Penelitian Tahun 2013

(1)

PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN

“ANNURIYYAH” KALIWINING KECAMATAN

RAMBIPUJI KABUPATEN JEMBER

Oleh:

Dr. Hj. St. Rodliyah, M.Pd

NIP. 19680911 199903 2 001

PENELITIAN INI DIBIAYAI DARI DIPA STAIN JEMBER TAHUN ANGGARAN 2013

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

JEMBER


(2)

(3)

(4)

ii

Pendidikan Karakter (Studi Kasus di Pondok

Pesantren “Annuriyyah” Kaliwining,

Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember). b. Bidang Ilmu : Manajemen Pendidikan

c. Kategori Penelitian : Field Research (Studi Lapangan) 2. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Dr. Hj. St. Rodliyah, M.Pd b. Jenis Kelamain : Perempuan

c. Pangkat/Gol/NIP : Pembina Tk I /IV.b/ 19680911 199903 2 001 d. Jabatan Sekarang : Lektor Kepala

e. Jurusan : Tarbiyah

f. Program Studi : PAI

g. PTAI : STAIN Jember

3. 4.

Jumlah Tim Peneliti Lokasi Penelitian

: 1 (satu) Orang : Kabupaten Jember 5. Kerjasama dengan

Instansi lain

:

-5. Lama Penelitian : 3 (tiga) bulan

6. Biaya Yang Diperlukan : Rp. 8.000.000,- ( delapan juta rupiah). a. Sumber dana dari : DIPA STAIN JEMBER

Jember , 29 Nopember 2013 Mengetahui,

Kepala P3M Peneliti

Moch. Chotib, M.M

NIP. 19710727 200212 1 003

Dr. Hj. St. Rodliyah, M.Pd NIP. 19680911 199903 2 001 Menyetujui

Ketua STAIN Jember

Prof. Dr. H. Babun Suharto, SE, M.M NIP. 19660322 199303 1 002


(5)

iii

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat, tauhid dan hidayah-Nya, sehingga penulisan hasil laporan penelitian yang berjudul “Manajemen Pondok Pesantren Berbasis Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren “Annuriyyah” Kiliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam secara selektif bertujuan untuk menjadikan para santrinya sebagai manusia yang mandiri yang diharapkan dapat menjadi pemimpin umat dalam menuju keridhaan Allah SWT. Oleh karena itu pesantren bertugas untuk mencetak manusia yang benar-benar ahli dalam bidang agama dan ilmu pengethuan serta berakhlak mulia. Pondok pesantren juga berfungsi sebagai agen implementasi pendidikan karakter secara efektif, terbukti di pondok pesantren tidak hanya diajarkan tentang nilai-nilai agama saja, melainkan juga diajarkan tentang nilai etika, nilai moral, nilai estetika dan nilai seni yang membawa santri menjadi manusia yang berkepribadian sempurna. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi STAIN agar mempertimbangkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang tentunya memiliki ikatan moral dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain baik yang di bawahnya maupun yang sederajat untuk menjalin kerjasama atau saling memberikan masukan demi kebaikan dan kemajuan lembaga pendidikan Islam.

Terselesainya laporan penelitian ini tidak terlepas adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ketua STAIN Jember Bapak Dr. H. Babun Suharto, SE., MM., beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kepercayaan kepada kami atas pelaksanaan penelitian ini.

2. Bapak KH. Moch. Nuru Sholeh selaku pengasuh pondok pesantren

“Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember, yang telah berkenan memberi izin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian di


(6)

iv

4. Para ustadz dan ustadzah, para pengurus, para santri, dan seluruh warga pondok pesantren “Annuriyyah” yang telah berkenan memberikan data-data yang kami butuhkan.

5. Semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu.

Atas segala bantuan dan fasilitasnya, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan kami berdo’a mudah-mudahan amal baiknya diterima oleh Allah SWT. Amien.

Jember, 29 Nopember 2013


(7)

v

Pondok pesantren paling tidak memiliki tiga peran utama yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga dakwah dan lembaga pengembangan masyarakat. Kyai sebagai pengasuh pondok pesantren berperan sangat penting dalam meningkatkan mutu santri yang ada di pondok pesantren dengan berbekal manajemen, akan tercapai visi yang diharapkan oleh pengasuh. Pondok pesantren merupakan tempat yang paling efektif untuk implementasi pendidikan karakter, karena proses pembelajaran di pondok pesantren berjalan selama 24 jam, para santri selalu dalam pengawasan pengasuh, dan para ustadz dengan aturan dan tata tertib yang telah ditetapkan. Selain itu para santri dibudayakan dan dikondisikan dengan lingkungan yang positif yang kegiatannya selalu bermanfaat untuk pengembangan potensi diri dan kepribadian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap lebih mendalam tentang manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter. Fokus penelitian ini meliputi 4 hal : (1) perencanaan (planing)pondok pesantren berbasis pendidikan karakter, (2) pengorganisasian(organizing)pondok pesantren berbasis pendidikan karakter, (3) pelaksanaan (actuating) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter, dan (4) pengawasan (controling)pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Analisis data menggunakan diskriptif kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dinalisis dengan menggunakan tiga langkah yaitu organisasi data dan reduksi data, penyajian data, dan verifkasi atau penarikan kesimpulan. Sedangkan pengecekan keabsahan data menggunakan (1) kredibilitas data dilakukan dengan teknik triangulasi (sumber dan metode), pengecekan anggota, dan diskusi teman sejawat, dan (2) konfirmabilitas, digunakan untuk melihat tingkat konfirmabilitas antara temuan yang diperoleh dengan data pendukungnya.

Adapun hasil dari penelitian manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupatan Jember ini adalah (1) Perencanaan manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter yang dilakukan pimpinan pondok pesantren “Annuriyyah” cenderung lebih terbuka terhadap semua elemen terbukti dalam setiap pengambilan keputusan untuk sebuah perencanaan baik


(8)

vi

“Annuriyyah” adalah dengan cara memberikan kewenangan sturktural yang independen pada setiap lembaga untuk mengorganisir lembaga masing-masing mulai dari aktivitas murni pondok pesantren, pembelajaran madrasah diniyah, sampai pembelajaran MTs dan MA, (3) pelaksanaan (actuating) manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter yang dilakukan pengasuh pondok pesantren “Annuriyyah” adalah dengan cara melaksanakan semuan program kegiatan yang telah direncanakan bersama, baik itu aktivitas keseharian pondok pesantren mulai dari bangun tidur sampai menjelang tidur kembali, aktivitas madrasah diniyah, aktivitas MTs dan MA, dan (4) pengawasan (controling) manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter yang dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren “Annuriyyah” ini terdapat dalam 2 bentuk yaitu (1) bentuk pengawasan langsung dengan cara pimpinan selalu memantau langsung pelaksanaan aktivitas keseharian para santri, (2) bentuk penerapan kegiatan rapat bulanan, rapat 6 bulanan (satu semester) sekali, dan rapat ketika ada masalah yang mendesak untuk secepatnya diselesaikan.

Berdasarkan hasil temuan penelitian yang tersebut pada kesimpulan, maka peneliti memberikan masukan dan saran-saran sebagai berikut : (1) bagi pengasuh/pimpinan pondok pesantren “Annuriyyah” hendaknya terus meningkatkan manajemen pondok pesantren dengan upaya-upaya baik yang sifatnya pemenuhan fasilitas (sarana prasarana), peningkatan kualitas santri, pengembangan dan kemajuan pondok pesantren di masa yang akan datang, (2) bagi jajaran pengurus hendaknya lebih meningkatkan kinerja dalam membimbing santri untuk selalu melaksanakan aktivitas pondok pesantren demi perjuangan yang mulia dan menambah program aktivitas yang mampu mewujudkan pendidikan karakter santri, (3) bagi ustadz dan ustadzah hendaknya lebih meningkatkan kualitas santri dan kualitas diri sendiri serta kedisiplinan diri baik dalam memberikan pelajaran maupun dalam menambah pengetahuan sebagai bekal untuk mendidik santri dengan cara mengikuti workshop, seminar, pelatihan serta melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, dan (4) bagi santri hendaknya selalu mengikuti peratutan/tata tertib dan mengikuti semua aktivitas yang ada di pondok pesantren dengan penuh kedisiplinan, kesabaran dan keikhlasan.


(9)

vii

2.1 Nilai-Nilai Pendidikan Karakter 32

2.2 Unsur-Unsur Karakter Inti 34

2.3 Esensi Nilai Karakter 36

4.1 Keadaan Ustadz dan Ustadzah Pondok Pesantren

“Annuriyyah”

51

4.2 Kurikulum Madrasah Diniyah Pondok Pesantren

“Annuriyyah”

52

4.3 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Pondok Pesantren

“Annuriyyahh”


(10)

(11)

vii

GAMBAR URAIAN HALAMAN


(12)

(13)

x

HALAMAN JUDUL . ... i

LEMBAR PENGESAHAN ...………... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR ISI...………...... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…...... 1

B. Fokus Penelitian………...... 3

C. Tujuan Penelitian ...………....... 4

D. Manfaat Penelitian …..... 5

E. Sistematika pembahasan ... 6

BAB II : KAJIAN TEORITIS A. Tinjauan Tentang Manajemen Pondok Pesantren a. Konsep Manajemen... 7

1. Pengetian Manajemen ... 7

2. Fungsi Manajemen ... 8

b. Konsep Pondok Pesantren ... 13

1. Pengertian Pondok Pesantren ... 13

2. Pengertian Manajemen Pondok Pesantren... 15

3. Tujuan dan Orientasi Pendidikan Pesantren ... 15

4. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren... 20

B. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter ... 24


(14)

xi BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Rancangan ... 39

B. Pendekatan Penelitian ... 39

C. Lokasi Penelitian ... 40

D. Subyek penelitian ... 40

E. Data dan Sumber Data ... 41

F. Teknik Pengumpulan data ... 42

G. Analisa Data ... 43

H. Pengecekan Keabsahan Data ... 45

I. Tahap-Tahap penelitian ... 46

BAB IV : LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Obyek Penelitian ... 48

B. Penyajian Data dan Analisis Data... 55

C. Pembahasan Temuan Penelitian ... 72

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 86

B. Saran-Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA………... 90 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(15)

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam Indonesia yang keberadaannya sudah dikenal sejak abad 19 dan telah mengakar kuat di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Pondok pesantren termasuk pendidikan khas Indonesia yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta telah teruji kemandiriannya sejak berdirinya sampai sekarang (Badri dan Munawiroh, 2007: 3).

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam secara selektif bertujuan menjadikan para santrinya sebagai manusia yang mandiri yang diharapkan dapat menjadi pemimpin umat dalam menuju keridhaan Allah SWT. Oleh karena itu pesantren bertugas untuk mencetak manusia yang benar-benar ahli dalam bidang agama dan ilmu pengethuan serta berakhlak mulia.

Untuk mencapai tujuan tersebut lembaga pesantren menerapkan manajemen berbasis pendidikan karakter dalam arti penegelolaan lembaga pondok pesantren memberdayakan dan melibatkan semua elemen yang ada di pesantren untuk ikut bertanggung jawab dalam keberhasilan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan. Aktornya tidak hanya Kyai dan para ustadz, melainkan semua orang dewasa yang ada di lembaga pesantren, terutama Kyai dan Ibu Nyai yang harus di dengarkan dawuhnya dan nasehatnya serta ditaati perintahnya.

Pondok pesantren juga berfungsi sebagai agen implementasi pendidikan karakter secara efektif, terbukti di pondok pesantren tidak hanya diajarkan tentang nilai-nilai agama saja, melainkan juga diajarkan tentang nilai etika, nilai moral, nilai estetika dan nilai seni yang membawa santri menjadi manusia yang berkepribadian sempurna. Lickona (1992) menekankan tiga komponen dalam pendidikan karakter yaitu (1) moral knowingatau pengetahuan tentang moral, (2) moral feeling atau perasaan tentang moral, dan (3) moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar santri mampu memahami, merasakan, dan


(17)

mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Tiga nilai tersebut yang selalu diajarkan dan ditekankan kepada para santri di pondok pesantren.

Selanjutnya Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya pendidikan karakter, diantaranya: (1) banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) peran pesantren sebagai lembaga pendidikan agama semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orang tua, masyarakat, dan lembaga pendidikan sekolah, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan diri, untuk dan oleh masyarakat, (6) tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Pesantren mengajarkan pendidikan bebas nilai. Pesantren mengajarkan nilai-nilai melalui desain ataupun tanpa desain, (7) komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi ustadz atau guru yang baik, dan (8) pendidikan karakter yang efektif membuat pesantren lebih beradap, peduli kepada masyarakat, dan mengacu kepada performansi lembaga pesantren yang maju dan berkembang serta bisa memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat.

Mengembangkan kebiasaan dan perilaku terpuji bagi peserta didik, akan menghasilkan out put yang berbobot. Tidak hanya pandai secara kognitif, tetapi cerdas secara afektif. Kacung Marijan sepakat, maslah-masalah besar yang terjadi di negeri ini tidak lepas dari masalah karakter. Karena itu dunia pendidikan harus mampu menjadi motor penggerak untuk memberikan pendidikan karakter terhadap peserta didik.

Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Karena pendidikan karakter menurut Elkin dan Sweet (2004) adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami,


(18)

peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/moral. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa. Keberadaan pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Rambipuji

Jember, telah dipercaya masyarakat untuk membawa putra-putrinya menjadi manusia yang sempurna, karena pondok pesantren ini tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi mendidik santri menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa (imtaq) kepada Alloh SWT. Imtaq inilah yang sekarang lagi gencar disebut sebagai pendidikan karakter, kata gus Ubaid putra dari Bapak Kyai Moch. Nurus Sholeh pengasuh pondok “Annuriyyah” Kaliwining

Rambipuji Jember. Untuk pembinaan imtaq semua santri wajib sholat lima waktu berjamaah, wajib mentaati semua tata tertib pondok pesantren, mentaati dan menghormati guru/ustadz, dan bangun malam sekitar jam 03.00 untuk melakukan sholat tahajud dan berdzikir kemudian diteruskan sholat shubuh berjamaah dan mengaji Al-Quran (wawancara, senin, 20 Agustus 2013).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji secara mendalam tentang pendidikan karakter di pondok pesantren sebagai wujud tanggungjawab dari orang tua dan sosok intelektual akademis.

Untuk itu dianggap perlu dilakukannya penelitian dengan judul ”Manajemen Pondok Peantren Berbasis Pendidikan Karakter” (Studi Kasus di Pondok

Pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember).

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan sebuah fokus penelitian tentang manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Rambipuji Jember. Kemudian fokus penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :

1. Bagaimana perencanaan (planing) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember ?


(19)

2. Bagaimana pengorganisasian (organizing) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining

Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember ?

3. Bagaimana pelaksanaan (actuating) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” KaliwiningKecamatan Rambipuji Kabupaten Jember ?

4. Bagaimana pengawasan (controling) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya hal yang diperoleh setelah penelitian selesai (Arikunto, 2002: 53). Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining

Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember. Kemudian tujuan rincinya untuk mendeskrepsikan:

1. Perencanaan (planing) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” KaliwiningKecamatan Rambipuji Kabupaten Jember.

2. Pengorganisasian (organizing) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter

di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember.

3. Pelaksanaan (actuating) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di

pondok pesantren “Annuriyyah” KaliwiningKecamatan Rambipuji Kabupaten Jember.

4. Pengawasan (controling) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di

pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember.


(20)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Secara Teoritis:

Menambah khazanah wawasan keilmuan tentang manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter serta implementasinya dalam dunia pendidikan Islam.

2. Secara Praktis: a. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian serta wawasan dalam mengaplikasikan disiplin ilmu yang dimiliki yang berhubungan dengan masalah manajemen khususnya manajemen pondok pesantren.

b. Bagi Lembaga pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi lembaga khususnya pengasuh dan para ustadz dan santri agar mereka menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter dan pendidikan agama bagi santri. Karena dengan pondasi pendidikan karakter dan pendidikan agama yang kuat, anak akan mampu menjadi pemimpin masa depan bangsa dan agama yang penuh dengan tanggung jawab, amanah, jujur dan bijaksana.

c. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan bagi masyarakat untuk bisa memilihkan lembaga pendidikan yang terbaik bagi putra-putrinya. Agar nantinya mereka menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berkepribadian baik serta bisa berguna bagi agama, nusa dan bangsa.

E. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan merupakan gambaran singkat tentang penelitian yang dikemukakan secara beraturan dari bab per bab dengan sistematis, dengan tujuan agar pembaca dapat dengan mudah mengetahui gambaran isi penelitian


(21)

secara global. Adapun penelitian ini terdiri dari lima bab, secara garis besarnya adalah sebagai berikut :

Bab satu pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang masalah, fakus masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab dua kerangka teoritik, yang berisi tentang (1) tinjauan tentang manajemen pondok pesantren meliputi : (a) konsep manajemen meliputi pengertian manajemen dan fungsi manajemen, dan (b) konsep pondok pesantren meliputi pengertian pondok pesantren, tujuan dan orientasi pendidikan pesantren, dan sistem pendidikan pesantren, dan (2) pendidikan karakter meliputi (a) pengertian pendidikan karakter, (b) tujuan dan fungsi pendidikan karakter, (c) langkah-langkah pembentukan pendidikan karakter, dan (d) macam-macam nilai dalam pendidikan karakter.

Bab tiga metodologi penelitian, menguraikan tentang jenis penelitian dan rancangan penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, analisa data, pengecekan keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian.

Bab empat laporan hasil penelitian yang menguraikan tentang penyajian data yang (meliputi data umum latar belakang obyek, dan data khusus yang berkaitan dengan fokus penelitian, kemudian analisa data, dan makna penelitian.

Bab lima kesimpulan dan saran, pada bagian akhir disajikan kesimpulan dari hasil penelitian dan kemudian diberikan saran-saran untuk perbaikan manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Manajemen Pondok Pesantren a. Konsep Manajemen

1. Pengertian Manajemen

Manulang (1981) mengartikan manajemen sebagai seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengendalian terhadap sumber daya manusia dan non manusia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Stoner (1978) mendefinikan manajemen sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengendalian terhadap usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber-sumber organisasi lainnya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Dale (1973) dengan mengutip beberapa pendapat, mengemukakan bahwa manajemen adalah mengelola orang-orang, pengambilan keputusan, dan proses mengorganisasi dan memakai sumber-sumber untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam pendidikan, manjemen itu dapat diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Aktivitas yang dimaksud terdiri dari perncanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian secara sistematis. Adapun sumber yang diperlukan meliputi tenaga manusia, biaya, sarana prasarana, dan waktu yang tersedia.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian manajemen adalah suatu proses kegiatan yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia dan sumber daya non manusia penting lainnya.


(23)

b. Fungsi Manajemen

Keberhasilan suatu lembaga pendidikan perlu didukung dengan manajemen yang baik. Burhanuddin (2002:6) mengemukakan bahwa

“manajemen memiliki kedudukan strategis dalam memberikan dukungan

penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam program peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Manajemen bekerja dalam proses pendayagunaan segenap sumber daya yang tersedia di sekolah seoptimal mungkin demi terselenggaranya program-program pendidikan secara efektif dan efisien.

Manajemen dilihat dari fungsinya berarti usaha pencapaian tujuan dengan melakukan serangkaian kegiatan yang berupa perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian. Sedangkan menurut Buford dan Bedein (1988: 5) mengatakan bahwa ada lima fungsi manajemen dasar yaitu: (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) penyusunan staf dan pengelolaan sumber daya manusia, (4) pengarahan dan

pemberian pengaruh, (5) pengendalian”. Adapun menurut Robbins (1989)

menyebutkan manajemen itu memiliki 4 fungsi yakni (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) kepemimpinan, dan (4) pengendalian.

Dari beberapa fungsi manajemen sebagaimana dikemukakan di atas dapat dirumuskan bahwa fungsi dasar manajemen adalah (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pengarahan, dan (4) pengendalian. Kepemimpinan, pemberian pengaruh atau motivasi dapat dimasukkan ke dalam fungsi pengarahan. Sedangkan penyusunan staf dan pengelolaan sumber daya manusia dapat dimasukkan ke dalam fungsi pengorganisasian. 1) Perencanaan(Planing)

Perencanaan merupakan proses untuk menentukan tujun yang akan dicapai serta langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai tujuan.

Handayaningngrat (1988) menyatakan bahwa “fungsi perencanaan meliputi

serangkaian keputusan yang berupa menentukan tujuan, kebijakan, membuat program, menentukan metode yang akan dipakai dan prosedur

serta menyusun jadwal pelaksanaan”. Koonzi dan O’Donnell (1972)


(24)

berhubungan dengan memilih tujuan kebijakan, prosedur-prosedur, program-program dan alternatif-alternatif yang ada.

Sedangkan Robbin (1988) mngemukakan perencanaan itu dpat dikelompokkan berdasarkan luas jangkauannya perencanaan meliputi perencanaan strategik dan operasional. Apabila menurut kerangka waktunya meliputi jangka pendek dan jangka panjang, dan apabila berdasarkan sifatnya terdaapat perencanaan spesifik dan direksional.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, berkenaan dengan bagaimana kemampuan mengelola perencanaan seluruh aktivitas kegiatan pondok pesantren berbasis pendidikan karakter, maka perencanaan mengandung pokok-pokok sebagai berikut.

(a) Perencanaan selalu berorientasi masa depan maksudnya perencanaan berusaha memprediksi bentuk dan sifat masa depan santri yang diinginkan berdasarkan situasi dan kondisi masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang.

(b) Perencanaan merupakan sesuatu yang sengaja dilahirkan dan bukan kebetulan, sehingga hasil dari pemikiran yang matang dan cerdas bersumber dari hasil eksplorasi terhadap penyelenggaraan pendidikan keterampilan sebelumnya.

(c) Perencanaan memerlukan tindakan dari orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan pondok pesantren.

(d) Perencanaan harus bermakna, dalam arti bahwa usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan diselenggarakan pendidikan pondok pesantren.

Uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut (1) bahwa keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan sangat ditentukan oleh baik buruknya perencanaan, (2) perencanaan harus dapat memandang atau meramalkan kegiatan-kegiatan dimana yang akan datang secara obyektif, (3) perencanaan harus diarahkan kepada tercapainya suatu tujuan, sehingga bila terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kemungkinan besar penyebabnya adalah kurang sempurnanya perencanaan, dan (4)


(25)

perencanaan harus memikirkan anggaran, kebijakan, prosedur, metode, dan kriteria-kriteria untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2) Pengorganisasian(Organizing)

Pengorganisasian adalah suatu proses untuk menentukan, mengelompokkan dan pengaturan secara bersama dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan, menentukan orang-orang yang akan melakukan aktivitas atau kegiatan, menyediakan alat yang akan digunakan dalam melaksanakan aktivitas tersebut (Hasibuan, 1990). Sedangkan Juliatriasa

(1988) menyatakan bahwa “pengorganisasian adalah suatu usaha yang

ditempatkan agar suatu kelompok manusia yang bekerjasama dalam

mencapai tujuan dapat berhasil dengan baik sesuai dengan tujuan semula”. Kemudian Winardi (1990) menerangkan bahwa “pengorganisasian adalah

suatu proses dimana suatu pekerjaan yang ada dibagi atas komponen-komponen hasil-hasil yang diperoleh untu mencapai tujuan.

Menurut Heidjrachman (1990) pengorganisasian adalah kegiatan untuk mencapai tujuan sekelompok orang, dilakukan dengan membagi-bagi tugas, tanggungjawab, dan wewenang diantara mereka, penetapan deprtemen-departemen serta menentukan hubungan-hubungan.

Adapun langkah-langkah manajemen dalam membentuk kegiatan kegiatan pada proses pengorgnisasian meliputi: (1) sasaran, manajer harus mengetahui tujuan organisasi, yang ingin dicapai, (2) menentukan kegiatan-kegiatan, (3) mengelompokkan kegiatan-kegiatan, (4) pendelegasian wewenang, (5) perincian peranan perorangan, (6) tipe organisasi, dan (7) bagan organisasi.

Dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat diambil kesimpulan pengorganisasian adalag suatu usaha menstrukturkan atau menetapkan kerjasama diatara orang-orng dalam kelompok, yang meliputi, menetapkan tugas, wewenang, tanggungjawab serta hubungan masing-masing.

3) Pelaksanaan(Actuating)

Siagian (1981) menyatakan penggerakan/pelaksanaan adalah keseluruhan proses dalam memberikan dorongan untuk bekerja kepada


(26)

para bawahan sehingga mereka mau bekerja secara ikhlas dalam rangka mencapai tujuan organisasi sesuai dengan rencana. Dalam melaksanakan fungsi penggerakan ini, maka peranan pemimpin sangat penting karena penggerakan lebih banyak berhubungan dengan manusia sebagi subyek kegiatan, sehingga betapapun modern peralatan yang digunakan jika tanpa dukungan manusia tidk akan mempunyai arti apa-apa. Sementara manusia sendiri adalah makhluk hidup yang mempunyai harga diri, perasaan, tujuan dan karakter yang berbeda-beda. Dengan demikian maka pimpinan harus memahami faktor-faktor manusia dan perilaku manusia. Berbagai teori yang membahas human behavior menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya merasa memiliki tanggungjawab, potensi mau bekerja dan mau dipimpin. Dari konsep ini maka Elton Mayo dengan teori Human Science yang dikutip oleh hasibuan (1986) menyimpulkan bahwa: (1) maslah manusia hanya dapat diselesaikan secara manusiawi, (2) Morle (semangat kerja) lebih besar peranan dan pengaruhnya terhadap produktivitas para kerja. Morale adalah suatu keadaan yang berhubungan erat dengn kondisi mental, (3) perlakuan yang wajar/baik terhadap para pekerja lebih besar pengaruhnya terhadap produktivitas dari pada upah yang besar, seklipun upah juga merupakan hal yang penting.

Terry (1988) mengemukakan actuating adalah usaha menggerakkan anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha mencapai sasaran perusahaan yang bersangkutan dan sasaran anggota perusahaan tersebut karenna para anggota itu ingin mencapai sasaran tersebut. Penekanan definisi tersebut tepat digunakan untuk menggerakkan bawahan dalam memberikan bimbingan, instruksi, nasehat, koreksi jika diperlukan an memberikan insentif atau perangsang atas jasa-jasanya dalam perusahaan.

Berkaitan dengan pelaksanaan program kegiatan dalam pondok pesantren, maka kewajiban pengasuh pondok pesntren untuk memberikan pengarahan dan motivasi dengan pendekatan manusiawi agar tujuan organisasi yang sudah direncanakan dapat dicapai dengan baik. Untu itu


(27)

faktor kepemimpinan pengasuh pondok pesantren mempunyai peranan sentral dalam meningkatkan semangat personel pondok pesantren.

4) Pengawasan(Controling)

Pengawasan sering juga disebut dengan pengendalian yaitu proses pengukuran kinerja, membandingkan antara hasil sesungguhnya dengan rencana serta mengambil tindakan pembetulan yang diperlukan. Salah satu fungsi pengendalian adalah mengadakan koreksi sehingga apa yang sedang dilakukan dapat diarahkan dengan benar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses pengendalian terdiri atas tiga langkah universal yaitu (1) mengukur perbuatan, (2) membandingkan perbuatan, (3) memperbaiki penyimpangan dengan tindakan pembetulan. Dengan demikian maka pengendalian melakukan kegiatan erat sekali dengan fungsi perencanaan, pengorganisasian, dan penggerkan. Pengendalian sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu rencana. Koontz (1984) menyatakan

“pengendalian adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan bawahan, agar rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan dapat

tercapai”. Tujuan pengendalian adalah agar proses pelaksanaan dilakukan

sesuai dengan ketentuan rencana dan melakukan sesuai dengan ketentuan rencana dan melakukan perbaikan jika terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya, sehingga tujuan yang dicapai sesuai dengan perencanaannya.

Seorang manajer dapat melakukan pengendalian dengan, jika mengetahui proses pengendalian. Hasibuan (1990) menyatakan dengan baik, jika mengetahui proses pengendalian. Hasibuan (1990) menyatakan bahwa proses pengendalian dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) menentukan standar-standar atau dasar untuk melakukan kontrol, (2) mengukur pelakasanaan kerja, dan (3) melakukan tindakan-tindakan perbaikan jika terjadi penyimpangan (deviasi) agar pelaksanaan dan tujuan sesuai dengan rencana.

Berkaitan dengan pengawasan pondok pesantren dapat dilakukan sejak penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan, aktivitas orang-orang


(28)

yang terlibat dalam pengelolaan pondok pesantren serta berbagai upaya menggerakkannya, sehingga tujuan yang ingin dicapi dapat berhasil dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Kemampuan pengasuh pondok pesantren dalam pengendalian ini adalah untuk proses pengukuran kinerja, memperbaiki penyimpngan dengan tindakan pembetulan. Sehingga diperlukan kemampuan pengasuh pondok pesantren. Bagaimana kemampuan pengasuh pondok pesantren dalam merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakkan karena hal ini berkaitan erat dengan kegiatan pengendalian/evaluasi terhadap setiap program yang telah ditetapkan.

Pengawasan di pondok pesantren berfungsi sebagai supervisi dan evaluasi yang erat kaitannya dengan perencanaan masa yang akan datang, sesuai dengan pencapaian yang diperoleh sebelumnya. Hal-hal yang diasumsikan sebagai penghambat harus segera ditanggulangi, diminimalisir atau dihilangkan. Sedangkan hal-hal yang progresif untuk pengembangan pondok pesantren dipertahankan dan bahkan ditingkatkan dibisa mungkin.

2. Konsep Pondok Pesantren

a. Pengertian Pondok Pesantren

Pesantren secara terminologi dimaknai sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajara tersebut diimplementasikan dengan cara non klasikal. Di mana seorang kyai mengajar santri berdasarkan

kitab-kitab yang berbahasa arab dari ulama’-ulama’ besar sejak abad

pertengahan, sedangkan para santri tinggal dalam asrama pesantren. Kehadiran pesantren di tengah-tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan saja, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Dengan sifat yang lentur sejak awal kehadirannya, pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri serta memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. (Malik MTT: 2008).


(29)

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu: 1994).

Pondok pesantren merupakan pendidikan khas Indonesia yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta telah teruji kemandiriannya sejak berdirinya samapi sekarang (Badri dan Munawiroh: 2007). Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dipimpin dan dikelola langsung oleh kyai yang memiliki visi dan penentu arah kebijakan dalam melaksanakan proses pembelajaran dan pencapaian yang hendak dihasilkan proses pembelajaran dan pencapaian yang hendak dihasilkan oleh santri-santri sebagai peserta didik.

Pondok pesantren merupakan sebuah sisten pendidikan Islam yang unik dan khas Indonesia. Ia memiliki karakteristik tersendiri dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan sebagai trainning center yang otomatis menjadi cultural cneter Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri tidak dapat diabaikan (Jamaluddin dan Abdullah: 1999).

Pondok pesantren, sebagaimana disebutkan dalam UU RI. Nomor 20 Tahun 2003 merupakan bagian dari pendidikan agama. Karena itu wewenang pokok dalam pengembangan dan pembinaan pondok pesantren berada pada Departemen Agama. Sementara itu pemerintah daerah bertugas mendukung atas terselenggaranya pendidikan keagamaan dalam rangka pemantapan sistem pendidikan nasional (Wahid dan Nur Hidayat: 2001).

Untuk itu pondok pesantren adalah merupakan sebuah institusi pendidikan yang melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia sejak seratus tahun yang lalu sehingga Ki hajar Dewantara


(30)

pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan nasional. Menurutnya ini merupakan hasil kreasi budaya bangsa yang tak ternilai harganya yang patut dipertahankan dan dikembangkan. 2. Pengertian Manajemen Pondok Pesantren

Manajemen adalah suatu proses kegiatan yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia dan sumber daya non i.manusia penting lainnya.

Sedangkan pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen pondok pesantren adalah suatu proses kegiatan yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan yang dilakukan di lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

3. Tujuan dan Orientasi Pendidikan Pesantren 1) Tujuan Pesantren

Secara umum tujuan pendidikan di pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim dalam arti kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT., berakhlak mulia, menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian nabi Muhammad SAW., mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat, mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan


(31)

kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju oleh pondok pesantren adalah kepribadian muslim (Mansur, 2004:35-36).

Pendidikan pesantren sebagai sebuah media pembelajaran bagi kondisi bangsa Indonesia yang semakin kehilangan moralitasnya sebagai bangsa berbudaya dan berakhlak dalam banyak sorortan media massa mengungkapan krisisi moral yang ditimbulkan oleh para pelajar diakibatkan gagalnya proses pendidikan yang diemban oleh lembaga-lembaga pendidikan umum. Minimnya pengetahuan tentang agama menjadi salah satu faktor dari memicunya aksi-aksi kekerasan, brutalitas, kenakalan remaja, penjbretan yang dilakukan pelajar dan sebagainya.

Pesantren merupakan penggodokan kader-kader ulama yang mampu menjadi media transformasi dalam mengatasi problematika sosial, membentuk insan yang bertaqwa dan beriman kepada Allah SWT. Peran ulama menjadi sangat strategis dalam ikut serta mengusung cita-cita pendidikan nasional yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yaitu terciptanya manusia seutuhnya. Dalam konteks Al-Hayatu Al-Islamiyah (kehidupan Islam), para ulama berusaha keras berijtihad untuk memecahkan segenap problem kehidupan masyarakat yang terus berkembang (Yusanto: 1998).

Menurut Mastuhu, ada 8 prinsip yang berlaku pada pendidikan di pesantren. Kedelapan prinsip itu menggambarkan kira-kira 8 ciri utama tujuan pendidikan pesantren, antara lain: (1) Memiliki kebijakan menurut ajaran Islam

(2) Memiliki kebebasan yang terpimpin (3) Berkemampuan mengatur diri sendiri (4) Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi (5) Menghormati orang tua dan guru (6) Cinta kepada ilmu


(32)

(8) Kesederhanaan (Tafsir: 2010).

Pondok pesantren memiliki keduduka dan peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia mendatang. Sejarah menunjukkan banyaknya tokoh nasional bahkan internasional yang lahir dari lingkungan pesantren. Hal ini membuktikan bahwa pesantren mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, memiliki pengetahuan luas, berpikir maju, wawasan kebangsaan, yang dibingkai oleh iman dn taqwa kepada Allah SWT.

Tujuan pendidikan pesantren diharapkan mempunyai dua paradigma yang menjadi tolok ukur keberhasilan dari pondok pesantren itu sendiri. Pertama, tujuan pesantren menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT., berakhlak mulia, mandiri, dan menegakkan Islam. Kedua, ikut serta mencerdaskan bangsa, memiliki keterampilan dan berkembang di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

2) Orientasi Pendidikan Pesantren Masa Depan

Selama dua dasawarsa kebelakang pendidikan pesantren hanya menghasilkan jumlah santri yang menjadi ulama. Sementara itu juga kebutuhan akan profesionalitas dalam bidang ilmu pengetahuan akan profesionalitas dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum ada. Kebutuhan dunia pasar menjadi faktor penting dalam meningkatkan kemajuan pendidikan pesantren sehingga orientasi pondok pesantren tidak tidak hanya memproduksi ulama, tapi juga menciptakan tenaga-tenaga yang terampil, profesional dan mempunyai keterampilan khusus dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Disitulah akhirnya pendidikan pesantren dapat dilihat sebagai salah satu jenis pendidikan yang lebih berorientasi pada


(33)

ketinggian moralitas agama dari pada moralitas yang lain. Tujuan dan orientasi seperti itu timbul dan disebabkan karena landasan utama pendidikan pesantren adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sebenarnya pesan wahyu tidak hanya menyerukan pada pencarian kehidupan ukhrawi, tapi manusia juga diperintahkan mencari kehidupan duniawi. Dari beberapa ayat Al-Qur’an dijelaskan

tentang ilmu-ilmu teknologi dan ilmu pengetahuan.Dari para pemikir dan ilmuan barat banyak sekali terinspirasi melalui ayat-ayat Al-Qur’an dalam menciptakan penemuan baru teori dan

konsep.

Sekalipun begitu seperti yang dikutip Zuly Qodir (2003)

dalam bukunya beliau mengatakan “Pendidikan di pesantren juga

mengembangkan kualitas intelektual, etos kerja disamping kualitas moral yang tinggi dan pengabdian atau dalam istilah Al-Qur’an

Karenanya pendidikan di pesantren selain untuk mencapai ridho Allah juga untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntunan baru dalam aspek kehidupan baru termasuk dalam sistem pendidikan.

Seirama dengan tuntutan perubahan yang terus menggelinding dewasa ini maka salah satu tuntutan yang kemudian memperoleh momentumnya yang tepat ialah ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagai salah satu wujud pemberian peran yang lebih besar kepada daerah untuk mengurus nasib daerahnya sendiri (Hamid dan Hidayat: 2003).


(34)

UU No. 22 Tahun 1999 ini mempengaruhi pada perubahan sistem pemerintahan sentralistik menuju pada sistem desentralistik yang memberikan wewenang penuh pada sistem pemerintah daerah dalam mengambil setiap keb luasijakan. Tingkat prestasi pendidikan di tiap daerah yang menjadaji sorotan masyarakat luas sangat berbeda sekali, sehingga berpengaruh pada penyelenggaraan dan pengelolaan lembaga pendidikan baik dari segi kualitas, kuantitas, sarana dan prasarana maupun dana pendidikan yang nantinya akan mengalami persaingan bebas antar daerah. Akhirnya dana pendidikan yang menjadi tanggungjawab pemerintah dilimpahkan pada pemerintah daerah bahkan masyarakat.

Bagi seorang muslim, seperti yang dikutip Fachry Ali dari

Nurcholis (1992) mengatakan “Modernisasi merupakan suatu

keharusan mutlak, sebab modernisasi dalam pengertian yang sedemikian itu berarti bekerja dan berpikir menurut aturan-aturan hukum alam. Menjadi modern berarti mengembangkan kemampuan berpikir secara ilmiah, bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal”. Pernyataan

demikian tampaknya bukan tanpa dasar beberapa ayat di dalam

Al-Qur’an memberi panduan kehidupan.

Modernisasi pendidikan Islam khususnya pesantren merupakan salah satu keharusan dalam merespon ketertinggalan umat Islam yang diakibatkan oleh teknologisasi di segala bidang. Teknologisasi ini mulai merambah dan merusak keseimbangan ekosistem agama, sosial dan budaya. Maka diperlukan antisipasi terhadap pengaruh-pengarruh negatif teknologisasi yang mengakibatkan rusaknya moral bangsa Indonesia. Pengusungan Islam sebagai rahmatan lil alamain sebagai filter terhadap setiap perubahan-perubahan.

Timbulnya kritik terhadap tradisi ilmu pengetahuan Islam di pesantren tidak hanya disebabkan oleh perubahan wawasan umat


(35)

ditingkat atas, tapi juga munculnya realitas baru dalam masyarakat yang merupakan akibat meluasnya kegiatan pesantren. Pendidikan pesantren mengalami peningkatan. Pada mulanya pesantren tidak mengenal sistem klasikal dan hanya mengajarkan kitab-kitab klasik

“kitab kuning” kini sudah mengenal madrasah (Tebba: 2002).

Perubahan jaman menuntut adanya pembaharuan sistem pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah pola pikir manusia untuk mengikuti kemajuan tersebut. Maka pesantren dituntut untuk bisa menyediakan lembaga pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Namun visi dan misi pesantren tetap untuk mencetak intelektual muslim yang berbudi pekerti luhur harus dikedepankan. Sehingga pesantren yang telah lama menjadi pendidikan tetap eksis karena tidak ditinggalkan masyarakat pengguna jasa pendidikan (Rahman, 2001: 199).

d. Sistem Pendidikan Pesantren

Sistem merupakan seperangkat unsur yang secara teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas untuk melaksanakan suatu maksud tertentu. Dalam hal ini sistem pendidikan pesantren merupakan seperangkat alat yang secara teratur saling berkaitan antara elemen pesantren (asrama, masjid, santri, kitab dan Kyai) dalam melaksanakan pendidikan yang saling bekerjasama membangun common working yang baik demi kemajuan lembaga. Sistem pesantren disini sangat penting menjadi satu kesatuan yang utuh dalam tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan dalam membentuk kepribadian luhur dan berintelektual.

Komponen-komponen pendidikan menjadi sangat penting dalam setiap pengelolaan sebuah institusi yang membentuk satu kesatuan yang utuh dalam mencapai tujuan. Dalam pesantren masa kini otoritas kyai bukan lagi menjadi faktor utama bagi kemajuan


(36)

sebuah lembaga pesantren dan tidak lagi memegang otoritas sebagai pengambil kebijakan dalam menentukan arah tujuan pesantren, tetapi menjadi sebuah tanggung jawab bersama komponen-komponen pendidikan.

Mulai dekade 1970-an telah terjadi perubahan yang cukup besar pada keberadaan pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan. Pesantren sebagai sebuah bentuk sistem tradisional mulai berubah. Pesantren sebelumnya dikenal sebagai bentuk sistem perseolahan (ala Belanda yang dimodifikasi dalam bentuk islamisme) yaitu sistem madrasah (ibtidaiya, tsanawiyah, Aliyah, dan semacamnya bahkan pesantren modern mulai mendirikan perguruan tinggi. Seperti yang disinyalir oleh Mansur (2004) yang mengatakan bahwa “Memang

adanya sistem persekolahan dilingkungan pesantren tidak dengan serta

merta menggusur sistem kelas bandongan yang selama ini dikenal”,

kitab-kitab klasik masih tetap diajarkan oleh pimpinan pesantren. Pengajian kelas bandongan ini biasanya dismapaikan setelah shalat rawatib tetapi karena jumlah komunitas santri dipesantren semakin besar maka penyampaian pengajian kitab bersifat massal dengan tidak meninggalkan model sorogan, dimana santri mengajukan bab-bab tertentu dalam kitab untuk dibaca didepan kyai.

Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal yaitu sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut

diistilahkan dengan “bendungan” sedangkan di Sumatra digunakan

istilah “halaqah” (Hasbullah: 2001).

Selain wetonan dan sorogan sistem pendidikan pesantren juga menggunakan metode pengajaran (1) metode musyawarah (bahtsul

masa’il), (2) metode pengajian pasaran, (3) metode hafalan


(37)

1) Metode Wetonan (halaqah)

Metode yang di dalamnya terdapat seorang Kyai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif dan metode pengajatan kelompok seperti memberikan sebuah konstruksi pemikiran dalam mengembangkan keilmuan yang lebih komprehensip. Dalam metode ini memberikan kebebasan pada para santri untu bertanya, kritikan ataupun tanggapan tentang isi dari materi yang diberikan seorang kyai sehingga kesalahan-kesalahn dalam mengaji sesuatu dapat diminimalisir dengan beberapa pandangan kyai ataupun santri.

2) Metode Sorogan

Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual dan metode ini menekankan pada keaktifan belajar seorang santri dalam pencarian ilmu pengetahuan yang ingin diketahui dengan cara menyajikan kitab-kitab kepada kyai untuk dikaji.

Seperti yang dijelaskan oleh Abdurrahman Masud dalam

Nawawi (2004) “Seorang guru yang demokratis”. Anekdot yang

dikemukakan tentang diskusi dengan muridnya menunjukkan bahwa dia memberi kesempatan kepada muridnya untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda. Tidak seperti pendidikan otoritatif yang teacher center, Nawawi percaya pada potensi aktif dan keikhlasan individual.

3) Metode Musyawarah (Bahtsul Masa’il)

Metode musyawarah merupakan metode pembelajaran yang mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oelh kyai atau ustadz atau mungkin oleh santri senior yang membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan atau


(38)

pendapatnya. Dengan demikian metode ini lebih menitik beratkan pada kemampuan seseorang di dalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kita tertentu. Musyawarah dilakukan juga untuk membahas materi-materi tertentu dari sebuah kitab yang dianggap rumit untuk memahaminya (Rahman: 1992).

4) Metode Pengajian Pasaran

Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kyai yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus selama tenggang waktu tertentu. Umumnya dilakukan pada bulan ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang di kaji. Pengajian pasaran ini dahulu banyak dilakukan di pesantren tua di Jawa, dan dilakukan oleh Kya-Kyai senior dibidangnya. Titik beratnya pada pembecaan bukan pada pemahaman sebagaimana metode bandongan. Kebanyakan pesertanya justru para ustadz atau para kyai yang datang dari tempat-tempat lain yang sengaja datang untuk mengikuti pengajian tersebut. Dengan kata lain pengajian ini lebih banyak untuk mengambil berkah atau ijazah dari kyai-kyai yang dianggap senior (Rahman: 1992).

5) Metode Hafalan (Muhafadhah)

Metode hafalan adalah kegiatan belaajar santri dengan menghafal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan kyai. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam jangka tertentu. Materi pembelajaran dengan metode hafalan umumnya berkenaan dengan Al-qur’an, sharaf dan nahwu. Dalam pembelajaran metode ini seorang santri di beri tugas oleh kyai untuk menghafal suatu bagian tertentu atau keseluruhan dari suatu kitab (Rahman: 1992).


(39)

6) Metode Demontrasi (Praktek Ibadah)

Metode demontrasi adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Dengan mengikuti petunjuk dari para kyai atau ustadz.

B. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter

Menurut kamus besar bahasa Indonesia Poerwodarminto, karakter diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter juga bisa

diartikan sebagai tabi’at yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau disebut kebiasaan. Karakter juga diartikan sebagai watak, yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkahlaku atau kepribadian.

Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkahlaku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Sedangkan menurut Elkind dan Sweet (2004) pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli dan inti atas nilai-nilai etis/susila.

Menurut T. Ramli (2003) dalam http://www.mtsnslawi. sch.id/2011/01/konsep-pendidikan-karakter.html, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya


(40)

masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai-nilai karakter dasar tersebut adalah cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil dan punya integritas. Pendidikan karakter di pondok pesantren harus berpijak kepada nilai-nilai dasar karakter dan nilai-nilai dasar agama Islam, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi ( yang bersifat absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan pondok pesantren itu sendiri).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup ketedanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar


(41)

(cogntion) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur, hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman niali-nilai karakter kepada warga sekolah/pondok pesantren yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di pondok pesantren, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan pondok pesantren itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelalolaan mata pelajaran, manajemen pondok pesantren, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan pondok pesantren, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga pondok pesantren.

Menurut Bannet (1991) sekolah/pondok pesantren mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, karena anak-anak menghabiskan waktu cukup banyak bahkan semua waktunya berada di pondok pesantren, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di pesantren akan mempengaruhi kepribadian anak-anak ketika dewasa kelak. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitif), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Menurut Lickona, tanpa ketiga aspek tersebut, maka pendidikan karakater tidak akan efektif, sejalan apa yang disampaiakan oleh Suyanto (2010) pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional pasal I UU RI, Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan


(42)

potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amana UU Sisdiknas tersebut dimaksudkan agar pendidikan tidak hanya membentuk manusia Indonesia yang cerdas saja, namun juga berkepribadian atau berkarakter yang baik, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

b. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan saat ini merupakan topik yang banyak dibicarakan di kalangan pendidik. Pendidikan karakter diyakini sebagai aspek penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), karena turut menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter masyarakat yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, karena usia dini

merupakan masa “emas” namun “kritis” bagi pembentukan karakter

seseorang. Untuk itu tepat sekali jika pendidikan karakter menjadi program prioritas Kemindiknas tahun 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010): pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Selanjutnya pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

Adapun fungsi dari pendidikan karakter adalah (1) menegembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik, (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa


(43)

yang multikultural, (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

c. Langkah-Langkah Pembentukan Karakter

Pembentukan karakter santri, dapat dilakukan melalui memasukkan konsep karakter pada setiap kegiatan proses pembelajaran.Selain itu juga dilakukan melalui pembuatan slogan-slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkahlaku masyarakat di pondok pesantren. Dan juga dapat dilakukan melalui pemantauan perilaku santri secara kontinu, dan pemantauan ini akan lebih mudah dilakukan apabila santri berada di pondok pesantren.

Memasukkan konsep karakter pada setiap kegiatan proses pembelajaran, biasa dilakukan dengan cara antara lain:

a) Menanamkan nilai kebaikan kepada anak atau santri (knowing the good). Menanamkan konsep diri pada santri setiap akan memasuki pelajaran. Baik itu dalam bentuk janji tentang karakter, maupun pemahaman tentang makna pada karakter yang akan disampaikan. b) Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau

keinginan untuk berbuat baik (desiring the good). Memberikan beberapa contoh i dalam perilaku melalui cerita dengan tokoh-tokoh yang mudah difahami oleh santri.

c) Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik (loving the good). Agar santri mengembangkan karakter yang baik, maka ada penghargaan bagi santri yang membiasakan melakukan kebaikan. Demikian pula bagi santri yang melakukan pelanggaran, supaya diberi hukuman yang mendidik.

d) Melakukan perbuatan baik (acting the good). Karakter yang sudah mulai dibangun melalui konsep diaplikasikan dalam proses pembelajaran selama di pondok pesantren. Selama itu, juga memantau perkembangan santri dalam praktek pembangunan karakter di rumah. Dalam hal ini pengasuh (Kyai) dan para ustadz


(44)

sebagai model. Kyai dan para ustadz akan banyak dilihat oleh santri. Apa yang dilakukan oleh Kyai dan para ustadz akan di anggap benar oleh santri. Untuk itulah, Kyai dan para ustadz harus mampu memberikan contoh yang baik dan positif.

Penanaman nilai-nilai ini, baik nilai relegi, nilai moral, nilai sosial, dan lain-lain ini dilakukan dengan cara pendampingan ustadz. Selain sebagai model perilaku sehari-hari dalam bentuk perilaku yang bisa diteladani, Kyai dan ustadz juga melakukan pemantauan secara berkelanjutan terhadap perkembangan moral santri. Kyai dan ustadz juga bisa membangun komunikasi yang efektif dengan orang tua santri tentang perilaku santri di rumah. Semua itu untuk menyiapkan santri-santri dalam rangka mengokohkan konsep moral pada diri mereka. d. Macam-Macam Nilai Dalam Pendidikan karakter

Menurut Doni Koesoema (2010:208) ada beberapa kriteria nilai yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter yang dilaksanakan di pondok pesantren. Nilai-nilai ini diambil sebagai garis besarnya saja, sifatnya terbuka, masih bisa ditambahkan dengan nilai-nilai yang relevan dengan situasi kelembagaan pendidikan tempat setiap individu bekerja. Nilai-nilai tersebut antara lain:

a) Nilai Keutamaan. Manusia memiliki keutamaan kalau ia menghayati dan melaksanakan tindakan-tindakan yang utama, yang membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain dalam konteks Yunani kuno, misalnya nilai keutamaan ini tampil dalam kekuatan fisik dan moral. Kekuatan fisik di sini berarti ekselensi, kekuatan, keuletan, dan kemurahan hati. Kekuatan moral berarti berani mengambil resiko atas pilihan hidup, konsisten, dan setia.

b) Nilai Keindahan. Pada masa lalu nilai keindahan ini ditafsirkan terutama pada keindahan fisik, berupa hasil karya seni, patung, bangunan, sastra, dan lain-lain. Nilai keindahan dalam tataran yang


(45)

lebih tinggi menyentuh dimensi interioritas manusia itu sendiri yang menjadi penentu kualitas dirinya sebagai manusia.

c) Nilai Kerja. Jika ingin berbuat adil, manusia harus bekerja. Inilah prinsip dasar keutamaan Hesiodian. Penghargaan atas nilai kerja inilah yang menentukan kualitas diri seseorang individu. Menjadi manusia utama adalah menjadi manusia yang bekerja. Untuk itu butuh kesabaran, ketekunan, dan jerih payah. Jika lembaga pendidikan kia tidak menanamkan nilai kerja ini, individu yang terlibat di dalamnya tidak akan dpat mengembangkan karakter dengan baik.

d) Nilai Cinta Tanah Air (patriotisme). Pemahaman dan penghayatan nilai ini banyak bersumber dari gagasan keutamaan yang

diungkapkan oleh Tirteo (1995: 180) “Ideal kepahlawanan homerian

tentang arete telah berubah menjadi cita-cita cinta tanah air, dan sang penyair menyerambahi semangat ini dalam diri seluruh warga negara. Apa yang ingin ia ciptakan adalah sebuah rakyat, sebuah negara yang setiap warganya adalah pahlawan yang setia untuk membela negaranya sampai titik darah yang terakhir.

e) Nilai Demokrasi. Nilai demokrasi ini mewarisi pendidikan karakter ala Atenean. Kebebsab berpikir dan menyampaikan pendapat. Nilai ini merupakan harga mati bagi sebuah masyarakat yang demokratis. f) Nilai Kesatuan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di

Indonesia, nilai kesatuan ini menjadi dasar pendirian negara ini, yang tertulis dalam sila ke-3 yaitu persatuan Indonesia.

g) Menghidupi Nilai Moral. Nilai inilah yang oleh Socrates di acu sebagai sebuah panggilan untuk merawat jiwa, Jiwa inilah yang menentukan apakah seseorang itu sebgai individu merupakan pribadi yang baik atau tidak.

h) Nilai-Nilai Kemanusiaan. Apa yang membuat manusia sungguh-sungguh manusiawi itu merupakan bagian dari keprihatinan setiap orang. Menghayati nilai-nilai kemanusiaan mengandaikan sikap


(46)

keterbukaan terhadap kebudayaan lain, termasuk disini kultur agama dan keyakinan yang berbeda. Yang menjadi nilai bukanlah kepentingan kelompoknya sendiri, melainkan kepentingan yang menjadi kepentingan setiap orang, seperti keadilan, persamaan di depan hukum, kebebasan dan lain-lain. Nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi sangat relevan diterapkan dalam pendidikan karakter karena masyarakat kita telah menjadi masyarakat globl.

Selanjutnya Indonesian Heritage Foundation (IHF) dalam Majid (2011:42) merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter, yaitu; (1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, peduli, dan kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; (9) toleransi, cinta damai dan persatuan.

Lebih lanjut, Kemendiknas (2010) melansi bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturn/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu; (1) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, (2) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, (3) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan (4) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan, serta (5) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan kebangsaan.

Thomas Lickona, ketika di tanya tentang unsur-unsur apa saja karakter esensial yang penting yang harus ditanamkan kepada peserta didik, beliau menjawab dengan tegas ada 7 (tujuh) unsur yaitu: (1) ketulusan hati atau kejujuran (honesty), (2) belas kasih (compassion), (3) kegagahberanian (courage), (4) kasih sayang


(47)

(kindness), (5) kontrol diri (self-control), (6) kerja sama (cooperation), dan (7) kerja keras(diligence or hard work).

Sedangkan dalam naskah akademik pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, Kementrian Pendidikan Nasional telah merumuskan lebih banyak nilai-nilai karakter yaitu ada 18 nilai yang akan dikembangkan atau ditanamkan kepada anak-anak dan generasi muda bangsa Indonesia. Nilai-nilai karakter tersebut dapat dideskripsikan dalam tabel 2.1 sebagai berikut:

TABEL 2.1

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

No. Nilai-Nilai Deskripsi

1. Relegius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur Perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10. Semangat Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas


(48)

kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah

Air

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12. Menghargai prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/

Komunikatif

Tindakan yang memperhatikan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.

14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar

Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengemabangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli Sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung

Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Sumber: Naskah akademik Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa, Kementerian Pendidikan Nasional.

Dalam desain induk pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional juga telah menjelaskan konfigurasi karakter dalam konteks proses psikososial dan sosial-kultural dalam empat kelompok besar, yaitu: (1) Olah Hati (spiritual and emotional development), (2) Olah Fikir (intelectual development), (3) Olah Raga dan Kinestetik (physical and kinesthetic development), dan (4) Olah Rasa dan Olah Karsa(effective and creativity development).

Keempat kelompok konfigursi karakter tersebut memiliki unsur-unsur karakter inti sebagaimana dalam dalam tabel 2.2 sebagai berikut.


(49)

TABEL 2.2

UNSUR-UNSUR KARAKTER INTI NO. Kelompok Nilai Inti Indikator

1. Olah Hati 1. Relegius

2. Jujur

3. Tanggug Jawab 4. Peduli Sosial 5. Peduli Lingkungan

2. Olah Fikir 1. Cerdas

2. Kreatif

3. Gemar Membaca 4. Rasa Ingin Tahu

3. Olah Raga 1. Sehat

2. Bersih 4. Olah Rasa dan Karsa 1. Peduli

2. Kerjasama (gotong royong)

Karena pendidikan karakter adalah habit, maka pembentukan karakter seseorang itu memerlukan communities of character yang terdiri dari keluarga, sekolah, institusi keagamaan, media, pemerintahan dan berbagai pihak yang mempengaruhi nilai-nilai generasi muda.

Semua communities of chharacter tersebut hendaknya memberikan keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan. Dengan perkataan lain, pembentukan karakter memerlukan pengembagan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan pengautan.

Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama yaitu:

(1) Nilai karakter perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa (relegius) rtinya: pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.


(50)

(2) Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri yang meliputi jujur, beratanggungjawab, bergaya hidup sehat, kerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha, berfikir logis, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, ingin tahu dan cinta ilmu.

(3) Nilai kar dalam hubungannya dengan sesama yang meliputi: sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun dan demokratis.

(4) Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan meliputi: peduli sosial dan lingkungan.

(5) Nilai karakter dalam hubungannya dengan kebangsaan yang meliputi: nasionalisme, menghargai keberagaman.

e. Pendidikan Karakter Sebagai Kebutuhan Bagi Santri di Pondok Pesantren Dimuatnya kata-kata beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab yang terdapat dalam ketentuan umum UUSPN No. 20 Tahun 2003 point 2 menunjukkan bahwa implementasi pendidikan hendaknya berbasiskan kepada seeperangkat nilai sebagai panduan anatara keseimbangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tujuan pendidikan nasional yang memberikan perhatian dan penekanan aspek pembinaan keimanan dan ketaqwaan mengisyaratkan bahwa nilai dasar pembangunan karakter bangsa bersumber dan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya.

Menurut ASCD for the language learning: A Guide to Education Terms, by J.L McBrien & R.S. Brand, Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development (Endang Sumantri: 2010) bahwa pengertian karakter telah dicoba dijelaskan dalam berbagai pengertian seringkali mengacu pada

bagaimana “kebaikan” seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap

memiliki karakter yang baik akan mampu menunjukkan sebagai kualitas pribadi yang patut serta pantas sesuai dengan yang diinginkan dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, pendidikan karakter senantiasa akan berkaitan dengan


(51)

bagaimana memberikan mengajarkan anak-anak tentang kejujuran, kebaikan, kededilrmawanan, keberanian, kebebasan, persamaan, dan kehormtan.

Sumantri (2010) menambahkan bahwa dalam pendidikan karakter, terdapat enam nilai etik utama (core ethical values) seperti yang tertuang dalam deklarasi Aspen yaitu meliputi:

(1) Dapat dipercaya (trustworthy) seperti sifat jujur (honesty) dan integritas (Integrity).

(2) Memperlakukan orang lain dengan hormat(treats people with respect). (3) Bertanggungjawab(responsible).

(4) Adil(fair)

(5) Kasih sayang (caring) dan warganegara yang baik(good citizen).

Lebih lanjut Sumantri (2010) menjelaskan beberapa esensi nialai karakter yang dapat dieksplorasi, diklarifikasi dan direalisasikan melalui pembelajaran dalam ekstrakurikuler antara lain bisa dilihat pada tabel 2.3 sebagai berikut.

TABEL 2.3

ESENSI NILAI KARAKTER IDEOLOGI (IDEOLOGY) AGAMA (RELIGION) BUDAYA (CULTURE) a. Disiplin, hukum dan

tata tertib

b. Mencintai tanah air c. Demokrasi

d.Mendahulukan kepentingan umum e. Berani

f. Setia kawan/solidaritas g. Rasa kebangsaan h. Patriotik

i.Warga negara produktif j. Martabat/harga diri

bangsa

k. Setia/bela negara

a. Iman kepada Tuhan YME

b. Taat pada perintah Tuhan YME. c. Cinta agama d. Patuh pada ajaran

agama e. Berakhlak

f. Berbuat kebajikan g. Suka menolong dan

bermanfaat bagi orang lain

h. Berdoa dan bertawakkal

i. Peduli terhadap sesama j. Berperikemanusiaan k. Adil

l. Bermoral dan bijaksana

a. Toleransi dan itikat baik

b. Baik hati c. Empati

d. Tata cara dan etiket e. Sopan santun

f. Bahagia dan gembira g. Sehat

h. Dermawan i. Persahabatan j. Pengakuan k. Menghormati l. Berterima kasih


(52)

Namun, pola pengajaran pendidikan karakter harus dipastikan tidak

terjebak pada tradisi hafalan, atau siswa hanya sekedar “tahu”. Seringkali

persoalan yang terjadi, orang tahu belum tentu paham, orang faham belum tentu melakukan/berbuat, orang yang berbuat sekalipun belum tentu mampu menghayati dan mengambil makna dari perbuatan yang telah dilakukannya. Karena pola pembinaan kepribadian dan karakter seyogyanya harus dilakukan secara sistematis, dan berkelanjutan dengan melibatkan aspek pengetahuan (knowledge), perasaan (feeling), tindakan (acting) Diharapkan pada gilirannya, siswa secara seimbang mampu mengembangkan kepribadian dan karakternya menjadi sosok yang tangguh, mandiri, memahami hak dan kewajiban, bertanggungjawab, disiplin dan kuat dalam menghadapi tantangan jaman ke depan.

Dalam pendidikan karakter, thomas Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Komponen-komponen tersebut diuraikan sebagai berikut.

Pertama, pengetahuan moral. Ada enam aspek yang menjadi orientasi dari moral knowing yaitu : (1) kesadaran terhadap moral (moral awareness), (2) pengetahuan terhadap nilai moral (knowing moral values), (3) mengambil sikap pandangan (perspectivetaking), (4) memberikan penalaran moral (moral reasoning), (5) membuat keputusan (decision making), dan (6) menjadikan pengetahuan sebagai miliknya(self knoledge).

Kedua, perasaan tentang moral. Ada enam aspek yang menjadi orientasi dari moral feeling yaitu: (1) kata hati/suara hati (conscience), (2) harga diri (self esteem), (3) empati (emphaty), (4) mencintai kebajikan (loving the good), (5) pengendalian diri(self control),dan (6) kerendahan hati(humaily).

Ketiga, perbuatan/tindakan moral. Ada tiga aspek yang menjadi indikator dari moral action, yaitu: (1) kompetensi (competence), (2) keinginan (will), (3) kebiasaan(habit).


(53)

Sementara Dorothy Rich (Elmubarok: 2009) mengungkapkan beberapa nilai dan kebiasaan dalam pendidikan karakter yang dapat dipelajari dan diajarkan

oleh orang tua maupun guru, yang selanjutnya ditanamkan “mega skills” yaitu

meliputi: percaya diri (confidence), motivasi (motivation), usaha (effort), tanggungjawab (responsibility), inisiatif (initiataive), kemauan kuat (perseverence), kasih sayang (caring), kerjasama (teamwork), berpikir logis (common sense), pemecahan masalah (problem solving), konsentrasi pada tujuan (focus).

Berdasarkan tahap perkembangan, pada prinsipnya anak yang memiliki kualitas karakter yang rendah mereka umumnya termasuk anak-anak yang memiliki kecenderungan tingkat perkembangan sosio-emosionalnya yang rendah, sehingga kemungkinan terbesar anak-anak yang termasuk kategori ini berisiko mengalami kesulitan dalam interaksi sosial, ketidakmampuan mengontrol diri sehingga pada gilirannya akan menyebabkan mereka mengalami kesulitan belajar. Berdasarkan pikiran-pikiran yang telah dikemukakan di atas, semakin menunjukkan bahwa penanaman dan pembinaan kepribadian dan karakter di usia sekolah memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dan berkontribusi besar terhadap keberhasilan dalam kehidupan selanjutnya.


(54)

39 A. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif sehingga data yang muncul tidak berupa angka-angka, tetapi berupa uraian kata-kata. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, tetapi lebih berorientasi pada pengembangan dan pengetahuan baru yang diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi yang berkaitan langsung dengan fokus penelitian.

Rancangan penelitian berupa studi kasus, karena berusaha memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan mendetail tentang manajemen pondok pesantren berbasis karakter di pondok pesantren “Annuriyyah”

Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember. Hal ini didasarkan pada

pendapat Arikunto (2002: 115) ”Penelitian kasus adalah suatu penelitian yang

dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala tertentu dan meliputi subyek yang sempit tetapi sifatnya lebih mendalam”.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif artinya penelitian ini berusaha mengungkapkan secara obyektif dan sistematis fakta-fakta yang ditemukan oleh peneliti di lapangan berkaitan dengan masalah manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatau gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 2002: 309). Proses penelitian ini dimulai dengan eksplorasi yang kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data yang terseleksi dan terfokus pada perencanaan, pelaksanaan, penggerakan, dan pengendalian atau


(1)

(2)

90

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, 1969. Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional. Yogyakarta : Yayasan Nida.

Azwar, Saifuddin, 1998, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, Suharsimi, 1993, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta; PT. Rineka Cipta.

Badri dan Munawiroh. 2007. Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.

Bogdan, R.C., & Taylor, S.J., 1975. Introduction To Qualitative Research Methods : A Phenomenological Approach The Social Sciences, New York : Jhon Wiley & Sons.

Bogdan.R.C., & Biklen, 1982. Qualitative Research For Educational An Introduction To Theory And Method,Toronto: Allyn Bacon Inc.

Depag RI. 2005. Alqur’an dan Terjemahnya, Jakarta : CV. Penerbit Jumanatul ‘Ali Art.

Depdikbud, 2001,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Dhofir, Zamahsyari. 1994.Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES.

Djamaluddin dan Aly Abdullah. 1999. Kapita Selekta Pedidikan Islam Untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS Fakultas Tarbiyah Komponen MKK. Bandung: Pustaka Setia.

Gunawan, Heri., 2012, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasinya, Bandung: Alfabeta..

Handoko, Hani. 2001.Konsep Manajemen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hasan, M, Tholhah, 2003, Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta:

Lantabora Press.


(3)

Lickona, Thomas. 1991.Educating for Character. How our school can teach respec and responsibility.New York. Toronto. London. Sidney. Auckland: Bantam Book.

Lincoln Yona S. And Guba, Egon.G. 1985.Naturalistic Inquiry, Beverly Hills.CA : Sage Publication Inc.

Manulang M. 1996.Dasar-Dasar Manajemen.Jakarta: Galia Indonesia. Mastuhu. 1994.Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.Ciputat: INIS. Masyhur, Kahar, 1994,Membina Moral & Akhlak, Jakarta : Rineka Cipta.

Miles, Manthew.B and Huberman, A.M, Qualitative Data Analysis, A.Cource Book Of New Method Berverly Hills : sage publication Inc. 1992.

Moleong. L.J..2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mujammil, Qomar.2002.Pesantren dan Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi. Bandung: Fokus Media.

Nasution, S. 1988.Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito Nasution dikutip oleh Thaha, Chatib, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif,

Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.

Qomar Moedjamil. 2002. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.

Riyanto, Yatim, 1996, Metodologi Penelitian Pendidikan: Suatu Tinjauan Dasar, Surabaya: Penerbit SIC.

Siagian, Sondang P. 1992.Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: Alfabeta.

Spredly,J.P., 1990. Participant Observation, New York : Holt Rine Hart and Winston.

Sulton dan Khusnuridlo. 2006. Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Wahid, Abdul Hamid , dan Hidyat, Nur. 2001. Perspektif Baru Pesantren dan Pengembangan Masyarakat.Surabaya: Yayasan Tri Guna Bakti.


(4)

92

Uhbiyati, Nur, 1998,Ilmu Pendidikan Islam,Bandung: CV. Pustaka Setia.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003,Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Kloang Klede Timur Bekerjasama dengan Koperasi Primer praja Mukti I Depdagri.


(5)

(6)