1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam eksistensinya, semua manusia tidak bisa lepas dari beberapa hal deterministik seperti bertambah tua, terserang penyakit, dan menjumpai
kematian. Untuk mempertahankan eksistensinya tersebut, manusia sering kali berupaya untuk memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya dengan harapan
bahwa ketika semua kebutuhannya terpenuhi, maka akan tercapai kondisi “bahagia”.
Beberapa manusia melakukan usaha yang tidak biasa sebagai bentuk usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya dan untuk mengejar kebahagiaan.
Khususnya di masyarakat Indonesia, ada beberapa laku atau cara untuk mengejar hal tersebut, antara lain dengan berpuasa seperti puasa di bulan
Ramadhan, mutih,
ngrowot, dll, bertapa dengan berbagai jenisnya,
menggunakan mantra serta susuk, dan masih banyak lagi Endraswara, 2010. Berbagai orang yang melakukan cara-cara tersebut juga menyertakan
permohonan, seperti ingin lulus ujian atau ingin memenangkan undian dengan hadiah uang Sartono, 2012. Meskipun pada kenyataannya, uang atau
kekayaan tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan seseorang Baumgardner Crothers, 2009.
Fenomena-fenomena di atas adalah representasi dari berbagai tantangan dan kesulitan yang dialami manusia dalam mengejar kebahagiaan. Hal-hal di
atas sebenarnya tidak berasal dari eksistensi manusia itu sendiri, tetapi berasal dari respons yang maladaptif Olendzki, dalam Didonna, 2009. Respons
tersebut nampak
dalam pengejaran
kenikmatan dan
penghindaran ketidaknikmatan tanpa henti sebagai bentuk usaha mengejar kebahagiaan. Oleh
karena itu, perlu dipelajari esensi kebahagiaan dan langkah-langkah adaptif yang dapat dijalani sebagai jalur menuju kebahagiaan Leyden, Goldberg,
Michelbach, 2011. Sejak dahulu, mulai dari era Yunani kuno sampai era fisafat modern,
sudah banyak para pemikir dan cendekiawan yang mempertanyakan esensi atau makna kebahagiaan Eid Larsen, 2008. Kebahagiaan happiness atau
dalam terminologi psikologi sering disebut sebagai subjective well-being merupakan kombinasi dari kepuasan hidup, adanya afek positif, dan tidak
adanya afek negatif Baumgardner Crothers, 2009. Kepuasan hidup merupakan faktor kognitif mengenai tingkat kepuasan seseorang atas hidupnya.
Afek positif adalah faktor emosional yang menunjukkan frekuensi dan intensitas emosi yang menyenangkan, seperti kesenangan dan keceriaan. Di sisi
lain, afek negatif merupakan faktor emosional yang menunjukkan frekuensi dan intensitas emosi yang tidak menyenangkan, seperti kesedihan dan
kekhawatiran. Menurut Keyes dalam Lopez, 2008, komponen-komponen dalam
subjective well-being merupakan komponen dalam menentukan kesehatan mental seseorang. Orang yang memiliki tingkat subjective well-being yang
tinggi dengan kata lain, orang yang bahagia adalah orang yang lebih sehat
Davidson. Mostofsky, Whang, dalam Leyden et al., 2011. Melalui mental yang sehat, manusia dapat memperjuangkan tingkat pertumbuhan yang lebih
maju agar dapat merealisasikan segala potensinya dan mengaktualisasikan diri sepenuhnya Schultz, 1991. Dalam kesehariannya, mereka pada akhirnya akan
memiliki lebih banyak emosi positif dan dapat berfungsi secara optimal dalam berbagai aspek. Pada aspek psikologis dan sosial, individu yang sehat mental
dapat memiliki tujuan hidup dan kedekatan dengan sahabat dan keluarga. Mereka juga dapat beraktivitas lebih optimal, khususnya dalam performa kerja
dan kehidupan sehari-hari Lopez, 2008. Subjective
well-being adalah
rumusan yang
relevan untuk
mengeksplorasi kualitas hidup seseorang dari perspektif mereka sendiri Keyes, et al. dalam Lopez 2008. Hal ini disebabkan karena setiap individu
memiliki nilai-nilai, tujuan hidup, dan daya yang berbeda Diener et al., dalam Lopez, 2008. Oleh karena itu, hasil subjektif yang mendalam dapat didapat
dengan memberikan kesempatan kepada individu untuk mengeksplorasi hidupnya berdasarkan penilaian, nilai-nilai, dan tujuan hidupnya sendiri.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, kebahagiaan atau subjective well-being nampak berhubungan dengan beberapa hal. Menurut
Worsch, Amir, dan Miller 2011, Subjective well-being dipengaruhi oleh kapasitas individu untuk menyesuaikan tujuan-tujuannya goal adjustment
capacities dan strategi individu dalam menanggulangi stres. Individu yang tidak terikat pada tujuan yang gagal tercapai serta dapat memiliki tujuan lain
terbukti memiliki subjective well-being yang lebih tinggi. Subjective well-being
juga berhubungan dengan gejala-gejala depresif Kim, Ann, Kim, 2011. Semakin tinggi tingkat kebahagiaan individu, maka gejala-gejala depresif
individu tersebut akan semakin rendah. Peristiwa-peristiwa dalam hidup juga mempengaruhi subjective well-being seseorang Luhman, Hoffman, Eid,
Lucas, 2012. Setiap peristiwa hidup yang berbeda memiliki pengaruh yang berbeda terhadap subjective well-being. Menurut Shier dan Graham 2011,
subjective well-being juga dipengaruhi oleh tingkat mindfulness seseorang. Semakin mindful seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat subjective well-
being orang tersebut. Ada beberapa cara untuk meningkatkan kebahagiaan atau subjective
well-being. Padash, Dehnavi, dan Botlani 2012 menyebutkan bahwa terapi kognitif adalah pendekatan yang efektif untuk meningkatkan subjective well-
being seseorang. Salah satu modifikasi dari terapi kognitif, yaitu mindfulness- based cognitive therapy terapi kognitif yang berdasar pada pendekatan
mindfulness juga berpengaruh positif pada subjective well-being Collard, Avny, Boniwell, 2008. Meditasi mindfulness adalah salah satu pendekatan
yang juga berpengaruh terhadap well-being secara umum dan psychological functioning seseorang Lykins Baer, 2009, di mana psychological
functioning merupakan salah satu bagian dari subjective well-being Keyes, et al. dalam Lopez, 2008.
Meskipun sudah berulang kali terbukti secara empiris, penelitian- penelitian tentang terapi yang dapat meningkatkan subjective well-being adalah
beberapa contoh dari banyak penelitian lainnya yang masih berfokus pada
tingkat kebahagiaan seseorang. Dengan demikian, perlu dilakukan suatu penelitian yang dapat menjelaskan apa sebenarnya esensi atau makna dari
kebahagiaan sehingga makna kebahagiaan yang diperoleh dapat berperan terhadap terapi mindfulness yang diberikan Mogilner, Kamvar, Aaker,
2011. Sebagai contoh, jika individu memaknai kebahagiaan sebagai penerimaan, maka terapi
mindfulness yang diberikan
sebaiknya juga
menekankan aspek penerimaan. Sebagai pendekatan yang berpengaruh terhadap kebahagiaan,
mindfulness pada dasarnya merupakan jantung atau inti dari meditasi dalam Buddhisme Thera, dalam Kabat-Zinn, 2003. Untuk mengembangkan
ketrampilan mindfulness, Kabat-Zinn 2003 menyebutkan bahwa praktik meditasi merupakan landasan yang utama. Dalam praktik mindfulness, individu
mengamati bagaimana kesadaran persepsi, kognisi, emosi, atau sensasi bekerja dengan tidak menghakimi segala yang muncul dan terjadi di sana
Baer, 2003. Mindfulnes bukan aktivitas mistis atau spiritual, juga bukan jawaban dari semua masalah. Namun, dengan praktik mindfulness, semua
permasalahan dalam hidup dapat dilihat dengan lebih jelas melalui pikiran yang jernih Kabat Zinn, 1990.
Mindfulness memiliki beberapa pengaruh terhadap subjective well- being. Dengan pendekatan mindfulness, afek negatif dapat berkurang secara
signifikan dan kepuasan hidup dapat meningkat Collard, Avny, Boniwell, 2008. Brown dan Ryan dalam Collard, et al., 2008 juga menyatakan bahwa
mindfulness berpengaruh terhadap well-being secara umum.
Sampai saat ini, pendekatan berbasis mindfulness mulai banyak diterapkan dalam berbagai konteks. Dalam konteks klinis, mindfulness
diterapkan dalam beberapa intervensi seperti mindfulness-based stress reduction atau MBSR dan mindfulness-based cognitive therapy atau MBCT
Baer, 2003. MBSR merupakan latihan ketrampilan meditasi mindfulness, tidak hanya dalam meditasi duduk, namun juga dalam aktivitas sehari-hari
seperti berjalan, berdiri, dan makan. Dalam MBSR, partisipan juga mendapat kesempatan untuk berdiskusi, khususnya tentang stres dan penanggulangannya.
MBCT merupakan intervensi yang berdasarkan pada MBSR. Dalam MBCT, partisipan dilatih untuk mengamati pikiran dan perasaannya tanpa menghakimi.
Pada akhirnya, partisipan diharapkan dapat melihat pikiran dan perasaannya sebagai peristiwa mental yang selalu berlalu dan tidak lekat terhadapnya.
Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa
intervensi berbasis
mindfulness terbukti memiliki pengaruh positif terhadap banyak hal. Kabat- Zinn 1982 dan Gardner-Nix dalam Didonna, 2009 menyatakan bahwa
intervensi mindfulness berpengaruh positif terhadap penanggulangan rasa sakit kronis. Proses penyembuhan psoriasis mengalami peningkatan setelah
intervensi mindfulness, khususnya MBSR Kabat-Zinn, 2003. Dengan ketrampilan yang diajarkan dalam intervensi mindfulness, gangguan kecemasan
yang dialami individu dapat berkurang Kabat-Zinn et al., 1992; Greeson Brantley, dalam Didonna, 2009. Intervensi mindfulness juga berpengaruh
positif terhadap gangguan makan, seperti anoreksia nervosa, bullimia nervosa, dan binge eating disorder Wolever Best, dalam Didonna, 2009. Menurut
Teasdale et al. 2000 serta Barnhofer dan Crane dalam Didonna, 2009, gangguan depresi mengalami penurunan setelah intervensi mindfulness.
Pengaruh positif dari intervensi berbasis mindfulness juga nampak pada gangguan obsesif-kompulsif, borderline personality disorder, perilaku adiktif,
trauma dan post-traumatic stress disorder, attention-deficit hyperactivity disorder, psychosis Didonna, Rizvi et al., Bien, Follette Vijay, Zylowska
et al., Pinto, dalam Didonna, 2009. Hasil penelitian-penelitian menunjukkan bahwa praktik mindfulness
memang memiliki pengaruh positif dan terbukti efektif menangani kondisi psikologis dan fisik. Namun, karena adanya kesulitan dalam operasionalisasi
mindfulness, proses yang mendasari praktik mindfulness masih belum dapat dipahami dengan baik Chambers, Lo, Allen, 2007. Oleh karena itu,
Shapiro 2005 menyatakan bahwa penelitian-penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi bagaimana mindfulness bekerja. Grabovac, Lau, dan Willett
2011 dalam Buddhist Psychological Model sudah mencoba menjelaskan mekanisme mindfulness berdasarkan teks di dalam Buddhisme. Namun, karena
penelitian ini ditujukan untuk mengkaji mindfulness dalam konteks psikologi sebagai ilmu, mekanisme tersebut masih perlu dieksplorasi melalui pendekatan
empiris yang sistematis, khususnya dalam konteks klinis saat ini sehingga diharapkan akan didapat data yang sesuai dengan pengalaman, kondisi mental,
dan kondisi pikiran individu. Dengan demikian, pada akhirnya data yang didapat akan memberi gambaran kontekstual mengenai peran meditasi
mindfulness terhadap individu secara umum dan pemaknaan kebahagiaan secara khusus.
Berdasarkan keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian mindfulness sebelumnya, peneliti ingin mengeksplorasi peran mindfulness terhadap
pemaknaan kebahagiaan atau subjective well-being. Dengan mengeksplorasi peran mindfulness, mekanisme yang terselubung di dalamnya dapat terungkap,
khususnya dalam kaitannya dengan pemaknaan kebahagiaan.
B. RUMUSAN MASALAH