10
BAB II LANDASAN TEORI
A. SUBJECTIVE WELL-BEING
1. Pengertian subjective well-being Subjective well being
SWB adalah evaluasi subjektif individu terhadap hidupnya, baik secara kognitif maupun afektif Diener, dalam
Baumgardner Crothers, 2009. Individu yang memiliki tingkat SWB tinggi adalah individu yang mengalami banyak emosi positif dan sedikit
emosi negatif, mengalami lebih banyak kenikmatan daripada penderitaan, dan mengalami kepuasan terhadap hidupnya. Dalam bahasa yang lebih
umum, istilah SWB sering kali diterjemahkan menjadi kebahagiaan Baumgardner Crothers, 2009; Lopez, 2008.
SWB atau kebahagiaan terdiri dari tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek positif, dan afek negatif. Kepuasan hidup merupakan faktor
kognitif mengenai tingkat kepuasan seseorang atas hidupnya. Afek positif adalah faktor emosional yang menunjukkan frekuensi dan intensitas emosi
yang menyenangkan, seperti kesenangan dan keceriaan. Di sisi lain, afek negatif merupakan faktor emosional yang menunjukkan frekuensi dan
intensitas emosi yang tidak menyenangkan, seperti kesedihan dan kekhawatiran Baumgardner Crothers, 2009.
Menurut Keyes dalam Lopez, 2008, komponen-komponen dalam subjective well-being tersebut merupakan komponen dalam menentukan
kesehatan mental seseorang. Kesehatan mental merupakan hal penting, karena melalui mental yang sehat, manusia dapat memperjuangkan tingkat
pertumbuhan yang lebih maju supaya dapat merealisasikan semua potensinya dan mengaktualisasikan diri sepenuhnya Schultz, 1991.
2. Jenis-jenis kebahagiaan Kebahagiaan dibagi menjadi dua, yaitu kebahagiaan hedonis dan
kebahagiaan eudaimonis. Baumgardner dan Crothers 2009 menyebutkan bahwa
kebahagiaan hedonis
adalah kesenangan-kesenangan
dan kenikmatan-kenikmatan dalam hidup. Berdasarkan perspektif ini, tujuan
dari kehidupan seseorang adalah untuk mengejar kebahagiaan dan kenikmatan. Sedangkan, kebahagiaan eudaimonis adalah realisasi diri,
pengekspresian, dan pemenuhan segala potensi dalam diri. Perspektif ini melihat bahwa sumber kebahagiaan adalah usaha menuju aktualisasi diri,
ketika talenta, kebutuhan, dan nilai-nilai dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Waterman dalam
Baumgardner Crothers,
2009 menyebutkan bahwa individu dapat mencapai kebahagiaan eudaimonis
ketika ia dapat terlibat ke dalam aktivitas yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya dan sesuai dengan persepsi dirinya.
Meskipun kebahagiaan hedonis dan eudaimonis tampak berbeda secara konseptual, pengukuran kebahagaain hedonis dan eudaimonis
menunjukkan adanya korelasi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa individu yang bahagia dan puas atas hidupnya secara hedonis juga merasa hidupnya
bermakna secara eudaimonis. Jadi, meskipun sebuah penelitian meneliti kebahagiaan hedonis maupun eudaimonis, kedua bentuk kebahagiaan
tersebut akan terlihat dalam hasil penelitian Baumgardner Crothers, 2009.
3. Kebahagiaan dan momen saat ini Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mogilner, Kamvar, dan
Aaker 2011, pemaknaan kebahagiaan dipengaruhi oleh usia. Individu yang berasal dari kelompok usia muda sekitar 20 tahun memaknai
kebahagiaan sebagai kegembiraan excitement. Pada kelompok usia yang lebih tua, individu yang berusia sekitar 50 tahun memaknai kebahagiaan
sebagai ketenteraman peacefulness yang berfokus pada momen saat ini. Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya usia,
individu mengalami pergeseran makna kebahagiaan. Pergeseran ini terjadi karena adanya pergeseran fokus dan orientasi kehidupan dari masa depan
ke momen saat ini seiring bertambahnya usia.
B. MEDITASI