Medan. Dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok subyek memiliki tingkat asertivitas yang tinggi.
Tabel 8. Norma Kategori Skor
Kategori Keterangan
X ≤ μ – 1,5.σ
Sangat rendah μ – 1,5.σ X ≤ μ – 0,5.σ
Rendah μ – 0,5.σ X ≤ μ + 0,5.σ
Sedang μ + 0,5.σ X ≤ μ + 1,5.σ
Tinggi μ + 1,5.σ X
Sangat tinggi Keterangan :
μ : Mean Teoritis σ : Standar Deviasi
Tabel 9. Kategori perilaku asertif kelompok subyek di Yogyakarta
Rentang Nilai Kategori
Jumlah Subyek Persentase
X ≤ 84
Sangat rendah 84 X
≤ 108 Rendah
3 6
108 X ≤ 132
Sedang 22
44 132 X
≤ 156 Tinggi
19 38
156 X Sangat tinggi
6 12
Total 50
100
Di antara subyek yang ada di Yogyakarta, tidak ada subyek yang berada pada kategori “sangat rendah” 0 , pada kategori “rendah” ada 3 orang 6 , pada
kategori “sedang” ada 22 orang 44 , sedangkan pada kategori “tinggi” terdapat 19 orang 38 , dan pada kategori “sangat tinggi” ada 6 orang 12 .
Tabel 10. Kategori perilaku asertif kelompok subyek di Medan
Rentang Nilai Kategori
Jumlah Subyek Persentase
X ≤ 84
Sangat rendah 84 X
≤ 108 Rendah
2 4
108 X ≤ 132
Sedang 13
26 132 X
≤ 156 Tinggi
26 52
156 X Sangat tinggi
9 18
Total 50
100
Di antara subyek yang ada di Medan, tidak terdapat subyek yang berada pada kategori “sangat rendah” 0 , pada kategori “rendah” ada 2 orang 4 , pada
kategori “sedang” ada 13 orang 26 , sedangkan pada kategori “tinggi” terdapat 26 orang 52 , dan pada kategori “sangat tinggi” ada 9 orang 18 .
Berdasarkan pada hasil tersebut, kategorisasi “sangat tinggi” pada subyek yang ada di Medan 18 lebih tinggi dari subyek yang ada di Yogyakarta 12 .
Hal tersebut membuktikan bahwa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.
E. Pembahasan
Pembahasan ini terfokus pada tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan
mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan. Berdasarkan hasil analisis data statistik uji hipótesis yang telah dilakukan menunjukkan ada perbedaan tingkat asertivitas
antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan. Hasil analisis tersebut dibuktikan dengan nilai p 0,05 yang
menunjukkan bahwa Ho ditolak. Jumlah mean juga menunjukkan bahwa subyek yang ada di Yogyakarta 134,24 lebih kecil bila dibandingkan dengan subyek yang ada di
Medan 142,42. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada
di Yogyakarta. Berdasarkan temuan empiris dalam penelitian ini, tampak bahwa ada
perbedaan tingkat asertivitas antara kedua kelompok subyek. Adanya perbedaan kultur budaya mempengaruhi adanya perbedaan satu sama lain dalam berperilaku
asertif. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya variasi hasil pengkategorisasian tingkat asertivitas, mulai dari rentang sangat tinggi hingga yang rendah.
Dalam penelitian ini tidak terdapat subyek yang berada dalam kategori sangat rendah. Namun ada beberapa subyek yang berada dalam rentang “rendah”, baik itu
pada kelompok subyek yang ada di Yogyakarta 6 maupun pada kelompok subyek yang ada di Medan 4 . Oleh karena itu, dapat dikatakan mereka yang berada dalam
kategori ini memiliki ketidakmampuan untuk berperilaku asertif. Adams 1995, mengemukakan beberapa alasan mengapa orang mempunyai kecenderungan tidak
dapat berperilaku asertif, antara lain karena adanya keinginan untuk menyenangkan orang lain yang membutuhkan dukungan, adanya rasa takut menyinggung orang lain,
adanya ketakutan mendapat hukuman atau kehilangan sahabat, adanya perasaan bersalah, adanya keinginan berkompromi dengan masyarakat dan keinginan untuk
mengidentifikasikan diri dengan orang lain. Beberapa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan, yang terdiri dari 2 remaja puteri mempunyai kemampuan asertif yang
rendah. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena ada beberapa orang tua yang masih mengikuti pola pikir beberapa masyarakat terdahulu, dimana anak perempuan dituntut
untuk bersikap pasif dalam menyelesaikan masalah keluarga, karena sejak dini telah ditanamkan bahwa anak perempuan pada suku Batak tidak bisa menjadi “ahli waris”
keluarga Siahaan, 1982. Bila dilihat secara keseluruhan, pada umumnya mahasiswa Batak Toba
memiliki tingkat asertivitas yang tinggi. Dalam hal ini dibuktikan dengan mean empiris yang lebih besar bila dibandingkan dengan mean teoritis 120, baik dari
kelompok subyek yang ada di Yogyakarta maupun kelompok subyek yang ada di Medan. Hal tersebut juga diperkuat dengan pengkategorisasian skor tingkat asertivitas
mahasiswa Batak Toba yang didominasi pada kategori “sedang”, “tinggi”, hingga “sangat tinggi”. Ini disebabkan adanya faktor seperti kebudayaan yang senantiasa
berhubungan dengan norma-norma yang ada dan sudah tertanam semenjak kecil. Sebagai salah satu contoh adalah kuatnya pengaruh keluarga pada suku Batak, yang
direalisasikan dalam bentuk perlakuan orang tua yang senantiasa menanamkan keberanian dalam mengutarakan pendapatnya kepada orang lain, termasuk kepada
orang yang lebih tua dan mempunyai pengaruh cukup besar dalam keluarga Gultom, 1992. Dengan demikian faktor kebudayaan tidak bisa lepas dari pola asuh orang tua,
karena kebudayaan secara tidak langsung berkaitan dengan hal-hal yang telah ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya sejak usia dini. Oleh karena itu