kelompok kecil, lalu ke kelompok besar. Anak dicoba untuk dimasukkan ke sekolah umum. Di kelas mulanya anak didampingi oleh orang tua
terapis shadow yang tugasnya menjembatani instruksi dari guru ke anak, dan juga membantu respon anak, shadow mula-mula lekat dengan anak,
secara bertahap jarak semakin diperbesar bersamaan dengan semakin kurangnya intensitas dan frekuensi frompi. Target perilaku yang bisa
dicapai anak harus ditetapkan secara realistis dan sesuai dengan kemampuan anak. Jangan menargetkan terlalu tinggi karena akhirnya akan
membuat anak frutasi dan kecil hati. Bila anak berhasil melakukan sesuatu, orang tua dan terapis akan semakin termotivasi mengajarkan
sesuatu yang lebih baru lagi. Anak pun menjadi lebih senang beraktivitas, dan otomatis perilaku yang aneh semakin berkurang, meski belum
sepenuhnya menghilang.
6. Terapi Okupasi
Biasanya sebagian dari penderita autis mengalami gangguan pada gerak ototnya sehingga perlu dilakukan terapi okupasi. Terapi okupasi dapat
dilakukan dengan melatih gerak motorik otot, misalnya anak disuruh melepas baju, menaruh tas, dan lain-lain. Dalam melakukan terapi ini anak
tidak dibiarkan begitu saja melakukan pekerjaan yang kita suruh, tetapi harus ada bantuan dan bimbingan secara pelan-pelan dari orang tua. Orang
tua tidak dapat memaksa anak karena itu malah membuat anak memberontak. Terapi ini sebaiknya dilakukan tahap demi tahap. Jika anak
sudah dapat melakukan satu pekerjaan, ia dibimbing untuk melakukan
pekerjaan lainnya. Dalam hal ini, orang tua harus memiliki kesabaran dalam memantau perkembangan anaknya sehingga hasil yang dicapai
dapat maksimal.
7. Terapi Musik
Sejak tahun 1880-an, musik diyakini dapat digunakan sebagai sarana untuk penyembuhan karena musik dianggap sebagai suatu alat yang dapat
membelokkan perhatian dari rasa sakit dan ketidaknyamanan. Musik tidak hanya membawa dampak positif bagi perkembangan otak tetapi juga bagi
perkembangan emosi
karena musik
dapat membantu
manusia mengekspresikan atau melepas emosinya. Selain itu musik juga dapat
digunakan untuk relaksasi, meringankan stress, dan menghilangkan kecemasan.
8. Terapi Ruhiyah
“Manusia diciptakan oleh Allah, sehingga apapun yang terjadi semuanya kembali pada Allah”, begitulah kutipan singkat dari wawancara yang
dilakukan oleh peneliti terhadap seorang ibu yang memiliki anak penderita autis.. Ibu tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan dari anak autis sulit
untuk mengenal sesuatu yang abstrak. Beliau juga mengungkapkan bahwa anak autis sulit untuk menghadirkan adanya Allah dalam pikiran mereka.
Sedangkan, kebanyakan dari terapi-terapi yang dilakukan untuk anak autis adalah tidak adanya pengajaran untuk mengenal sang Pencipta.
9. Terapi Integrasi Sensoris