Perubahan regulasi emosi pada meditator mindfulness

(1)

i

PERUBAHAN REGULASI EMOSI PARA MEDITATOR

MINDFULNESS

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Vincent Eddy Kuncoro Hartono NIM: 089114052

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

ii


(3)

iii


(4)

iv

MOTTO

“ Sadarilah bahwa segala sesuatu tidak ada yang kekal. Karena itu berjuanglah

sungguh-sungguh untuk mencapai kebebasanmu!” (Maha Parinibbana Sutta)


(5)

v

PERSEMBAHAN

Semua hasil kerja keras ini saya persembahkan untuk:

Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha) Papa dan mama yang tercinta

Para dosen dan guruku Dan seluruh handai taulan


(6)

vi


(7)

vii

PERUBAHAN REGULASI EMOSI PARA MEDITATOR MINDFULNESS

Vincent Eddy Kuncoro Hartono

ABSTRAK

Regulasi emosi memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Bilamana seseorang memiliki gangguan atau memiliki kemampuan regulasi emosi yang maladaptif, dapat diatasi dengan salah satu cara yaitu meditasi mindfulness. Meskipun meditasi mindfulness begitu bermanfaat bagi regulasi emosi seseorang, baru sedikit penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan yang lebih jelas antara meditasi mindfulness dengan regulasi emosi. Berangkat dari hal ini, peneliti memiliki tujuan untuk memberikan gambaran akan perubahan regulasi emosi para praktisi meditasi mindfulness. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana perubahan dari regulasi emosi meditator mindfulness dari awal mengenal meditasi hingga saat ini. Subjek dalam penelitian ini adalah para praktisi meditasi Zen Vihara Buddha Prabha Yogyakarta yang berjumlah 3 orang. Metode yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif yaitu

Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur. Kredibilitas yang digunakan yaitu participant feedback, comparing research’s

coding, dan paper trall. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah para meditator yang rutin bermeditasi memiliki regulasi emosi yang lebih adaptif daripada sebelumnya. Dahulu sebelum rutin bermeditasi, para praktisi memiliki kemampuan regulasi emosi yang maladaptif. Rutinitas bermeditasi yang dijalankan membawa perubahan-perubahan positif. Melalui meditasi, para meditator mengalami peningkatan kesadaran, sehingga memiliki pemahaman yang lebih baik akan diri dan lingkungan sekitarnya. Perubahan-perubahan tersebut membuat para meditator memiliki reaksi pikiran dan reaksi emosi yang positif. Bilamana, kesadaran melemah, pemahaman yang dimiliki oleh meditator pun turut memudar. Hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan regulasi emosi yang dimiliki. Walaupun demikian, kini para meditator memiliki lebih banyak emosi positif.


(8)

viii

MINDFULNESS MEDITATOR’S EMOTIONAL REGULATION

ALTERATION

Vincent Eddy Kuncoro Hartono

ABSTRACT

Emotion regulation have an important role in a human life. When, someone had emotion regulation disorder or maladaptive emotion regulation, can be solve by mindfulness meditation.

Though mindfulness meditation is useful for someone’s emotion regulation, little has been studied

regarding clear relationship of mindfulness meditation and emotion regulation. Based on those

facts, this research aims to depict meditator’s emotional regulation alteration from the begining

until now. The participants of this study are 3 Zen meditators from Vihara Buddha Prabha Yogyakarta. This study use qualitative research method, that is Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Data collection is conducted by semi-structured interview. Credibilities being used

are participant feedback, comparing research’s coding, and paper trall. In this study frequent meditation results in more adaptive emotional regulation. Before frequent meditation, meditators have maldapative emotional regulation. Through meditation, meditators have better awareness, so that they have better self and environmental understanding. Those alterations will create positive

mind and emotional reactions. But, when awareness decreases, meditators’ understanding fades

away and results in emotion regulation weakening. In spite of that, nowadays meditators have more positive emotions.


(9)

ix


(10)

x

KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa dan Tiratana. Akhirnya penulisan skripsi yang berjudul “Proses Perubahan Regulasi Emosi Para Meditator” dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik melalui bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bhikkhu Sri Paññāvaro Mahāthera dan Bhikkhu Jotidhammo Mahāthera yang telah memberikan fasilitas, dorongan, masukan, dan nasihat kepada penulis.

2. Ibu Dekan Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing akademik.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, masukan, nasihat dan dorongan kepada penulis.

5. Ibu Dr. Tjipto Susana dan Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran, dan bimbingannya yang mendorong penulis untuk melakukan yang terbaik.


(11)

xi

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah berbagi ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie, Mas Muji, dan Mas Doni). Terimakasih atas bantuannya, sehingga proses studi dapat berjalan lancar.

8. Kedua orangtua saya yang terus memberikan apapun yang terbaik bagi peneliti.

9. Mario Heimbach dan Engger yang telah membantu peneliti dalam melakukan analisis data.

10.Seluruh sahabat penulis di Fakultas Psikologi Unversitas Sanata Dharma.

11.Teman-teman meditasi di grup Meditasi Zen di Vihara Buddha Prabha Yogyakarta.

12.Seluruh pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, terima kasih banyak atas doa dan dukungan selama ini.

Yogyakarta, 20 Desember 2012


(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

1. Manfaat Teoretis ... 4

2. Manfaat Praktis ... 5


(13)

xiii

A. Emosi ... 6

1. Pengertian Emosi ... 6

2. Bentuk-bentuk Emosi ... 7

3. Regulasi Emosi ... 9

3.1 Pengertian Regulasi Emosi ... 9

3.2 Proses Regulasi Emosi ... 10

3.3 Bentuk-bentuk Regulasi Emosi ... 11

3.4 Hal-hal yang Mempengaruhi Regulasi Emosi ... 13

B. Meditasi Mindfulness ... 14

1. Pengertian Meditasi Mindfulness ... 14

2. Mekanisme Meditasi Mindfulness ... 15

2.1Mekanisme Meditasi Mindfulness Menurut Buddhist Psychological Model ... 16

2.2Mekanisme Meditasi Mindfulness Menurut Dusana Dorje . 18 3. Manfaat Meditasi Mindfulness ... 20

C. Regulasi Emosi dalam Meditasi Mindfulness ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

A. Strategi Penelitian ... 25

B. Fokus Penelitian ... 26

C. Metode Pengumpulan Data ... 26

1. Studi Lapangan ... 26

1.1Partisipan ... 26


(14)

xiv

1.3Jenis Data ... 27

D. Prosedur Analisis Data ... 28

1. Membaca Transkrip Wawancara ... 28

2. Interpretasi ... 28

3. Transformasi Makna ... 28

4. Menghubungkan Tema-tema ... 29

5. Pembuatan Tabel Tema-tema ... 29

E. Kredibilitas Penelitian ... 29

1. Participant Feedback ... 30

2. Comparing Researcher’s Coding ... 30

3. A Paper Trall ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Pelaksanaan Penelitian ... 31

B. Latar Belakang Subjek ... 37

C. Hasil Penelitian ... 38

1. Subjek A ... 40

2. Subjek B ... 45

3. Subjek C ... 49

4. Dinamika Regulasi Emosi Para Subjek ... 52

D. Pembahasan ... 55

1. Regulasi Emosi Maladaptif ... 55

2. Peningkatan Awareness ... 57


(15)

xv

4. Reaksi Pikiran dan Emosi Positif ... 61

5. Reaksi Pikiran dan Emosi Negatif ... 63

6. Emosi Positif ... 66

BAB V PENUTUP ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Kekuatan Penelitian ... 71

C. Keterbatasan Penelitian ... 71

D. Saran ... 73

1. Terapis dan Psikolog ... 73

2. Peneliti Selanjutnya ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Persiapan Pengambilan Data Wawancara ... 31

Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara ... 33

Tabel 3. Pelaksanaan Analisis Data dan Konfirmasi ... 34


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perubahan regulasi emosi para meditator mindfulness ... 68 Gambar 2. Pengaruh awareness terhadap regulasi emosi ... 69


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Guideline Interview ... 82

Lampiran 2. Verbatim Wawancara Pertama Mindfulness ... 83

Lampiran 3. Meaning Unit-meaning unit Subjek A ... 111

Lampiran 4. Meaning Unit-meaning unit A yang Tereliminasi ... 116

Lampiran 5. Tabel Tema-tema Subjek A ... 119

Lampiran 6. Verbatim Wawancara Kedua Mindfulness ... 121

Lampiran 7. Meaning Unit-meaning unit subjek B ... 140

Lampiran 8. Meaning Unit-meaning unit B yang Tereliminasi ... 144

Lampiran 9. Tabel Tema-tema Subjek B ... 146

Lampiran 10. Verbatim Wawancara Ketiga Mindfulness ... 148

Lampiran 11. Meaning Unit-meaning unit Subjek C ... 165

Lampiran 12. Meaning Unit-meaning unit C yang Tereliminasi ... 169


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Emosi memiliki pengaruh yang luas pada kehidupan manusia. Banyak hal yang dilakukan dan diucapkan oleh seseorang dipengaruhi oleh emosi (Strongman, 2003). Pengambilan keputusan, mengingat kejadian-kejadian penting, dan cara berinteraksi merupakan beberapa contoh nyata perilaku yang dipengaruhi oleh emosi. Apabila seseorang memiliki emosi negatif dalam dirinya, seseorang akan memiliki pikiran dan perilaku yang sempit dalam menghadapi suatu hal. Emosi negatif juga dapat membuat seseorang melakukan respon emosi yang kurang tepat (Gross & Thompson, 2006). Emosi negatif tersebut dapat berupa kecemasan, depresi, agresi, dan stres (Fredrickson, 2000). Sebaliknya, seseorang akan berpikiran dan berperilaku baik karena memiliki emosi yang positif, seperti kesenangan dan kepuasan (Baumgardner & Crothers, 2009).

Oleh karena besarnya pengaruh emosi dalam kehidupan, seseorang akan mengelola emosi-emosi yang dimilikinya. Kemampuan untuk mengelola emosi inilah yang biasa disebut dengan regulasi emosi. Biasanya, kebanyakan orang akan meregulasi emosi-emosi negatif yang muncul dalam dirinya (Gross & Thompson, 2006). Adanya regulasi emosi yang baik akan membuat seseorang mampu berpikir positif, menerima permasalahan, menyelesaikan masalah, dan tidak terikat akan permasalahan yang ada (Hoeksema, 2012).


(20)

Seseorang yang terganggu regulasi emosinya dapat mengalami kelabilan afektif, perasaan hampa, amarah yang tidak terkendali, dan hambatan untuk mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, regulasi emosi sangat penting dalam kehidupan seseorang (Mcmain, Korman, & Dimeff, 2001).

Gangguan yang berat pada regulasi emosi sangat berkaitan dengan terjadinya gangguan perasaan dan gangguan perilaku (Buckner dalam Baumgardner & Crothers, 2009). Maka, diperlukan cara-cara untuk mengatasi disfungsi regulasi emosi. Ada beberapa terapi yang dapat dipakai oleh seseorang yang mengalami gangguan regulasi emosi, diantaranya adalah Contextual Emotion Regulation Therapy (CERT) (Kovacs dkk., 2006) dan Supportive Expressive Therapy (SET) (Benson, Kraemer, & Spiegel, 2002). Selain kedua terapi tersebut, juga terdapat terapi lain yaitu Acceptance and Commitment Therapy (ACT) (Blackledge & Hayes, 2001), Dialectical Behavior Therapy (DBT) (Linehan, Bohus, & Lynch dalam Gross, 2007); (Frye & Spates, 2012), dan Mindfulness Based Stress Therapy (MBSR) (Goldin & Gross, 2010).

Contextual Emotion Regulation Therapy (CERT) merupakan sebuah terapi yang berfokus untuk memperbaiki regulasi diri orang-orang yang mengalami distress dan dysphoria (Kovacs dkk., 2006). Terapi yang kedua adalah Supportive Expressive Therapy (SET). Terapi ini berasal dari existential psychotherapy, sehingga berfokus pada sesuatu yang eksis, seperti kecemasan akan kematian (Benson, dkk., 2002). Selain CERT dan SET masih terdapat tiga macam terapi (ACT, DBT, dan MBSR) untuk mengatasi


(21)

gangguan pada regulasi emosi seseorang. Acceptance and Commitment Therapy (ACT), Dialectical Behavior Therapy (DBT), dan Mindfulness Based Stress Therapy (MBSR) sebenarnya merupakan program-program terapi yang berhulu pada mindfulness meditation (Dunford & Dclinpsy, 2010; Gresson, 2009;).

Meditasi mindfulness tidak hanya mampu mengatasi gangguan regulasi emosi semata. Meditasi ini juga mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dialami oleh para penderita gangguan mental maupun orang normal (Chambers, Gullone, & Allen, 2009). Sedangkan, CERT (Kovacs dkk., 2006) dan SET (Benson dkk., 2002) hanya dapat diberikan pada orang-orang yang terkena gangguan mental tertentu saja.

Keberhasilan meditasi mindfulness dalam mengatasi gangguan regulasi emosi dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Goldin dan Gross pada tahun 2010. Mereka menemukan bahwa para pasien dengan SAD (Social Anxiety Disorder) yang mengikuti pelatihan meditasi mengalami peningkatan kemampuan dalam melakukan regulasi emosi. Hal ini membuat kecemasan yang dimiliki para pasien tersebut berkurang. Selain itu, terdapat pula penelitian yang mendukung hal tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Roemer dkk. pada tahun 2009 menyatakan bahwa tingginya tingkat mindfulness seseorang berelasi negatif terhadap gangguan regulasi emosi seseorang.

Sampai saat ini, banyak penelitian telah dilakukan untuk membuktikan manfaat meditasi mindfulness dalam dunia klinis. Namun, baru sedikit


(22)

penelitian yang dilakukan untuk melihat manfaat atau efek meditasi mindfulness terhadap regulasi emosi. Oleh karena itu, hubungan antara kedua hal tersebut masih kurang jelas (Chamber dkk., 2009). Agar hubungan tersebut dapat diketahui dengan baik, maka peneliti dapat melihatnya melalui perubahan yang terjadi pada regulasi emosi para meditator (Brown & Cordon dalam Diddona, 2009; Dorje, 2010; Grabovac, Lau, & Willet, 2011).

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah perubahan dari regulasi emosi meditator mindfulness dari awal mengenal meditasi hingga saat ini ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk memberikan gambaran perubahan yang terjadi pada regulasi emosi para praktisi meditasi mindfulness dari awal mengenal meditasi hingga saat ini.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu :

1. Manfaat Teoretis

Dalam bidang psikologi klinis, penelitian ini bermanfaat untuk menambahkan pengetahuan tentang perubahan regulasi emosi dan dampak meditasi mindfulness terhadap regulasi emosi secara mendalam.


(23)

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan minat masyarakat untuk menggunakan meditasi mindfulness sebagai salah satu cara dalam menghadapi masalah-masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan regulasi emosi.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan pada masyarakat tentang meditasi mindfulness.


(24)

6

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Emosi

1. Pengertian Emosi

Setiap orang mempunyai emosi dalam dirinya. Kehidupan sehari-hari seseorang tentu tidak akan terlepas dari emosi yang mewarnai kehidupannya (Sobur, 2003). Emosi sebenarnya berasal dari Bahasa Latin yang berbunyi e (out) + movere (move) (Capacchione, 2006). Movere merupakan kata kerja dalam Bahasa Latin yang bermakna “menggerakkan, bergerak”. Adapun tambahan awalan “e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”, yang mana menyiratkan bahwa kecenderungan bergerak adalah hal mutlak dalam emosi (Goleman, 1997).

Hingga saat ini, banyak ahli yang berusaha untuk menjelaskan apa sebenarnya emosi itu. Ada salah satu tokoh teori emosi pada awal abad 20 yang berusaha menjelaskan arti dari emosi, yaitu Lange. James-Lange menyatakan bahwa perubahan tubuh secara langsung mengikuti persepsi terhadap fakta yang ada dan perasaan kita terhadap perubahan itulah yang dimaksud dengan emosi. Selain James-Lange, adapula Watson, ia mengatakan bahwa emosi adalah “pola reaksi” yang herediter. Pola ini melibatkan perubahan besar dalam mekanisme tubuh, terlebih pada sistem viskeral dan kelenjar (Strongman, 2003).


(25)

Oatley dan Johnson-Laird (dalam Strongman, 2003) berusaha mendefinisikan emosi melalui sisi yang lain. Dalam postulatnya, mereka menyatakan bahwa setiap tujuan dan rencana memiliki mekanisme pemantau yang mengevaluasi kejadian-kejadian yang relevan untuk tujuan dan rencana tersebut. Bilamana terjadi suatu hal yang mempengaruhi tujuan dan rencana tadi, mekanisme pemantau akan memberitahukan kepada seluruh sistem kognitif untuk bersiap merespon perubahan yang terjadi. Pengalaman manusia akan tanda-tanda dan kesiapannya itulah yang dikatakan sebagai emosi.

Berdasarkan definisi-definisi emosi di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah respon-respon manusia terhadap berbagai berbagai hal yang ada dan diawali dengan kinerja dari sistem kognitif.

2. Bentuk-bentuk Emosi

Kehidupan seseorang diwarnai oleh dua jenis emosi yaitu emosi positif (misalnya: kebahagiaan, kepuasan hidup) dan emosi negatif (misalnya: kesedihan, amarah, kecemasan, depresi, dan stres) (Baumgardner & Crothers, 2009; Fredrickson, 2000). Menurut The Broaden and Build Theory of Positive Emotions, orang yang memiliki emosi positif biasanya akan memiliki pola pikir yang luas daripada orang yang memiliki emosi negatif. Oleh karena itu, seseorang akan fleksibel dan kreatif dalam berpikir, berperilaku, dan hidup dalam lingkungan sosial (Fredrickson & Joiner, 2002; Fredrickson, 2004).


(26)

Di dalam perbendaharaan kata Bahasa Inggris, terdapat ratusan kata untuk ragam emosi (King, 2010). Banyaknya bentuk emosi ini telah diklarifikasikan oleh beberapa ahli psikologi.

Robert Plutchik berpendapat bahwa emosi dasar terdiri dari beberapa macam bentuk, yaitu: penerimaan, rasa takut, terkejut, sedih, jijik, marah, antisipasi dan suka cita. Selain itu, terdapat pula klasifikasi emosi Sylvian Tompkins. Ia menyatakan bahwa emosi-emosi dasar terdiri dari rasa takut, marah, gembira, distres, jijik, tertarik, terkejut, muak, dan rasa malu (King, 2010).

Ada juga klasifikasi emosi dasar yang lebih sederhana. Menurut Oatley dan Johnson-Laird (dalam Strongman, 2003) terdapat lima emosi dasar, yaitu :

1. Kebahagiaan

Terjadi saat suatu tujuan tercapai dan menunjukkan suatu rencana berjalan dengan baik.

2. Kesedihan

Timbul saat gagal mencapai suatu tujuan dan menunjukkan seseorang tidak dapat berbuat sesuatu atau mencari terobosan baru.

3. Takut

Timbul saat ada suatu hal yang mengancam tujuan dan menunjukkan langkah untuk berhenti, diam, atau keluar dari masalah tersebut.


(27)

4. Marah

Terjadi saat suatu rencana yang berjalan menjadi kacau dan menunjukkan kemauan untuk mencoba lebih keras atau agresif.

5. Muak (disgust)

Terdapat dalam kekacauan yang berkaitan dengan suatu tujuan dan menunjukkan penolakan atau penarikan diri.

3. Regulasi Emosi

3.1 Pengertian Regulasi Emosi

Emosi yang muncul pada setiap situasi dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan lingkungan internal ataupun lingkungan eksternal di sekitar orang tersebut (Campos dalam Strongman, 2003). Emosi-emosi negatif yang muncul biasanya akan diatasi dengan regulasi emosi (Buckner dalam Baumgardner & Crothers, 2009; Greeson, 2009).

Regulasi emosi sebenarnya merupakan aktivitas memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi kondisi emosi dan respon emosi yang akan dilakukan (Hoeksema, 2012). Sedangkan menurut Gross dan Thompson (2006), regulasi emosi adalah proses yang mungkin otomatis atau terkendali, menggunakan kesadaran atau tidak menggunakan kesadaran. Gross juga menyatakan bahwa regulasi emosi mempunyai efek terhadap proses emosi secara umum.


(28)

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa regulasi emosi merupakan aktivitas kognitif yang memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi kondisi emosi dan respon emosi.

3.2 Proses Regulasi Emosi

Telah diketahui bahwa regulasi emosi merupakan suatu proses guna menghadapi berbagai hal yang mengganggu kondisi emosi (Hoeksema, 2012). Tahapan-tahapan dari regulasi emosi dijelaskan dengan begitu baik oleh Gross (dalam Strongman, 2003; Gross, Richards, & John dalam Synder, Simpson, Hughes, 2006). Ia menjelaskan bahwa terdapat 5 tahapan dalam proses terjadinya regulasi emosi.

Berikut adalah tahapan-tahapan yang dibuat oleh Gross : 1. Situation selection

Tahap dimana seseorang memilih untuk memperhatikan atau menghiraukan sebuah situasi, yang dapat berupa orang, tempat, atau objek-objek yang ada dihadapannya.

2. Situation modification

Dalam sebuah situasi yang dipilih oleh seseorang, situasi tersebut biasanya memiliki nilai emosi. Pada tahap kedua ini seseorang akan memodifikasi situasi yang ada menjadi berbeda agar dampak emosi yang ditimbulkan berubah.


(29)

3. Attentional deployment

Pada tahap ketiga ini seseorang akan menaruh atensi atau perhatian terhadap sebuah aspek pokok dari beberapa aspek yang ada pada sebuah situasi yang telah dipilih. Di tahap ini melibatkan beberapa hal, seperti : distraksi, konsentrasi, dan atau ruminasi.

4. Cognitive change

Di tahap keempat ini, seseorang akan berpikir suatu hal yang memungkinkan atas aspek yang telah dipilih. Secara umum, ini merupakan perubahan kognitif untuk mengatasi dampak emosi dari sebuah situasi. Tahapan ini melibatkan hasil evaluasi yang dibuat dan memasukkan psychological defences.

5. Response modification

Tahapan ini merupakan tahapan yang terjadi di akhir, dimana seseorang akan menentukan respon emosi yang akan dikeluarkan. Biasanya bentuk-bentuk regulasi emosi yang terpikir oleh banyak orang di dunia adalah dengan melibatkan obat-obatan, alkohol, usaha, terapi, makanan atau memberontak di dalam kehidupan seseorang.

3.3 Bentuk-bentuk Regulasi Emosi

Terdapat banyak bentuk regulasi emosi, ada yang adaptif dan maladaptif (Aldao dalam Hoeksema, 2012). Seseorang dapat dikatakan memiliki regulasi emosi adaptif, bila ia dapat memilih cara yang sesuai


(30)

untuk mengelola emosinya daripada langsung bereaksi terhadap sebuah situasi yang dihadapi. Selain itu, seseorang yang memiliki regulasi emosi adaptif adalah orang yang tidak menghindari sebuah situasi yang sedang dihadapinya (Tamir, 2011).

Reappraisal, acceptance, problem-solving, dan attentional redeployment adalah bentuk-bentuk regulasi emosi adaptif. Reappraisal merupakan bentuk regulasi emosi yang melibatkan penemuan dari interpretasi yang positif akan suatu situasi untuk mencegah atau mengurangi negative mood (Gross dalam Hoeksema, 2012). Acceptance adalah regulasi emosi yang melibatkan penerimaan akan kondisi yang ada (Hayes dalam Hoeksema, 2012). Regulasi emosi adaptif yang ketiga ialah problem-solving. Problem-solving merupakan usaha yang aktif untuk mencegah suatu masalah terjadi (Billing & Moos dalam Hoeksema, 2012). Sedangkan attentional redeployment ialah membagi perhatian ke stimulus atau hal-hal yang positif untuk megubah mood yang ada (Hoeksema, 2012).

Berbeda dengan orang yang memiliki regulasi emosi adaptif, seseorang yang memiliki regulasi emosi maladaptif adalah orang yang tidak memiliki cara untuk menghadapi masalah yang dimilikinya. Orang tersebut dapat langsung bereaksi terhadap situasi yang sedang dihadapi, seperti melakukan pemberontakan (Gross dalam Strongman, 2003; Hoeksema, 2012; Tamir, 2011).


(31)

Seseorang yang memiliki regulasi emosi maladaptif juga berasosiasi dengan tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi. Hal ini menyebabkan seseorang tidak dapat memiliki cara yang baik untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Sehingga, seseorang dapat menghindari situasi yang dihadapinya (avoidance). Bentuk-bentuk avoidance yang biasa dilakukan oleh orang-orang adalah mengkonsumsi makanan secara berlebihan, mengunakan alkohol, dan menggunakan narkoba (Gross dalam Strongman, 2003; Hoeksema, 2012).

3.4 Hal-hal yang Mempengaruhi Regulasi Emosi

Thompson (dalam Strongman, 2003) menyatakan bahwa regulasi emosi merupakan proses yang dipengaruhi oleh kesadaran. Semakin baik kesadaran seseorang, maka semakin baik pula regulasi emosi yang dimiliki. Beberapa teori regulasi emosi juga menyatakan bahwa regulasi emosi yang adaptif juga dipengaruhi oleh pemahaman yang dimiliki seseorang (Hoeksema, 2012).

Selain tingkat kesadaran dan pemahaman, jenis kelamin juga mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang. Berdasarkan penelitian yang ada, ditemukan bahwa wanita lebih banyak menggunakan regulasi emosi adaptif daripada pria. Hal ini dapat terjadi karena wanita memiliki effortfull control yang lebih baik daripada pria. Effortfull control merupakan kemampuan untuk


(32)

mengendalikan reaksi emosi yang berlebih dan meledak-ledak. Oleh karenanya, pria lebih impulsif daripada wanita (Hoeksema, 2012).

B. Meditasi Mindfulness

Meditasi mindfulness adalah meditasi yang berasal dari Agama Buddha (Thompson & Gilbert, 2008). Namun, meditasi ini dapat dipraktekkan oleh siapapun dari berbagai latar belakang agama dan kebudayaan. Bahkan, meditasi mindfulness diubah dan digunakan oleh para terapis sebagai bentuk terapi, seperti Acceptance and Commitment Therapy (ACT), Dialectical Behavior Therapy (DBT), dan Mindfulness Based Stress Therapy (MBSR) (Frye & Spates, 2012; Gresson, 2009).

1. Pengertian Meditasi Mindfulness

Meditasi mindfulness merupakan meditasi yang tidak menggunakan mantra atau chanting (Lazar dkk., 2005). Meditasi mindfulness juga berbeda dengan meditasi “relaksasi”. Dalam meditasi “relaksasi”, meditator lebih berfokus pada nafas atau sensasi tubuh. Sedangkan, meditasi mindfulness lebih mengutamakan pada penerimaan pikiran dan emosi-emosi yang kacau tidak terkendali (Apple & Apple, 2009). Meditasi ini merupakan sebuah bentuk meditasi yang mengembangkan perhatian yang netral (nonjudgemental awareness) pada setiap stimuli yang ada pada masa kini tanpa mengikutsertakan kinerja dari kognitif (Lazar dkk., 2005). Setiap stimuli yang dimaksud disini adalah


(33)

seluruh proses yang terdapat dalam diri seseorang, seperti sensasi tubuh, emosi, ingatan, dan kehendak (Sudrijanta, 2011).

Menurut Marlatt dan Kristeller (dalam Baer, 2003), kata mindfulness dapat dideskripsikan sebagai “memberikan perhatian kepada pengalaman saat ini dari waktu ke waktu”. Sedangkan, menurut Csikszentmihalyi (dalam Baumgardner & Crothers, 2009) mindfulness adalah perhatian pada tempat yang ada kini dan kekinian, daripada memusingkan masa lalu atau mencemaskan dan berfantasi tentang masa yang akan datang.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang ada tersebut, dapat dikatakan bahwa meditasi mindfulness adalah meditasi yang mengajarkan orang untuk memperhatikan segala kondisi yang ada pada saat ini dengan bersikap netral.

2. Mekanisme Meditasi Mindfulness

Meditasi merupakan suatu proses mental yang sangat kompleks. Proses dalam meditasi melibatkan perubahan dari kognitif, sensori persepsi, afek, hormon, dan aktivitas otomatis lainnya yang terdapat dalam tubuh manusia. Banyak ilmuwan yang telah meneliti efek meditasi dan mencari mekanisme meditasi secara biologis. Biasanya, para ilmuwan melakukan pengukuran pada detak jantung, tekanan darah, electroencephalographic (EEG), perubahan hormon, dan kekebalan tubuh, yang semuanya berkaitan dengan meditasi (Newberg & Iversen, 2003).


(34)

Meskipun demikian, hingga saat ini para ilmuwan belum menemukan jawaban yang memuaskan dan masih terus meneliti mekanisme dari efek meditasi mindfulness (Grabovac dkk., 2011).

2.1Mekanisme Meditasi Mindfulness Menurut Buddhist Psychological

Model

Grabovac dkk. (2011) berusaha untuk menjawab hal tersebut dengan Buddhist Psychological Model. Buddhist Psychological Model adalah suatu model yang mengacu pada Abhidhamma Pitaka, Kitab Komentar dalam Tri Pitaka.

Pertama-tama Buddhist Psychological Model (BPM) akan mendeskripsikan komponen-komponen dari aktivitas mental. Awareness atau kesadaran akan objek terjadi saat terdapat stimulus yang ditangkap oleh persepsi dan menimbulkan rasa dari panca indera atau kognisi (gagasan, memori, emosi) yang muncul dalam pikiran. Kesadaran itu akan muncul beberapa saat dan menghilang. Kesadaran tersebut akan terus menerus muncul dan tenggelam. Menurut BPM, objek-objek yang ditangkap tersebut memiliki nilai emosi dari salah satu nilai yang terdapat di dalam diri seseorang, yaitu: netral, menyenangkan, dan tidak menyenangkan. Kebiasaan reaksi manusia pada umumnya adalah terus mengejar hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Reaksi inipun merupakan bentuk kemelekatan dalam Buddhis.


(35)

Kemelekatan-kemelekatan yang ada tersebut membuat seseorang mengalami batin yang kacau.

Melalui meditasi mindfulness, seseorang dilatih untuk melihat objek-objek yang tertangkap sebagaimana adanya tanpa disertai reaksi pikiran untuk melekat atau menolak objek tersebut. Praktik dari meditasi mindfulness yang terus menerus akan membantu seseorang memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang ada senantiasa berubah. Hal-hal yang berubah itulah yang menyebabkan terjadinya penderitaan. Selain itu, dengan meditasi mindfulness seseorang dapat memiliki pemahaman tentang ketiadaan inti/kosong dari seluruh hal yang terjadi atau dialami. Setelah memiliki tiga pemahaman ini seseorang dapat berkurang kemelekatannya.

Pemahaman yang dimaksud oleh BPM bukan merupakan pemahaman intelektual. Namun, pemahaman yang ada hanya dapat muncul bila kesadaran/awareness muncul. Kesadaran hanya mungkin muncul bilamana pikiran dalam keadaan tenang (Sundrijanta, 2012).

Berkurangnya kemelakatan akan membuat seseorang mencapai batin yang tenang. Keadaan batin yang tenang inilah yang dapat membuat seseorang mencapai keadaan well-being atau berkurangnya simptom-simptom yang dimiliki seseorang.

Ketenangan batin yang dicapai tersebut dapat pula diperkuat dengan melatih sikap menerima, melatih regulasi atensi dengan baik,


(36)

dan pelatihan kemoralan. Demikian pula, ketenangan batin mampu memperkuat tiga hal penunjang batin tersebut.

2.2Mekanisme Meditasi Mindfulness Menurut Dusana Dorje

Meditasi mindfulness memiliki keterkaitan dengan peningkatan emotional well-being pada kehidupan manusia. Hal ini telah membuat Dorje (2010) memiliki keinginan untuk menjelaskan mekanisme dari meditasi mindfulness. Ia membahas mekanisme meditasi mindfulness berdasar pada penelitian psikologis dan neuroscientific. Dorje menyatakan bahwa terdapat lima dimensi dalam meditasi mindfulness. Dimensi-dimensi tersebut adalah : a. Tujuan dan konteks dari praktik mindfulness

Tujuan dari meditasi mindfulness adalah terbebasnya seseorang dari penderitaan yang didasari oleh keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan.

b. Tujuan yang kosong

Tujuan kosong yang dimaksud disini adalah saat seseorang sedang bermeditasi mindfulness, maka ia tidak akan bereaksi akan apapun yang terjadi di dalam dirinya.

c. Kendali perhatian, sustained attention, dan meta-awareness

Kendali perhatian disini adalah kemampuan seseorang dalam mempertahankan awareness dalam keadaan meditatif. Sedangkan sustained attention merupakan kemampuan seseorang untuk


(37)

mengembalikan fokus setelah orang menyadari objek-objek dalam pikirannya. Untuk meta-awareness dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan proses meditasi. d. Emosi yang sehat

Cinta kasih, murah hati, dan tidak melekat pada suatu hal merupakan beberapa bentuk emosi yang baik dan berperan penting dalam meditasi mindfulness. Adanya emosi positif pada diri seorang meditator turut menunjang kemajuan dari meditator dalam bermeditasi.

e. Ethical discernment

Dalam konteks Buddhis, pelaksanaan ethical discernment atau kemoralan adalah hal yang penting untuk menunjang kemajuan dalam bermeditasi.

Berdasarkan kelima dimensi tersebut dapat dilihat bahwa kendali perhatian adalah penyeleksi objek saat seseorang bermeditasi. Sedangkan sustained attention merupakan komponen utama dalam mempertahankan fokus saat bermeditasi. Emosi yang sehat, kemoralan, dan meta awareness adalah penopang kemajuan dari meditasi mindfulness yang dilakukan oleh seseorang.

Selain Dorje, terdapat pula beberapa tokoh yang ingin menjelaskan proses atau mekanisme dari meditasi mindfulness. Menurut teori yang mendasari Mindfulness Based Cognitive Therapy (MBCT), praktik dari mindfulness dapat mengurangi pandangan


(38)

terhadap pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan akan fenomena yang biasa dipandang sebagai pengalaman mental yang datang dan pergi (Segal dkk. dalam Lykins & Baer, 2009). Shapiro, Carlson, dan Freedman (dalam Lykins dan Baer, 2009) juga mendeskripsikan mekanisme mindfulness yang serupa dengan Segal. Mereka menyatakan bahwa mindfulness adalah kemampuan untuk tidak mengidentifikasi momen-momen yang muncul dalam diri dan melihat momen tersebut dengan jernih dan objektif.

3. Manfaat Meditasi Mindfulness

Beberapa puluh tahun terakhir ini, sudah terdapat banyak sekali bukti laboratorium akan efek positif yang dimiliki oleh meditasi mindfulness terhadap berbagai penyakit klinis (Dorje, 2010). Keberhasilan meditasi mindfulness dalam mengatasi gangguan regulasi emosi dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Goldin dan Gross pada tahun 2010. Mereka menemukan bahwa para pasien dengan SAD (Social Anxiety Disorder) yang mengikuti pelatihan meditasi mengalami peningkatan regulasi emosi. Hal ini membuat kecemasan yang dimiliki para pasien tersebut berkurang.

Bukti nyata lain dari meditasi mindfulness dapat terlihat pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Speca dkk. pada tahun 2000. Mereka melakukan penelitian terhadap 90 pasien penderita kanker. Mereka semua mengalami gangguan mood dan memiliki simptom stres.


(39)

Sebagian dari merekapun diberikan intervensi berupa pelatihan meditasi mingguan selama 7 minggu. Pada tiap pertemuan mereka menggunakan waktu sekitar 1,5 jam. Di akhir pelatihan tersebut, tercatat bahwa mereka memiliki tingkat gangguan mood yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu, depresi, kecemasan, dan kemarahan, mereka juga lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Eksperimen yang dilakukan oleh Baer (2008) serta Branstrom dkk. (2010) juga mencatat hal serupa. Melalui eksperimen yang mereka lakukan ditemukan bahwa subjek-subjek yang mereka uji mengalami peningkatan mindfulness dan well-being. Tingkatan stres dari para subjekpun turut berkurang.

Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh University of East London, Inggris ditemukan bahwa meditasi mindfulness mampu mengurangi afek negatif pada diri subjek dan meningkatkan kepuasan hidup (Collard, Avny, & Boniwely, 2008). Melalui eksperimen yang ada, dapat diketahui pula bahwa ternyata meditasi mampu mengurangi ruminasi, mengurangi emosi takut, dan meningkatkan regulasi perilaku (Lykins & Baer, 2009). Seluruh kondisi baik yang terjadi, seperti well-being dan keseimbangan batin tersebut berkaitan dengan peningkatan dari fungsi atensi dan fleksibilitas kognitif seseorang. Peningkatan dari fungsi dan fleksibilitas ini merupakan pengaruh langsung dari meditasi mindfulness (Moore & Malinowski, 2008).


(40)

C. Regulasi Emosi dalam Meditasi Mindfulness

Regulasi emosi merupakan suatu proses guna menghadapi berbagai hal yang mengganggu kondisi emosi (Hoeksema, 2012). Ada beberapa hal yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan regulasi emosi, diantaranya adalah tingkat kesadaran dan pemahaman yang dimiliki oleh seseorang individu. Thompson (dalam Strongman, 2003) menyatakan bahwa regulasi emosi merupakan proses yang dipengaruhi oleh kesadaran. Semakin baik kesadaran seseorang, maka semakin adaptif pula regulasi emosi yang dimiliki. Beberapa teori regulasi emosi juga menyatakan bahwa regulasi emosi yang adaptif juga dipengaruhi oleh pemahaman yang dimiliki seseorang (Hoeksema, 2012).

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa regulasi emosi seseorang dapat ditingkatkan. Adapun salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi tersebut adalah dengan meditasi mindfulness. Menurut BPM, dengan meditasi mindfulness, kesadaran seseorang dilatih agar dapat menyadari objek-objek yang tertangkap sebagaimana adanya tanpa disertai reaksi pikiran untuk melekat atau menolak objek tersebut. Praktik dari meditasi mindfulness yang terus menerus akan membantu seseorang memiliki pemahaman akan kenyataan hidup bahwa segala sesuatu yang ada senantiasa berubah. Hal-hal yang berubah itulah yang menyebabkan terjadinya penderitaan. Selain itu, dengan meditasi mindfulness seseorang dapat memiliki pemahaman tentang ketiadaan inti/kosong dari seluruh hal yang terjadi atau dialami. Setelah memiliki tiga pemahaman ini


(41)

seseorang dapat berkurang kemelekatannya. Oleh karena itu, seseorang mampu mencapai batin yang tenang (Grabovac, dkk., 2011).

Melalui latihan dari meditasi mindfulness tersebut, seseorang juga memiliki kognitif yang fleksibel dan mampu menetapkan respon emosi yang baik (Hayes dan Feldman, 2004). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang yang mindful merupakan orang yang memiliki regulasi emosi yang adaptif (Chambers dkk., 2009). Orang tersebut akan jarang untuk menghindar dari masalah, jarang memiliki pikiran yang tumpang tindih, kekhawatiran, dan perasaan negatif yang berlebihan. Oleh karena itu, seseorang yang mindful dapat memahami suatu permasalahan dengan baik tanpa berfantasi tentang akhir yang positif atau diam tanpa kejelasan rencana dalam menghadapinya (Hayes & Feldman, 2004).

Oleh karenanya, tidak mengherankan bila meditasi mindfulness mampu meningkatkan regulasi emosi seseorang. Bahkan, memperbaiki gangguan regulasi emosi para penderita gangguan kecemasan secara umum (Roemer dkk., 2009)dan gangguan kecemasan sosial (Goldin & Gross, 2010). Meditasi ini mampu mengurangi bentuk-bentuk perasaan negatif (Collard dkk., 2008) dan meningkatkan pikiran yang positif (Branstrom dkk., 2010). Sehingga, kondisi well-being pun dapat tercapai (Carmody & Baer, 2008).

Walaupun meditasi mindfulness dapat meningkatkan awareness dan pemahaman seseorang, kedua hal tersebut dapat melemah bila tidak dipertahankan. Melemahnya kesadaran yang dimiliki oleh para meditator tentu akan membuat seseorang terbawa oleh keadaan yang ada. Bila kesadaran


(42)

tersebut berkurang, maka pemahaman-pemahaman yang dimiliki juga melemah bahkan menghilang (Sudrijanta, 2012). Melemahnya kesadaran dan pemahaman yang ada membuat seorang meditator kurang fleksibel dalam berpikir dan merespon secara emosi (Greeson, 2009; Gross dalam Strongman, 2003).

Meditasi mindfulness memang memberikan efek positif terhadap regulasi emosi, tetapi baru sedikit penelitian yang dilakukan untuk melihat manfaat atau efek meditasi mindfulness terhadap regulasi emosi secara mendalam. Oleh karena itu, hubungan antara kedua hal tersebut masih kurang jelas (Chamber, dkk., 2009).

Berdasarkan pernyataan dan fakta-fakta yang ada, maka hubungan tersebut dapat diketahui dengan melihat perubahan yang terjadi pada regulasi emosi para meditator (Brown & Cordon dalam Diddona, 2009; Dorje, 2010; Grabovac, dkk., 2011). Oleh karena itu, untuk mengungkap fenomena yang ada ini, peneliti akan menggunakan pendekatan Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) untuk mengambil dan mengolah data yang ada.


(43)

25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Strategi Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul “Perubahan Regulasi Emosi Para Meditator Mindfulness”, peneliti akan menggunakan metode kualitatif. Metode ini digunakan oleh peneliti karena metode kualitatif mampu menghasilkan data yang mendalam dan mendetail tentang sebuah fenomena (Patton, 2002; Polkinghorne, 2005). Secara spesifik, peneliti menggunakan metode Interpretative Phenomenological Analysis (IPA).

Metode IPA merupakan metode yang bertujuan untuk mengeksplorasi persepsi dan pengalaman dari para subjek penelitian (Pringle, Drummond, McLafferty, & Hendry, 2011). Eksplorasi tersebut dilakukan melalui wawancara yang mendalam. Oleh karena itu, dapat diperoleh pengalaman langsung para subjek akan suatu fenomena (Patton, 2011). Kemudian analisis dilakukan berdasarkan kata-kata yang keluar dari para subjek. Melalui data tersebut, peneliti akan mengetahui reaksi kognitif dan afektif dari para subjek terhadap suatu fenomena yang terjadi. IPA percaya bahwa terdapat suatu hubungan yang saling terkait antara pengalaman yang dialami, makna yang dimiliki subjek, reaksi emosi akan pengalaman tersebut, dengan apa yang dikatakan subjek (Smith, 2011).

Apapun yang dikatakan oleh para subjek merupakan sebuah bentuk refleksi yang bersifat retrospective. Refleksi akan sebuah pengalaman hidup


(44)

selalu berbentuk rekolektif, dimana refleksi dilakukan atas pengalaman hidup yang telah dilalui. Refleksi ini hanya dapat dilakukan bila para subjek dalam kondisi sadar. Kesadaran merupakan satu-satunya akses manusia untuk terhubung dengan dunia. Seseorang tidak dapat merefleksikan pengalaman hidupnya dalam keadaan tidak sadar (Patton, 2002). Berdasarkan hal-hal tersebut, sekiranya metode ini mampu menghasilkan gambaran yang mendalam akan perubahan pada regulasi emosi para meditator.

Metode IPA juga menekankan pelaksanaan penelitian yang dinamis dan disertai dengan peran aktif peneliti. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mendekati dunia personal partisipan dan dapat melihat dari sudut pandang partisipan (Conrad dalam Smith, 2008; 2011).

B. Fokus Penelitian

Peneliti pada kesempatan ini ingin memberikan gambaran tentang perubahan yang terjadi pada regulasi emosi para praktisi meditasi mindfulness. Perubahan yang akan dilihat berada pada rentang masa sebelum para praktisi mengenal meditasi hingga mempraktekkan meditasi mindfulness secara rutin.

C. Metode Pengumpulan Data

1. Studi Lapangan

1.1Partisipan

Peneliti akan menggunakan beberapa orang subjek yang biasa mengikuti meditasi di Kelompok Meditasi Zen, Vihara Buddha Prabha


(45)

Yogyakarta. Kelompok ini dipilih oleh peneliti karena merupakan salah satu kelompok praktisi meditasi mindfulness yang memiliki jadwal rutin berlatih meditasi. Para subjek yang dipilih tentunya adalah para praktisi meditasi mindfulness yang setidaknya telah berlatih secara rutin satu minggu sekali selama 6 bulan (Baskara, Soetjipto, & Atamimi, 2008). Subjek-subjek tersebut dipilih karena tingkat kerutinan seseorang dalam bermeditasi berpengaruh pada tingkat mindfulness (Schoormans & Nyklicek, 2011) dan berefek positif terhadap regulasi emosi (Chambers dkk., 2009).

1.2Setting Penelitian

Peneliti akan melakukan pengambilan data yang akan dilakukan satu per satu di tempat yang telah ditentukan oleh partisipan. Peneliti akan berusaha untuk menjaga proses wawancara yang ada, sehingga dapat berlangsung nyaman dan dalam kondisi privat (Smith, 2008).

1.3Jenis Data

Peneliti akan menggunakan data dari hasil wawancara semi terstruktur. Data yang telah direkam, nantinya akan diubah ke dalam bentuk verbatim.


(46)

D. Prosedur Analisis Data

Data yang telah diperoleh akan dianalisis menggunakan langkah-langkah yang disarankan oleh Smith (2008). Terdapat lima langkah-langkah untuk menganalisis data-data yang ada, yaitu :

1. Membaca Transkrip Wawancara

Peneliti dan rekan peneliti membaca transkrip wawancara para subjek satu demi satu. Peneliti dan rekan peneliti membaca secara seksama transkrip yang ada dan dilakukan berkali-kali.

2. Interpretasi

Dalam tahap ini, peneliti dan rekan peneliti akan membaca kembali transkrip-transkrip yang ada dengan cermat. Setiap pembacaan yang dilakukan mengandung potensi untuk memunculkan wawasan-wawasan baru. Setelah itu, peneliti dan rekan peneliti akan menginterpretasi kalimat demi kalimat atau kata demi kata yang terdapat di transkrip wawancara.

3. Transformasi Makna

Pada tahap ketiga ini, peneliti dan rekan peneliti akan melakukan transformasi terhadap hasil interpretasi yang telah dilakukan pada keseluruhan isi transkrip. Hasil interpretasi yang ada tersebut ditransformasikan menjadi ungkapan-ungkapan singkat yang dimaksudkan untuk menangkap kualitas inti yang ditemukan di dalam teks. Ungkapan-ungkapan singkat tersebut merupakan tema-tema yang muncul pada seseorang subjek.


(47)

4. Menghubungkan Tema-tema

Tema-tema yang ada, didaftar sesuai dengan urutan kemunculannya di transkrip. Kemudian tema-tema tersebut diurutkan secara analitis atau teoretis. Sebagian tema yang ada akan menjadi tema umum dan tema spesifik. Lalu, peneliti dan rekan peneliti mulai memahami hubungan di antara tema-tema yang muncul.

5. Pembuatan Tabel Tema-tema

Peneliti dan rekan peneliti membuat tabel tema-tema dengan susunan yang mudah untuk dimengerti. Tabel ini memuat daftar tema-tema yang telah sesuai dengan masing-masing tema-tema umumnya dan satu penanda ditambahkan pada masing-masing contoh untuk membantu penyusunan analisis serta memudahkan penelusuran sumber aslinya. Penanda tersebut berupa pencantuman kata-kata kunci dari rangkuman terkait ditambah nomor meaning unit terkait. Dalam proses ini, tema-tema tertentu bisa dibuang, yakni tema-tema yang tidak sejalan.

E. Kredibilitas Penelitian

Di dalam metode penelitian kualitatif, dikenal beberapa cara untuk menentukan tingkat kredibilitas suatu penelitian. Maka dari itu, peneliti memilih tiga cara yang dipaparkan oleh Yardley yang sekiranya mampu untuk membuat penelitian peneliti menjadi kredibel (dalam Smith, 2008). Adapun tiga cara tersebut adalah sebagai berikut :


(48)

1. Participant Feedback

Participant Feedback terkadang juga dikenal dengan validitas responden. Nantinya, para partisipan akan diminta untuk memberikan komentar terhadap analisis data yang telah dilakukan oleh peneliti dan rekan peneliti.

2. Comparing Researcher’s Coding

Tujuan dari membandingkan hasil koding yang dilakukan oleh peneliti dengan peneliti lain adalah untuk mentriangulasikan perspektif dari peneliti-peneliti yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin analisis yang dilakukan tidak terbatas pada satu perspektif dan dapat mempermudah orang lain memahami analisis yang dilakukan. Pada penelitian kali ini, peneliti yang kedua adalah dosen pembimbing dari peneliti. Sedangkan peneliti ketiga dan keempat merupakan rekan peneliti yang juga tertarik meneliti meditasi mindfulness.

3. A Paper Trall

Melalui cara ini, peneliti diminta untuk menyertakan seluruh data yang ditemukan dari penelitian yang telah dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar suatu saat nanti peneliti lain dapat melihat data yang telah dikumpulkan, bilamana terdapat peneliti lain yang ingin melihat atau menguji penelitian yang dimiliki peneliti.


(49)

31

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti telah melakukan pendekatan yang cukup intensif terhadap kelompok Meditasi Zen yang berlokasi di Vihara Buddha Prabha, Yogyakarta. Pendekatan ini telah dimulai peneliti pada awal bulan Maret 2012. Pendekatan yang dilakukan adalah mengikuti aktivitas-aktivitas meditasi dari kelompok ini, seperti sitting setiap hari Jumat dan ret-ret meditasi pada bulan September lalu. Hal ini dimaksudkan untuk membangun kedekatan emosional, sehingga proses pengambilan data pada beberapa subjek dapat dilakukan dengan baik. Disamping itu, peneliti juga mempersiapkan beberapa hal sebelum melakukan pengambilan data, yaitu melakukan dua kali trial wawancara yang bertujuan untuk menguji guideline wawancara yang telah dibuat peneliti serta melatih kemampuan wawancara peneliti. Berikut detail persiapan pengambilan data yang dilakukan peneliti.

Tabel 1

Persiapan Pengambilan Data Wawancara

Tanggal Kegiatan Waktu Tempat Catatan

1 Juni 2012

Pembuatan pertanyaan wawancara

Sekitar 2 jam

Pembuatan pertanyaan wawancara yang berkaitan dengan emosi dan regulasi emosi masih berdasarkan urutan waktu; kondisi dulu dan saat ini


(50)

6 Juni 2012

Trial wawancara 1

20 menit Kos peneliti

Hasil wawancara sangat dangkal. Tidak nampak adanya perubahan yang terjadi pada hasil wawancara 9 Juni 2012 Revisi pertanyaan wawancara Sekitar 2 jam Perubahan dilakukan dengan menanyakan kondisi-kondisi saat ini terlebih dahulu agar dapat menghasilkan data yang lengkap dan

mendalam 14 Juni 2012 Trial wawancara 2 Pkl. 10.30-11.30 WIB Kos subjek trial Wawancara yang dilakukan berjalan lancar, akan tetapi data yang tergali kurang baik. Hal ini

dikarenakan kurangnya kejelian peneliti akan jawaban-jawaban subjek.

Berdasarkan hasil trial wawancara tersebut, diketahui bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok dalam guideline interview dapat

digunakan dalam mewawancarai subjek

Setelah persiapan dirasa cukup oleh peneliti, peneliti mulai melakukan wawancara kepada subjek-subjek yang telah dipilih. Wawancara semi terstruktur dilakukan sebanyak satu kali pada masing-masing subjek. Wawancara dilakukan secara informal dan menyesuaikan keadaan dari masing-masing subjek. Semua hal ini diharapkan dapat memberikan kenyamanan pada ketiga subjek dan proses wawancara dapat menghasilkan data yang berlimpah.


(51)

Pendokumentasian data wawancara dilakukan secara auditif dengan alat rekam yang terdapat pada mobile phone peneliti. Peneliti kemudian membuat transkrip verbatim dari hasil wawancara yang ada.

Tabel 2

Pelaksanaan Wawancara

Tanggal Kegiatan Waktu Tempat Catatan

8 Agustus 2012 Wawancara Subjek A 100 menit Tempat kerja subjek Wawancara berjalan lancar. Subjek A dapat menceritakan

pengalaman hidupnya dengan luas dan mendalam 27 Agustus 2012 Wawancara Subjek B

66 menit Kos Peneliti

Wawancara berjalan lancar. Subjek B dapat menceritakan

pengalaman hidupnya dengan luas dan mendalam 21 september 2012 Wawancara subjek C

65 menit Rumah Subjek

Wawancara berjalan lancar. Subjek C dapat menceritakan

pengalaman hidupnya dengan luas dan mendalam

Sebelum hasil analisis data dikonfirmasikan kepada ketiga subjek, peneliti melakukan analisis data awal dan melakukan reanalisis data ketiga subjek bersama dengan dua rekan peneliti untuk meningkatkan kredibilitas dari analisis yang telah dilakukan. Proses reanalisis data-data subjek dilakukan dalam 9 kali pertemuan. Selain melakukan reanalisis data, peneliti bersama rekan peneliti juga melakukan penarikan benang merah untuk tema-tema yang


(52)

muncul dari ketiga subjek. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan tahap-tahap perubahan regulasi emosi yang umum terjadi pada diri meditator.

Tabel 3

Pelaksanaan Analisis Data dan Konfirmasi

Tanggal Kegiatan Waktu Tempat Catatan

10 Agustus 2012

Pembuatan verbatim A

8 jam Rumah peneliti 11 Agustus

2012

Analisis data A

6 jam Rumah peneliti

Peneliti mulai

memecah meaning unit yang ada dan dianalisis 12 Agustus

2012

Pengelompok kan Tema A

3 jam Rumah peneliti

meaning unit yang berkaitan dengan penelitian mulai dikelompokkan dan membuang yang tidak sesuai

28 Agustus 2012

Pembuatan verbatim B

5 jam Kos peneliti 29 Agustus

2012

Analisis data B

4 jam Kos peneliti

Peneliti mulai

memecah meaning unit yang ada dan dianalisis 30 Agustus

2012

Pengelompok kan Tema B

3 jam Kos peneliti

meaning unit yang berkaitan dengan penelitian mulai dikelompokkan dan membuang yang tidak sesuai

8 Oktober 2012

Reanalisis data

3 jam Perpusta kaan

Renalisis data subjek A dan pengkategorian ulang meaning unit ke dalam tema-tema yang dilakukan bersama rekan peneliti 11 Oktober 2012 Reanalisis data

2 jam Perpusta kaan

Renalisis data subjek B dan pengkategorian ulang meaning unit ke dalam tema-tema yang dilakukan bersama rekan peneliti 12 Oktober 2012 Pembuatan verbatim C

5 jam Kos peneliti


(53)

13 Oktober 2012

Analisis data C

4 jam Kos peneliti

Peneliti mulai

memecah meaning unit yang ada dan dianalisis 14 Oktober

2012

Pengelompok kan tema C

3 jam Kos peneliti

meaning unit yang berkaitan dengan penelitian mulai dikelompokkan dan membuang yang tidak sesuai

15 Oktober 2012

Reanalisis data

2 jam Perpusta kaan

Renalisis data subjek C dan pengkategorian ulang meaning unit ke dalam tema-tema yang dilakukan bersama rekan peneliti 22 Oktober 2012 Penarikan benang merah

1 jam Perpusta kaan

Melihat tema-tema umum dan spesifik yang muncul di ketiga subjek. Kemudian tema-tema tersebut mulai dipetakan

bersama rekan peneliti 25 Oktober

2012

Penarikan benang

2 jam Perpusta kaan

Melihat tema-tema umum dan spesifik yang muncul di ketiga subjek. Kemudian tema-tema tersebut mulai dipetakan bersama rekan peneliti 8

November 2012

Checking 2 jam Perpusta kaan

Pengecekan semua hasil analisis data yang telah dilakukan

bersama dengan rekan peneliti 12 November 2012 Analisis dan pengkategori an ulang data subjek A

2 jam Kos peneliti

Renalisis data subjek A dan pengkategorian ulang meaning unit ke dalam tema-tema yang dilakukan bersama rekan peneliti 13 November 2012 Analisis dan pengkategori an ulang data subjek B

2 jam Kos peneliti

Renalisis data subjek B dan pengkategorian ulang meaning unit ke dalam tema-tema yang dilakukan bersama rekan peneliti


(54)

15

November 2012

Analisis dan pengkategori an ulang data subjek C serta penarikan kembali benang merah terhadap tema-tema ketiga subjek

3 jam Kos peneliti

Renalisis data subjek C dan pengkategorian ulang meaning unit ke dalam tema-tema yang dilakukan bersama rekan peneliti

Memetakan kembali tema-tema yang muncul pada ketiga subjek. Hal ini juga dilakukan bersama rekan peneliti 29 November 2012 Konfirmasi dengan subjek B mengenai hasil analisis data

15 menit Konfirmasi dilakukan via telepon. Hal ini dilakukan karena subjek B sedang berada di luar kota dan menyetujui peneliti untuk melakukan

konfirmasi melalui telepon. Mengenai hasil analisis data, sesuai dengan yang dialami dan dimaksud oleh subjek B.

30

November 2012

Konfirmasi dengan subjek A dan C mengenai hasil analisis data

30 menit Tempat kerja subjek A

Konfirmasi dengan subjek A dilakukan di tempat usaha subjek. Subjek A menyatakan bahwa apa yang ditangkap oleh peneliti sudah sesuai dengan yang subjek A maksud dan alami.

Konfirmasi dengan subjek C dilakukan via sms. Konfirmasi ini sesuai dengan permintaan subjek C kepada peneliti. Subjek C menyatakan bahwa apa yang ditangkap oleh peneliti sudah sesuai


(55)

dengan yang subjek C maksud dan alami.

B. Latar Belakang Subjek

Subjek pertama peneliti adalah A. A pada awalnya bukan merupakan seorang praktisi meditasi mindfulness. A tertarik untuk mempelajari dan mempraktikkan meditasi ini karena ingin mencari jawaban atas permasalahan hidup yang dimiliki oleh A. Pada awal latihannya, A masih berlatih dengan frekuensi yang naik turun. Namun, mulai tahun 2007 A mulai rutin bermeditasi setiap hari hingga kini. Melalui latihan yang telah dilakukan A, ia merasakan banyak manfaat dari meditasi. Salah satu manfaat yang dirasakan olehnya adalah A mengetahui bahwa asal muasal penderitaan adalah pikiran. Saat ini A merasa lebih tenang, relaks, dan bahagia.

Subjek kedua peneliti yaitu B juga tertarik bermeditasi untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam dirinya. Permasalahan berat yang dialami oleh B adalah trauma-trauma yang melingkupinya. Subjek merasa bahwa meditasi mindfulness merupakan metode yang begitu berkesan karena meditasi hanya menawarkan subjek untuk menerima permasalahan agar permasalahan tersebut selesai. B kemudian giat melatih meditasinya selama dua tahun terakhir. Kini trauma-trauma yang ada pada dirinya dapat teratasi dengan baik.

Berbeda dengan motif A dan B, subjek C memang sudah sejak lama tertarik dengan meditasi. Hal ini mungkin dapat dipahami karena C


(56)

merupakan seorang penganut kepercayaan Kejawen. Awal pertemuan subjek dengan meditasi mindfulness adalah saat seorang teman C mengajaknya bermeditasi 3 tahun yang lalu. Pada awal latihan tersebut, C merasakan kegembiraan pada dirinya. Mulai saat itulah, C rutin bermeditasi mindfulness. C juga termasuk orang yang rajin mengikuti ret-ret meditasi yang dilakukan oleh kelompok Zen Indonesia. C menyatakan bahwa dengan meditasi mindfulness ia merasa tenang, bahagia, bahkan penyakit darah tingginya pun menjadi stabil.

C. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data ketiga subjek, peneliti menemukan bahwa semua subjek yang rutin bermeditasi mindfulness ini mengalami perubahan regulasi emosi yang positif. Meskipun demikian, semua subjek tidak mengalami perubahan-perubahan yang sama persis. Setiap subjek memiliki kekhasan tema yang tidak dimiliki subjek lainnya.

Tabel 4

Tema Keseluruhan

Tema Subjek

A B C Sebelum Rutin Bermeditasi Mindfulness

TU1 Regulasi Emosi Maladaptif

TS.1.1 Larut dalam amarah

TS.1.2 Keinginan mengatur hal di luar diri TS.1.3Mencampur aduk antara berpikir, emosi, dan memecahkan masalah

TS.1.4 Banyak berharap

TS.1.5 Menghubungkan dengan hal gaib


(57)

TS.1.7 Larut dalam penyesalan

Setelah Rutin Bermeditasi Mindfulness

TU2 Peningkatan Awareness

TS.2.1 Menyadari hakikat pikiran

TS.2.2 Menyadari keburukan pada diri

TS.2.3 Menyadari hakikat emosi

TU3 Pemahaman Positif

TS.3.1 Mengetahui keburukan pada diri √

TS.3.2 Pola pikir yang benar

TS.3.3 Memahami adanya aku

TS.3.4 Memahami kehidupan

TU4 Reaksi Pikiran Positif

TS.4.1 Berpikir dengan sudut lain

TS.4.2 Berpikir lebih sederhana

TS.4.3 Melihat pikiran setelah menyalahkan TS.4.4 Mengkonfrontasi pemikiran yang salah

TS.4.5 Melihat hakikat suatu masalah

TS.4.6 Lebih selektif

TU5 Reaksi Emosi Positif

TS.5.1 Menerima

TS.5.2 Bersyukur

TU6 Reaksi Pikiran Negatif

TS.6.1 Pikiran bahwa diri tidak benar dan egois

TS.6.2 Cepat menyalahkan

TS.6.3 Menilai diri meditator yang buruk

TU7 Reaksi Emosi Negatif

TS.7.1 Rasa malu

TS.7.2 Larut dalam amarah

TS.7.3 Rasa terganggu dan terbebani

TS.7.4 Rasa kecewa

TS.7.5 Larut dalam kekhawatiran

TS.7.6 Rasa susah mengelola emosi

TS.7.7 Kesepian

TU8 Emosi Positif

TS.8.1 Amarah berkurang

TS.8.2 Percaya diri

TS.8.3 Relaks

TS.8.4 Emosi lebih stabil

TS.8.5 Rasa tenang

TS.8.6 Rasa lega

TS.8.7 Rasa nyaman

Catatan. TU : Tema Umum TS : Tema Spesifik


(58)

Berikutnya peneliti akan menjabarkan secara detail tema-tema yang muncul pada masing-masing subjek.

1. Subjek A

1.1Tema-tema subjek A

a. Regulasi emosi maladaptif

Sebelum menjalani meditasi secara rutin, subjek A nampak mengalami kesulitan dalam meregulasi atau mengelola emosi yang ada dalam diri. A mengalami kesulitan dalam mengelola amarah.

“Dulu kalo ada orang yang mempertanyakan jalannya sistem yang saya buat, leadership yang saya buat, saya bisa marah-marah, saya bisa konfrontasi on the spot. Saya bisa pecat lalu dulu saya nggak terlalu banyak pikiran.” (A, 70.4-8)

A juga suka mengatur hal-hal di luar dirinya agar sesuai dengan keinginan A.

Kalo dulu masalah ada di luar, saya lepas kontrol dan sangat sulit. Dan saya sangat sulit ya mengatur lingkungan dan orang sekitar saya supaya apa yang dikerjakan itu menyenangkan hati saya.” (A, 51.1-4)

b. Peningkatan awareness

Meditasi yang rutin dilakukan A ternyata membawa perubahan dalam diri A. Kini A memiliki kesadaran untuk melihat pikirannya sendiri.

“Maksudnya ini nggak sesolid yang kelihatan. Jadi kadang-kadang kalo saya melihat masalah atau kejadian kejadian ini nggak sesolid... misalnya ini orangnya malas orang ini malas itu dimana? Bentuknya apa? Warnanya


(59)

apa? Saya sering secara refleks.. itu saya lanjutkan kalo

saya sedang bagus.” (A, 34.1-6)

c. Pemahaman positif

Peningkatan kesadaran dalam diri A membuat pola pikir A berubah ke arah yang positif. A menjadi tahu bahwa apapun yang terjadi merupakan bentukan dari pikiran A.

“Tapi sekedar sekarang menyenangkan enggak

menyenangkan itu persepsi karena tadi pikiran sendiri. Itu adalah respon pikiran, kalau dipikir ya dunia yang terjadi dalam pikiran. Dunia yang objektif tu nggak pernah terlihat munculnya, selalu dunia yang subjektif.. Berarti kalo mau menyelesaikan masalah ya menyelesaikan yang di dalam.. ya minimal kepedean itu ada. Kapanpun, apapun yang terjadi sebetulnya pikiran itu sendiri.” (A, 52.1-9)

Melalui meditasi, A juga dapat mengetahui kebiasaan-kebiasaan buruk yang terdapat dalam dirinya.

“Jadi meditasi dapat melihat habit saya, duduk nggak betah, gampang menyerah. Saya begitulah orangnya, kalo nggak betah ya udah yang ini nggak usah aja atau ini jam saya pasti rusak atau kalo bel ini mesti front office saya lupa ngebel masa lama sekali disini. Saya ya kaya gitulah orangnya tidak yakin dan tidak percaya sama eksternal thing bahwa itu akan berjalan dengan baik. Atau tidak percaya sama feature yang akan terjadi. Saya punya kegelisahan dan ketidakpercayaan diri.” (A, 74.1-10)

d. Reaksi pikiran positif

Peningkatan kesadaran dan pemahaman yang kini dimiliki A membuat diri A mampu mengkonfrontasi pemikiran yang salah.

“Saya hanya duh orang ini nyebelin banget terus saya mempersepsi siapa yang nyebelin siapa yang bilang.. Kalo tidak, dipikir nyebelinnya dimana? Siapa yang nyebelin.. walaupun kadang-kadang saya gunakan untuk


(60)

ngeblok pikiran, walaupun Huatou tidak digunakan untuk menblok pikiran, tapi saya gunakan supaya ini nggak mikir ngelantur-ngelantur.” (A, 54.6-13)

A juga mampu berpikir dengan sudut lain atau berpikir sederhana bila mendapat suatu masalah.

“Misalnya staff mereka berarti menyepelekan mu tapi saya ah check out aja. Kadang-kadang saya juga berpikir ya leadership penting untuk menjalankan mengkoordinasi tapi kalo mereka lepas dari jalur koordinasi bukan berarti mereka menyepelekan leadership mungkin mereka hanya sekedar pengen malas-malasan. Jadi saya berusaha berpikir dengan sudut yang lain.” (A, 24.1-8)

“Terakhir juga misalnya lampu mati.. ngidupin genset trus misal gensetnya meledak.. mungkin saya akan berpikir saya bisa apa sekarang... kalo nggak ada saya akan duduk dan rileks.. saya paling bilang ke front officer..hal terbagus yang bisa saya lakukan adalah kelas berikutnya jam 9.30 kamu cancel. Orang-orangnya kamu smsin kelas hari ini cancel karena mati lampu... Kalo saya nggak berpikir dengan cara yang lebih simpel saya akan berpikiran panjang.” (A, 46.1-11)

Meskipun demikian, terkadang respon untuk menyalahkan yang dimiliki A masih mudah keluar. Biasanya bila hal itu terjadi, maka A akan melihat pikirannya setelah ia menyalahkan.

“Nah kemudian, pertama kita berpikir orang itu useless tapi juga usefull. Kedua kalo mau dibuat pride.. ini label saya, persepsi saya. Kalo pikiran ini tidak mempersepsi ya kejadian itu ya hanya kejadian.” (A, 38.1-5)

e. Reaksi pikiran negatif

Perubahan-perubahan positif memang telah terjadi dalam diri A, akan tetapi hingga kini ia masih memiliki kebiasaan cepat menyalahkan orang di luar dirinya.


(61)

“keluar dulu maksudnya gini.. nyalahkannya lebih cepat keluar dulu, bukan marah-marahnya yang keluar dulu. Nyalahkan dulu, tapi nyalahkannya lebih cepat. Melihat masalahnya di luar itu lebih cepat.. aduh orang ini memang useless.. lebih cepat.” (A, 37.1-6)

A akan berpikiran bahwa dirinya tidak benar dan egois. A juga akan menilai dirinya sebagai meditator yang buruk. Semua hal ini dilakukan A bila amarah A keluar.

“Kalo disitu ada orang yang sakit dan dia diantar dengan cepat.. oo mungkin sopir itu benar, saya yang ngawur.. Saya hanya mikir itu ngawur, sangat egois mengganggu jalan memakai jalan yang lain terutama saya.” (A, 19.3 -7)

“Jadi saya bilang hal yang valuenya nggak susah work, susah nggakwork. Saya tau wah saya badpractisioner.” (A, 44.1-3)

f. Reaksi emosi negatif

A masih memiliki respon-respon emosi yang negatif dalam menghadapi suatu masalah. A mudah khawatir dan larut dalam amarah.

“Pertama pikiran saya gitu. Saya langsung berpikir panjang dan cepat, malas, tidak mengutamakan kepentingan kantor, malas, hanya ingin liburan. Dan keputusan nanggung itu tidak ada di tangan mereka. Keputusan itu harusnya di tangan saya. Harusnya bapak penjaga ini nggak boleh bilang nangung. Train of thoughtnya panjang.” (A, 39.16-22).

“Misalnya value saya ini saya mengganggap diri saya ini cerdas kalo ada orang menganggap saya bodoh ya itulah saya bisa marah. Soalnya saya ini orang yang displin, kalau mengkritik menganggap saya orang yang tidak baik atau jelek, displinnya jelek, saya bisa marah. Atau saya orang yang leadershipnya bagus, makanya saya adalah manager yang baik kadang-kadang kalo ada staff yang mbolos atau melakukan hal-hal yang indipliner


(62)

sebetulnya hal itu tidak terlalu menganggu jalannya kantor ini tapi otak saya bisa memprovokasi wah.. menyepelekan leadershipmu ni, itu saya bisa marah. Jadi hal-hal macam itu yang bisa membuat saya marah.” (A, 21.2-15)

Amarah yang muncul dari diri A sebenarnya dipicu oleh hal-hal yang bertentangan dengan pikiran A. Hal ini membuat A merasa terganggu dan terbebani.

“Label yang sangat mengganggu sangat membebani, tapi itu tidak luntur begitu aja. Itu perlu berlatih. Jadi hal-hal yang masih tersisa itu ya oke, saya masih sangat terganggu.” (A, 22.4-8)

Selain terganggu dan terbebani, A melakukan reaksi emosi negatif lainnya setelah ia gusar, menyalahkan, atau mengeluarkan amarahnya. A akan merasa malu kepada orang di sekitarnya dan kecewa akan dirinya sendiri.

“Jadi kadang untuk masalah tertentu saya kadang merasa malu sama diri saya sendiri juga sama orang deket saya.. kalosekarang ya pacar saya.” (A,13.1-3)

“Kelabakannya ya saya bisa moodnya bisa sangat jelek. Ekspresinya bisa sangat jelek e... saya bisa sangat kecewa sama diri saya sendiri. Saya mempertanyakan kualitas practisesaya.” (A, 27.1-4)

g. Emosi positif

Meski masih memiliki banyak respon emosi yang negatif, kini A merasa relaks dan lebih percaya diri dalam menghadapi masalah-masalah yang ada. Hal ini tentunya tidak terlepas dari perubahan-perubahan positif yang telah terjadi.


(63)

“Sekali lagi ya.. secara sugesti saya lebih pede, itu dalam arti yang positif. Pede kalo ada masalah saya bisa bilang nggak akan terlalu membuat saya kelimpungan.” (A, 68.1-4)

Selain itu, A juga merasa bahwa kini amarahnya telah berkurang.

“Jadi kalo ada masalah saya jarang marah-marah. saya paling tegur baik-baik gitu.” (A, 14.2-4)

2. Subjek B

2.1Tema-tema subjek B

a. Regulasi emosi maladaptif

Subjek B nampaknya mengalami kesulitan dalam meregulasi atau mengelola emosi yang ada dalam diri. B mengalami kesulitan dalam mengelola amarahnya.

“Maksud saya aku kok dingenekke, aku dendam bek kowe dan akan menjadi larut; berguling-guling dan akan menjadi rekaman yang nggak tau juntrungnya sampe

dimana.” (B,31.2-5)

Pengelolaan emosi yang kurang baik berdampak pada cara pemecahan masalah B. Dahulu B akan mencampuradukkan antara berpikir, emosi, dan memecahkan masalah.

“Biasanya dulu yang saya lakukan adalah campur aduk antara berpikir emosi dan memecahkan masalah itu. Selalu begitu. Padahal itu sebenarnya nggak ada hubungannya dengan masalah itu sendiri to. Mungkin 99% itu emosi, perasaan galau dan sebagainya.” (B, 41.1-6)


(64)

Pemecahan masalah yang kurang baik ini membuat B banyak berharap dan menghubungkan sesuatu hal dengan hal gaib.

“Saya selalu berharap, misalnya ah nanti ada ini, ada pertolongan ada apalah, nah itu saya percayai. Tapi kenyataannya hidup itu kan nggak seperti itu. 99% itu nggak seperti yang kita harapkanlah... selalu gitu... ya mungkin ini terlalu ekstrim lah.. ato 80 ato berapa lah. Lebih banyak yang tidak kita inginkan yang terjadi daripada yang kita inginkan terjadi. Dan kita selalu berharap, kita berusaha gini berharap, dan emosi kita juga melibatkan itu. Ada perasaan senang, marah disitu dalam mengejar tujuan itu.” (B, 6-16)

“Dan yang jelas kita lebih dominan, nggak usah dihubung-hubungkan dengan apa....ujan ini dihubungkan dengan tahayul-tahayul yang tidak perlu. Mau bengi ngimpi opo bar kuwi ngene. Yang kadang-kadang kita menghubung-hubungkan sendiri dan kita percayai, dulu kan gitu.Mau bengi aku ngimpine koyo ngene, kokbisongenewahkudungene.” (B, 55.1-8)

Semua hal yang dilakukan di atas membuat B semakin sulit mengelola emosinya. B larut dalam kekhawatiran.

“Nah dengan ini, itu kan emosi-emosi yang resah kita to sebenere, resah kita untuk mengharapkan hal ini bekerja dengan otak-atik gathuk tadi; kalo orang jawa tu. Saya jadi resah dhewe yang enggak karu-karuan. Padahal dengan resah itu kita akan memutuskan untuk melakukan hal yang akan datang dengan yang itu juga. Jadi, kan betapa nelongsone dhewe, trus tambah khawatir.” (B,56.1-8)

b. Peningkatan awareness

Rutinitas meditasi yang dilakukan oleh B membuat B menjadi orang yang lebih aware. B kini mampu menyadari emosi-emosinya.

“Marah ya inilah yang rasanya marah, ya inilah rasanya benci ato mungkin inilah rasanya saya tenang. Saya tidak


(65)

terlalu larut ke dalam, tidak akan larut ke dalam dan juga tidak menolaki mereka.” (B, 30.3-7)

c. Pemahaman positif

Peningkatkan kesadaran membuat B memiliki pemahaman-pemahaman yang baik akan suatu masalah dan hakikat kehidupan ini.

“Saya pikir kok nggak ada masalah berat dan ringan. Yang ada adalah seberapa terlibat kita dalam itu. Semakin kita, walaupun kecil tapi terus kita terlibat terlalu dalem dan kita terus mengoroki masalah itu ya jadinya lebih besar. Jadi maksud saya ya saya pikir bahwa itu sama.” (B, 37.1-6)

Nek dengan ini akal sehat yang lebih benar memahami hidup yang selalu mengecewakan buat saya hidup tu nek nggak kita pahami cara kerjanya dunia ini, selalu akan menyengsarakan. Nah kalo kita memahami mau menerima dengan segenap hati dan intelektual, kita nggak akan selalu kecewa saya pikir lho ya. Begitu kita pahami hidup ni wes ternyata settingan awal kita hidup supaya kita menderita dulu. (B, 59.3-11)

Selain itu, B kini dapat menyadari bahwa di dalam kekacauan emosi atau pikirannya terdapat ego diri atau keakuan.

“diikuti dan a...ironisnya ditambahi aku tadi, aku kok dingenekke, misal gitu marah, aku tambah ketulo-tulo; tambah sengsara. Dan itu nyabetnya kemana-mana....nggak tau kita sudah nggak tau.” (B, 33.1-4)

d. Reaksi Pikiran Positif

Pemahaman-pemahaman yang ada kini membuat B lebih jelas dalam melihat suatu permasalahan.

“Sekarang bisa melihat masalah itu, saya di luar. Jadi lebih enaklah mengevaluasi. Penyelesaian secara..secara.. kasat mata.” (B, 38.3-6)


(66)

e. Reaksi emosi positif

Berkembangnya kesadaran dan pemikiran yang positif juga telah membuat B bereaksi lebih positif terhadap masalah. B kini mampu menerima suatu keadaan yang kurang mengenakkan.

“Menerima dengan kehadiran mereka-mereka itu. Kita nggak menolak, kita nggak apa. Jadi kemampuan untuk itu yang kalo kita lawan jelas nggak sembuh lagi... kita lawan lagi ya wes pasti gelut mbek itu lagi, kita masuk... ya kita lawan juga nggak, pokoknya kita persilahkan mereka.” (B, 25.2-7)

f. Reaksi emosi negatif

Perubahan-perubahan positif memang telah terjadi dalam diri B, akan tetapi B masih memiliki respon-respon emosi yang negatif dalam menghadapi suatu masalah. B merasa kesepian setelah ia bercerai dengan istrinya. Selain itu, B merasa susah mengelola emosinya tersebut.

“Ya misalnya masalah kesepian dalam hidup. Itu kan hal yang.. terus terang saya mengalami hal itu, itu lebih komplek saya hadapi. Mungkin orang lain nggak karena mereka sudah ada.. mereka lebih apalah dari saya. Tapi buat saya sebuah masalah besar gitu.” (B, 50.1-6)

“tapi ada hal tertentu yang nggak bisa gitu. Bukan nggak bisa; sangat susah untuk kita kelola. Jadi itu elingnya harus lebih intensif kalo kita menghadapi rasa itu.” (B, 49.1-4)

g. Emosi positif

Peningkatan kesadaran dalam diri B telah memberikan efek domino bagi diri B. Selain pemikiran dan respon emosi B menjadi


(67)

lebih positif, kini emosi B lebih stabil dibandingkan dengan waktu sebelum rutin bermeditasi.

“Dengan sekarang ini kita mengingat yo jelas ingat, tapi emosinya lama-lama sudah ilang. Yang saya rasakan itu yang paling besar manfaatnya. Emosi itu sampe.. ada yang inget ya ada, tapi sudah enggak ada tarikan emosi negatif untuk itu.” (B, 14.1-5)

Hal ini tentu membuat B merasa tenang dan lega. “dan intinya pokoknya lebih tenang” (B, 20.1)

“saya ndak merasakan senang yang

meletup-letup...malah enggak..seneng yang; bahagia yang intine lega. Bukan suatu hal yang meletus kaya dapat lotere; nggak. Atau apalah, disko yang ngejreng-ngejreng itu nggak...Misalnya cinta diterima....Itu lebih legalah” (B, 21.1-6)

3. Subjek C

3.1Tema-tema subjek C

a. Regulasi emosi maladaptif

Dahulu C memiliki merupakan orang yang memiliki amarah besar.

Kalo dulu responsif, pemberang. Misalnya kita berkendara terus disalip mungkin bisa marah. Kalo

dipotong jalan bisa begitu berang.” (C, 20.2-5)

Selain memiliki amarah yang besar, C juga memiliki rasa penyesalan terhadap dirinya yang dirasa tidak sukses seperti teman-temannya.

“menyesali diri saya sendiri, saya kurang motivasinya, saya marah, saya nggak beruntung. Jadi menyesali diri sendiri, sehingga apa? kejiwaannya saya pikir jadi lebih labil, e.. mungkin jadi ingin menunjukkan kelebihan lain, over acting atoapa? Itu dulu” (C, 39.2-7)


(68)

b. Peningkatan awareness

Melalui meditasi yang rutin dijalankan, C memiliki kesadaran yang baik. C dapat menyadari keburukan-keburukan pada dirinya.

“Tapi kita bisa menyadari oh ini saya keliru. Mau merubah ato mungkin lebih mau mengakui kesalahan. Jadi bukan berarti langsung bisa sempurna.” (C, 59.2-5)

c. Pemahaman positif

Peningkatan kesadaran dalam diri C membawa perubahan positif pada pemahaman C. Subjek dapat mengetahui bahwa di dalam masalah-masalah yang ada terdapat “keakuan” yang makin membuat rumit permasalahan yang ada.

“Ya itu saya pikir menyangkut aku.” (C, 49.1)

d. Reaksi pikiran positif

Berkembangnya kesadaran dan pemahaman yang positif membuat C mampu bereaksi positif terhadap masalah. C mampu melihat hakikat suatu masalah yang ia hadapi.

Kalo sekarang liat dulu duduk permasalahannya bagaimana, trusmenghindar.” (C, 48.1-2)

Hal tersebut membuat C lebih selektif dalam bersikap. “lebih waspada akan suatu hal ini perlu tidak. Bukan berarti dalam kebingungan tapi e.. bisa lebih bertanya pada hati nurani kita. Ini harus tidak, oh ini nggak perlu diuruslah. Oh ini menjadi skala prioritas harus kita lakukan.” (C, 58.2-7)


(1)

166 20.Larut dalam amarah

21.Menerima 22.Perekonomian

23.Larut dalam kekhawatiran 24.Rasa tenang

25.Berhati-hati dalam bertindak 26.Menerima

27.Pikiran jernih

28.Melakukan aksi nyata 29.Kesadaran lebih baik

30.Faktor-faktor dalam bermeditasi 31.Merasakan hal positif dari meditasi 32.Menerima

33.Bersyukur 34.Menerima

35.Larut dalam penyesalan 36.Menerima

37.Menyalahkan diri dan mengumpat 38.Kini teman-teman lebih sukses 39.Larut dalam penyesalan


(2)

167 40.Menerima

41.Tidak merasa iri 42.Rasa nyaman 43.Emosi lebih stabil 44.Rasa tenang

45.Mengetahui keburukan pada diri 46.Menerima

47.Larut dalam amarah

48.Melihat hakikat suatu masalah 49.Memahami adanya aku

50.Emosi lebih stabil

51.Sikap responsif muncul dari komplikasi keadaan, usia, atau lingkungan 52.Berhati-hati dalam bertindak

53.Menerima

54.Memupuk ketenangan semata

55.Melatih kesadaran dalam situasi apapun

56.Pengelolaan emosi bertambah baik dari waktu ke waktu 57.Pengelolaan emosi lebih baik

58.Lebih selektif


(3)

(4)

169 Lampiran 12.Meaning Unit-meaning unit C yang Tereliminasi

1. Meditasi hampir setiap hari 2. Terkadang tidak bermeditasi

3. Bermeditasi 30 menit hingga satu jam 4. Tiga tahun bermeditasi

5. Tahun 1996 pertama kali mengenal meditasi 6. Rasa senang

7. Rasa sehat

8. Stamina lebih baik dan jarang sakit

10.Memiliki darah tinggi dan hampir setiap hari makan obat 15. Senang mendaki gunung

16. Meditasi mendukung fisik 22. Perekonomian

25. Berhati-hati dalam bertindak 27. Pikiran jernih

28. Melakukan aksi nyata 29. Kesadaran lebih baik

30. Faktor-faktor dalam bermeditasi 31. Merasakan hal positif dari meditasi 37.Menyalahkan diri dan mengumpat


(5)

170 38.Kini teman-teman lebih sukses

41. Tidak merasa iri

51.Sikap responsif muncul dari komplikasi keadaan, usia, atau lingkungan 52.Berhati-hati dalam bertindak

54.Memupuk ketenangan semata

55.Melatih kesadaran dalam situasi apapun

56.Pengelolaan emosi bertambah baik dari waktu ke waktu 57.Pengelolaan emosi lebih baik


(6)

171 Lampiran 13.Tabel Tema-tema Subjek C

Tema Meaning Unit Kata Kunci

TU1 Kesulitan dalam Meregulasi Emosi

TS1.1. Larut dalam amarah 12.1-2; 17.2-6; 20.2-5 (nomor 20, baris ke 2-5); 47.1-6

„temperamen tinggi‟;„pemarah‟;

‘berang’; „diajak bertengkar‟ TS1.3. Larut dalam penyesalan 35.1-5; 39.2-7 „menyesal sekali‟; ‘menyesali diri’ TU2 Peningkatan Awareness

TS2.3.Menyadari keburukan pada diri 45.1-3; 59.2-5 ‘menyadari’ TU3 Pemahaman positif

TS3.1. Memahami adanya aku 49.1 „menyangkut aku‟

TU4 Reaksi Pikiran Positif

TS4.1. Melihat hakikat suatu masalah 48.1-2 „liat dulu‟

TS4.2. Lebih selektif 58.2-7 „lebih waspada‟

TU5 Reaksi Emosi Positif

TS5.1. Bersyukur 33.25-39 „bersyukur‟

TS5.2. Menerima 18.3-4; 21.1-3; 26.1-2; 32.7-8; 34.1-13; 36.1-4; 40.1-8; 46.2-5; 50.5-8

‘menerima’; „biarkan berlalu‟; „menerima‟

TU6 Reaksi Emosi Negatif

TS6.1. Larut dalam kekhawatiran 23.1-2 „kekuatiran‟ TU7 Emosi Positif

TS7.1. Rasa nyaman 42.1-5 „lebih nyaman‟

TS7.2. Emosi lebih stabil 13.1-7; 43.14-20; 50.1-7 „lebih stabil‟; ‘lebih terjaga’; lebih tidak responsif‟

TS7.3. Rasa tenang 24.1; 44.1-4 „lebih tenang‟; ‘ketenangan’

Keterangan :

TU : Tema Umum