difokuskan untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa kelas V SD Negeri Bangunrejo 2, Yogyakarta pada pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran


(60)

Cooperative Learning. Selanjutnya, peneliti melakukan perencanaan, 1) Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang akan dilaksanakan pada pembelajaran IPA; 2) Membuat instrumen observasi keaktifan belajar siswa; 3) Menyiapkan sarana pendukung pembelajaran seperti media pembelajaran dan alat tulis; dan 4) Menyiapkan kamera sebagai alat pendokumentasian kegiatan pembelajaran.

2. Pelaksanaan Tindakan dan Pengamatan (Acting and Observing)

Kegiatan pelaksanaan tindakan merupakan implementasi atau penerapan isi rancangan, yaitu mengenakan tindakan di kelas (Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi, 2007: 18). Pada tahap ini, guru melaksanakan tindakan yang telah direncanakan sesuai RPP. Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran IPA dengan menerapkan model pembelajaran Cooperative Learning. Pelaksanaan tindakan dilakukan melalui dua kali pertemuan tatap muka. Tahap kegiatan pada setiap pertemuan secara lebih rinci adalah 1) Guru mnegkondisikan ruang kelas dan mengatur tempat duduk siswa; 2) Guru mengkondisikan siswa ke dalam pengalaman yang sesuai dengan topik yang diajarkan melalui penggunaan metode dan media yang sesuai dengan materi. Pengalaman pada Siklus I yaitu menonton video, diskusi dan membuat rangkuman materi struktur bumi dalam bentuk gambar; 3) Guru memerintahkan siswa untuk saling menjelaskan gambar yang telah di buat kepada siswa yang lain secara berkelompok; 4) Guru memerintahkan siswa mengerjakan soal evaluasi; 5) Guru mengumpulkan hasil pekerjaan siswa; 6) Guru bersama


(61)

siswa menganalisis hasil evaluasi siswa; dan 7) Guru memberi penghargaan kepada kelompok terbaik.

Pada kegiatan pengamatan, peneliti mengamati kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Pengamatan meliputi aktivitas siswa dan guru terkait dengan tindakan yang dilakukan. Pengamatan dilakukan berdasarkan pedoman observasi yang telah dirancanng.

3. Refleksi (Reflection)

Tahap terakhir merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan (Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi, 2007: 19). Pada tahap ini, peneliti berdiskusi dengan guru pelaksana setelah selesai melakukan tindakan. Diskusi meliputi refleksi guru pelaksana sendiri dalam melaksanakan tindakan disinkronkan dengan hasil pengamatan peneliti. Diskusi dilakukan untuk melihat kekurangan dan kelebihan pada saat tindakan dilaksanakan serta penentuan siklus selanjutnya.

F. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh menggunakan teknik observasi dan pengamatan dokumen.

1. Observasi

Observasi dilakukan untuk mengetahui keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran IPA di dalam kelas dan aktivitas guru pada pelaksanaan pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran


(62)

Cooperative Learning. Kisi-kisi observasi tersebut terlampir pada Lampiran 5.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada guru untuk mengungkapkan data yang sulit dicari atau ditemukan dengan cara pengamatan atau mengecek data melalui observasi.. Wawancara dilakukan dengan cara menanyakan hal-hal yang tidak dapat diamati oleh peneliti ketika melakukan pengamatan.

3. Dokumentasi

Pengamatan dokumen digunakan untuk memperkuat data yang diperoleh dalam observasi dan memberikan gambaran yang nyata mengenai kegiatan siswa di kelas. Dokumen yang diamati yaitu arsip perencanaan pembelajaran, daftar nilai siswa, dan dokumen berupa foto yang menggambarkan situasi pembelajaran.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah lembar observasi, pedoman wawancara, lembar angket, dan dokumentasi.

1. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk melakukan pengamatan dan pencatatan secara logis, sistematis, dan rasional terhadap pembelajaran selama pelaksanaan tindakan berlangsung. Lembar observasi digunakan untuk melihat keaktifan belajar siswa dalam proses pembelajaran IPA dengan model pembelajaran Cooperative Learning. Lembar observasi yang


(63)

digunakan berupa daftar cek atau check list, yaitu dengan mengamati kegiatan masing-masing siswa dan guru apakah sesuai dengan aspek yang diamati pada daftar yang telah dibuat atau tidak. Jika sesuai maka diberi tanda centang (√).

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun sebagai pedoman untuk melakukan wawancara yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tujuan pelaksanaan tindakan tercapai. Wawancara dilakukan kepada guru yang melaksanakan tindakan. Pedoman wawancara ini bersifat bebas, sehingga peneliti dapat mengembangkan sendiri pertanyaan yang ingin diajukan guna memperoleh data selengkap-lengkapnya. Pedoman wawancara pada guru meliputi beberapa pertanyaan seperti: 1) Bagaimana pembelajaran pada siklus ini? 2) Apa kesulitan yang dihadapi pada saat mengajar? 3) Bagaimana pengaruh GPK dalam pembelajaran ini? dan, 4) bagaimana hasil pembelajarannya?

3. Data Dokumentasi

Data dokumentasi digunakan untuk mengetahui pelaksanaan penelitian secara menyeluruh. Data dokumentasi berupa foto dan video pelaksanaan penelitian. Foto diambil menggunakan kamera saku pada setiap inti pembelajaran dan fokus kepada subjek yang dekat. Data video diambil menggunakan handycam yang diletakkan pada sudut ruangan agar dapat menjangkau sebagian besar kelas.


(64)

H. Uji Validitas Instrumen

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Instrumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat dengan tepat mengukur apa yang hendak diukur (Eko Putro, 2014: 128). Sebuah tes dikatakan memiliki validitas jika hasilnya sesuai dengan kriterium, dalam arti memiliki kesejajaran antara hasil tes tersebut dengan kriterium (Suharsimi Arikunto, 2007: 69). Suatu instrumen yang valid atau sahih memiliki validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah (Suharsimi Arikunto, 2010: 211).

I. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Rincian analisis data dari masing-masing sumber informasi hasil penelitian adalah sebagai berikut.

1. Analisis Data Hasil Observasi

Data hasil observasi kemandirian belajar siswa dianalisis menggunakan daftar cek (Check List). Checklist esensinya adalah untuk menentukan ada atau tidak adanyasuatu unsur, komponen, trait, karakteristik atau kejadian dalam suatu peristiwa, tugas atau suatu kesatuan yang kompleks (Eko Putro, 2014: 107). Check list hanya dapat digunakan untuk menyatakan ada atau tidak adanya suatu hal yang sedang diamati, bukan memberi peringkat atau derajat kualitas hal tersebut. Mutu check list akan sangat tergantung pada kelengkapan dan kejelasan komponen yang


(65)

dinyatakan dalam daftar untuk bidang dan jenis hasil belajat yang akan diukur serta kemampuan pengamat untuk menandai ada atau tidaknya komponen tersebut dala tingkah laku peserta didik yang diamati.

2. Analisis Data Hasil Wawancara

Hasil wawancara dideskripsikan untuk mendukung hasil observasi. 3. Analisis Data Dokumentasi

Data-data yang diperoleh dari dokumen diamati kemudian dideskripsikan untuk mendukung hasil observasi.

Keabsahan data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara mencocokkan data yang satu dengan data yang lain. Data yang telah terkumpul dari berbagai instrumen di atas kemudian dianalisis menurut rumusan masalah sehingga dapat ditarik kesimpulan.

J. Indikator Keberhasilan

Keberhasilan tindakan sangat tergantung pada kondisi kelas dan PTK sehingga peran guru kelas yang mengetahui tentang segala karakteristik kelas dan siswanya sangatlah penting (Joko Suwandi, 2011: 35). Keberhasilan penelitian tindakan ini ditandai dengan adanya peningkatan keaktifan belajar siswa dalam pembelajaran IPA. Berdasarkan kesepakatan dengan guru kelas, indikator keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rata-rata keaktifan belajar siswa berdasarkan hasil observasi masing-masing ≥ 75%.


(66)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kelas V SD Negeri Bangunrejo 2, Yogyakarta pada bulan Maret - Juni 2016. Subjek penelitian yaitu 20 orang siswa yang terdiri dari 13 orang laki-laki dan 6 orang perempuan, 7 orang lambat belajar, 6 orang tunagrahita ringan, dan 7 orang siswa normal. Data inisial subjek ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Inisial Subjek Penelitian

No Nama Keterangan No Nama Keterangan

1 Ad 11 Lg TR

2 Fn LB 12 Ab

3 Tn TR 13 Al

4 Lf TR 14 Nc LB

5 Dd TR 15 As

6 Ds TR 16 Rg LB

7 Ay 17 Rf LB

8 Ao LB 18 Sw

9 Hn LB 19 Vr LB

10 Ks TR 20 Jh

Keterangan:

TR : Tunagrahita Ringan

LB : Labat Belajar (Slow Learner)

Penelitian ini terdiri dari dua siklus yang tiap siklusnya meliputi perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Jadwal pelaksanaan tindakan setiap siklus ditampilkan pada tabel berikut.


(67)

Tabel 3. Jadwal Pengumpulan Data

Siklus Hari, tanggal Waktu Materi

I Senin, 2 Mei 2016 09.15 - 11.00 WIB Struktur Bumi Selasa, 3 Mei 2016 09.15 - 10.25 WIB

II Kamis, 12 Mei 2016 11.15 - 13.00 WIB Daur Air

Deskripsi dan data setiap siklus dipaparkan secara rinci pada penjelasan berikut.

1. Siklus I.

Siklus I dilaksanakan dengan dua kali pertemuan yaitu pada Senin, 2 Mei 2016 dan Selasa, 3 Mei 2016. Alokasi waktu setiap pertemuan adalah 3 x 35 menit dan 2 x 35 menit. Materi yang disampaikan yaitu mengenai Struktur Bumi. Rincian tindakan Siklus I dipaparkan secara rinci pada penjelasan berikut.

a. Perencanaan Tindakan Siklus I

Kegiatan perencanaan dimaksudkan untuk mempersiapkan hal-hal yang diperlukan sebelum pelaksanaan tindakan. Rincian kegiatan perencanaan tindakan Siklus I, yaitu 1) Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning selama dua pertemuan. Rancangan penerapan model pembelajaran Cooperative Learning dalam penelitian ini adalah guru mengkondisikan siswa ke dalam pengalaman yang sesuai dengan topik yang diajarkan melalui penggunaan metode dan media yang sesuai dengan materi. Pengalaman pada Siklus I yaitu menonton video, diskusi, praktik membuat gambar struktur bumi, dan


(68)

presentasi (diskusi kelas), kuis, dan perayaan hasil kuis; 2) Menyiapkan instrumen observasi keaktifan belajar siswa; 3) Menyiapkan sarana pendukung pembelajaran seperti media pembelajaran dan alat tulis; dan 4) Menyiapkan kamera sebagai alat pendokumentasian kegiatan pembelajaran.

b. Pelaksanaan Tindakan Siklus I

Tindakan Siklus I dilaksanakan sesuai RPP yang telah disusun. Meskipun ada beberapa hal yang tidak dilaksanakan dan berkembang sesuai kondisi kelas, secara keseluruhan pembelajaran berjalan sesuai dengan RPP. Rincian pelaksanaan tindakan pada setiap pertemuan adalah sebagai berikut.

1) Pertemuan Ke-1

Pertemuan pertama pada Siklus I dilaksanakan pada hari Senin, 2 Mei 2016 pukul 09.15 - 11.00 WIB. Pembelajaran diikuti oleh 14 orang siswa. Rincian kegiatan pembelajaran IPA dengan model pembelajaran Cooperative Learning adalah sebagai berikut. a) Guru membantu siswa dalam pengkondisian kelas

Guru mengawali pelajaran IPA dengan meminta siswa membereskan buku mata pelajaran sebelumnya kemudian mempersiapkan pelajaran IPA. Salam, presensi, dan doa sudah dilakukan pada pelajaran sebelumnya ketika jam pertama masuk kelas. Guru melakukan apersepsi untuk menggali pengetahuan awal siswa sebelum masuk pada pelajaran inti. Apersepsi


(69)

dilakukan dengan menanyakan apakah siswa pernah makan telur rebus. Semua siswa menjawab pernah secara bersamaan. Guru menganalogikan telur rebus tersebut sebagai bumi. Guru menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan. Selanjutnya guru menjelaskan bahwa siswa akan belajar tentang Struktur Bumi dengan model pembelajaran kelompok Cooperative Learning. Selanjutnya, guru bertanya apakah siswa sudah mempelajari materi yang akan dipelajari pada hari itu. Sebagian besar siswa sudah mempelajari materi Struktur Bumi. Hal tersebut dikarenakan materi struktur bumi sudah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya.

b) Guru mengkondisikan siswa ke dalam pengalaman yang sesuai dengan topik yang diajarkan melalui penggunaan metode dan media yang sesuai dengan materi.

Pada pertemuan pertama Siklus I ini, pengalaman yang dialami siswa adalah pengamatan, diskusi, menggambar dan merangkum. Siswa diminta untuk mengamati video. Siswa berkelompok menjadi lima kelompok sesuai dengan arahan guru. Selanjutnya siswa dibimbing untuk diskusi kelompok dan membuat rangkuman bergambar.

Pada saat mengamati video, ada dua siswa yang tidak fokus (Lampiran 14. Gambar 1.). Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua siswa memperhatikan video secara seksama. Guru


(70)

menegur siswa tersebut kemudian mengulang pengarahan kepada siswa tersebut. Selanjutnya siswa diberi kesempatan terkait video yang sudah diamatinya. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan agar siswa mau bertanya. Ada empat orang yang memberi tanggapan atau jawaban tetapi tidak ada yang bertanya. Sebagian besar siswa hanya mengulangi jawaban siswa lain yang sudah menjawab secara serentak. Ada juga yang diam. Guru memberikan penguatan dan menjelaskan kembali jawaban-jawaban siswa. Guru menjelaskan bahwa bumi terdiri dari berbagai lapisan. Setiap lapisan bumi memiliki ketebalan dan material penyusun yang berbeda yang berbeda.

Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok dan mengatur tempat duduk siswa sesuai kelompoknya. Pada saat pembagian kelompok tidak dapat sesuai dengan kelompok yang telah dipersiapkan sebelumnya karena ada beberapa siswa yang tidak hadir di kelas pada pembelajaran IPA sehingga guru membentuk kelompok siswa secara spontan di kelas. Ada lima kelompok, empat kelompok terdiri dari tiga orang dan satu kelompok terdiri dari dua orang. Suasana kelas cukup gaduh saat pembagian kelompok tetapi berjalan lancar meskipun kelompok yang terdiri dari dua orang protes karena hanya berdua.

Siswa berdiskusi dengan teman satu kelompoknya untuk membuat gambar dan rangkuman tentang struktur bumi


(71)

(Lampiran 14. Gambar 2). Siswa diberi kesempatan untuk mencari informasi dari buku atau media lainnya. Semua siswa menggunakan buku paket yang sudah disediakan di kelas. Rata-rata gambar siswa sama seperti yang ada di buku paket. Rangkuman yang dibuat oleh masing-masing kelompok bervariasi. Ada yang menjiplak buku, ada yang meringkas dari buku, tetapi ada pula yang membuat rangkuman dengan kata-kata sendiri.

Proses diskusi berjalan dengan lancar. Tidak ada siswa yang jalan-jalan dikelas atau berbuat gaduh walaupun ada satu anak yang hanya diam melamun saat diskusi dan ada satu kelompo yang bekerja sendiri-sendiri. Guru membimbing diskusi setiap kelompok secara bergantian. Ketika ada hal yang belum dimengerti siswa bertanya kepada guru.

Setelah semua kelompok selesai membuat gambar dan rangkuman, guru mengumpulkan semua hasil pekerjaan siswa. Selanjutnya, guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran.

c) Guru mengingatkan siswa tentang tindak lanjut yang akan dilakukan.

Guru menjelaskan secara singkat pelajaran pada pertemuan selanjutnya yaitu presentasi dan tanya jawab. Siswa ditugaskan untuk belajar di rumah tentang materi yang akan


(1)

(2)

129


(3)

130


(4)

131


(5)

132

Lampiran 19. Surat Izin Penelitian dari Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta


(6)

133


Dokumen yang terkait

MENINGKATKAN KEAKTIFAN BELAJAR SISWA KELAS V PADA MATA PELAJARAN IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN LEARNING COMMUNITY SD NEGERI NO 106195 PULAU GAMBAR.

0 2 20

PENGARUH PEMBELAJARAN JOYFUL LEARNING TERHADAP MINAT BELAJAR SISWA KELAS V MATA PELAJARAN IPA SD NEGERI TANGKIL 4 TAHUN Pengaruh Pembelajaran Joyful Learning Terhadap Minat Belajar Siswa Kelas V Mata Pelajaran IPA SD Negeri Tangkil 4 Tahun Pelajaran 2013

0 2 11

PENINGKATAN KEAKTIFAN BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE SCRIPT AGAR Peningkatan Keaktifan Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Cooperative Script Agar Prestasi Meningkat Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Kelas X PEKSOS 2 SMK Negeri

0 1 18

PENINGKATAN KEAKTIFAN BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE SCRIPT AGAR Peningkatan Keaktifan Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Cooperative Script Agar Prestasi Meningkat Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Kelas X PEKSOS 2 SMK Negeri

0 1 16

PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E PADA MATA PELAJARAN Peningkatan Aktivitas Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Learning Cycle 7E Pada Mata Pelajaran IPA Kelas V SD Muhammadiyah 2 Kauman Surakarta Tahun

0 1 19

PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E PADA MATA PELAJARAN Peningkatan Aktivitas Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Learning Cycle 7E Pada Mata Pelajaran IPA Kelas V SD Muhammadiyah 2 Kauman Surakarta Tahun

0 0 16

Peningkatan keaktifan dan prestasi belajar menggunakan pendekatan Problem Based Learning pada mata pelajaran Matematika siswa kelas V di SD Negeri Sidomoyo.

0 2 244

Peningkatan keaktifan dan prestasi belajar pada mata pelajaran PKN menggunakan model PBL untuk siswa kelas V SD Negeri Plaosan I.

0 2 230

PENINGKATAN KEAKTIFAN BELAJAR SISWA MELALUI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAMS GAMES TURNAMENTS (TGT) PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS V SD NEGERI 1 KEPURUN.

0 1 240

PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH PADA MATA PELAJARAN IPA KELAS V SD NEGERI SUROKARSAN II YOGYAKARTA.

0 1 204