PEMBUATAN EDIBLE FILM DARI SEMIREFINE CARRAGEENAN (KAJIAN KONSENTRASI TEPUNG SRC DAN SORBITOL).
NPM. 0633010021 INTISARI
Semirefine carrageenan merupakan tepung hasil olahan dari rumput laut jenis Eucheuma cottoni. Berwarna putih kekuningan, bersifat dapat membentuk gel sehingga sangat berperan dalam industri makanan dan obat-obatan, yaitu sebagai stabilisator, bahan pengental dan pengemulsi. Edible film yang dibuat dari hidrokoloid memiliki sifat-sifat mekanis yang baik, namun teksturnya rapuh oleh karena itu perlu dilakukan penambahan plasticizer yang berfungsi untuk meningkatkan elastisitas, mengurangi resiko pecah, sobek dan hancurnya edible film yang terbentuk. Sorbitol merupakan salah satu plasticizer yang efektif digunakan karena dapat meningkatkan elastisitas film.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol terhadap karakteristik edible film yang dihasilkan, menentukan kombinasi perlakuan terbaik antara konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol sehingga dihasilkan edible film dengan kualitas yang baik.
Pembuatan edible film dari tepung SRC ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 2 faktor dan diulang 2 kali: Faktor I Konsentrasi tepung SRC 1,,5%, 2%, 2,5% (b/v), Faktor II Konsentrasi sorbitol 0%, 3%, 5%, 7% (b/v total).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah pada konsentrasi tepung SRC 2,5% dan konsentrasi sorbitol 7% yang menghasilkan edible film dengan kriteria kadar air 8,35%, ketebalan 0,079 mm, kekuatan peregangan 7,39 N, persen perpanjangan 64,41% dan laju transmisi uap air 0,115 gr/jam. Hasil dari analisis finansial menunjukkan BEP 21,19%, NPV Rp.74.358.273,00, PP 3,4 thn, Net B/C 1,1247 dan IRR 22,46%.
(2)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam kelas Rhodophyceae (alga merah), dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Teknologi pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii sebagai produk intermediet dapat dilakukan dengan perlakuan ATC (Alkali Treated Carrageenophyte) sehingga dihasilkan tepung karaginan setengah jadi (semirefine carrageenan / SRC flour) (Anggadiredja, dkk, 2002). SRC flour dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan karaginan murni, bahan pengikat dan penstabil dalam industri makanan (Dian, 2007).
Menurut Anggradiredja (2006), kandungan karagenan pada rumput laut Eucheuma cottonii sekitar 61,52%. Karaginan adalah hidrokoloid yang potensial untuk dibuat edible film karena sifatnya yang dapat membentuk gel, stabil, serta dapat dimakan. Krochta (1992) mendefinisikan edible film sebagai lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (Coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (Film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, dan zat terlarut).
Keberhasilan dalam pembuatan edible film dapat ditentukan dari karateristik film yang dihasilkan, yaitu kekuatan perenggangan (Tensile strenght), persen perpanjangan (Elongasi), ketebalan (Thickness) dan laju transmisi uap air
(3)
Umumnya film yang dibuat dari hidrokoloid memiliki sifat mekanis yang baik, namun tidak efisien sebagai penahan uap air karena bersifat hidrofil. Untuk mengatasi hal tersebut pada pembuatan edible film sering ditambahkan bahan plasticizer.
Plasticizer adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang ditambahkan dengan maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer sekaligus meningkatkan fleksibilitas polimer (Paramawati, 2001). Plasticizer yang digunakan dapat diambil dari golongan poliol. Sorbitol merupakan salah satu golongan poliol selain gliserol dan manitol (Tranggono, 1990). Sorbitol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki kelebihan mampu untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler sehingga baik untuk menghambat penguapan air dari produk, dapat larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer, tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah dan bersifat non toksik (Sulaiman, 1996).
Penelitian penggunaan rumput laut telah dilakukan pada pembuatan edible film dari komposit karagenan, tepung tapioka dan lilin lebah, adapun perlakuan terbaiknya yaitu konsentrasi karagenan sebesar 2%, tepung tapioka 0,3% dan lilin lebah 0,3% (Darmawan, 2006). Penelitian lainnya dilakukan oleh Ali (2010) tentang pelapisan melon menggunakan edible film dari pati ubi kayu dengan penambahan sorbitol sebagai zat pemlastis. Konsentrasi pati ubi kayu 4% dan sorbitol 5% menghasilkan mutu edible film yang baik untuk pelapisan buah. Sedangkan penelitian mengenai pengolahan Eucheuma cottonii menjadi tepung ATC (Alkali Treated Carrageenophyt) dengan jenis dan konsentrasi larutan alkali
(4)
yang berbeda telah dilakukan oleh Dian (2007), perlakuan terbaik dengan cara perebusan didalam larutan KOH 10%.
B. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh konsentrasi tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan konsentrasi sorbitol terhadap karakteristik edible film yang dihasilkan. 2. Menentukan kombinasi perlakuan terbaik antara konsentrasi tepung
rumput laut Eucheuma cottonii dan sorbitol sehingga dihasilkan edible film dengan kualitas yang baik.
C. Manfaat
1. Penganekaragaman produk edible film yaitu dengan menggunakan tepung rumput laut Eucheuma cottonii.
2. Memberikan informasi pada masyarakat tentang metode pembuatan Edible film dari tepung rumput laut Eucheuma cottonii.
(5)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumput LautEucheuma cottonii
Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional.
Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris, dan permukaannya licin. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah pangkal (Atmadja, 1996).
Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan karbohidrat (gula atau Vegetable-gum), protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Selain itu rumput laut juga mengandung vitamin. Beberapa jenis rumput laut mengandung lebih banyak vitamin dan mineral penting, seperti kalsium dan zat besi bila dibandingkan dengan sayuran dan buah-buahan (Anggadiredja, dkk, 2008).
(6)
Kandungan unsur makro dan mikro yang terdapat dalam rumput laut,
Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan unsur-unsur makro dan mikro Eucheuma cottonii
Sumber : Winarno (1990)
Unsur Kisaran kandungan dalam % berat kering
Karaginan Kadar air Karbohidrat Protein Abu Serat kasar Lemak Chlor Kalium Natrium Magnesium Belerang Silicon Fosfor Kalsium Besi Iod
Vitamin B1 (Thiamin)
Vitamin B2 (Riboflacin)
Vitamin C 67,51 11,80 10,64 9,20 4,79 1,73 0,16 1,5 – 3,5 1,0 – 2,2 1,0 – 7,9 0,3 – 1,0 0,5 – 1,8 0,2 – 0,3 0,2 – 0,3 0,4 – 1,5 0,1 – 0,15 0,1 – 0,15 0,14 mg/100g
2,7 mg/100g 12 mg/100g
B. Semirefine Carrageenan (SRC/Karaginan Setengah Jadi)
Karaginan yang berasal dari rumput laut Eucheuma cottonii yaitu jenis kappa-karaginan. Proses produksi SRC pada intinya dilakukan melalui perlakuan alkali dalam kondisi panas yang disebut dengan proses alkali treatment. Menurut (Rees, 1972 dalam Suryaningrum, et al., 1991) penggunaan larutan alkali dapat meningkatkan kekuatan gel kappa-karaginan karena kation alkali seperti kation K+, Na+, Ca++ dapat mereduksi gugus sulfat kappa-karaginan. Selain itu Stanley
(7)
hilangnya gugus 6-sulfat yang bersifat hidrofilik dari unit monomer karaginan dan membentuk 3,6-anhydrogalaktosa yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan gel karaginan yang dihasilkan, meningkatkan titik leleh karaginan di atas suhu pemasakannya, sekaligus memucatkan warna rumput laut sehingga dihasilkan karaginan yang mempunyai kekuatan gel yang tinggi dan warna yang lebih putih.
Pemakaian ion K+ yang diperlukan dalam proses pembentukan gel adalah minimal 0,007 M. Pada konsentrasi yang lebih rendah kappa-karaginan tidak dapat membentuk gel (Rochas dan Rinoudo, 1984 dalam Marlinah, 1992). Asupan ion K+ pada proses ekstraksi kappa-karaginan dapat diperoleh dari larutan alkali seperti KOH maupun NaOH dan KCL, namun demikian penggunaan garam natrium dapat menyebabkan kekuatan gel menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan penambahan garam kalium. Keunggulan garam kalium yang digunakan pada proses ekstraksi di samping dapat mereduksi kandungan lemak dan protein, ion K+ juga akan bereaksi dengan gugus sulfat (OSO3-).
Produk SRC flour dapat digunakan dalam industri makanan/minuman
(food grade) maupun industri lainnya (non food grade). Konsentrasi alkali dan lama memasak akan sangat menentukan apakah SRC flour ditujukan untuk food grade atau non food grade. Untuk SRC flour food grade, proses pengeringan diupayakan menggunakan mesin atau alat pengering. Di samping itu minimalkan kontak dengan udara terbuka (untuk mengurangi jumlah kandungan mikroba sebagai persyaratan untuk makanan) (Anggadiredja, dkk, 2008).
(8)
Proses pengolahan rumput laut menjadi SRC dengan perlakuan alkali menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2003), melalui tahapan berikut : 1) Sortasi
Menghilangkan kotoran-kotoran seperti benang, kayu dan batu yang terdapat pada rumput laut
2) Pencucian
Dilakukan dengan air bersih yang mengalir hingga lumpur, garam dan kotoran lainnya yang melekat terlepas.
3) Proses perlakuan alkali
Rumput laut direbus dalam larutan KOH 8% dan suhu dipertahankan dibawah 85ºC selama 2 jam. Volume larutan KOH yang digunakan sebagai perebus sebanyak 3-4 kali berat rumput laut keringnya. Selama perebusan rumput laut diaduk-aduk sehingga pemanasannya merata.
4) Netralisasi
Rumput laut direndam dan dicuci berulang-ulang sampai air pencucian pH nya netral (pH 7).
5) Pemotongan
Rumput laut dipotong-potong dengan ukuran sepanjang 2-4 cm. 6) Pengeringan
Dikeringkan selama 2-3 hari, sehingga diperoleh ATC dalam bentuk chips. 7) Penepungan
(9)
Rumput laut jenis Euchema cottoni
Sortasi
Pencucian dengan air bersih
Perlakuan alkali
Netralisasi
Pemotongan 2-4 cm
Pengeringan
Penepungan
Pengayakan 60 mesh
Tepung SRC
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan tepung SRC (Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2003)
(10)
C. Karaginan
Menurut Glicksman (1983), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan karaginan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen yang lain. Jumlah dan posisi sulfat membedakan macam-macam polisakarida alga merah (Rhodophyceae).
Gambar 2. Struktur tanaman alga merah
Menurut (FAO, 2004), rumput laut merah mengandung komposisi karaginan yang berbeda antara jenis satu dengan lainnya, seperti berikut:
Chondrus crispus (campuran kappa dan lambda), Kappaphycus alvarezii (kappa),
Eucheuma denticulatum (iota), Gigartina skottsbergii (utamanya kappa, beberapa lambda), Sarcothalia crispata (campuran kappa dan lambda).
Secara kimiawi, karaginan adalah poligalaktan, senyawa polimer rantai lurus dengan molekul D-galaktosa dan 3,6 anhidro–D–galaktosa (3,6-AG) yang dihubungkan dengan ikatan (1-3) dan (1-4). Galaktosa dan molekul 3,6-AG sebagian disubstitusi dengan gugus sulfat dan atau piruvat. Oleh karenanya,
(11)
Jumlah dan posisi dari substitusi ester sulfat menentukan perbedaan utama diantara berbagai tipe karaginan (Gelymar, 2004a).
Kekuatan gel karaginan didasarkan pada pengulangan urutan residu disakarida dari -D-galactopyranose diikat secara glikosidik melalui posisi 1 dan 3 (residu A) dan -D-galactopyranose diikat secara glikosidik melalui posisi 1 dan 4 (residu B)(Picullel, 1998).
Gambar 3. Carrageenan terdiri dari 3-linked--D-galactopyranose dan 4-linked--D-galactopyranose units (Belitz dan Grosch, 1999)
-karaginan (kappa karaginan)
Gambar 4. -carrageenan (kappa-carrageenan)
-(13)--D-galactopyranose-4-sulfate-(14)-3,6-anhydro--D-galactopyranose-(13)-
(12)
Penggunaan jenis karaginan berkaitan dengan sifat kemampuannya membentuk larutan kental atau gel. Perbedaan utama yang mempengaruhi sifat karaginan iota, kappa dan lambdaadalah jumlah dan posisi group ester sulfat pada unit galaktosa. Makin tinggi jumlah ester sulfat maka temperatur kelarutan makin rendah dan menghasilkan kekuatan gel yang makin rendah pula atau menghambat pembentukan gel. Beberapa karakteristik dari ketiga jenis karaginan disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Karaginan
Tipe Karakteristik Kappa
memiliki kemampuan membentuk gel yang paling tinggi,
senyawa 3,6 AG mencapai 35% - 40%
kandungan ester sulfat 24% - 25%.
membentuk gel yang kuat dan rapuh, terjadi sineresis.
pemanasan ± 75oC untuk menghasilkan kelarutan yang
sempurna dan mendapatkan kekentalan yang rendah
Iota
mengandung ester sulfat 30% - 32%
senyawa 3,6 AG sebanyak 28% - 32%.
membentuk gel yang sangat elastis dengan sedikit terjadinya sineresis.
kestabilannya dalam freeze-thaw sangat bagus.
pemanasan ± 600C diperlukan untuk mendapatkan kelarutan yang sempurna
Lambda
mengandung 35% ester sulfat
hampir tidak mengandung 3,6 AG.
tidak membentuk gel
sangat larut dalam air dingin
menghasilkan larutan yang kental dan stabil Sumber : (Gelymar, 2004b).
Sifat fungsional karaginan dalam kegunaannya pada berbagai produk menurut Gelymar (2004c), adalah sebagai berikut :
(13)
kuat, rapuh, dan sangat elastis, tergantung dari kombinasi fraksi – fraksi penyusun karaginan.
2. Penahan Air
Karaginan kappa dan iota merupakan agen penahan air yang baik sehubungan dengan kapasitas pengikatan air dan pembentuk gel yang tinggi. Hal ini memungkinkannya untuk menahan air alami yang terdapat dalam produk, khususnya pada proses yang menggunakan panas, karaginan dapat meningkatkan hasil produksi.
3. Suspending Agent
Karaginan kappa dapat membantu mempertahankan padatan pada susu dan air, sehingga tetap tersebar dalam larutan tanpa menyebabkan kekentalan yang berlebihan pada system.
4. Pengental
Karaginan lambda berfungsi sebagai pengental dalam larutan dingin atau panas. Iota dan sodium kappa karaginan juga digunakan secara luas sebagai pengental pada produk – produk yang menggunakan pemanasan.
5. Penstabil
Karaginan mampu untuk menstabilkan emulsi, karena kemampuannya yang tinggi untuk membentuk matriks dan interaksi elektrostatik yang kuat. Karena tingkat spesifitas karaginan sangat tinggi, maka dia hanya mampu menstabilkan tanpa memodifikasi produk.
(14)
Ada dua metode proses produksi karaginan, yaitu metode alkohol (alcohol method) dan metode tekan (pressing method). Alur proses produksi karaginan dengan metode alkohol menurut Anggadiredja, dkk (2008) sebagai berikut:
1. Cuci rumput laut dari kotoran berupa pasir, garam, dll.
2. Perlakuan alkali: masak dalam larutan alkali dengan konsentrasi tertentu pada temperatur 85 - 90ºC selama 2 jam.
3. Hancurkan rumput laut menjadi seperti bubur dengan proses pengadukan. 4. Ekstraksi: masak rumput laut dalam kondisi alkali pH 8–9 dengan
temperatur 90ºC selama 3 jam.
5. penambahan filter aid: seperti celite atau perlite kedalam bubur dalam kondisi panas, kemudian aduk secara merata selama 0,5 jam.
6. Filtrasi: saring bubur dengan cepat dalam keadaan panas menggunakan
filter press sehingga filtrat dapat terpisah dari residu.
7. Tambahkan larutan pemutih seperti NaOCl dengan konsentrasi tertentu, lalu aduk selama 20 menit.
8. Tambahkan alkohol sambil diaduk sampai terbentuk serat karaginan yang akan terpisah dengan cairannya.
9. Keringkan karaginan pada suhu 60 ºC selama 15 - 20 jam. 10.Buat tepung dengan mesin grinding
(15)
Rumput laut
Pencucian
Perlakuan alkali
Penghancuran rumput laut
Ekstraksi
Penambahan filter aid
Filtrasi
Penambahan larutan pemutih
Pengeringan Penambahan alkohol
Penggilingan
Tepung karaginan
Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan tepung karaginan (Anggadiredja, dkk, 2008)
(16)
D. Mekanisme Gel
Menurut Glicksman (1979), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.
Kappa-karaginan dan iota-karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karaginan karena mengandung gugus 3,6-anhidrogalaktosa. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat. Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Thomas 1992). Mekanisme pembentukan gel karaginan dapat dilihat pada Gambar 6.
(17)
Gambar 6. Mekanisme pembentukan gel karaginan (Thomas 1992)
E. Edible Film
Edible film merupakan lapisan tipis dan kontinyu yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa, misalnya (kelembapan, oksigen, lipid, cahaya, dan zat terlarut), atau sebagai carrier bahan makan dan bahan tambahan, serta untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta dan De Mulder Johnston, 1997).
Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengembalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. (Krochta et al., 1994)
(18)
Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga yaitu: hidrokoloid, lipid dan komposit dari keduanya (Krochta, 1992). Setiasih (1999) menjelaskan bahwa hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film
dapat berupa protein atau polisakarida. Bahan dasar protein dapat berasal dari jagung, kedele, kasein, kolagen, gelatin, protein susu dan protein ikan. Polisakarida yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah selulosa dan turunannya, pati dan turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginat, karaginan, agar), gum (gum arab dan gum karaya), xanthan, kitosan, dan lain-lain. Sedangkan lemak yang umum digunakan dalam pembuatan edible film adalah: lilin alami (beeswax, carnauba wax, dan paraffin wax), asil gliserol, asam lemak (asam oleat dan asam laurat).
Edible film yang terbuat dari hidrokoloid menurut Krochta (1992) memiliki beberapa kelebihan, yaitu baik untuk melindungi produk terhadap oksigen maupun CO2 dan lipid, serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan,
selain itu meningkatkan kesatuan struktural produk. Sedangkan kekurangan bungkus dari karbohidrat yaitu, kurang bagus untuk mengatur migrasi uap air dan bungkus dari protein biasanya dipengaruhi oleh perubahan pH. Kelebihan edible film dari lipid dapat melindungi produk dan tidak menyerap air selama penyimpanannya, sedangkan kekurangannya adalah penggunaannya dalam bentuk murni terbatas karena kurangnya integritas dan ketahanannya. Diagram alir proses pembuatan edible film dapat dilihat pada Gambar 7.
(19)
Pelarutan bahan dasar (hidrokoloid, lipid/komposit)
Penambahan plastisizer
Pemanasan dan pengadukan (suhu 55-70ºC selama 15 menit)
Pencetakan menggunakan auto-casting machine
Pengeringan selama 12-18 jam (Suhu 30ºC RH 50%)
Penyimpanan
Edible film
Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan edible film
(20)
Edible film dengan kualitas yang baik akan memiliki karakteristik yang dapat ditentukan dari sifaft fisik dan mekanik. Sifat fisik dan mekanik edible film
yaitu sebagai berikut:
1. Ketebalan (Thickness)
Ketebalan edible film merupakan sifat fisik yang besarnya dipengaruhi oleh konsentrasi bahan dasar pembentuk edible film dan ukuran plat kaca pencetak. Ketebalan edible film mempengaruhi laju uap air, gas dan senyawa volatile. Sebagai kemasan, semakin tebal edible film maka kemampuan penahannya akan semakin besar atau semakin sulit dilewati uap air, sehingga umur simpan produk akan semakin panjang (Hugh dan Krochta, 1994).
2. Persen perpanjangan (Elongasi)
Elongasi adalah pertambahan panjang awal pada saat mengalami penarikan hingga putus yang dinyatakan dalam persen. Nilai elongasi edible film
menunjukkan kemampuan rentangnya (Gontard, 1993).
3. Kekuatan peregangan (Tensile Strength)
Kekuatan peregangan edible film merupakan kemampuan bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan berada dalam regangan maksimum yang dapat diterima oleh bahan atau sample. Pemberian tekanan secara terus menerus akan menekan bahan sehingga terjadi perubahan peregangan. Pada saat dimana bahan tidak lagi mampu menahan gaya tekan, maka terjadi cracking yaitu titik dimana deformasi permanen terjadi. Titik inilah yang merupakan data untuk mendapatkan data regangan (Gontard, 1993).
(21)
4. Laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate)
Transmisi uap air adalah kecepatan perpindahan uap air melalui suatu unit area dari material dengan ketebalan tertentu. Lenger dan Beverloo (1975) dalam Purwitasari (2002) menyatakan bahwa kecepatan transmisi uap air dari bahan tergantung dari beberapa factor diantaranya yaitu, luas permukaan dan jenis atau tipe permukaan dari bahan sehingga semakin luas permukaan maka jumlah uap air yang berdifusi persatuan waktu akan semakin besar.
F. Plasticizer
Plasticizer adalah salah satu komponen bahan dasar pembuatan edible film
yang berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh. Plasticizer merupakan bahan non volatil dengan titik didih tinggi dan jika ditambahkan ke dalam bahan lain akan merubah sifat fisik dan sifat mekanik dari bahan tersebut (Hugh dan Krochta, 1994).
Penggunaan plasticizer harus cocok dengan polimer pembentuk ediblefilm
dan berada permanen dalam sistem pelarut polimer pada kondisi yang digunakan. Hal ini penting karena formulasi edible film secara keseluruhan (polimer, pelarut,
plasticizer dan bahan lain) memiliki efek langsung pada karakteristik film yang dihasilkan, sehingga polimer dan plasticizer harus memiliki kelarutan yang hampir sama dalam pelarut yang digunakan. (Bureau dan Multon, 1996).
Mekanisme proses plastisisasi polimer sebagai akibat penambahan
plasticizer berdasarkan Sears and Darby, 1982 di dalam : Di Gioia and Guilbert, 1999) melalui urutan sebagai berikut :
(22)
1. Pembasahan dan adsorpsi
2. Pemecahan dan atau penetrasi pada permukaan 3. Absorpsi, difusi
4. Pemutusan pada bagian amorf 5. Pemotongan struktur
Plasticizer yang banyak digunakan adalah sorbitol, gliserol, polietilen glikol, propilen glikol dan sukrosa. Plasticizer seperti gliserol, sorbitol dan polietilen glikol akan memberikan sifat fleksibilitas dan elastisitas rantai polimer. Fleksibilitas dan elastisitas dicapai karena plasticizer dapat meningkatkan jarak intermolekul dan larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer (Hugh dan Krochta, 1994).
Plasticizer seperti sorbitol dapat memberikan sifat fleksibilitas dan elastisitas terhadap rantai polimer dari edible film, karena sorbitol dapat larut dalam tiap-tiap rantai polimer dan meningkatkan jarak intermolekul sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer. Selain itu sorbitol mampu merangsang terbentuknya film yang lebih kompak dan padat, sehingga dapat mengurangi kerapuhan, serta dapat mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler yang dapat dapat menjadikan resistensi terhadap migrasi uap air makin baik (Sulaiman, 1996).
Sorbitol (C6H14O6) berasal dari golongan gula alkohol. Gula alkohol
merupakan hasil reduksi dari glukosa di mana semua atom oksigen dalam molekul gula alkohol yang sederhana terdapat dalam bentuk kelompok hidroksil. Beberapa
(23)
mampu bertahan dalam suhu tinggi dan tidak ikut serta dalam reaksi maillard. Penggunaan lain dari sorbitol adalah sebagai pencegah kristalisasi dalam produk makanan, karena sifatnya yang mampu mempertahankan kelembaban makanan yang cenderung mengering dan mengeras agar bahan makanan tersebut tetap segar (Diana, dkk, 2005).
H2C OH
CH OH OH C H
HC OH HC OH H2C OH
Gambar 8. Rumus kimia sorbitol.
G. Analisis Keputusan
Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan adalah poses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan yang diperlukan guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagian, 1987).
Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur logis dan kuantitatif yang tidak hanya menerangkan mengenai proses pengambilan keputusan, tetapi juga merupakan suatu cara untuk membuat keputusan (Tiomar, 1994).
(24)
Analisa keputusan adalah untuk memilih alternatif terbaik yang dilakukan dengan mengadakan analisa kimia dan organoleptik dari produk edible film
kemudian dilakukan analisis finansial.
H. Analisa Finansial
Menurut Susanto dan saneto (1994), beberapa parameter yang sering digunakan dalam analisa finansial antara lain: analisa nilai uang dengan metode
Net Present Value (NPV), Rate of Return dengan metode Internal Rate of Return (IRR), Break Event Point (BEP) dan Payback Periode.
1. Break Even Point (Titik Impas) (Susanto dan Saneto, 1994)
Break Even Point (BEP) adalah suatu keadaan dimana pada tingkat penjualan tertentu perusahan tidak memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian. BEP dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
BEP =
VC P
FC
Keterangan:
Po = Produk pulang/pokok FC = Biaya tetap
VC = Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp)
Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut: a. Biaya Titik Impas
Biaya Tetap BEP (Rp) =
1 – (Biaya Tidak Tetap/Pendapatan) b. Presentase titik impas:
) Rp ( BEP
(25)
c. Kapasitas titik impas
Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk mencapai titik impas. Rumus kapasitas titik impas adalah sebagai berikut:
Kapasitas titik impas = Persen titik impas X Pendapatan
2. Net Present Value (NPV) (Susanto dan Saneto, 1994)
Net Present Value merupakan selisih antara nilai investasi saat sekarang dengan nilai penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Suatu proyek dapat dipilih bila NPV > 0. NPV dapat ditujukan dengan persamaan sebagai berikut :
n Bt - Ct
NPV =
Σ
t = 1 (1 + I)¹
Keterangan :
Bt = Penerimaan pada tahun ke t Ct = Pengeluaran pada tahun ke t t = 1, 2,3,….,n
n = Umur ekonomis dari proyek i = Tingkat bunga
3. Payback Periode (Periode Pengembalian Modal) (Susanto, 1994)
Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali. Karena itu satuan hasilnya bukan presentase, tetapi satuan waktu seperti tahun, bulan. Rumus Payback periode sebagai berikut:
(26)
PP = Ab
1
Keterangan:
I = Biaya investasi yang diperlukan
Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya
4. Internal Rate of Return ( IRR ) (Susanto, 1994)
Internal Rate of Return adalah nilai discount rate I dengan NPV dari proyek sama dengan nol. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, asal setiap benefit bersih yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya.
Rumus perhitungan IRR (Khane, 1978) adalah sebagai berikut:
NPV´
IRR = I´ + ( I´´ + I´ )
NPV´´ + NPV´
Keterangan :
NPV´ = NPV tahun yang akan datang NPV´´ = NPV sekarang
I´ = Tingkat suku bunga sekarang
I´´ = Tingkat suku bunga tahun yang akan datang
5. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio)
Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah di present value (dirupiahkan sekarang).
(27)
I. Landasan Teori
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii memiliki kandungan kappa-karaginan yang tinggi yaitu sekitar 61,52%, karenanya Eucheuma cottonii dapat diolah menjadi Semirefine Carrageenan (SRC). Menurut Anggadiredja, dkk (2002), produksi SRC dapat dilakukan melalui perlakuan alkali dalam kondisi panas yang disebut dengan proses Alkali Treated Carrageenophyte (ATC). Asupan ion K+ pada proses ekstraksi kappa-karaginan dapat diperoleh dari larutan alkali seperti KOH.
Dian (2007) menjelaskan bahwa tepung semirefine carrageenan
merupakan hidrokoloid yang memiliki sifat dapat membentuk gel, stabil, serta dapat dimakan. Sifat-sifat yang dimiliki semirefine carrageenan ini potensial untuk diolah menjadi edible film.
Edible film merupakan suatu lapisan tipis yang melapisi suatu bahan pangan, layak dikonsumsi dapat terdegradasi oleh alam dan berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa, misalnya: kelembaban, oksigen, lipid, cahaya, dan zat terlarut, atau sebagai carrier bahan makan dan bahan tambahan, serta untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta dan De Mulder Johnston, 1997).
Kappa-karaginan yang terkandung dalam SRC merupakan fraksi yang
mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible. Kemampuan
pembentukan gel pada kappa-karaginan karena mengandung gugus 3,6-anhidrogalaktosa. Proses pemanasan akan mengakibatkan polimer kappa-karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila
(28)
penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat (Thomas 1992).
Edible film yang dibuat dari hidrokoloid (seperti golongan karbohidrat dan protein) memiliki sifat-sifat mekanis yang baik, namun tidak efisien sebagai penahan uap air karena bersifat hidrofil. Menurut Estiasih (2006), Penggunaan
plasticizer yang tepat akan memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi uap air dan gas dari produk.
Plasticizer seperti sorbitol dapat memberikan sifat fleksibilitas dan elastisitas terhadap rantai polimer dari edible film, sorbitol larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer, serta dapat mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler sehingga dapat mengurangi kerapuhan, selain itu sorbitol mampu merangsang terbentuknya film yang lebih kompak dan padat sehingga resistensi terhadap migrasi uap air makin baik (Sulaiman, 1996).
Penelitian penggunaan rumput laut telah dilakukan pada pembuatan edible film dari komposit karagenan, tepung tapioka dan lilin lebah, adapun perlakuan terbaiknya yaitu konsentrasi karagenan sebesar 2%, tepung tapioka 0,3% dan lilin lebah 0,3% (Darmawan, 2006). Penelitian lainnya dilakukan oleh Ali (2010) tentang pelapisan melon menggunakan edible film dari pati ubi kayu dengan penambahan sorbitol sebagai zat pemlastis. Konsentrasi pati ubi kayu 4% dan sorbitol 5% menghasilkan mutu edible film yang baik untuk pelapisan buah.
(29)
ATC (Alkali Treated Carrageenophyt) dengan jenis dan konsentrasi larutan alkali yang berbeda telah dilakukan oleh Dian (2007), perlakuan terbaik dengan cara perebusan didalam larutan KOH 10%.
I. Hipotesis
Diduga konsentrasi tepung Semirefine Carrageenan (SRC) dan
konsentrasi plasticizer (sorbitol) berpengaruh terhadap kwalitas edible film yang dihasilkan.
(30)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Laboratorium Analisa Pangan, Laboratorium Uji Indrawi, Laboratorium Pengetahuan Bahan Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, dan Laboratorium di Yogyakarta (CV. Chem-mix pratama) mulai bulan Maret – juli 2010.
B. Bahan yang digunakan
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan edible film meliputi rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang diperoleh dari pasar Wonokromo Surabaya. Sorbitol, KOH dan aquades diperoleh dari toko bahan kimia (CV. Tristar Chemical) di Rungkut Surabaya.
Bahan yang digunakan untuk analisa kimia adalah larutan alkohol 90%, H2SO4, Aquades, NaOH, K2SO4 10% dan NaCL.
C. Peralatan yang digunakan
Alat yang digunakan untuk pembuatan edible film antara lain: magnetic stirrer, kompor magnet, plat kaca, Cabinet dryer, blender, ayakan, gelas ukur, beaker glass, termometer, pipet, corong kaca dan timbangan analitik.
Alat yang digunakan untuk analisa Persen Perpanjangan (Elongasi) dan Kekuatan Peregangan (Tensile Strenght) adalah Penetrometer merk Loid dan alat
(31)
Peralatan lainnya yang digunakan untuk analisa kimia adalah pipet, gelas ukur, erlenmeyer, botol timbang, oven, eksikator, vurnis dan penangas air
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial, terdiri dari 2 faktor dengan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis ragam bila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji DMRT (Gasperz, 1991).
Faktor I (A): Konsentrasi tepung semirefinecarrageenan (b/v) A1 = konsentrasi tepung semirefinecarrageenan 1,5 %
A2 = konsentrasi tepung semirefinecarrageenan 2 %
A3 = konsentrasi tepung semirefinecarrageenan 2,5 %
Faktor II (B): Konsentrasi sorbitol (b/v) B1 = konsentrasi sorbitol 0 %
B2 = konsentrasi sorbitol 3 %
B3 = konsentrasi sorbitol 5 %
B4 = konsentrasi sorbitol 7 %
Dari kedua faktor tersebut diatas didapat adalah kombinasi perlakuan sebagai berikut:
A/B B1 B2 B3 B4
A1 A1B1 A1B2 A1B3 A1B4
A2 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4
(32)
Dari kombinasi perlakuan kedua faktor tersebut didapat dua belas alternatif perlakuan pendahuluan, yaitu:
A1B1 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 1,5% dan konsentrasi sorbitol 0%.
A1B2 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 1,5% dan konsentrasi sorbitol 3%.
A1B3 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 1,5% dan konsentrasi sorbitol 5%.
A1B4 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 1,5% dan konsentrasi sorbitol 7%.
A2B1 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 2% dan konsentrasi sorbitol 0%.
A2B2 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 2% dan konsentrasi sorbitol 3%.
A2B3 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 2% dan konsentrasi sorbitol 5%.
A2B4 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 2% dan konsentrasi sorbitol 7%.
A3B1 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 2,5% dan konsentrasi sorbitol 0%.
A3B2 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 2,5% dan konsentrasi sorbitol 3%.
A3B3 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 2,5% dan konsentrasi sorbitol 5%.
A3B4 : Konsentrasi semirefinecarrageenan 2,5% dan konsentrasi sorbitol 7%.
Menurut Gasperz (1991), model matematika untuk perlakuan faktorial yang terdiri dari dua faktor dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah sebagai berikut:
Y
ijk = µ +α
i +β
j + (αβ
)ij +
ε
ijkKeterangan:
Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan I dan j (taraf I dari faktor I dan taraf
(33)
ke-µ = Nilai tengah umum (rata-rata sesungguhnya) αi = Pengaruh perlakuan ke-I dari faktor I
βj = Pengaruh perlakuan ke-j dari faktor II
(αβ) = Pengaruh interaksi faktor I ke-I dari faktor II ke-j
ε = Galat percobaan pada perlakuan ke-I pada faktor I dan perlakuan ke-j pada faktor II
i = 1,2,...,p j = 1,2,...,n k = 1,2,...,r
Variabel tetap yaitu:
a. Jenis rumput laut : Eucheuma cottonii
b. Plasticizer : Sorbitol 75%
c. Volume aquades : (100 ml)
d. Lama pemanasan dan pengadukan : (15 menit)
e. Suhu pemanasan : (85º C)
f. Suhu pengeringan : (75º C)
(34)
E. Parameter
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Analisa bahan baku (Tepung semirefinecarrageenan) meliputi: a. Rendemen
b. Kadar air cara pemanasan (AOAC 1970, dalam Sudarmadji, dkk, 2007) c. Kadar abu (AOAC 1970, dalam Sudarmadji, dkk, 2007)
d. Kadar dietary fiber metode NDF (Anton, dkk, 2001)
2. Penelitian tahap II pada pembuatan Edible film dari SemirefineCarrageenan
a. Ketebalan
b. Kadar air cara pemanasan (AOAC 1970, dalam Sudarmadji, dkk, 2007) c. Kekuatan peregangan (tensile strenght) (Annual book of ASTM, 1983) d. Persen perpanjangan (elongasi) (Annual book of ASTM, 1983)
e. Laju transmisi uap air metode manometer (Annual book of ASTM, 1983) f. Uji organoleptik (warna dan tekstur) (Rahayu, 1998)
F. Prosedur Penelitian
Proses pembuatan edible film pada penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pembuatan Tepung SemirefineCarrageenan (SRC)
a. Sortasi
Menghilangkan kotoran-kotoran seperti benang, kayu dan batu yang terdapat pada rumput laut
(35)
b. Pencucian
Dilakukan dengan air bersih yang mengalir hingga lumpur, garam dan kotoran lainnya yang melekat terlepas.
c. Proses perlakuan alkali
Rumput laut direbus dalam larutan KOH 10% dan suhu dipertahankan dibawah 85ºC selama 2 jam. Volume larutan KOH yang digunakan sebagai perebus sebanyak 3-4 kali berat rumput laut keringnya. Selama perebusan rumput laut diaduk-aduk sehingga pemanasannya merata.
d. Penyaringan
Saring filtrat menggunakan kain saring e. Netralisasi
Rumput laut direndam dan dicuci berulang-ulang sampai air pencucian pH nya netral (pH 7).
f. Pemotongan
Rumput laut dipotong-potong dengan ukuran sepanjang 2-4 cm. g. Pengeringan
Dikeringkan selama 2-3 hari, sehingga diperoleh ATC dalam bentuk chips. h. Penepungan
Produk akhir kemudian digiling dan diayak menjadi tepung SRC yang berukuran 40-60 mesh.
(36)
Rumput laut jenis Euchema cottoni
Sortasi
Pencucian dengan air bersih
Perlakuan alkali
Penyaringan
Netralisasi
Pemotongan 2-4 cm
Pengeringan
Penepungan
Pengayakan 60 mesh
Analisa:
- Rendemen
- Kadar air - Kadar abu - Dietary fiber Tepung SRC
(37)
2. Tahap pembuatan edible film dari tepung semirefinecarrageenan
a. Membuat larutan tepung semirefine carrageenan dengan konsentrasi 1,5%, 2% dan 2,5% (b/v), sorbitol dengan konsentrasi 0%, 3%, 5% dan 7% (b/v total).
b. Suspensi tepung semirefine carrageenan dan sorbitol kemudian dilakukan pengadukan sekaligus pemanasan diatas kompor magnet dengan menggunakan magnetic stirrer selama ± 15 menit pada suhu 85 °C.
c. Dilakukan penuangan larutan Edible film ke dalam plat kaca. d. Kemudian dilakukan pengeringan selama 12 jam pada suhu 75° C. e. Dilakukan pendinginan untuk memudahkan pelepasan Edible film.
f. Setelah edible film jadi, dilakukan analisa antara lain: analisa kadar air, ketebalan film, kekuatan peregangan, persen perpanjangan, laju transmisi uap air dan uji organoleptik (warna & tekstur)
(38)
Konsentrasi tepung 1,5%, 2%, 2,5% (b/v)
Aquades 100 ml Tepung SRC
Konsentrasi sorbitol 0%, 3%, 5%,7% (b/v total)
Pendinginan pada suhu kamar Pengeringan pada kabinet dryer suhu 75 °C
selama 5 jam
Penuangan larutan Edible film pada plat kaca Pengadukan dan pemanasan
T : 85ºC, 15 menit Pencampuran
Penambahan sorbitol (b/b tepung)
Analisa
Kadar air
Ketebalan
Kekuatan peregangan
Persen perpanjangan
Laju transmisi uap air
Uji organoleptik (wana& tekstur)
Edible film
Gambar 10. Diagram alir pembuatan edible Film dari tepung SRC
(39)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku pembuatan edible film, yaitu tepung semirefine carrageenan kemudian dilanjutkan dengan analisa produk edible film yang dihasilkan yang terdiri dari analisa fisik, kimiawi dan organoleptik. Analisa dilanjutkan dengan analisa keputusan dan finansial yang didasarkan pada segi ekonomis apabila produk ini digunakan sebagai produk industri.
A. Hasil Analisa Bahan Baku
Tepung semirefine carrageenan yang digunakan dalam pembuatan edible film pada penelitian ini adalah tepung semirefine carrageenan yang tidak lolos pada ayakan 40 mesh. Hasil analisa tepung semirefine carrageenan dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3. Hasil analisa tepung semirefine carrageenan (per 100 gr bahan)
Komponen Kandungan Menurut
Dian (2007) Rendemen
Kadar Air (% bb) Kadar Abu (%bb) Kadar Dietary fiber
45,80 % 8,20 % 17,22 % 6,81 %
37,22% 10,97% 20,08%
-
Rendemen suatu produk sangat penting dihitung untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perlakuan maupun pengolahan terhadap hasil akhir suatu produk. Pada pembuatan tepung SRC ini diperoleh rendemen sebesar 45,80 %, hasil analisa rendemen pada penelitian ini berbeda dengan hasil analisa menurut penelitian Dian (2007). Hal ini disebabkan karena dalam pengolahan SRC
(40)
penyaringan dilakukan dengan menggunakan kain saring yang ukuran mesh nya sangat kecil. Hal ini dimaksudkan agar filtrat yang tersaring semakin banyak sehingga rendemen yang dihasilkan tinggi. Sedangkan pada penelitian Dian (2007), proses pemisahan dilakukan dengan menggunakan alat saring biasa.
Semakin tinggi teknologi proses penyaringan yang digunakan, maka akan semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Dalam industri biasanya penyaringan dilakukan dengan menggunakan filter press. Hal ini dimaksudkan agar filtrat yang tersaring semakin banyak dan tidak tercampur dengan kotoran lainyang dapat mengganggu pembentukan gel. Selain itu jumlah rendemen yang maksimum juga dipengaruhi oleh konsentrasi KOH yang digunakan. KOH mempunyai dua fungsi yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhydro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel (Towle, 1973).
Tepung semirefine carrageenan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film pada penelitian ini mempunyai kadar air sebesar 8,20%, persentase kandungan kadar air tersebut lebih kecil dari hasil penelitian Dian (2007). Namun persentase kadar air yang diperoleh dari kedua penelitian ini telah memenuhi standart yang dikeluarkan oleh FAO yaitu maksimal sebesar 12%. Basmal, dkk (2003), menjelaskan bahwa kation K+ yang berasal dari KOH mampu mengikat gugus sulfat yang mempunyai sifat hidrofilik sehingga polimer tidak banyak menyerap air dan proses pengeringan bahan menjadi lebih cepat.
(41)
kadar abu yang terkandung dalam tepung semirefine carrageenan merupakan bagian dari kandungan mineral yang berasal dari rumput laut. Kadar abu ini menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar dan menjadi zat yang tidak dapat menguap selama pengabuan, contohnya seperti sulfat. Kadar abu yang baik berkisar antara 15-40%. Banyaknya mineral pada Eucheuma cottonii yang merupakan bahan dasar dari tepung SRC ini antara lain yaitu: chlor, kalium, natrium, magnesium, belerang, silicon, fosfor, kalsium, besi, dan iod (Winarno, 1990).
Komposisi kimia dietary fiber atau serat makanan bervariasi tergantung dari komposisi dinding sel tanaman penghasilnya. Pada dasarnya komponen komponen penyususn dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, gum, mucilage yang kesemuanya ini termasuk ke dalam serat makanan (Tensiska, 2008).
Kadar serat larut hasil penelitian sebesar 6,81%. Menurut Winarno (1990), komposisi utama dari rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat, akan tetapi karena kandungan karbohidrat sebagian besar terdiri dari senyawa gumi yakni polimer polisakarida yang berbentuk serat , maka hanya sebagian kecil saja dari kandungan karbohidrat tersebut yang dapat diserap dalam pencernaan manusia.
(42)
B. Hasil Analisa Edible Film 1. Kadar Air
Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol tidak terdapat interaksi yang nyata terhadap kadar air edible film dari tepung semirefine carrageenan. Namun masing-masing perlakuan (konsentrasi tepung dan konsentrasi sorbitol) berpengaruh nyata terhadap kadar air edible film.
Hasil rata-rata kadar air pada edible film dari tepung semirefine carrageenan dengan perlakuan konsentrasi tepung dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata kadar air edible film berdasarkan perlakuan konsentrasi tepung semirefine carrageenan.
Perlakuan
Konsentrasi Tepung SRC (%)
Rata-rata Kadar Air (%)
Notasi DMRT 5%
1,5 2 2,5
5,316 6,675 7,144
a a b
- 1,666 1,742
Keterangan: Nilai rata-rata dengan notasi yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p≤0,05).
Tabel 3 menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi tepung SRC akan meningkatkan kadar air edible film secara nyata. Hal ini disebabkan karena molekul tepung semirefine carrageenan bersifat hidrofilik. Menurut Towle (1973), air merupakan pelarut utama bagi carrageenan dan
semirefine carrageenan. Kelompok yang mempunyai sifat hidrofilik yaitu ester-sulfat dan unit galaktopironosa. Dengan adanya air, akan terjadi penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga
(43)
Hasil rata-rata kadar air pada edible film dari tepung semirefine carrageenan dengan perlakuan konsentrasi sorbitol dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rata-rata kadar air edible film berdasarkan perlakuan konsentrasi sorbitol.
Perlakuan Konsentrasi Sorbitol
(%)
Rata-rata Kadar Air
(%)
Notasi DMRT 5%
0 3 5 7
5,021 5,552 7,054 7,886
a a ab
b
- 1,666 1,742 1,791 Keterangan: Nilai rata-rata dengan notasi yang berbeda menyatakan
adanya perbedaan yang nyata (p≤0,05).
Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar air edible film dari tepung semirefine carrageenan akan semakin meningkat seiring dengan tingginya konsentrasi sorbitol. Hal ini disebabkan karena kadungan kadar air pada bahan baku awal memang sudah tinggi. Menurut Fennema (1996), sorbitol bersifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas air, dapat berfungsi sebagai humektan dan menurunkan Aw suatu bahan.
2. Ketebalan
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol terdapat interaksi yang nyata (p≤0,05) terhadap ketebalan edible film. Demikian juga masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap ketebalan edible film
dari tepung semirefine carrageenan. Hasil rata-rata ketebalan edible film semirefine carrageenan dapat dilihat pada Tabel 5.
(44)
Tabel 5. Nilai rerata ketebalan edible film dari tepung semirefine carrageenan
dengan perlakuan konsentrasi tepung dan konsentrasi sorbitol.
Perlakuan Tepung SRC (%) Sorbitol (%) Rerata Ketebalan (mm) Notasi DMRT 5% 1,5 1,5 1,5 1,5 2 2 2 2 2,5 2,5 2,5 2,5 0 3 5 7 0 3 5 7 0 3 5 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ,006 ,016 ,043 ,052 ,019 ,038 ,053 ,075 ,026 ,044 ,056 ,07 9
a b d e bc d e f c de e f - 0,00725 0,00803 0,00815 0,00758 0,00793 0,00817 0,00821 0,00779 0,00810 0,00819 0,00822
Keterangan: Nilai rata-rata dengan notasi yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p≤0,05).
Berdasarkan Tabel 5. terlihat bahwa ketebalan edible film dari semirefine carrageenan tertinggi yaitu 0,079 mm didapatkan pada perlakuan konsentrasi tepung 2,5% dan konsentrasi sorbitol 7% sedangkan ketebalan terendah yaitu 0,006 mm diperoleh dari perlakuan konsentrasi tepung 1,5% dan konsentrasi sorbitol 0%.
Adapun grafik hubungan antara konsentrasi tepung dan konsentrasi sorbitol terhadap ketebalan edible film dari semirefine carrageenan ditunjukkan pada Gambar 11.
(45)
y = 1,0907x - 0,0021 R2 = 0,9105
y = 0,786x + 0,0168 R2 = 0,982
y = 0,7336x + 0,0237 R2 = 0,971
0,00 0,02 0,04 0,06 0,08 0,10
0% 1% 2% 3% 4% 5% 6% 7%
Penambahan Sorbitol (%)
K
e
te
ba
la
n (m
m
)
1,5% semirefine carrageenan 2% semirefine carrageenan 2,5% semirefine carrageenan
Gambar 11. Hubungan antara konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol terhadap ketebalan edible film tepung semirefine carrageenan.
Gambar 11. menunjukkan semakin tinggi konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol maka ketebalan edible film semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena SRC merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible. Kemampuan pembentukan gel pada SRC karena mengandung gugus 3,6-anhidrogalaktosa. Proses pemanasan akan mengakibatkan polimer SRC dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat (Thomas 1992).
Menurut Guilbert dan Biquet (1990), sorbitol stabil pada panas tinggi sehingga mampu menunjang pembentukan polimer matriks film, dan dengan
(46)
semakin banyak polimer penyusun edible film yang terlarut, maka akan meningkatkan ketebalan edible film tersebut.
3. Kekuatan Peregangan (Tensile strenght)
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 5), menunjukan bahwa antara perlakuan konsentrasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol terdapat interaksi yang nyata (p≤0.05) dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p≤0.05) terhadap kekuatan peregangan edible film dari semirefine carrrageenan. Nilai rata-rata kekuatan peregangan edible film dari semirefine carrageenan ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai rerata kekuatan peregangan edible film dari semirefine carrageenan dengan perlakuan konsentrasi tepung dan konsentrasi sorbitol. Perlakuan Tepung SRC (%) Sorbitol (%) Rerata Kekuatan Peregangan (N)
Notasi DMRT
5% 1,5 1,5 1,5 1,5 2 2 2 2 2,5 2,5 2,5 2,5 0 3 5 7 0 3 5 7 0 3 5 7 1,195 2,581 4,193 6,279 3,323 3,870 4,884 5,671 4,284 6,109 6,568 7,395 a ab bc c b b bc c bc c c d - 1,465 1,603 1.656 1,532 1.575 1,637 1,646 1,622 1,651 1,660 1,660 Keterangan: Nilai rata-rata dengan notasi yang berbeda menyatakan adanya
perbedaan yang nyata (p≤0,05).
Berdasarkan Tabel 6. terlihat bahwa kekuatan peregangan edible film dari
semirefine carrageenan tertinggi yaitu 7,395 N didapatkan pada perlakuan konsentrasi tepung 2,5% dan konsentrasi sorbitol 7% sedangkan kekuatan
(47)
1,5% dan konsentrasi sorbitol 0%. Kekuatan peregangan merupakan tekanan regangan maksimum yang dapat diterima film hingga putus.
Grafik hubungan antara konsentrasi tepung dan konsentrasi sorbitol terhadap kekuatan peregangan edible film dari semirefine carrageenan
ditunjukkan pada Gambar 12.
y = 80,303x + 1,0006 R2 = 0,9057
y = 34,288x + 3,1512 R2 = 0,9573
y = 43,353x + 4,4633 R2 = 0,9681
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00
0% 1% 2% 3% 4% 5% 6% 7%
Penambahan Sorbitol (%)
K e k ua ta n pe re ga nga n ( N )
1,5% semirefine carrageenan 2% semirefine carrageenan 2,5% semirefine carrageenan
Gambar 12. Hubungan antara konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol terhadap kekuatan peregangan edible film.
Gambar 12. menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung
semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol maka kekuatan peregangan
edible film dari SRC akan meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan sorbitol maka dapat membentuk matrik gel tiga dimensi yang kuat dan elastis yang dapat meningkatkan kekuatan peregangan film yang dihasilkan. Semakin banyak molekul dalam larutan, maka matriks film yang dibentuk semakin banyak, selain itu sorbitol juga mampu merangsang terbentuknya film
yang lebih kompak dan padat sehingga edible film yang dihasilkan semakin kuat (Thomas 1992).
(48)
Hal ini sesuai dengan pernyataan Cowd (1991), komposisi bahan dasar pada edible film yang berasal dari hidrokoloid akan menentukan tingkat kekuatan gel yang dihasilkan, dengan adanya penambahan plastisizer juga dapat mengurangi kerapuhan ikatan-ikatan yang membentuk polimer film karena
plastisizer dapat mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler, sehingga dapat menaikkan kekuatan fisik film yang dihasilkan
Kekuatan peregangan merupakan kemampuan edible film untuk menahan suatu beban gaya dari luar yang diberikan terhadap edible film. Bila nilai kekuatan peregangan tinggi menunjukkan bahwa edible film tersebut mempunyai kecenderungan sulit patah (Gontard, 1993).
Nilai kekuatan peregangan menurut Krochta & Johnston (1997), berkisar antara 10-100 N. Edible film dengan kekuatan peregangan tinggi, akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis dengan baik. Dalam penelitian ini kekuatan peregangan masih tergolong jelek dibandingkan dengan standar yang ada.
4. Persen Perpanjangan (Elongasi)
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6), menunjukan bahwa antara perlakuan konsentrasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol terdapat interaksi yang nyata (p≤0.05) dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p≤0.05) terhadap persen perpanjangan edible film dari semirefine carrrageenan. Nilai rata-rata persen perpanjangan edible film dari semirefine carrageenan ditunjukkan pada Tabel 7.
(49)
Tabel 7. Nilai rerata persen perpanjangan edibe film dari semirefine carrageenan dengan perlakuan konsentrasi tepung dan konsentrasi sorbitol. Perlakuan Tepung SRC (%) Sorbitol (%) Rerata Persen
Perpanjangan (%) Notasi DMRT 5%
1,5 1,5 1,5 1,5 2 2 2 2 2,5 2,5 2,5 2,5 0 3 5 7 0 3 5 7 0 3 5 7 11 14 28 43 13 25 35 51 18 23 36 64 ,997 ,828 ,746 ,613 ,694 ,146 ,495 ,381 ,631 ,637 ,771 ,413 a a c e a b cd f d bc b ab - 6,588 7,079 7,138 6,301 6,895 7,099 7,140 7,120 7,038 6,977 6,772
Keterangan: Nilai rata-rata dengan notasi yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p≤0,05).
Berdasarkan Tabel 7. terlihat bahwa persen perpanjangan edible film dari
semirefine carrageenan tertinggi yaitu 64,413% didapatkan pada perlakuan konsentrasi tepung 2% dan konsentrasi sorbitol 7% sedangkan persen perpanjangan terendah yaitu 11,997% diperoleh dari perlakuan konsentrasi tepung 1,5% dan konsentrasi sorbitol 0%. Persen perpanjangan merupakan perubahan panjang maksimum yang dialami edible film pada saat mulai sobek (Krochta, 1992)
Grafik hubungan antara konsentrasi tepung dan konsentrasi sorbitol terhadap persen perpanjangan edible film dari semirefine carrageenan ditunjukkan pada Gambar 13.
(50)
y = 454,45x + 7,7542 R2 = 0,8729
y = 527,66x + 11,64 R2 = 0,9689
y = 626,96x + 12,352 R2 = 0,833
10 16 22 28 34 40 46 52 58 64
0% 1% 2% 3% 4% 5% 6% 7%
Penambahan Sorbitol (%)
P er sen P er p an jan g an ( % )
1,5% semirefine carrageenan 2 % semirefine carrageenan 2,5% semirefine carrageenan
Gambar 13. Hubungan antara konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol terhadap persen perpanjangan edible film .
Gambar 13. menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung
semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol maka nilai persen perpanjangan
edible film dari SRC semakin meningkat. Hal ini disebabkan konsentrasi SRC dan sorbitol mampu membentuk struktur double heliks. Sorbitol larut dalam tiap-tiap rantai polimer dan mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler sehingga mempermudah gerakan molekul polimer yang dapat meningkatkan elastisitas film yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan Gontard et al. (1993), adanya gugus polar (-OH) pada rantai pemlastis akan menghasilkan ikatan polimer-pemlastis menggantikan interaksi polimer-polimer dalam biopolimer film, dimana gugus polar dapat mengabsorpsi dan mengikat air. Ukuran molekul, susunan dan jumlah gugus hidroksil dari pemlastis dan juga kesesuaian pemlastis dengan biopolimer dapat berpengaruh terhadap interaksi flesibilitas film.
(51)
Gennadios (2002), menjelaskan bahwa persen perpanjangan adalah kemampuan perpanjangan film saat diberikan gaya tarik. Semakin tinggi persen perpanjangan edible film maka edible film tersebut mempunyai fleksibilitas yang baik karena mampu melakukan perpanjangan secara maksimum. Persen perpanjangan edible film akan semakin besar nilai dan kemampuannya dengan adanya penambahan plasticizer pada konsentrasi yang sesuai.
Penggunaan plasticizer dapat bersumber pada monosakarida, disakarida dan oligosakarida, yang berfungsi untuk menurunkan gaya intermolekul dalam mengatasi kerapuhan serta meningkatkan elastisitas (Banker,1996).
Persentase perpanjangan edible film dikatakan baik jika nilainya lebih dari 50% dan dikatakan jelek jika nilainya kurang dari 10% (Krochta dan Johnston, 1997 dalam Suryaningrum, 2005). Hasil penelitian pembuatan edible film dari tepung SRC ini menunjukkan rerata nilai persen perpanjangan masih berada diatas 10%, sehingga dapat dikatakan tidak jelek.
5. Laju Transmisi Uap Air
Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukan bahwa perlakuan konsentrasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol terdapat interaksi yang nyata (p≤0,05) terhadap laju transmisi uap air edible film dari SRC. Perlakuan konsentrasi tepung berpengaruh nyata terhadap laju transmisi uap air
edible film, begitu juga dengan perlakuan konsentrasi sorbitol berpengaruh nyata terhadap laju transmisi uap air edible. Nilai rata-rata laju transmisi uap air edible film dari tepung semirefine carrageenan ditunjukkan pada Tabel 8.
(52)
Tabel 8. Nilai rata-rata laju transmisi uap air edible film dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol.
Perlakuan Tepung SRC (%) Sorbitol (%) Rata-rata Laju Transmisi Uap Air
(gr/jam) Notasi DMRT 5% 1,5 1,5 1,5 1,5 2 2 2 2 2,5 2,5 2,5 2,5 0 3 5 7 0 3 5 7 0 3 5 7 0,19 0,18 0,16 0,14 0,16 0,15 0,15 0,13 0,14 0,13 0,12 0,11 3 5 3 4 7 6 0 9 8 2 2 5 cd ef g g bc d e f a a b cd 0,0080 0,0082 0,0083 0,0083 0,0079 0,0082 0,0082 0,0083 - 0,0073 0,0077 0,0081 Keterangan: Nilai rerata yang didampingi huruf yang berbeda
menunjukkan beda nyata (p≤0,05) untuk tiap perlakuan.
Dari Tabel 8. dapat diketahui bahwa nilai laju transmisi uap air edible film
dari SCR berkisar antara 0,115 gr/jam – 0,193 gr/jam. Nilai laju transmisi uap air terendah yaitu 0,115 gr/jam didapatkan dari perlakuan konsentrasi tepung 2,5% dan konsentrasi sorbitol 7%, sedangkan perlakuan konsentrasi tepung 1,5% dan konsentrasi sorbitol 0% memberikan nilai laju transmisi uap air yang tertinggi yaitu sebesar 0,193 gr/jam .
Adapun grafik hubungan antara konsentrasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol terhadap laju tranmisi uap air edible film dari SRC ditunjukkan pada Gambar 14.
(53)
y = -0,4486x + 0,1468 R2 = 0,8972
y = -0,5981x + 0,1724 R2 = 0,957
y = -0,8738x + 0,191 R2 = 0,9835
0,10 0,11 0,12 0,13 0,14 0,15 0,16 0,17 0,18 0,19 0,20
0% 1% 2% 3% 4% 5% 6% 7%
Penambahan Sorbitol (%)
T ra n s m is i U a p A ir ( g r/ja m )
1,5% semirefine carrageenan 2% semirefine carrageenan 2,5% semirefine carrageenan
Gambar 14. Hubungan antara konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol terhadap laju transmisi uap air edible film dari SRC.
Gambar 14. menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung
semirefine carrageenan dan semakin tinggi konsentrasi sorbitol maka nilai laju transmisi uap air edible film dari SRC semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin rendah konsentrasi tepung SRC maka lapisan yang terbentuk pada edible film lebih tipis, sehingga mengakibatkan pori-pori film tidak begitu rapat dan daya menghambat transmisi uap airnya semakin kecil.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Gennadios (2002), bahwa kemampuan
edible film dalam menahan laju transmisi uap air sangat erat kaitannya dengan ketebalan edible film. Makin tebal edible film maka kemampuannya sebagai barrier transmisi uap air juga semakin baik, karena peningkatan jumlah matriks film akan memperkecil rongga antar sel dari gel yang terbentuk.
Selain itu transmisi uap air pada film hidrofilik juga tergantung pada difusitas dan kelarutan molekul air dalam matriks film. Bertambahnya ruang antar
(54)
rantai menyebabkan masuknya molekul sorbitol antara rantai polimer dan meningkatnya difusitas transmisi uap air melalui film sehingga mempercepat transmisi uap air. (Gontard&Guilbert, 1994).
6. Uji Skoring Warna
Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting dari suatu bahan pangan. Kesukaan konsumen terhadap suatu bahan pangan juga sangat ditentukan oleh warna. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrsasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol berpengaruh nyata terhadap skor warna edible film yang dihasilkan. Nilai rata-rata skor warna edible film dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai rata-rata uji skoring warna pada edible film dengan Konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol
Perlakuan
Tepung (%) Sorbitol (%)
Rata-rata Skor 1,5 2 2,5 0 3 5 7 0 3 5 7 0 3 5 7 3,90 4,30 4,00 3,00 4,45 3,60 3,85 4,20 3,25 4,10 4,15 3,40
Pada Tabel 9. menunjukkan bahwa rata-rata skor warna edible film antara 3,00 - 4,45. Nilai rata-rata skor tertinggi terdapat pada edible film dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC 2% dan konsentrasi sorbitol 0% yaitu sebesar
(55)
pada edible film dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC 1% dan konsentrasi sorbitol 7% yaitu sebesar 3,00 dengan warna film yang dihasilkan agak keruh. Menurut Poppe (1999), warna dari edible film tergantung dari bahan baku, proses yang digunakan dan lamanya pengeringan. Standart mutu warna edible film adalah tidak berwarna. Hal ini berarti edible film dengan warna putih jernih dapat memenuhi standart mutu edible film.
7. Uji Skoring Tekstur
Tekstur dari suatu bahan pangan (khususnya edible film) merupakan salah satu parameter yang penting. Kesukaan konsumen terhadap suatu bahan pangan juga sangat ditentukan oleh tekstur dari bahan pangan tersebut. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tepung SRC dan sorbitol berpengaruh nyata terhadap skor tekstur edible film yang dihasilkan. Nilai rata-rata skor tekstur edible film dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC dan sorbitol dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai rata-rata uji skoring tekstur pada edible film dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC dan sorbitol.
Perlakuan
Tepung (%) Sorbitol (%)
Rata-rata Skor 1,5 2 2,5 0 3 5 7 0 3 5 7 0 3 5 7 3,35 4,20 4,70 3,80 3,85 3,95 3,75 4,65 3,45 4,55 4,05 4,00 Keterangan : Semakin tinggi skor, maka tekstur semakin baik
(56)
Pada Tabel 10. menunjukkan bahwa rata-rata skor tekstur edible film
berkisar antara 3,35 - 4,70. Nilai rata-rata skor tertinggi terdapat pada edible film
dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC 1,5% dan konsentrasi sorbitol 5% yaitu sebesar 4,70 sedangkan nilai rata-rata skor terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi tepung SRC 1,5% dan konsentrasi sorbitol 0% yaitu sebesar 3,35.
Semakin sedikit konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol, edible film yang dihasilkan mempunyai tekstur yang rapuh dan mudah sobek. Tekstur yang jelek pada edible film ini dapat disebabkan karena jumlah padatan terlarut yang lebih sedikit dan konsentrasi plastisizer yang relatif sedikit, sehingga dapat menggangu permeabilitas atau daya elastisitas pada edible film yang dihasilkan.
C. Analisis Keputusan
Analisa keputusan untuk penelitian edible film dari tepung SRC yang terbaik didasarkan hasil uji fisik, kimia dan organoleptik yang meliputi kadar air, Transmisi uap air, transmisi oksigen, Aw, ketebalan, kekuatan, warna serta tekstur. Nilai keseluruhan dari berbagai analisa pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11.
(57)
Tabel 11. Hasil analisis keseluruhan pada produk edible film
Perlakuan Tepung
SRC (%)
Sorbitol (%)
Kadar air (%)
Ketebalan (mm)
Kekuatan peregangan
(N)
Persen perpanjangan
(%)
Laju transmisi uap air (gr/jam)
Rata-rata skor warna
Rata-rata skor tekstur
0 3,780 0,006 1,195 11,997 0,193 3,90 3,35
3 4,064 0,016 2,581 14,828 0,185 4,30 4,20
5 5,927 0,043 5,993 28,746 0,163 4,00 4,70
1,5
7 7,494 0,062 6,279 43,613 0,144 3,00 3,80
0 5,745 0,019 3,323 13,694 0,167 4,45 3,85
3 6,010 0,038 3,870 25,146 0,156 3,60 3,95
5 7,134 0,053 4,884 35,495 0,150 3,85 3,75
2
7 7,810 0,075 5,671 51,381 0,139 4,20 4,65
0 5,537 0,026 4,284 18,631 0,148 3,25 3,45
3 6,582 0,044 6,109 23,637 0,132 4,10 4,55
5 8,103 0,056 6,568 36,771 0,122 4,15 4,05
2,5
(58)
Untuk keperluan industri, sifat-sifat fisik, kimia antara lain seperti ketebalan, kekuatan peregangan, dan transmisi uap air menjadi pertimbangan dalam menentukan kelayakan penggunaan produk edible film (Labuza, 1982).
Analisa keputusan untuk penelitian edible film dari tepung semirefine carrageenan yang terbaik didasarkan hasil uji fisik, kimia dan organoleptik yang meliputi kadar air, ketebalan, kekuatan peregangan, persen perpanjangan, laju transmisi uap air, warna serta tekstur.
Produk edible film dengan perlakuan tepung SRC 2,5% dan sorbitol 7% sebagai produk terbaik karena memberikan hasil transmisi uap air, dan kekuatan peregangan standar serta warna dan tekstur yang baik. Alternatif ini selanjutnya akan dilanjutkan dengan analisis finansial. Hasil analisa produk edible film dengan perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil analisis produk edible film dengan konsentrasi tepung SRC 2,5% dan sorbitol 7%
Parameter Hasil Analisa
Kadar air 8,35%
Ketebalan 0,079 mm
Kekuatan peregangan 7,39 N
Persen perpanjangan 64,41 %
Laju transmisi uap air 0,115 gr/jam
Warna 3,40 Tekstur 4,00
D. Analisis Finansial
Perhitungan analisa finansial dilakukan untuk edible film tepung
semirefine carrageenan dengan perlakuan terbaik yaitu dari konsentrasi tepung SRC 2,5% dan sorbitol 7% yang diperoleh berdasarkan pertimbangan analisis
(59)
1. Keputusan Produksi
Kapasitas produksi yang direncanakan tiap tahun memerlukan bahan baku tepung SRC 7.331 kg, dan menghasilkan 312.000 lbr edible film/tahun. Produksi satu tahun dilakukan selama 312 hari kerja.
2. Biaya Produksi
Biaya produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan suatu usaha. Biaya produksi terdiri dari biaya tetap dan biaya langsung (biaya tidak tetap). Biaya tetap adalah biaya-biaya yang dalam jangka waktu tertentu tidak berubah mengikuti perubahan tingkat produksi. Biaya tetap bersifat konstan pada relevan range tertentu. Sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah sejalan dengan tingkat produksi yang dihasilkan. Total biaya produksi = Biaya tetap + Biaya tidak tetap
= Rp. 27.678.400,12 + Rp. 196.571.430 = Rp. 224.249.830
3. Harga Pokok Produksi
Berdasarkan kapasitas produksi tiap tahun dan biaya produksi tiap tahun, maka dapat diketahui harga pokok produk tiap kemasan.
Harga pokok tiap kemasan = Total biaya produksi / Kapasitas produksi
= Rp. 600 lbr
4. Harga Jual Produksi
Harga jual produksi dihitung berdasarkan harga pokok produksi, keuntungan yang ingin dicapai ditambah pajak. Keuntungan yang ingin dicapai
(60)
sebesar 30% dari harga pokok dan pajak sebesar 10% dari harga pokok ditambah laba. Harga jual = Harga pokok + Laba + pajak
= Rp. 850,-/lbr
5. Break Event Point (BEP)
Analisa break event point adalah suatu teknik untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya tidak tetap, keuntungan dan volume kegiatan. Volume penjualan dimana penghasilannya tetap sama besarnya dengan biaya totalnya, sehingga perusahan tidak mendapat keuntungan dan kerugian dinamakan ”Break Event Point”. Biaya yang termasuk biaya tidak langsung pada umumnya adalah biaya bahan mentah, upah buruh dan kondisi penjualan. Sedangkan yang termasuk biaya-biaya tetap adalah depresiasi aktifitas tetap, sewa bangunan, bunga hutang, gaji pegawai, gaji pemimpin, gaji staff dan biaya kantor. Berdasarkan perhitungan yaitu:
Biaya titik impas = Rp. 65.900.952,67 Persen titik impas = 21,19 %
kapasitas titik impas = 84.760 unit
6. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai investasi saat sekarang dengan nilai penerimaan bersih dimasa yang akan datang. Dari perhitungan dapat diketahui keadaan suatu perusahaan apakah layak untuk dilaksanakan (NPV>0) atau tidak layak untuk dilaksanakan (NPV<0). Berdasarkan perhitungan NPV
(61)
7. Payback Periode (PP)
Payback periode atau pengembalian modal didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan modal yang ditanam dalam investasi melalui keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai Payback Periode sebesar 3,4 tahun.
8. Gross Benefit Cost ratio
Gross B/C merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan harga yang telah dirupiahkan sekarang. Proyek akan dipilih apabila Gross B/C > 1 bila proyek mempunyai Gross B/C < 1 maka tidak dipilh. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai Gross B/C sebesar 1,1247 hal ini berarti proyek ini dapat diterima.
9. Internal Rate of Return (IRR)
IRR merupakan tingkat suku bunga yang menunjukkan persamaan antara penerimaan bersih sekarang dengan investasi awal dari suatu proyek yang dikerjakan, pada tingkatan suku bunga ini nilai NPV sama dengan nol. Proyek dapat diterima apabila nilai IRR sebesar suku bunga sekarang. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai IRR sebesar 22,46 %. Nilai ini lebih besar dari suku bunga bank sebesar 20%, berarti proyek ini dapat diterima.
(62)
(63)
A. Kesimpulan
Terdapat interaksi nyata antara perlakuan konsentrasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol terhadap ketebalan, kekuatan peregangan, persen perpanjangan, dan laju transmisi uap air.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi tepung semirefine carrageenan 2% dan konsentrasi sorbitol 7% adalah perlakuan terbaik, dengan kadar air 7,81%, ketebalan 0,075 mm, kekuatan peregangan 5,67 N, persen perpanjangan 51,38%, laju transmisi uap air 0,139 gr/jam dan berdasarkan penilaian organoleptik memberikan tingkat skoring terhadap warna sebesar 4,20 dan tekstur 4,65. Hasil analisa finansial diperoleh nilai BEP dicapai pada Rp. 49.140.643, 59 sebesar 24,57%, dan 110.00 unit/tahun.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat mengetahui daya simpan, sehingga produk yang akan dihasilkan dapat lebih tahan lama.
(64)
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpilan sebagai berikut :
1. Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan konsentrasi tepung SRC dan konsentrasi sorbitol terhadap ketebalan, kekuatan peregangan, persen perpanjangan, dan laju transmisi uap air edible film.
2. hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik konsentrasi tepung SRC 2% b/v dan konsentrasi sorbitol 7% b/b yang menghasilkan edible film dengan kadar air 7,81 %, ketebalan 0,075 mm, kekuatan peregangan 5,671 N, persen perpanjangan 51,38% dan laju transmisi uap air 0,139 gr/jam.
3. hasil analisis finansial menyimpulkan bahwa perusahaan edible film SRC dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC 2% b/v dan konsentrasi sorbitol 7% b/b layak diproduksi karena net B/C lebih besar yaitu 1,031 dan NPV lebih besar dari nol yaitu Rp. 20.527.473 IRR sebesar 22,47% lebih besar dari tingkat suku bunga bank. Dalam proyek ini pertahunnya mendapat nilai keuntungan bersih sebesar Rp.63.750.169,88 dengan nilai BEP Rp70.970.256,72 atau 22,42% dengan kapasitas titik impas 8.968.000 unit/tahun. Perusahaan ini melakukan pengembalian modal dalam jangka
(65)
(1)
58
sebesar 30% dari harga pokok dan pajak sebesar 10% dari harga pokok ditambah laba. Harga jual = Harga pokok + Laba + pajak
= Rp. 850,-/lbr
5. Break Event Point (BEP)
Analisa break event point adalah suatu teknik untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya tidak tetap, keuntungan dan volume kegiatan. Volume penjualan dimana penghasilannya tetap sama besarnya dengan biaya totalnya, sehingga perusahan tidak mendapat keuntungan dan kerugian dinamakan ”Break Event Point”. Biaya yang termasuk biaya tidak langsung pada umumnya adalah biaya bahan mentah, upah buruh dan kondisi penjualan. Sedangkan yang termasuk biaya-biaya tetap adalah depresiasi aktifitas tetap, sewa bangunan, bunga hutang, gaji pegawai, gaji pemimpin, gaji staff dan biaya kantor. Berdasarkan perhitungan yaitu:
Biaya titik impas = Rp. 65.900.952,67 Persen titik impas = 21,19 %
kapasitas titik impas = 84.760 unit
6. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai investasi saat sekarang dengan nilai penerimaan bersih dimasa yang akan datang. Dari perhitungan dapat diketahui keadaan suatu perusahaan apakah layak untuk dilaksanakan (NPV>0) atau tidak layak untuk dilaksanakan (NPV<0). Berdasarkan perhitungan NPV pada produksi Edible film SRC adalah sebesar Rp. 74.358.273
(2)
59
7. Payback Periode (PP)
Payback periode atau pengembalian modal didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan modal yang ditanam dalam investasi melalui keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai Payback Periode sebesar 3,4 tahun.
8. Gross Benefit Cost ratio
Gross B/C merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan harga yang telah dirupiahkan sekarang. Proyek akan dipilih apabila Gross B/C > 1 bila proyek mempunyai Gross B/C < 1 maka tidak dipilh. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai Gross B/C sebesar 1,1247 hal ini berarti proyek ini dapat diterima.
9. Internal Rate of Return (IRR)
IRR merupakan tingkat suku bunga yang menunjukkan persamaan antara penerimaan bersih sekarang dengan investasi awal dari suatu proyek yang dikerjakan, pada tingkatan suku bunga ini nilai NPV sama dengan nol. Proyek dapat diterima apabila nilai IRR sebesar suku bunga sekarang. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai IRR sebesar 22,46 %. Nilai ini lebih besar dari suku bunga bank sebesar 20%, berarti proyek ini dapat diterima.
(3)
(4)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Terdapat interaksi nyata antara perlakuan konsentrasi tepung semirefine carrageenan dan konsentrasi sorbitol terhadap ketebalan, kekuatan peregangan, persen perpanjangan, dan laju transmisi uap air.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi tepung semirefine carrageenan 2% dan konsentrasi sorbitol 7% adalah perlakuan terbaik, dengan kadar air 7,81%, ketebalan 0,075 mm, kekuatan peregangan 5,67 N, persen perpanjangan 51,38%, laju transmisi uap air 0,139 gr/jam dan berdasarkan penilaian organoleptik memberikan tingkat skoring terhadap warna sebesar 4,20 dan tekstur 4,65. Hasil analisa finansial diperoleh nilai BEP dicapai pada Rp. 49.140.643, 59 sebesar 24,57%, dan 110.00 unit/tahun.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat mengetahui daya simpan, sehingga produk yang akan dihasilkan dapat lebih tahan lama.
(5)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpilan sebagai berikut :
1. Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan konsentrasi tepung SRC
dan konsentrasi sorbitol terhadap ketebalan, kekuatan peregangan, persen perpanjangan, dan laju transmisi uap air edible film.
2. hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik konsentrasi tepung SRC 2% b/v dan konsentrasi sorbitol 7% b/b yang menghasilkan edible film dengan kadar air 7,81 %, ketebalan 0,075 mm, kekuatan peregangan 5,671 N, persen perpanjangan 51,38% dan laju transmisi uap air 0,139 gr/jam.
3. hasil analisis finansial menyimpulkan bahwa perusahaan edible film SRC dengan perlakuan konsentrasi tepung SRC 2% b/v dan konsentrasi sorbitol 7% b/b layak diproduksi karena net B/C lebih besar yaitu 1,031 dan NPV lebih besar dari nol yaitu Rp. 20.527.473 IRR sebesar 22,47% lebih besar dari tingkat suku bunga bank. Dalam proyek ini pertahunnya mendapat nilai keuntungan bersih sebesar Rp.63.750.169,88 dengan nilai BEP Rp70.970.256,72 atau 22,42% dengan kapasitas titik impas 8.968.000 unit/tahun. Perusahaan ini melakukan pengembalian modal dalam jangka waktu sekitar 4,4 tahun.
(6)
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat mengetahui daya simpan edible film, sehingga produk yang akan dihasilkan dapat lebih tahan lama.