Usia 0 – 6 bulan. Apabila anak anda terlalu tenang dan jarang menangis, Usia 6 – 12 bulan. Kalau digendong kakutegang dan tidak berenterasi Usia 2 - 3 tahun. Tidak berminat atau bersosialisasi terhadap anak-anak Usia 4 – 5 tahun. Su

4. Bermain Tidak spontanrefleks dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura. 5. Perilaku Perilaku anak autis dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif pendiam. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas atau pun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari. Dan yang berikut ini merupakan ciri-ciri anak Autisme menurut usianya.

1. Usia 0 – 6 bulan. Apabila anak anda terlalu tenang dan jarang menangis,

terlalu sensitif, gerakan tangan dan kaki yang terlalu berlebihan terutama pada saat mandi. Tidak pernah terjadi kontak mata atau senyum yang secara social, dan digendongakan mengepal tangan atau menegangkan kaki secara berlebihan.

2. Usia 6 – 12 bulan. Kalau digendong kakutegang dan tidak berenterasi

atau tidak tertarik pada mainan atau tidak beraksi terhadap suara dan kata- kata. Dan juga selalu memandang suatu benda atau tangannya sendiri secara lama. Hal itu diakibatkan terlambatnya dalam perkembangan motorik halus dan kasar.

3. Usia 2 - 3 tahun. Tidak berminat atau bersosialisasi terhadap anak-anak

lain dan kontak mata tidak fokus. Dan juga kaku terhadap orang lain, masih senang digendong dan malas mengerakan tubuhnya.

4. Usia 4 – 5 tahun. Sukanya anak ini berteriak-teriak dan suka membeo

atau menirukan suara orang dan mengeluarkan suara-suara aneh. Dan mudah marah apabila rutinitasnya diganggu dan kemauannya tidak dituruti. Anak autis juga cenderung agresif dam mudah menyakiti diri sendiri.

2.8.4 Kriteria Diagnostik Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan, oleh karena itu diagnosis ditegakkan dari gejala klinis yang tampak, yang menunjukkan adanya penyimpangan dari perkembangan normal yang sesuai umurnya. International Classification of Diseases ICD 1993 maupun Diagnostic and Statistical Manual DSM-IV 1994, merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme infantil adalah:

A. Harus ada 6 gejala dari 1,2 dan 3, dengan minimal dua gejala dari 1

dan masing-masing satu gejala dari 2 dan 3. 1 Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 dari gejala berikut: a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik kurang tertuju. b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya. c. Tak ada empati tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. 2 Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada satu dari gejala-gejala berikut: a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal. b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi. c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. d. Cara bermain yang kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru. 3 Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan. Minimal harus ada satu dari gejala-gejala berikut: a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan. b. Terpaku pada kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya. c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang. d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.

B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam

bidang interaksi sosial, bicara dan berbahasa dan cara bermain yang monoton, kurang variatif.

C. Bukan disebabkan oleh sindroma Rett atau gangguan disintegratif masa

kanak.

2.8.5 Penanganan Autisme

Makin banyaknya fenomena anak autis belakangan ini, membuat para ahli, baik itu peneliti, dokter atau psikiater anak berkutat mencari penanganan atas penyakit autis ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Autisme adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh adanya interferensi pada perkembangan otak pada masa prenatal atau selama satu atau dua tahun awal kehidupan anak. Selain itu Autisme juga merupakan manifestasi perilaku yang timbul dari disfungsi yang terjadi pada maturasi neurobiologis dan fungsi sistem saraf pusat. Gangguan perkembangan inilah yang menyebabkan kekurangan pada tiga area yaitu area interaksi sosial, area komunikasi serta area perilaku. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada salah satu dari ketiga area tersebut muncul sebelum usia tiga tahun. Kekurangan pada area interaksi sosial ini merupakan hal yang amat menjadi keluhan orang tua dan merupakan ciri utama yang menyadarkan orang tua untuk curiga mengenai kemungkinan adanya gangguan pada anaknya. Perincian gangguan pada interaksi sosial di antaranya: a. Adanya kerusakan yang nyata pada penggunaan perilaku non-verbal, terutama pada imajinasi, komunikasi dan sosialisasi. b. Kegagalan membentuk hubungan dengan peer. Untuk itu intervensi perilaku dan pendidikan yang terus-menerus sangat berguna dan menjadi inti dari perawatan yang dilakukan terhadap penyandang Autisme. Menurut para ahli, psikiater anak atau pun para dokter yang menggeluti penyakit autis ini, Autisme bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan melainkan hanya dapat dikurangi kelemahannya. Sehingga pengertian „sembuh’ dalam hal ini yaitu dimana kondisi penderita autis sudah mampu berpikir serta bertingkah laku seperti anak-anak lainnya tanpa pertolongan dari para ahli, tanpa metode khusus dan tidak menjalani terapi yang diperlukan. Namun definisi „sembuh’ ini pun kemungkinannya sangat kecil sekali. tetapi secara umum, penyandang autis dikatakan “sembuh” bila ia mampu hidup mandiri sesuai dengan tingkat usianya, berperilaku normal, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lancar serta memiliki pengetahuan akademis yang memadai untuk anak seusia mereka. Banyak faktor yang menentukan seorang penyandang autis bisa dikategorikan berhasil „sembuh’, di antaranya tingkat keparahan dari kondisi autis, usia anak, tingkat kecerdasan dan kemampuan bahasa dari sang anak, fasilitas penunjang seperti dokter, terapi, dan sekolah khusus, kesiapan orang tua dalam membantu untuk mencari yang terbaik bagi sang anak, serta dukungan masyarakat luas. Menurut psikiater anak, baik yang tergabung dalam Yayasan Autisme Indonesia yang berkedudukan di Jakarta maupun ahli psikiater anak di RSUD dr. Soetomo Surabaya, Autisme dapat dikurangi kelemahannya. Walaupun autis tidak dapat disembuhkan seratus persen, tetapi penyandang autis dapat dilatih melalui terapi, sehingga ia bisa tumbuh normal seperti anak sehat lainnya. Dalam hal ini, terapi saja tidak akan berhasil karena diperlukan peran orang tua dalam melihat perkembangan anaknya. Oleh karena itu, kunci kesembuhan autis adalah orang tua dan terapi tata laksana perilaku. Penanganan perilaku, pendidikan dan medikasi terbukti dapat meningkatkan kemampuan belajar dan berperilaku anak penyandang autis, bahkan memungkinkan beberapa anak penyandang autis untuk berfungsi mendekati normal, belum ada obat yang dapat „menyembuhkan’ gangguan ini. Penanganan pada anak penyandang autis diarahkan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki anak serta menolong anak dan keluarga untuk mengatasi dan hidup dengan gangguan ini secara lebih efektif. Penanganan yang diberikan, disesuaikan dengan gejala yang diperlihatkan oleh penyandang autis. Anak penyandang autis yang memiliki inteligensi rata- rata, mampu berkomunikasi dan tidak memiliki perilaku repetitif atau melukai diri sendiri maupun orang lain akan berbeda fokus penanganannya dengan anak penyandang autis yang memiliki mental retardasi, tidak berbicara, serta memiliki perilaku melukai diri sendiri maupun orang lain. Anak penyandang autis yang memiliki mental retardasi akan membutuhkan pengawasan dan bantuan untuk menjalani rutinitas sehari-hari seumur hidupnya. Strategi penanganan untuk anak-anak ini biasanya menekankan pada menghilangkan perilaku yang berbahaya, melukai diri sendiri maupun orang lain. Mendorong keterampilan bantu diri misalnya membersihkan diri setelah buang air kecilbesar atau cara menggunakan kamar mandi, mandimerawat, tubuhberpakaian, makan dan minum sendiri, kepatuhan pada peraturan atau permintaan sederhana, munculnya perilaku emosional dan sosial yang sederhana, mengkomunikasikan mengutarakan kebutuhannya, bermain. Seiring dengan anak bertambah dewasa, penanganan berfokus pada pengajaran mengenai keterampilan domestik rumah tangga atau yang berhubungan dengan pekerjaan sederhana untuk menyiapkan mereka hidup sendiri dengan pengawasan. Dalam menghadapi orangtua dari anak penyandang autis yang low-functioning ini, kita mesti berhati-hati untuk tidak mendorong pengharapan yang berlebihan akan ada kemajuan yang pesat dari anak dan tidak juga mendorong pesimisme yang berlebihan. Yang penting menghargai setiap kemajuan anak, betapapun perlahan-lahannya, serta menikmati hidup bersama anak yang memiliki keunikan ini. Untuk penyandang autis ringan, hasil penanganan bisa sangat bervariasi, bergantung pada anaknya sendiri, orangtua, kualitas dari penanganan dan pendidikan dini, serta kesempatan-kesempatan yang ada di kemudian hari. Berikut adalah terapi-terapi yang sedikitnya dapat dilakukan dan biasa diterapkan di yayasan-yayasan yang bergerak dalam memberikan terapi dan pembelajaran sebagai penanganan terhadap anak penyandang autis:

1. Terapi Perilaku