MEDITASI MINDFULNESS LANDASAN TEORI

pada akhirnya dapat membantu praktisi dalam merespons segala buah pikir yang muncul dalam pikiran. Ketrampilan dalam ketiga jenis meditasi tersebut saling berhubungan. Saat ketrampilan sati mindfulness sudah terlatih dengan baik, individu dapat memilih antara meditasi meta loving-kindness, meditasi samatha konsentrasi, atau meditasi vipassana mindfulness sesuai keperluan. Dalam konteks psikologis secara umum, individu dapat memusatkan perhatiannya pada nafas, suara-suara, atau apapun samatha saat sedang diliputi stressor. Individu juga dapat menerapkan loving-kindness meta untuk membuat pikiran menjadi lebih tenang dan dipenuhi emosi positif. Ketika memori buruk muncul, ketika emosi dan pikiran negatif menguasai pikiran, individu dapat mengamati dan menerima semua hal yang terjadi tersebut vipassana. Jadi, ketiga jenis meditasi di atas pada dasarnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengurangi penderitaan dan mencapai kebahagiaan Siegel, Germer, dan Olendzki, dalam Didonna, 2009.

C. MEDITASI MINDFULNESS

1. Definisi mindfulness Beberapa ahli memiliki definisi yang berbeda-beda terhadap mindfulness. Baer 2003 menyebutkan bahwa mindfulness adalah pengamatan terhadap munculnya stimulus-stimulus internal dan eksternal seperti apa adanya dan tanpa menghakimi. Menurut Kabat-Zinn 2003, mindfulness adalah kesadaran yang muncul melalui pengamatan momen saat ini, secara tanpa menghakimi dari waktu ke waktu. Germer dalam Didonna, 2009 menyatakan bahwa mindfulness adalah kemampuan untuk menyadari dan menerima pengalaman saat ini. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa mindfulness bicara tentang kesadaran, penerimaan, dan momen saat ini. Meditasi mindfulness bekerja dengan cara yang tidak sama dengan teknik-teknik meditasi lain seperti meditasi samatha dan meta, atau meditasi yang menggunakan visualisasi. Seperti meditasi lain, mindfulness melatih individu untuk menempatkan dan menjaga perhatian pada suatu objek. Tidak seperti meditasi lain, objek dari meditasi mindfulness adalah keseluruhan pikiran yang terus-menerus berubah dan mengalir. Ketrampilan dalam mindfulness bukan untuk menginvestigasi suatu objek khusus, melainkan untuk menginvestigasi suatu proses. Meditasi mindfulness sebenarnya juga memerlukan konsentrasi untuk mengendalikan dan memfokuskan perhatian, tetapi, pikiran yang sudah terkonsentrasi tersebut kemudian diarahkan pada objek yang bergerak, yaitu aliran kesadaran the stream of consciousness. Alih-alih mengarahkan kesadaran pada suatu objek tunggal, individu dilatih untuk melihat bagaimana kesadarannya termanifestasi. Secara umum, meditasi mindfulness memiliki beberapa pengaruh. Coffey dan Hartman 2008 menemukan bahwa kemampuan untuk mengamati aliran kesadaran tanpa menghakimi dalam meditasi mindfulness dapat meningkatkan awareness dan kemampuan untuk meregulasi emosi sehingga emosi negatif dapat dikelola secara adaptif. Dalam mindfulness, emosi-emosi yang muncul dapat diregulasi dengan menggunakan fungsi kognitif. Meningkatnya mindfulness juga berhubungan dengan berkurangnya kelekatan dan perenungan. Ketika individu betul-betul berada pada momen saat ini, kecenderungan untuk mencari hal-hal di luar pengalaman kekiniannya tersebut berkurang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Greeson 2009, kemampuan dalam mindfulness dapat meningkatkan ketenangan equanimity dan kemampuan untuk tidak merespons stimulus secara reaktif nonreactivity. Selain hal-hal di atas, mindfulness juga terbukti dapat mengurangi stress dengan memberikan efek relaksasi, meningkatkan kemampuan untuk menerima, dan mengubah fungsi kognitif menjadi lebih adaptif Baer, 2003. Alih-alih menganggap pikiran sebagai realitas, individu dapat mepersepsikan pikiran atau buah pikir yang muncul sebagai “hanya pikiran”. 2. Mindfulness dalam Buddhist Psychological Model Grabovac, Lau, dan Willett 2011 mencoba menjelaskan mekanisme mindfulness berdasarkan Buddhist Psychological Model BPM. Konsep- konsep dalam BPM diambil dari Abhidamma Pitaka, sehingga dapat dikatakan bahwa hal-hal yang dijelaskan di dalamnya merupakan hasil dari tinjauan literatur yang masih memerlukan validitas empiris. Menurut BPM, aktivitas mental terjadi dalam beberapa komponen. Kesadaran atau awareness terhadap suatu objek muncul ketika stimulus memasuki persepsi dan mengalami kontak dengan indera atau ketika objek kognisi pemikiran, memori, emosi muncul di pikiran. Kesadaran ini hadir dalam waktu singkat dan kemudian segera berlalu. Dengan munculnya kesadaran akan suatu objek, secara bersamaan juga muncul perasaan feeling tone yang mengikuti: menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Dalam konteks ini, “perasaan” di sini tidak sama dengan konteks emosi seperti ketakutan, amarah, dll, melainkan merupakan pengalaman afektif yang muncul secara spontan. Karena sifatnya yang selalu berubah, tidak kekal, serta datang dan pergi dengan cepat, perasaan- perasaan ini sering kali tidak disadari sehingga dapat memicu reaksi pemikiran-pemikiran termasuk emosi dan tindakan yang menimbulkan penderitaan atau suffering. Kebiasaan manusia adalah mengejar hal yang menyenangkan dan menjauhi hal yang tidak menyenangkan. Dalam Buddhisme, hal tersebut dikenal sebagai kelekatan attachment dan aversi aversion. Kebiasaan ini muncul dalam segala hal atau peristiwa yang terjadi di pikiran. Secara umum, masyarakat menganggap bahwa individu mengejar atau menjauhi suatu objek yang muncul di kesadaran. Namun, BPM melihat bahwa kelekatan dan aversi muncul dalam perasaan yang ditimbulkan suatu objek. Hal-hal dan segala peristiwa yang terjadi di dalam pikiran mental events yang memicu munculnya perasaan juga berasosiasi dengan perasaan lain. Adanya kelekatan dan aversi yang muncul bersamaan dengan suatu mental events akan semakin mengembangkan mental events tersebut. Hal ini disebut sebagai proliferasi mental. Menurut BPM, ketika individu tidak memiliki kesadaran atas pola kelekatan dan aversi yang menyebabkan proliferasi mental, ia akan membuat proses tersebut menjadi kebiasaan maladaptif. BPM memiliki tiga karakteristik yang menjadi fokus utama. Pertama, impresi sensoris kesan-kesan yang ditangkap oleh indera dan segala hal yang terjadi di pikiran bersifat sementara. Hal-hal tersebut selalu datang dan pergi. Hal ini dikenal sebagai ketidakkekalan atau impermanence. Kedua, reaksi-reaksi yang dipicu oleh kelekatan dan aversi adalah penyebab penderitaan atau suffering. Ketiga, impresi sensoris dan segala hal yang terjadi di pikiran bukanlah bagian dari diri. Hal ini dikenal sebagai bukan-diri atau not-self. Segala bentuk sensasi inderawi maupun hal-hal yang terjadi di pikiran memiliki tiga karakteristik tersebut. Terlebih lagi, penderitaan dalam konteks umum dan konteks klinis merupakan akibat dari reaksi kelekatan aversi terhadap perasaan-perasaan dan proliferasi mental di dalamnya. Dalam BPM, peningkatan well-being terjadi ketika sensasi inderawi dan segala hal di pikiran dibiarkan datang dan pergi secara alami, tanpa proses kognitif yang mengarah ke kelekatan maupun aversi, meskipun masih terasa menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral. Ketika tidak ada kelekatan dan aversi, maka tidak ada proliferasi mental, sehingga tidak ada penderitaan yang ditimbulkan. Menurut BPM, praktik mindfulness dilandasi oleh beberapa hal. Pertama, praktik mindfulness dilandasi oleh regulasi atensi. Perhatian yang tidak beraturan difokuskan pada kualitas napas. Setiap napas yang dihirup dan dihembuskan dapat memberikan pemahaman tentang ketidakkekalan impermanence, penderitaan suffering, dan not-self, yang merupakan tiga karakteristik segala fenomena dalam pikiran mental events. Ketika perhatian difokuskan pada napas, meditator dapat menyadari bahwa tidak ada kualitas napas yang sama ketidakkekalan. Meditator juga dapat melihat bahwa mereka akan mengejar gaya bernapas tertentu pelan atau cepat, kemudian menyadari adanya kelekatan pada gaya bernapas tersebut sehingga menyebabkan munculnya penderitaan sebagai usaha pengejaran kelekatan. Meskipun tidak dikejar dan tidak disadari, napas akan tetap terjadi tanpa intevensi diri not-self. Dalam memfokuskan perhatian, meditator juga mengonsentrasikan pikirannya. Praktik mindfulness memang lazim digabungkan dengan praktik konsentrasi, khususnya untuk memfokuskan dan menenangkan pikiran, tidak semata-mata untuk berkonsentrasi pada suatu objek spesifik. BPM menyebutkan bahwa salah satu tujuan individu untuk mempraktikkan meditasi mindfulness adalah untuk mengalami transformasi batin. Hal ini juga sering dikenal sebagai pencerahan atau enlightenment. Transformasi batin dalam BPM dijelaskan sebagai perubahan permanen dan radikal dalam persepsi yang dapat menghentikan proses identifikasi terhadap hal-hal di pikiran. Dalam perjalanan menuju transformasi batin, para meditator lambat laun akan menyadari bahwa mengejar kenikmatan dan menghindari ketidaknikmatan tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Transformasi batin yang didapat dari pemahaman terhadap tiga karakter impermanence, suffering, not-self dapat mengembangkan kesadaran yang seimbang. Keseimbangan ini tercapai ketika individu mempersepsikan suatu objek tanpa adanya kelekatan maupun aversi. Praktik mindfulness yang dijelaskan dalam BPM juga mencakup latihan untuk menerima diri. Ketika individu berlatih untuk menerima diri saat bermeditasi, sensasi-sensasi serta segala hal yang terjadi dalam pikiran menjadi lebih mudah untuk disadari karena kondisi pikiran yang bebas dari ketegangan. Kesadaran yang terhanyut dalam aliran pikiran juga dapat kembali diarahkan kepada objek meditasi misalnya napas tanpa reaksi negatif sehingga kemunculan pemikiran-pemikiran negatif dapat dicegah. Latihan regulasi atensi dan penerimaan diri yang dijalani dalam praktik mindfulness dapat meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan diri behavioral self-regulation. 3. Mindfulness dan konsep here and now Seperti yang diungkapkan oleh Germer dalam Didonna, 2009 dan Kabat-Zinn 2003, mindfulness menekankan pada pentingnya menyadari momen saat ini. Perls dalam Schultz, 1991 menyatakan bahwa momen di sini dan kini here and now adalah satu-satunya kenyataan yang ada. Masa lampau dan masa depan adalah sesuatu yang tidak riil. Orang-orang yang melekat pada masa lampau ataupun masa depan memiliki kepribadian yang tidak seimbang. Ketika individu melekat pada masa lampau ataupun masa depan, individu tersebut menjadi tidak dapat menerima diri sepenuhnya karena adanya realitas yang dihindari. Oleh karena itu, ketika individu dapat menerima realitas secara penuh, maka ia dapat memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi individu yang fleksibel. Dengan demikian, kelekatan terhadap masa lampau ataupun masa depan adalah kecenderungan yang maladaptif terhadap perkembangan manusia yang penuh.

D. HUBUNGAN ANTARA MINDFULNES DAN SUBJECTIVE WELL- BEING