A menghayati kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya setelah membaca dan mempelajari ilmu etika.
“Dua... ini berkaitlah, topik ini. Dua adalah, kalau ngomong tujuan hidup karena itu juga merupakan pertanyaan yang
mencekam bagi saya... Tujuan hidup apa ya, tujuan hidup... intuitively ngerti. Tujuan hidup donge happy. Tapi terlalu
confused, otak saya waktu itu terlalu ruwet. Nah, belajar etika itu saya jadi paham, clear bahwa “oh iyo, tujuan hidup tu adalah
kebahagiaan”... A, 21
j. Pemaknaan kebahagiaan sesudah praktik mindfulness
Salah satu alasan A untuk menjadi orang baik adalah karena A memaknai tindakan baik sebagai suatu tindakan yang membahagiakan.
“Kenapa? Karena jadi wong apik ki luwih happy, luwih penak... Orang baik itu adalah tindakan bahagia” A, 16
Berdasarkan nilai-nilai dan pemahaman yang didapat dari praktik meditasi mindfulness, A memaknai kebahagiaan sebagai kondisi yang
terjadi di pikiran.
“Happy terjadinya di mana? Di pikiranku dewe” A, 50
Karena kebahagiaan merupakan suatu kondisi yang terjadi di pikiran, maka A memaknai kebahagiaan sebagai kondisi yang dapat
dicapai melalui upaya melatih pikiran. Salah satu cara untuk melatih pikiran yang dilakukan A adalah meditasi mindfulness.
“Ya, agar bisa happy, pikirane kudu dikelola ben happy, gitu. Nah, saya sudah tahu, pikiran dikelola itu, sama dengan meditasi” A,
52
Karena kebahagiaan merupakan kondisi yang terjadi di pikiran, maka A juga memaknai kebahagiaan sebagai kondisi yang tidak dapat
dipenuhi oleh hal-hal eksternal seperti rumah, jabatan, kekuasaan, dll.
“Sedang tujuan-tujuan yang lain, misal’e rumah bagus, atau duit, atau istri cantik, atau jabatan, kekuasaan, terkenal, kesehatan,
apapun lah... itu tidak bisa menjadi ‘the end by itself’. Nek kono punya duit, mesti duit meh nggo opo, nek kono punya sehat pasti
sehat meh nggo opo, nek kono punya istri cantik, pasti istri cantik nggo opo” A, 23
Hal-hal eksternal tidak bisa menciptakan kebahagiaan karena hal- hal tersebut tidak bisa menjadi akhir. Jika terpenuhi, akan selalu
mengarah ke dorongan untuk mencari pemenuhan lain. Oleh karena itu, A memaknai kebahagiaan sebagai akhir dari segala kebutuhan. Jika
seseorang sudah mencapai kebahagiaan, maka ia tidak memerlukan hal- hal lain.
“Tapi kalau kamu bilang bahagia... wis, selesai. The end by itself. Kamu udah enggak perlu apa-apa yang lain, wong sudah happy
kok” A, 24
Ketika seseorang sudah tidak memerlukan apa-apa lagi, maka ia berada dalam kondisi di mana ia dapat menerima realitas sebagaimana
adanya. Melalui praktik meditasi mindfulness yang dilakukannya, A memaknai
kebahagiaan sebagai
penerimaan terhadap
realitas sebagaimana adanya, realitas pada momen saat ini ketika pikiran tidak
mencari hal-hal eksternal sebagai bentuk usaha pemenuhan kebutuhan.
Kebahagiaan itu adalah kemampuan batin kita untuk melihat segala sesuatu sebagaimana sebenarnya. Kebahagiaan itu
misalnya sekarang... keberadaannya ya begini. Ini tidak kurang, tidak lebih, gitu. Tidak ada yang kurang, tidak ada yang kelebihan.
Kalau kita bilang ada yang lebih, ada yang kurang... Pikiran kita itu sudah tidak sebagaimana adanya. Pikiran kita sudah lari. ‘Oh,
alangkah baiknya kalau ada A.C. Alangkah baiknya kalau ada lotek’. Itu kan pikiran kita sudah ke mana-mana” A, 111
3. Responden III a. Adanya kehampaan dalam diri