Perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan.

(1)

ABSTRAK

Perbedaan Tingkat Asertivitas Antara Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Yogyakarta Dengan Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Medan

Winda Nora Yolanda Marpaung Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan. Asertivitas adalah perilaku dalam interaksi sosial yang ditandai oleh adanya beberapa aspek antara lain : kemampuan mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, pikiran, ide dan hak pribadi tanpa kecemasan, pengungkapan emosi yang tepat, mampu menciptakan kesetaraan dalam hubungan interpersonal, kemampuan untuk jujur dan terbuka, serta kemampuan untuk bersikap tegas dan aktif. Kemampuan seseorang untuk berperilaku asertif dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, kebudayaan, usia, jenis kelamin, dan strategi coping. Berdasarkan latar belakang, peneliti mengasumsikan bahwa ada perbedaan asertivitas, dimana mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.

Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Batak Toba berusia 17-25 tahun, dengan rincian 50 mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Medan sejak kecil atau bahkan sejak dari lahir, dan 50 mahasiswa Batak Toba yang tinggal selama ± 2-3 tahun di Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat perbedaan, dengan cara membandingkan tingkat asertivitas (sebagai variabel tergantung) dengan lingkungan tempat tinggal (sebagai variabel bebas). Metode pengambilan data adalah penyebaran skala untuk diisi oleh subyek. Alat pengumpulan data adalah skala asertivitas. Uji coba kesahihan butir dan reliabilitas skala penelitian menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,9149, yang menunjukkan tes tersebut status andal.

Data penelitian dianalisis dengan teknik Independent Sample t-test. Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data yang ada adalah normal dan homogen. Probabilitas yang diperoleh adalah 0,030 (p < 0,05). Artinya hipótesis yang menyatakan ada perbedaan antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan diterima. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat asertivitas, dimana mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.


(2)

ABSTRACT

The Differences Level Of The Assertive Behavior Between Batak Toba Students In Yogyakarta And In Medan

Winda Nora Yolanda Marpaung Sanata Dharma University

Yogyakarta

The research’s aims is to find out the differences of the assertive behavior between Batak Toba students in Yogyakarta and in Medan. Assertivity is a behavior in social interaction which is marked by several aspects, such as : the ability to communicate needs, thoughts, ideas, and private rights without anxiety; to express emotion; to create an equal interpersonal relation; to be honest; and to act firmly and actively. The ability to behave assertively is influenced by the parents’ fostering pattern, culture, age, sex, and coping strategy. Based on the background, it can be assumed that there are assertive behavior level differences between Batak Toba students in Yogyakarta and in Medan. The assumption is those who are living in Medan are more assertive than those who are living in Yogyakarta.

The subjects in this research were 100 Batak Toba students aged between 17 to 25 years old. 50 of these students had been living in Medan since they were children or since they were born, and the other 50 had been living in Yogyakarta for 2 or 3 years. The technique applied in this research was the comparative technique to find out the differences of the assertive behavior by comparing the assertive behavior level (as the bound variable) to the neighborhood where the subjects had been living (as the free variable). The method used to collect the data was by distributing scales to the subjects to be filled. The data collecting tools were the assertive behavior scales. The reliability coefficient as the result of the validity and reliability test of the research scales was 0.9149 which showed that the test was reliable.

The research data are analyzed using the Independents Sample t-test. The result of the data analysis shows that the available data distribution is normal and homogenous. The probability result is 0.030 (p < 0.05). It means that the hypothesis which states that there are differences level of the assertive behavior between Batak Toba students in Yogyakarta and in Medan is accepted. Therefore, it can be concluded that there are assertive behavior level differences between Batak Toba students in Yogyakarta and in Medan where Batak Toba students in Medan are more assertive than Batak Toba students in Yogyakarta.


(3)

PERBEDAAN TINGKAT ASERTIVITAS ANTARA MAHASISWA BATAK TOBA YANG ADA DI YOGYAKARTA DENGAN MAHASISWA BATAK

TOBA YANG ADA DI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh :

Winda Nora Yolanda Marpaung NIM : 029114118

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

ABSTRAK

Perbedaan Tingkat Asertivitas Antara Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Yogyakarta Dengan Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Medan

Winda Nora Yolanda Marpaung Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan. Asertivitas adalah perilaku dalam interaksi sosial yang ditandai oleh adanya beberapa aspek antara lain : kemampuan mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, pikiran, ide dan hak pribadi tanpa kecemasan, pengungkapan emosi yang tepat, mampu menciptakan kesetaraan dalam hubungan interpersonal, kemampuan untuk jujur dan terbuka, serta kemampuan untuk bersikap tegas dan aktif. Kemampuan seseorang untuk berperilaku asertif dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, kebudayaan, usia, jenis kelamin, dan strategi coping. Berdasarkan latar belakang, peneliti mengasumsikan bahwa ada perbedaan asertivitas, dimana mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.

Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Batak Toba berusia 17-25 tahun, dengan rincian 50 mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Medan sejak kecil atau bahkan sejak dari lahir, dan 50 mahasiswa Batak Toba yang tinggal selama ± 2-3 tahun di Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat perbedaan, dengan cara membandingkan tingkat asertivitas (sebagai variabel tergantung) dengan lingkungan tempat tinggal (sebagai variabel bebas). Metode pengambilan data adalah penyebaran skala untuk diisi oleh subyek. Alat pengumpulan data adalah skala asertivitas. Uji coba kesahihan butir dan reliabilitas skala penelitian menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,9149, yang menunjukkan tes tersebut status andal.

Data penelitian dianalisis dengan teknik Independent Sample t-test. Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data yang ada adalah normal dan homogen. Probabilitas yang diperoleh adalah 0,030 (p < 0,05). Artinya hipótesis yang menyatakan ada perbedaan antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan diterima. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat asertivitas, dimana mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.


(9)

ABSTRACT

The Differences Level Of The Assertive Behavior Between Batak Toba Students In Yogyakarta And In Medan

Winda Nora Yolanda Marpaung Sanata Dharma University

Yogyakarta

The research’s aims is to find out the differences of the assertive behavior between Batak Toba students in Yogyakarta and in Medan. Assertivity is a behavior in social interaction which is marked by several aspects, such as : the ability to communicate needs, thoughts, ideas, and private rights without anxiety; to express emotion; to create an equal interpersonal relation; to be honest; and to act firmly and actively. The ability to behave assertively is influenced by the parents’ fostering pattern, culture, age, sex, and coping strategy. Based on the background, it can be assumed that there are assertive behavior level differences between Batak Toba students in Yogyakarta and in Medan. The assumption is those who are living in Medan are more assertive than those who are living in Yogyakarta.

The subjects in this research were 100 Batak Toba students aged between 17 to 25 years old. 50 of these students had been living in Medan since they were children or since they were born, and the other 50 had been living in Yogyakarta for 2 or 3 years. The technique applied in this research was the comparative technique to find out the differences of the assertive behavior by comparing the assertive behavior level (as the bound variable) to the neighborhood where the subjects had been living (as the free variable). The method used to collect the data was by distributing scales to the subjects to be filled. The data collecting tools were the assertive behavior scales. The reliability coefficient as the result of the validity and reliability test of the research scales was 0.9149 which showed that the test was reliable.

The research data are analyzed using the Independents Sample t-test. The result of the data analysis shows that the available data distribution is normal and homogenous. The probability result is 0.030 (p < 0.05). It means that the hypothesis which states that there are differences level of the assertive behavior between Batak Toba students in Yogyakarta and in Medan is accepted. Therefore, it can be concluded that there are assertive behavior level differences between Batak Toba students in Yogyakarta and in Medan where Batak Toba students in Medan are more assertive than Batak Toba students in Yogyakarta.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Perbedaan Tingkat Asertivitas Antara Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Yogyakarta Dengan Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Medan” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama penelitian sampai penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak berupa bimbingan, dorongan, serta pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2. Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing atas segala bimbingan, saran, serta pengarahan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

3. V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si atas segala masukan berupa kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

4. MM. Nimas Eki Suprawati, S.Psi., Psi. atas segala masukan berupa kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Bapak, mamak atas segala doa, kesabaran, dan dukungan yang luar biasa berarti bagi aku.

6. Abang Dana atas dukungan dan adekku Roi yang dengan sigap membantu selama penelitian di Medan.


(11)

7. Ade Bella “ndutku jleek”, atas segala cinta dan air mata yang pernah kau berikan, untuk persahabatan, dukungan serta doa yang begitu besar.

8. Uut, Firman, Dedek, Vina, Eko dan teman-teman yang lain, atas segala keceriaan selama di Medan.

9. Bapak dan Ibu Gatot “orang tua ke-2”, atas segala dukungan dan doa.

10. Aiu_mutz, atas persahabatan, pengertian, tawa, dan air mata yang pernah kita lakukan bersama.

11. Ephot_merepetwati, Deo_tampan, Mb’ Desy, Tics_cute, Ika_Delphika, Uci_lussy, Rista, Tamie, Astin, Rosa dan semua anak-anak kos “PELANGI”, atas segala doa, dukungan, masukan, serta keanehan-keanehan yang menyenangkan.

12. Gaband, atas bantuannya mengisi tinta printerku. Bang Ari, Vica, Hunny, Adek Enat, Andrie_Kera, Fungci, Louis, Weny, dan teman-teman yang telah membantu dalam penyebaran kusioner.

13. Mahasiswa Batak Toba yang telah membantu dalam pengisian kuisioner…”Mauliate Godang”.

14. K’ Monik (thanks ya kak terjemahannya emang “nyuuusssss”), Adek Poke, Cecil+Friska (kapan niey kuliner bareng?), Sutri, Dina, Katrin, Tina, Dewi, Donat, May, dan semua teman-teman di Psikologi, khususnya angkatan ’02…”BERSEMANGAT!!!”.

15. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...ii

HALAMAN PENGESAHAN ………..iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………v

ABSTRAK ………...vi

ABSTRACT ………vii

KATA PENGANTAR ………...viii

DAFTAR ISI ………x

DAFTAR TABEL ………..xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………..xiv

BAB I. PENDAHULUAN ………1

A. Latar Belakang ………1

B. Rumusan Masalah ………...5

C. Tujuan Penelitian ………5

D. Manfaat Penelitian ………..5

1. Manfaat Teoritis ………6

2. Manfaat Praktis ……….6

BAB II. LANDASAN TEORI ………..7

A. Asertivitas ………7

1. Pengertian Perilaku Asertif ………...7


(13)

B. Lingkungan Tempat Tinggal ……….13

1. Pengertian Tempat Tinggal ……….13

2. Kebudayaan ……….14

3. Budaya Jawa Di Yogyakarta ………...15

4. Budaya Batak Toba Di Medan ………17

C. Dinamika Perbedaan Variabel Penelitian ………..18

D. Hipotesis Penelitian ………...21

BAB III. METODE PENELITIAN ……….22

A. Jenis Penelitian ………..22

B. Variabel Penelitian ………22

1. Variabel Bebas ………22

2. Variabel Tergantung ………....22

C. Definisi Operasional ………..23

a. Asertivitas ………23

b. Lingkungan Tempat Tinggal ………...24

D. Subyek Penelitian ………..24

E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data ………26

F. Validitas Dan Reliabilitas ………..28

a. Validitas ………...28

b. Reliabilitas ………...29

G. Analisis Data ……….30

BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………31

A. Persiapan Penelitian Dan Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur ……….31

1. Persiapan Penelitian ………31


(14)

3. Hasil Uji Coba Alat Penelitian ………32

a. Estimasi Validitas ………..32

b. Estimasi Reliabilitas ………..35

B. Pelaksanaan Penelitian ………..35

C. Hasil Penelitian ……….37

1. Uji Normalitas ……….37

2. Uji Homogenitas ………..38

3. Uji Hipotesis ………39

D. Kriteria Berdasarkan Kategori Perilaku Asertif ………41

E. Pembahasan ………...44

BAB V. PENUTUP ……….50

A. Kesimpulan ………50

B. Saran ………..50

1. Bagi Subyek Penelitian ………...50

2. Bagi Peneliti Lain ………50

DAFTAR PUSTAKA ………..52


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Aspek dan Distribusi Aitem Skala Perilaku Asertif Sebelum Uji Coba …...27

Tabel 2. Aspek dan Distribusi Aitem Skala Perilaku Asertif Setelah Uji Coba …...33

Tabel 3. Rangkuman Subyek Penelitian ………..36

Tabel 4. Ringkasan Uji Normalitas ……….38

Tabel 5. Ringkasan Homogenitas ………39

Tabel 6. Ringkasan Uji-t ……….39

Tabel 7. Ringkasan Mean Empiris Kelompok Subyek Yang Ada Di Yogyakarta Dan Medan………41

Tabel 8. Norma Kategori Skor ………42

Tabel 9. Kategori Perilaku Asertif Kelompok Subyek Di Yogyakarta ………...42


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Skala Tingkat Asertivitas Untuk Uji Coba Aitem ………...55

Data Hasil Try Out………..60

Estimasi Validitas Aitem ……….67

Estimasi Reliabilitas Aitem ……….70

Skala Tingkat Asertivitas Setelah Uji Coba ………72

Data Hasil Penelitian ………...77

Uji Normalitas ……….89

Uji Homogenitas ………..91

Uji Hipotesis ………91

Surat Keterangan Fakultas Untuk Melakukan Penelitian ………92


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia pada dasarnya merupakan individu yang tidak dapat hidup sendiri, sebab manusia memerlukan dukungan dan bantuan dari orang lain untuk beradaptasi di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan sesamanya sepanjang hidupnya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan yang mengemukakan bahwa individu memerlukan hubungan dengan lingkungan yang menggiatkannya, merangsang perkembangannya, atau yang memberi sesuatu yang ia perlukan (Gerungan, 2004). Oleh karena itu, kebutuhan untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain sangatlah penting dalam membina hubungan yang baik dengan lingkungan sosialnya.

Komunikasi tersebut dapat berjalan secara efektif apabila individu mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara langsung, jujur dan tidak mengganggu hak pribadi orang lain (Adams, 1995). Komunikasi sendiri dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu komunikasi secara non asertif, komunikasi secara agresif dan komunikasi secara asertif. Lange dan Jukobowski (Hare dalam Probowo, 2000) menggambarkan komunikasi non asertif sebagai kegagalan untuk mengekspresikan secara jujur perasaan, pikiran, dan kepercayaan, serta membiarkan pihak lain mengganggu haknya. Komunikasi secara agresif adalah komunikasi dimana individu mengekspresikan perasaan, pikiran, dan kepercayaannya secara berlebihan, sehingga mengganggu hak orang lain (Townend dalam Probowo, 2000). Komunikasi yang agresif tersebut cenderung berkeinginan untuk menyalahkan pihak lain,


(18)

menghakimi, dan bersifat menyerang. Komunikasi secara asertif terjadi apabila individu mampu menyatakan haknya dengan menghormati dan tidak mengganggu orang lain (Townend dalam Probowo, 2000). Oleh karena itu, komunikasi secara asertif bertujuan untuk mengekspresikan pikiran, perasaan dan keyakinannya secara langsung, jujur, dan tidak mengganggu hak pribadi orang lain. Hal tersebut berkaitan juga dengan keinginan individu untuk memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan pada penjelasan tersebut, penting bagi individu untuk mengembangkan kemampuan asertif yang baik dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Kemampuan asertif adalah kemampuan untuk terbuka terhadap diri sendiri secara jujur serta mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya, tanpa menyakiti serta tidak melanggar hak orang lain (Rakos, 1991). Seseorang dikatakan mampu bersikap asertif apabila ia mampu untuk mengungkapkan pendapat dan keinginannya secara langsung, tanpa disertai perasaan cemas. Selain itu seseorang juga dapat dikatakan bersikap asertif apabila ia mampu berkata “tidak” jika diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya, tanpa disertai perasaan bersalah, sehingga ia mampu untuk mengungkapkan kebutuhan sendiri tanpa merasa terbebani.

Kemampuan untuk bersikap asertif ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain pola asuh orangtua, kebudayaan, usia, jenis kelamin, dan strategi coping (Santosa, 1999). Faktor yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah faktor kebudayaan yang biasanya berhubungan dengan norma-norma yang ada dan sudah tertanam semenjak kecil. Salah satu contohnya adalah kuatnya pengaruh keluarga pada suku Batak, yang direalisasikan dalam bentuk perlakuan orang tua yang senantiasa menanamkan keberanian dalam mengutarakan pendapatnya kepada orang lain, termasuk kepada orang yang lebih tua dan mempunyai pengaruh cukup besar


(19)

dalam keluarga (Gultom, 1992). Hal tersebut dilakukan karena orang tua pada umumnya mengharapkan adanya keberanian dalam diri anak-anak mereka sehingga terbiasa menghadapi kehidupan di luar ruang lingkup keluarga, misalnya di sekolah maupun dalam ruang lingkup organisasi tertentu. Dengan kata lain, besarnya tingkat asertivitas seseorang disesuaikan dengan norma masyarakat atau lingkungan sekitarnya (Rakos dalam Santosa, 1999). Hal ini dapat menimbulkan masalah apabila individu memilih atau dihadapkan pada pilihan untuk tinggal dan berdomisili di lingkungan baru yang memiliki kultur cenderung berbeda bila dibandingkan dengan lingkungan asal.

Masalah tersebut juga dihadapi oleh mahasiswa Batak Toba yang berdomisili di daerah Yogyakarta, sebab mereka cenderung berinteraksi dengan berbagai suku terutama suku Jawa yang sangat kuat pengaruhnya di Yogyakarta. Mereka kemungkinan lebih sulit mengutarakan pikiran dan perasaan secara langsung karena mereka merasakan adanya benturan antara kebudayaan yang mereka miliki dengan kultur budaya tempat tinggal mereka, yaitu daerah Yogyakarta. Achmad, Suseno & Reksosusilo menyatakan bahwa budaya Jawa tersebut senantiasa menekankan prinsip kerukunan dan keselamatan sosial (dalam Santosa, 1999). Oleh karena itu, membuka perasaan hati begitu saja dinilai negatif bagi orang Jawa (Suseno, 2001). Berlaku secara mendadak dan spontan dianggap sebagai tanda kekurangdewasaan. Hal tersebut dipandang sebagai usaha yang berlebihan karena reaksi-reaksi yang diterima terasa kurang mengenakkan, sehingga memperlihatkan adanya kekacauan batin atau kurangnya kontrol diri bagi orang Jawa (Mulder dan Geertz dalam Suseno, 2001).

Situasi yang dialami oleh mahasiswa Batak Toba yang berdomisili di Yogyakarta tersebut dapat menyebabkan mereka menjadi individu yang kurang terbuka dan cenderung “hati-hati” sehingga tidak mampu mengkomunikasikan pesan


(20)

dan perasaan mereka yang sesungguhnya. Akibatnya, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, dan menjadi kurang spontan dalam mengungkapkan diri.

Oleh karena itu, kemampuan asertif diperlukan untuk menciptakan hubungan yang jujur dan sehat, misalnya dengan meminta orang lain mengerjakan sesuatu tanpa merasa bersalah atau cemas, serta jujur dalam mengekspresikan pendapat pribadinya kepada tokoh yang berwenang dengan penuh percaya diri. Kemampuan asertif juga membuat individu mampu menjaga keterbukaan, membiarkan informasi baru dan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan yang jujur mengalir secara bolak-balik (Cawood, 1997).

Hal tersebut mendukung individu untuk membangun hubungan relasional yang baik dan efektif, sehingga mampu mengurangi konflik, kegagalan, dan ketidakpuasan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Lloyd, 1991). Situasi yang berbeda dialami oleh mahasiswa Batak Toba yang tinggal di daerah Medan. Mereka lebih sering berinteraksi dengan masyarakat suku yang sama, yang pada umumnya lugas, terbuka, dan secara spontan dapat mengungkapkan apa yang dirasakan da dipikirkan. Suku Batak Toba sendiri merupakan salah satu suku di Indonesia yang terbiasa dengan budaya keterbukaan. Gultom (1992) menyatakan bahwa suku Batak pada umumnya terbuka dalam mempertahankan serta mengungkapkan perasaan dan nilai-nilai pribadi yang diyakininya.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan.


(21)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis. Kedua manfaat yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Bagi para peneliti, penelitian ini diharapkan dapat merangsang penelitian baru yang hendak mengkaji topik yang berkaitan dengan kemampuan berperilaku asertif sehingga dapat menambah khasanah ilmu Psikologi, terutama Psikologi Sosial.

2. Manfaat praktis

Bagi subyek penelitian, hasil penelitian ini kiranya berguna sebagai sumber informasi dan refleksi untuk mengembangkan kemampuan berperilaku asertif yang lebih efektif dalam kehidupan.


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Asertivitas

1. Pengertian Perilaku Asertif

Kata asertivitas atau perilaku asertif berasal dari kata assert yaitu menegaskan satu atau beberapa hal yang mengandung unsur hak asasi manusia, kejujuran serta pengungkapan emosi yang tepat (Santosa, 1999). Llyod (1991) menyatakan bahwa perilaku asertif bersikap aktif, langsung dan jujur. Lazarus & Fersteheim (dalam Santosa, 1999) menyatakan bahwa asertivitas adalah kemampuan individu untuk mengatakan tidak; meminta pertolongan; mengekspresikan perasaan positif maupun negatif secara wajar; menyatakan diri secara bebas; mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup dan berusaha agar keinginannya terwujud tetapi tetap mampu menghargai orang lain. Cawood (1997) mendefinisikan asertivitas sebagai suatu bentuk pengungkapan pikiran, perasaan, kebutuhan dan hak-hak secara langsung dan jujur, tanpa kecemasan yang beralasan. Jadi tingkah laku asertif mengandung kejujuran dan spontanitas yang tepat dalam mengekspresikan perasaan, tanpa adanya perasaan cemas.

Sejalan dengan pendapat sebelumnya, tentang perilaku asertif dalam berbagai sumber (http:www/uiowa.edu/~ucs/asertcom.html.page-1) dinyatakan sebagai berikut :

“Assertiveness is the ability to honestly express your opinions feelings, attitudes and rights, without undue anxiety, in way that doesn’t infringe on the rights of others”.

(Asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk mengekspresikan pendapat-pendapatnya, sikap dan hak-haknya secara tulus atau jujur, tanpa


(23)

adanya kecemasan yang tidak wajar, dan tanpa melanggar hak-hak orang lain) (Barnette,2001, hal 1).

Fernsterheim & Baer (dalam Elyana, 1997) mendefinisikan asertivitas sebagai kemampuan individu untuk menyatakan diri secara terbuka, jujur, langsung dan sebagaimana mestinya. Selain itu, individu yang asertif senantiasa mampu menyatakan apa yang dirasakan, dipikirkan, diinginkan, serta secara aktif mengungkapkan siapakah dirinya. Dengan kata lain, asertivitas memungkinkan individu untuk bersikap tegas, aktif, serta memiliki keyakinan yang kuat terhadap apa yang dilakukannya.

Adams (1995) mengatakan bahwa perilaku asertif adalah kemampuan untuk terbuka terhadap diri sendiri, jujur serta mampu mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, ide dan hak-hak pribadi sambil tetap mampu menghormati orang lain. Dengan demikian perilaku asertif menciptakan kualitas dalam hubungan antara individu.

Rimm & Masters (dalam Rakos, 1991) mendefinisikan asertivitas sebagai kemampuan individu untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara langsung dan jujur, namun tetap menjaga perasaan dan kesejahteraan orang lain, sehingga tercipta hubungan interpersonal yang baik dalam lingkungan sosialnya.

Galassi & Galassi (dalam Rakos, 1991) menyatakan bahwa individu yang asertif senantiasa mampu mengungkapkan pendapat pribadinya, mampu menyatakan perasaan yang bersifat positif seperti memberikan pujian terhadap orang lain. Selain itu, ia juga mampu mengutarakan perasaan-perasaan yang bersifat negatif misalnya menyatakan perasaan marah, jengkel, serta menolak permintaan orang lain.


(24)

Alberti dan Emmons (1987) mendefinisikan asertivitas sebagai perilaku yang memungkinkan individu untuk :

a. Mengembangkan kesetaraan dalam hubungan interpersonal dimana kedua belah pihak berdiri atas dasar yang sama yaitu dapat saling menyeimbangkan kekuatan sehingga tidak ada pihak yang menang maupun kalah.

b. Mempertahankan hak tanpa adanya perasaan cemas yaitu dengan mampu mengekspresikan dukungan atau bantahan terhadap pendapat orang lain, menyatakan kekecewaan, serta berani berkata tidak.

c. Mengekspresikan perasaan secara terbuka dan nyaman.

d. Berbuat menurut kepentingan yang dianggapnya baik, seperti meminta bantuan orang lain, meyakini penilaian pribadi, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku asertif adalah perilaku dalam interaksi sosial yang ditandai dalam beberapa aspek :

1. Kemampuan mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, pikiran, ide dan hak pribadi tanpa kecemasan.

a) Mengajukan permintaan secara jelas.

b) Mempertahankan hak tanpa adanya perasaan cemas. 2. Pengungkapan emosi yang tepat.

a) Mampu berkata “tidak”.

b) Mengekspresikan perasaan positif maupun negatif secara wajar.

c) Mengekspresikan dukungan dan bantahan terhadap pendapat orang lain. 3. Mampu menciptakan kesetaraan dalam hubungan interpersonal.


(25)

b) Tidak memanfaatkan ataupun merugikan pihak lain. 4. Kemampuan untuk jujur dan terbuka.

a) Mengekspresikan perasaan secara jujur dan tulus. b) Mengungkapkan pendapat dan keyakinan dengan tepat. 5. Kemampuan untuk bersikap tegas dan aktif.

a) Tegas dan memiliki keyakinan yang kuat akan tindakannya. b) Menyatakan diri secara bebas.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Asertif

Manusia tidak akan menjadi asertif dengan sendirinya, artinya ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan timbulnya perilaku asertif. Santosa (1999) mengungkapkan lima faktor yang mempengaruhi asertivitas, yaitu :

a. Pola asuh orangtua.

Ada tiga macam pola asuh orangtua, yaitu : a) Pola asuh otoriter

Pada pola asuh otoriter orangtua akan mendidik anak secara keras, disiplin dan penuh dengan aturan-aturan yang pada dasarnya membatasi ruang lingkup anak. Akibatnya, anak akan menjadi remaja yang senantiasa bergantung pada orang lain. Apabila pola asuh disertai perilaku agresif, maka di kemudian hari anak berkembang menjadi remaja yang sulit mengontrol dirinya.

b) Pola asuh demokratis

Pada pola ini orangtua akan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang tetapi tidak dengan cara memanjakan mereka. Orangtua akan banyak mendiskusikan berbagai permasalahan dengan anak sehingga anak


(26)

mengerti tentang apa yang benar serta mampu mengkomunikasikan keinginan mereka secara wajar.

c) Pola asuh permisif

Orangtua pada pola asuh ini mendidik anak tanpa aturan yang mengikat dan memperbolehkan segala keinginan anak tanpa adanya tuntutan-tuntutan tertentu. Akibatnya, anak akan terbiasa untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat.

b. Kebudayaan.

Kebudayaan biasanya berhubungan dengan norma-norma yang ada dan mempunyai peranan yang cukup besar dalam mempengaruhi terbentuknya perilaku asertif. Geertz, 1961 (dalam Suseno, 2001) mengatakan bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. Hal ini mempunyai peranan yang cukup besar dalam mempengaruhi terbentuknya perilaku asertif.

c. Usia.

Usia merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku asertif. Perilaku asertif pada anak kecil belum terbentuk karena struktur kognitifnya belum memungkinkan mereka untuk menyatakan apa yang diinginkan dengan baik dan jelas. Pada masa remaja dan dewasa perilaku asertif menjadi lebih berkembang, sedang pada usia lanjut tidak begitu jelas perkembangannya.


(27)

d. Jenis Kelamin.

Laki-laki dianggap lebih asertif daripada perempuan. Hal ini tidak lepas dari tuntutan masyarakat yang menjadikan laki-laki lebih agresif, mandiri dan kompetitif, sedangkan perempuan pada umumya pasif dan tergantung.

e. Strategi Coping.

Coping merupakan bentuk penyesuaian diri yang melibatkan unsur kognisi dan afeksi seseorang guna mengatasi masalah yang ada pada dirinya. Mereka yang menggunakan mekanisme coping secara efektif dan adaptif dalam menyelesaikan masalah akan lebih asertif bila dibandingkan mereka yang menggunakan bentuk penyangkalan dan proyeksi.

B. Lingkungan Tempat Tinggal

1. Pengertian Tempat Tinggal

Lingkungan tempat tinggal adalah lokasi atau daerah dimana individu berdomisili dan menjalankan aktivitas sosialnya, dimana aktivitas sosial senantiasa berkaitan erat dengan proses interaksi antara individu dengan lingkungannya.

Pada umumnya lingkungan disama-artikan dengan ciri-ciri atau hal-hal yang berkaitan dengan habitat alami, seperti cuaca, flora dan fauna, serta keadaan tanah. Namun para pemikir ekolog-budaya (dalam Kaplan dan Manners, 2002) mengemukakan bahwa elemen-elemen dalam lingkungan berhubungan erat dengan budaya. Oleh karena itu terjadi interaksi dan hubungan saling mempengaruhi antara elemen-elemen lingkungan dengan sistem budaya dalam masyarakat.


(28)

Gerungan (2004) mengemukakan bahwa manusia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, dimana ia cenderung mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan; sebaliknya manusia mampu mengubah lingkungan sesuai dengan norma-norma, nilai-nilai, dan kebutuhannya sendiri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lingkungan tempat tinggal adalah wilayah dimana individu berdomisili dan menjalankan kegiatannya, dimana terjadi interaksi dan hubungan saling mempengaruhi antara nilai-nilai pribadi dengan berbagai sistem yang ada pada masyarakat sekitarnya.

2. Kebudayaan

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, lingkungan erat kaitannya dengan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (dalam Siagian dan Marpaung, 1989) kebudayaan merupakan keseluruhan ide-ide, tindakan-tindakan dan hasil karya orang dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik pribadi melalui proses belajar. E. B. Taylor (dalam Siagian dan Marpaung, 1989) menyatakan kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, nilai-nilai, sikap hidup, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan lain yang didapatkan seseorang sebagai anggota masyarakat.

Soemardjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 1983) menyatakan kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya menghasilkan berbagai material yang diperlukan untuk menguasai alam sekitar dalam memenuhi kebutuhan. Karsa mewujudkan norma dan nilai-nilai yang ditujukan untuk memelihara ketertiban dan pergaulan di dalam masyarakat dengan tujuan melindungi diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat yang


(29)

merupakan pola perilaku masyarakat. Cipta merupakan teori murni maupun yang telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat.

Setiap individu tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh kebudayaan dan lingkungan sosial tempatnya berada. Oleh sebab itu kebudayaan bersifat mengikat. Dengan kata lain, segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat (Spranger dalam Siagian dan Marpaung, 1989).

Kebudayaan diwujudkan sesuai dengan situasi dan lokasinya. Setiap kebudayaan memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda yang membentuk latar belakang budaya pada masing-masing setiap orang. Kebudayaan bersifat stabil juga dinamis. Setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinu karena kebudayaan selalu mengalami perkembangan. Kebudayaan juga menentukan kehidupan individu meskipun sering tidak disadari (Soekanto, 1983).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan kebudayaan adalah pengetahuan, kepercayaan, kesenian, nilai-nilai, sikap hidup, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh individu sebagai anggota masyarakat yang bersifat mengikat dan berfungsi sebagai norma yang mengatur kehidupan manusia. Kebudayaan mengalami perkembangan yang dinamis dan kontinu.

3. Budaya Jawa di Yogyakarta

Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya. Hal tersebut tidak lepas dari peran budaya Jawa yang senantiasa melestarikan budayanya. Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang menekankan dan juga menjaga prinsip kerukunan dan hormat serta bersopan-santun dalam masyarakat. Artinya setiap orang Jawa dituntut untuk bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan


(30)

konflik, dengan demikian akan tercapai keadaan tenang dan tenteram, selaras serta tanpa perselisihan dan pertentangan (Suseno, 2001). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hadipranata, dkk (1983) yang mengatakan bahwa orang Jawa pada dasarnya halus, lebih suka mematuhi peraturan dan tata tertib serta lebih suka memilih jalan tengah (kompromi). Semua itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konflik. Suseno (2001) mengungkapkan bahwa orang Jawa dikenal dengan budaya berpura-pura. Kepura-puraan ini dimaksudkan untuk menutupi pikiran dan perasaan negatif, seperti rasa benci, kekecewaan yang dalam, serta kesedihan. Pikiran dan perasaan positif yang kuat juga akan ditutupi, tetapi semua itu tidak berlaku apabila mereka berada dalam keluarga inti. Semua hal yang disebutkan tadi masih berlaku dan berkembang dalam masyarakat Jawa hingga saat ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang Jawa mempunyai ciri yang tetap melekat sampai sekarang. Mereka dikenal halus, sopan-santun, serta menghormati adat kebiasaan. Budaya kerukunan yang ada tidak lepas dari tuntutan untuk bersikap dan berperilaku tertentu, salah satunya dengan memilih jalan tengah (kompromi), misalnya dengan mematuhi peraturan yang berlaku. Selain itu, masyarakat Jawa dikenal dengan budaya kepura-puraan. Hal ini disebabkan karena orang Jawa dituntut untuk mampu menyembunyikan dan menahan diri mereka, dengan tidak memperlihatkan apa yang mereka pikirkan serta emosi yang sebenarnya dirasakan terhadap orang lain. Ini sekaligus memberikan dampak yang cukup besar, dimana kuatnya pengaruh budaya Jawa bagi kehidupan sosial para pendatang yang ada di Yogyakarta terutama mahasiswa Batak Toba.


(31)

Mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta pada umumnya berasal dari Sumatera Utara dan beberapa daerah lain di luar daerah Yogyakarta. Mereka terdaftar di salah satu perguruan tinggi negeri atau swasta di Yogyakarta, dimana rata-rata berdomisili di daerah Jl.Kaliurang, Paingan, Babarsari, Mrican, Gejayan, Samirono, Demangan, Jl.Solo. Secara umum mereka tinggal berdekatan dengan kampus tempat mereka kuliah, dan cenderung berinteraksi dalam ruang lingkup yang sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa.

4. Budaya Batak Toba di Medan

Medan dikenal sebagai kota yang terdiri dari masyarakat dengan budaya keterusterangan. Selan itu, mereka juga dikenal dengan budaya lugas, yang artinya bahwa mereka dapat mengungkapkan diri mereka secara langsung dan apa adanya. Hal ini tidak lepas dari kuatnya pengaruh suku Batak Toba yang merupakan salah satu suku mayoritas yang ada di Medan. Berdasarkan pendapat para ahli adat, orang tua, serta pengalaman sehari-hari, karakter suku Batak Toba pada umumnya adalah percaya diri, lugas, berpendirian tetap / konsekuen, gigih mencari ilmu, kritis, dan suka bekerja keras (Gultom, 1992). Siahaan (1982) mengatakan bahwa suku Batak Toba pada umumnya spontan, vokal, lugas, berani berterus terang namun tetap hormat terhadap orang lain. Hal ini disebabkan karena pengaruh keluarga, dimana orangtua senantiasa menanamkan keberanian dalam mengutarakan pendapatnya kepada orang lain, termasuk kepada orang yang lebih tua dan mempunyai pengaruh cukup besar dalam keluarga, tentunya dengan sikap hormat (Gultom, 1992).

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa suku Batak Toba dikenal dengan budaya keterusterangan, dimana mereka cenderung spontan, vokal, lugas, terbuka dan mampu mengungkapkan pikiran dan emosi yang sebenarnya


(32)

dirasakan, tentunya dengan sikap hormat terhadap orang lain Dengan kata lain, terdapat keseimbangan antara pola keterusterangan dan sikap hormat terhadap orang lain.

C. Dinamika Perbedaan Tingkat Asertivitas Antara Mahasiswa Batak Toba

Yang Ada Di Yogyakarta Dengan Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di

Medan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, individu memberdayakan sebagian besar waktu untuk membangun relasi yang menyenangkan dengan orang lain. Salah satunya adalah dengan berkomunikasi antar pribadi. Dalam melakukan komunikasi dibutuhkan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Untuk itu diperlukan adanya saling keterbukaan dan saling memahami antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain, sehingga orang lain mengerti apa yang dibutuhkan, dirasakan, dan dipikirkan. Keberhasilan seseorang dalam hidupnya antara lain ditentukan oleh kemampuan dalam mengungkapkan diri, menyatakan perasaan dan pikirannya secara tepat, jujur dan terbuka. Mereka yang asertif mampu berkomunikasi dengan lancar agar apa yang mereka rasakan dan butuhkan dapat diketahui oleh orang lain. Dalam mengungkapkan diri mereka cenderung tidak menyakiti perasaan orang lain dan menyesuaikan diri dengan norma-norma dan kondisi lingkungan masyarakat sekitarnya. Dengan berperilaku asertif mereka mampu menjalin hubungan interpersonal secara lebih efektif, mampu mengungkapkan keinginan dan harapan tanpa mengganggu hak orang lain.

Perilaku asertif dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah kebudayaan. Faktor tersebut menimbulkan tingkat asertivitas yang berbeda antara


(33)

individu dengan latar belakang budaya yang berbeda. Ada individu yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya tetapi ada juga individu yang tidak merasa kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya. Adanya perbedaan pandangan, karakter, nilai-nilai pribadi, budaya dan kondisi lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi individu dalam bersikap asertif. Hal inilah yang membuat adanya perbedaan antara mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Medan dalam berperilaku asertif.

Mahasiswa Batak Toba yang tinggal di daerah Medan, umumnya lebih berterus terang. Dengan kata lain mereka senantiasa terbuka dan secara lugas dapat mengungkapkan diri mereka. Hal tersebut disebabkan karena mereka berinteraksi dengan masyarakat suku yang sama, yang pada umumnya lugas dan secara spontan mampu mengutarakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diharapkan. Berbeda halnya dengan mereka yang berdomisili di Yogyakarta. Mereka akan lebih sulit mengutarakan pikiran dan perasaan secara langsung karena mereka terpengaruh oleh kuatnya budaya Jawa yang identik dengan budaya berpura-pura yang cenderung menutupi perasaan negatif, seperti rasa sedih, perasaan benci dan kekecewaan yang dalam, serta perasaan-perasaan positif. Selain itu, Suseno (2001) mengungkapkan bahwa membuka perasaan hati begitu saja dinilai negatif bagi orang Jawa. Berlaku secara mendadak dan spontan dianggap sebagai tanda kekurangdewasaan. Usaha-usaha yang berlebihan dan reaksi-reaksi yang memperlihatkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri bagi orang Jawa terasa kurang mengenakkan (Mulder & Geertz dalam Suseno, 2001). Akibatnya, mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta terpengaruh dan menjadi terbiasa dengan budaya menahan diri, termasuk apa yang mereka


(34)

rasakan maupun apa yang mereka pikirkan, baik yang bersifat negatif maupun positif.

Fenomena seperti itulah yang membuat mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Yogyakarta dan mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Medan berbeda dalam hal berperilaku asertif. Mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Medan akan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Yogyakarta. Dengan memiliki kemampuan berperilaku asertif, mahasiswa Batak Toba yang tinggal di Yogyakarta dan yang tinggal di Medan akan mampu menciptakan hubungan interpersonal yang efektif. Mampu mengungkapkan keinginan dan harapan tanpa mengganggu hak orang lain.

Skema Dinamika Perbedaan Variabel Penelitian

di Medan di Yogyakarta

Budaya

keterusterangan (mampu

mengungkapkan diri).

Budaya kepura-puraan

(menahan diri).

-lugas -spontan -terbuka

-tidak lugas -tidak spontan -tidak terbuka Mahasiswa Batak Toba


(35)

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dikemukakan yaitu ada perbedaan asertivitas, dimana mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif yang bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan.

B. Variabel Penelitian

Variabel diartikan sebagai suatu konsep yang mempunyai variasi atau keragaman (Winarsunu, 2004). Berikut adalah variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini.

1. Variabel bebas

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab kemunculan variabel tergantung yang dipandang sebagai akibatnya (Winarsunu, 2004). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lingkungan tempat tinggal (Yogyakarta dan Medan).

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung adalah variabel yang diramalkan dan dipandang sebagai akibat yang muncul oleh adanya variabel bebas (Winarsunu, 2004). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah tingkat asertivitas.


(37)

C. Definisi Operasional

a.Asertivitas

Asertivitas adalah kemampuan individu untuk terbuka terhadap diri sendiri secara jujur dan mampu mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginan secara langsung, serta dapat menyeimbangkan antara keinginan mempertahankan keyakinan, nilai-nilai dan hak pribadi, tanpa adanya perasaan cemas serta tidak melanggar hak orang lain.

Ada beberapa indikator yang menunjukkan munculnya perilaku asertif, yaitu :

1. Kemampuan mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, pikiran, ide dan hak pribadi tanpa kecemasan.

c) Mengajukan permintaan secara jelas.

d) Mempertahankan hak tanpa adanya perasaan cemas. 2. Pengungkapan emosi yang tepat.

d) Mampu berkata “tidak”.

e) Mengekspresikan perasaan positif maupun negatif secara wajar.

f) Mengekspresikan dukungan dan bantahan terhadap pendapat orang lain. 3. Mampu menciptakan kesetaraan dalam hubungan interpersonal.

c) Menghargai hak, keinginan, dan perasaan orang lain. d) Tidak memanfaatkan ataupun merugikan pihak lain. 4. Kemampuan untuk jujur dan terbuka.

c) Mengekspresikan perasaan secara jujur dan tulus. d) Mengungkapkan pendapat dan keyakinan dengan tepat. 5. Kemampuan untuk bersikap tegas dan aktif.


(38)

d) Menyatakan diri secara bebas.

Kemampuan asertivitas ini akan diukur dengan menggunakan Skala Asertivitas yang dibuat sendiri oleh peneliti. Semakin tinggi skor jawaban yang diperoleh semakin tinggi tingkat asertivitas subyek, demikian pula sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah tingkat asertivitas subyek.

b.Lingkungan Tempat Tinggal

Yang dimaksud dengan lingkungan tempat tinggal adalah daerah dimana subyek berdomisili guna melakukan aktivitas sosialnya. Dalam hal ini Yogyakarta dan Medan merupakan kota yang menjadi sasaran dalam penelitian ini. Subyek (mahasiswa Batak Toba) yang ada di Yogyakarta pada umumnya tinggal di pondokan seperti kost. Sedangkan subyek yang ada di Medan tinggal bersama orangtua atau kerabat dekatnya.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah mahasiswa suku Batak Toba yang kuliah di Yogyakarta dan mahasiswa suku Batak Toba yang kuliah di Medan. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling yaitu memilih sampel yang karakteristiknya sudah ditentukan dan diketahui lebih dahulu berdasarkan ciri dan sifat tertentu (Winarsunu, 2004).

Ciri-ciri subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mahasiswa suku Batak Toba di Yogyakarta. Kriteria mahasiswa pada penelitian ini adalah mereka yang masih terdaftar sebagai mahasiswa di salah satu PTN atau PTS di Yogyakarta yang tinggal selama ± 2-3 tahun.


(39)

2. Mahasiswa suku Batak Toba di Medan. Kriteria mahasiswa pada penelitian ini adalah mereka yang masih terdaftar sebagai mahasiswa di salah satu PTN atau PTS di Medan. Mereka tinggal di Medan sudah sejak kecil atau bahkan sejak dari lahir.

3. Memiliki nama marga Batak Toba, dimana suku ini merupakan salah satu bagian dari suku Batak dengan jumlah populasi yang cukup besar di wilayah Sumatera Utara, terutama di kota Medan. Berdasarkan pendapat para ahli adat, orang tua, serta pengalaman sehari-hari, suku Batak Toba pada umumnya percaya diri, lugas, berpendirian tetap / konsekuen, gigih mencari ilmu, kritis, dan suka bekerja keras (Gultom, 1992). Hal tersebut sekaligus merupakan salah satu alasan pemilihan subyek dalam penelitian ini. Nama marga Batak Toba tersebut antara lain : Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede, Bakkará, Hutabarat, Tambunan, Marbun, Panjaitan, Tampubolon, Siahaan, Simarmata, Hutauruk, Banjar Nahor, Siallagan, Nababan, Simanjuntak, Sihombing, Aritonang, Siagian, Sihombing, Sinaga, Simbolon, Silalahi, Togatorop, Situmeang, Sianturi, Hutapea, Panggabean, Hutagaol, Sagala, Sinambela, Pakpahan, Sitorus, Simamora, Nainggolan, Silitonga, Simorangkir, Gultom, Simanungkalit, Simatupang, Sihotang, Dolok Saribu, Simare-mare, Sitompul, Sitohang, Siringo-ringo, Situmorang, Sitanggang, Sinurat, Sibarani, Hutabarat, Silaen, Hutagalung (Gultom, 1992).

4. Usia 17-25 tahun, dimana pada umumnya individu mulai dan masih menjalani pendidikannya di tingkat Perguruan Tinggi. Pada usia tersebut individu memasuki rentang masa remaja akhir sampai masa dewasa awal. Pemilihan subyek didasarkan pada alasan bahwa perilaku asertif mulai berkembang dengan baik pada masa remaja dan dewasa (Santosa, 1999).


(40)

E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah memberikan sejumlah skala kepada subyek untuk diisi. Skala yang digunakan yaitu skala asertivitas dengan metode Likertdengan empat alternatif jawaban, yaitu : Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Aitem-aitem yang disusun sesuai dengan faktor yang ingin diukur. Masing-masing komponen berisi pernyataan-pernyataan yang bersifat favorabel dan unfavorabel. Menurut Azwar (2003), aitem disebut berarah favorabel bila isinya mendukung, memihak atau menunjukkan ciri adanya atribut yang diukur; sedang aitem yang isinya tidak menggambarkan ciri atribut yang diukur disebut aitem unfavorabel.

Tabel 1.

Aspek dan Distribusi Aitem Skala Perilaku Asertif Sebelum Uji Coba

No Komponen Favorabel Unfavorabel Jumlah (Persentase) 1. Aspek kemampuan

mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, pikiran, ide dan hak pribadi tanpa kecemasan.

a. Mengajukan permintaan secara jelas.

b.Mempertahankan hak tanpa adanya perasaan cemas. 10,17,18 23,57,59 5,21,56 16,48,60 12 aitem (20 %)

2. Aspek pengungkapan emosi yang tepat.

a. Mampu berkata “tidak”. b.Mengekspresikan

perasaan positif maupun

19,30 33,40

11,25

27,52 12 aitem (20 %)


(41)

negatif secara wajar. c. Mengekspresikan

dukungan dan bantahan terhadap pendapat orang lain.

7,42 39,49

3. Aspek mampu menciptakan kesetaraan dalam hubungan interpersonal.

a. Menghargai hak, keinginan, dan perasaan orang lain.

b.Tidak memanfaatkan ataupun merugikan pihak lain. 1,14,45 8,38,54 12,35,43 2,26,34 12 aitem (20 %)

4. Aspek kemampuan untuk jujur dan terbuka.

a. Mengekspresikan

perasaan secara jujur dan tulus.

b.Mengungkapkan pendapat dan keyakinan dengan tepat. 13,22,44 15,36,50 4,31,51 6,24,41 12 aitem (20 %)

5. Aspek kemampuan untuk bersikap tegas dan aktif.

a. Tegas dan memiliki keyakinan yang kuat akan tindakannya.

b.Menyatakan diri secara bebas. 37,47,53 46,55,58 20,29,32 3,9,28 12 aitem (20 %)

JUMLAH 30 aitem 30 aitem 60 aitem (100 %)


(42)

F. Validitas Dan Reliabilitas

a. Validitas

Validitas mengandung usur kejituan dan ketelitian (Hadi, 2000). Dengan kata lain, validitas mempunyai arti ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsinya (Azwar, 2006). Suatu alat ukur dikatakan baik dan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut mampu mengukur apa yang memang hendak diukur, sehingga mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Kerlinger, 2002). Validitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diukur berdasarkan pengujian atas isi tes dengan analisis rasional, yaitu melakukan evaluasi dengan menggunakan beberapa pernyataan, serta menetapkan apakah pernyataan yang ada memang mengukur apa yang akan diukur. Validitas isi juga menilai apakah aitem-aitem telah mewakili keseluruhan isi secara representatif (Azwar, 2006). Dengan kata lain, validitas isi pada dasarnya melibatkan pengujian sistematik terhadap isi tes guna menentukan apakah aitem-aitem dalam tes mencerminkan aspek-spek perilaku yang hendak diukur (Anastasi, 1998).

b. Reliabilitas

Reliabilitas mempunyai arti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, dan konsistensi (Azwar, 2006). Pada dasarnya konsep reliabilitas mengacu pada sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama menghasilkan angka yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek belum berubah. Dalam hal ini, relatif sama berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil


(43)

beberapa kali pengukuran (Azwar, 2006). Dengan kata lain, reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh kelompok subyek yang sama, ketika dilakukan pengujian ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda (Anastasi, 1998). Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konsistensi internal, yaitu menggunakan satu bentuk tes yang disajikan hanya satu kali pada kelompok subyek (Azwar, 2006). Taraf reliabilitas alat ukur akan diukur dengan metode ά – Cronbach, dengan alasan mengatasi kelemahan teknik belah dua, yaitu mengestimasi rata-rata korelasi belah dua dari semua pembagian tes yang mungkin dilakukan dan pada sekelompok subyek sehingga mempunyai nilai praktis dan efisiensi yang tinggi (Cronbach dalam Supratiknya, 1998).

G. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menguji hipotesa dalam penelitian ini adalah teknik t-test yang dihitung dengan menggunakan metode komputasi. Teknik t-test adalah teknik statistik yang dipergunakan untuk menguji perbedaan dua buah mean yang berasal dari dua buah distribusi (Winarsunu, 2004). Dalam penelitian ini uji t digunakan untuk membandingkan dua kelompok subyek dengan mencari perbedaan mean berdasarkan variabel lingkungan tempat tinggal.


(44)

BAB IV

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian Dan Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur

1. Persiapan Penelitian

Pada tahap awal, peneliti menyusun alat ukur dalam bentuk skala. Hanya ada satu buah skala yang akan diujicobakan, yaitu skala asertivitas dengan jumlah aitem 60 butir. Setelah skala disusun dan dibuat, kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Setelah dikoreksi oleh dosen pembimbing, maka langkah selanjutnya adalah dilakukan beberapa perbaikan terhadap aitem-aitem yang sudah dikoreksi. Kemudian tahap berikutnya adalah membuat skala dalam bentuk yang sudah diketik rapi agar mempermudah dalam proses uji coba yang akan dilakukan.

2. Uji Coba Alat Ukur

Sebelum dilakukan seleksi aitem terlebih dahulu dilakukan uji coba. Uji coba alat ukur dilakukan untuk memperoleh data guna keperluan analisis empiris atas aitem-aitem dalam rangka seleksi aitem berdasarkan daya beda aitem (Azwar, 1999). Uji coba alat ukur perilaku asertif yang berjumlah 60 aitem, dilaksanakan pada tanggal 4–14 Desember 2006. Uji coba dilakukan terhadap 43 subyek yang diperkirakan representatif dan memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan subyek penelitian. Dalam hal ini, subyek uji coba yang dipakai adalah mahasiswa suku Batak yang masih terdaftar sebagai mahasiswa di salah satu PTN atau PTS di Yogyakarta yang tinggal selama 2-3 tahun, dengan batasan usia 17-25 tahun.


(45)

Pengisian skala dilakukan oleh masing-masing subyek yang berada di lingkungan kampus maupun di lingkungan tempat tinggal masing-masing subyek. Dengan bantuan pengawasan dari teman peneliti, skala yang sudah selesai diisi dikembalikan sesuai dengan jumlah yang telah disebarkan.

3. Hasil Uji Coba Alat Penelitian

a. Estimasi Validitas

Seleksi aitem dilakukan dengan menguji karakteristik masing-masing aitem berdasarkan data empiris yaitu data hasil uji coba aitem pada kelompok subyek yang karakteristiknya diperkirakan setara dengan subyek yang akan dikenai skala. Kualitas aitem diukur dengan analisis butir dengan menggunakan parameter daya beda aitem, yaitu sejauhmana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut yang diukur atau individu yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 1999).

Pengujian keselarasan fungsi aitem dengan fungsi skala atau daya beda aitem dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor total tes itu sendiri (Azwar, 2006). Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan rix  0,25. Dengan demikian, semua aitem yang mencapai koefisien korelasi aitem minimal 0,25 memiliki daya beda aitem yang dianggap memuaskan (Azwar, 2003).

Setelah dilakukan analisis aitem, terdapat korelasi aitem total yang berkisar antara 0,0435 – 0,7004. Dari hasil analisis butir aitem dengan menggunakan program SPSS versi 11.0, diperoleh 12 aitem yang gugur yaitu

aitem nomor 1, 3, 11, 12, 16, 19, 42, 46, 47, 49, 50, dan 51. Pengambilan data penelitian sesungguhnya ada 48 aitem. Ke-48 aitem tersebut


(46)

kemudian disusun ulang dalam bentuk sebaran aitem valid yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.

Aspek dan Distribusi Aitem Skala Perilaku Asertif Setelah Uji Coba

No Komponen Favorabel Unfavorabel Jumlah 1. Aspek kemampuan

mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, pikiran, ide dan hak pribadi tanpa kecemasan.

c. Mengajukan permintaan secara jelas.

d.Mempertahankan hak tanpa adanya perasaan cemas. 8,12,13 17,45,47 3,15,44 39,48 11 aitem

2. Aspek pengungkapan emosi yang tepat.

d.Mampu berkata “tidak”. e. Mengekspresikan

perasaan positif maupun negatif secara wajar. f. Mengekspresikan

dukungan dan bantahan terhadap pendapat orang lain. 24 27,34 5 19 21,40 33 8 aitem

3. Aspek mampu menciptakan kesetaraan dalam hubungan interpersonal.

c. Menghargai hak, keinginan, dan perasaan orang lain.

d.Tidak memanfaatkan ataupun merugikan pihak

10,38

6,32,42

29,36

1,20,28


(47)

lain.

4. Aspek kemampuan untuk jujur dan terbuka.

c. Mengekspresikan

perasaan secara jujur dan tulus.

d.Mengungkapkan pendapat dan keyakinan dengan tepat. 9,16,37 11,30 2,25 4,18,35 10 aitem

5. Aspek kemampuan untuk bersikap tegas dan aktif.

c. Tegas dan memiliki keyakinan yang kuat akan tindakannya.

d.Menyatakan diri secara bebas. 31,41 43,46 14,23,26 7,22 9 aitem

JUMLAH 24 aitem 24 aitem 48 aitem

b. Estimasi Reliabilitas

Pada dasarnya konsep reliabilitas mengacu pada sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2006). Estimasi reliabilitas alat ukur selanjutnya dilakukan dengan menggunakan teknik Alpha dari Cronbach, dengan bantuan SPSS versi 11.0. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,9149. Hasil koefisien Alpha tersebut menunjukkan bahwa skala perilaku asertif dinyatakan reliabel karena memiliki koefisien Alpha yang mendekati koefisien Alpha sempurna yaitu 1,000.

Hasil penghitungan validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa skala tersebut telah memenuhi persyaratan alat ukur yang akan digunakan pada penelitian sesungguhnya.


(48)

B. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada 2 tempat yaitu di Medan yang dilaksanakan pada tanggal 3 – 7 Januari 2007 dan di Yogyakarta yang dilaksanakan pada tanggal 1 – 10 Februari 2007. Subyek penelitian yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 100 orang yang terbagi dalam 50 orang mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan dan 50 orang mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta. Peneliti menyebarkan skala kepada subyek penelitian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.

Penelitian dilakukan dengan menyebarkan skala pada jam-jam kosong atau istirahat di sekitar kampus, ataupun dengan cara mendatangi setiap rumah maupun tempat indekost subyek.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyajikan rangkuman subyek penelitian dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 3.

Rangkuman Subyek Penelitian

Yogyakarta Medan

Jumlah % Jumlah %

17 - 19 24 48 % 16 32 %

20 - 22 21 42 % 27 54 %

Usia

23 - 25 5 10 % 7 14 %

Perempuan 20 40 % 23 46 %

Jenis Kelamin

Laki-laki 30 60 % 27 54 %


(49)

II 15 30 % 21 42 %

III 12 24 % 4 8 %

IV - - 3 6 %

V - - 2 4 %

Berdasarkan gambaran tersebut, sebagian besar kelompok subyek yang ada di Yogyakarta berada dalam rentang usia 17 – 19 tahun, yaitu sebanyak 24 subyek (48 %). Sedangkan pada kelompok subyek yang ada di Medan didominasi oleh subyek dengan rentang usia 20 – 22 tahun, yaitu sebanyak 27 subyek (54 %).

Bila dilihat dari jenis kelamin, kedua kelompok subyek sama-sama didominasi oleh subyek berjenis kelamin laki-laki, dimana 30 subyek (60 %) pada kelompok yang ada di Yogyakarta dan 27 subyek (54%) pada kelompok yang ada di Medan.

Pada kelompok subyek yang ada di Yogyakarta didominasi oleh mahasiswa tingkat I yaitu sebanyak 23 subyek (46 %), sedangkan sebagian besar kelompok subyek yang ada di Medan adalah mahasiswa tingkat II sejumlah 21 subyek (42 %).

Untuk kelompok subyek yang ada di Yogyakarta tidak terdapat mahasiswa tingkat IV dan V. Hal tersebut disesuaikan dengan kriteria pemilihan subyek yang telah ditentukan sebelumnya, dimana selain masih terdaftar sebagai mahasiswa salah satu PTN atau PTS kelompok subyek berdomisili di Yogyakarta selama ± 2-3 tahun. Ini sekaligus merupakan suatu hal yang cukup penting guna mengukur apa yang ingin dilihat oleh peneliti.


(50)

C. Hasil Penelitian

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya data penelitian atau untuk membandingkan fungsi distribusi kumulatif observasi untuk variabel dengan distribusi teoritis yang telah ditentukan (Arikunto, 1989).

Uji normalitas dilakukan dengan program SPSS for windows versi 11.0, dengan menggunakan teknik kolmogorov-smirnov test. Pengambilan keputusan didasarkan pada jika p > 0,05 maka variabel terdistribusi secara normal, sebaliknya jika p < 0,05 maka sebaran skor dinyatakan tidak normal.

Skor perilaku asertif untuk kelompok subyek yang ada di Yogyakarta diperoleh p sebesar 0,658. Karena p > 0,05 maka skor perilaku asertif kelompok subyek yang ada di Yogyakarta adalah normal. Sedangkan skor untuk kelompok subyek yang ada di Medan diperoleh p sebesar 0,986. Karena p > 0,05 maka skor untuk kelompok subyek yang ada di Medan adalah normal.

Tabel 4.

Ringkasan Uji Normalitas

Jumlah Subyek Yogyakarta Medan

Kolmogorov-smirnov Z 50 0,732 0,453

Asymp.Sig (2-tailed) 50 0,658 0,986

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel-sampel dalam penelitian berasal dari populasi yang memiliki varian sama (Santoso, 2004).


(51)

Uji homogenitas variansi dilakukan dengan menggunakan Levene’s test for Equality of Variances. Pengambilan keputusan didasarkan pada jika p > 0,05 maka dinyatakan data berasal dari populasi yang mempunyai varian sama, tetapi jika p < 0,05 maka dinyatakan data berasal dari populasi yang mempunyai varian tidak sama. Berdasarkan data yang diperoleh, p dari variabel tingkat asertivitas sebesar 0,918. Karena p > 0,05 maka varians tersebut dinyatakan homogen.

Tabel 5.

Ringkasan Uji Homogenitas

F Sig.

Equal Variances Assumed 0,011 0,918

3. Uji Hipótesis

Hipótesis dalam penelitian ini adalah “Ada perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan.” Pengujian ini dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS for windows versi 11.0. Ringkasan perhitungan tertera pada tabel berikut ini :

Tabel 6.

Ringkasan Uji –t

Asert N Mean SD Std.Eror

Mean

Mean

diff.

t df

Sig.(2-tailed) ket


(52)

Medan 50 142,42 18,696 2,644

Taraf Signifikansi 5 % Keterangan :

N : Jumlah subyek

Mean : Nilai rata-rata

SD : Standar Deviasi

t : Hasil perhitungan Uji –t

p (sig. 2-tailed) : Probabilitas

Dasar pengambilan keputusan :

Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima. Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. Hipótesis untuk kasus ini adalah sebagai berikut :

Ho : Rata-rata skor kemampuan asertif antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa yang ada di Medan adalah sama (tidak ada perbedaan secara signifikan).

Hi : Rata-rata skor kemampuan asertif antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa yang ada di Medan adalah berbeda (ada perbedaan secara signifikan).

Keputusan :

Dari data sebelumnya, terlihat bahwa nilai p sebesar 0,030. Karena p < 0,05 maka Ho ditolak. Kesimpulannya terdapat perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa yang ada di Medan.


(53)

D. Kriteria Berdasarkan Kategori Perilaku Asertif

Penentuan kategori tingkat asertivitas kelompok subyek yang ada di Yogyakarta dan kelompok yang ada di Medan dilakukan dengan menggunakan kategorisasi jenjang berdasarkan standar deviasi dan mean teoritis. Penggunaan kategorisasi jenjang bertujuan untuk menempatkan individu kedalam kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut status kontinum berdasarkan atribut yang diukur. Dari data yang diperoleh, penggolongan tersebut dibagi menjadi 5 kategori yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

Ringkasan Mean Teoritis

X minimum : 48 × 1 = 48 X maksimum : 48 × 4 = 192

Range : 192 – 48 = 144

SD (σ) : 144 : 6 = 24 Mean Teoritis (μ) : (48+192) : 2 = 120

Tabel 7.

Ringkasan Mean Empiris Kelompok Subyek Yang Ada Di Yogyakarta Dan

Medan

N Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Yogyakarta 50 88 104 192 134,24 18,338

Medan 50 84 104 188 142,42 18,696

Berdasarkan pada kedua gambaran tersebut, dapat dilihat bahwa mean empiris yang diperoleh lebih besar bila dibandingkan dengan mean teoritis, baik dari kelompok subyek yang ada di Yogyakarta maupun kelompok subyek yang ada di


(54)

Medan. Dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok subyek memiliki tingkat asertivitas yang tinggi.

Tabel 8.

Norma Kategori Skor

Kategori Keterangan

X ≤ (μ – 1,5.σ) Sangat rendah (μ – 1,5.σ) < X ≤ (μ – 0,5.σ) Rendah (μ – 0,5.σ) < X ≤ (μ + 0,5.σ) Sedang (μ + 0,5.σ) < X ≤ (μ + 1,5.σ) Tinggi

(μ + 1,5.σ) < X Sangat tinggi Keterangan :

μ : Mean Teoritis σ : Standar Deviasi

Tabel 9.

Kategori perilaku asertif kelompok subyek di Yogyakarta

Rentang Nilai Kategori Jumlah Subyek Persentase

X ≤ 84 Sangat rendah 0 0 %

84 < X ≤ 108 Rendah 3 6 %

108 < X ≤ 132 Sedang 22 44 %

132 < X ≤ 156 Tinggi 19 38 %

156 < X Sangat tinggi 6 12 %


(55)

Di antara subyek yang ada di Yogyakarta, tidak ada subyek yang berada pada kategori “sangat rendah” (0 %), pada kategori “rendah” ada 3 orang (6 %), pada kategori “sedang” ada 22 orang (44 %), sedangkan pada kategori “tinggi” terdapat 19 orang (38 %), dan pada kategori “sangat tinggi” ada 6 orang (12 %).

Tabel 10.

Kategori perilaku asertif kelompok subyek di Medan

Rentang Nilai Kategori Jumlah Subyek Persentase

X ≤ 84 Sangat rendah 0 0 %

84 < X ≤ 108 Rendah 2 4 %

108 < X ≤ 132 Sedang 13 26 %

132 < X ≤ 156 Tinggi 26 52 %

156 < X Sangat tinggi 9 18 %

Total 50 100 %

Di antara subyek yang ada di Medan, tidak terdapat subyek yang berada pada kategori “sangat rendah” (0 %), pada kategori “rendah” ada 2 orang (4 %), pada kategori “sedang” ada 13 orang (26 %), sedangkan pada kategori “tinggi” terdapat 26 orang (52 %), dan pada kategori “sangat tinggi” ada 9 orang (18 %).

Berdasarkan pada hasil tersebut, kategorisasi “sangat tinggi” pada subyek yang ada di Medan (18 %) lebih tinggi dari subyek yang ada di Yogyakarta (12 %). Hal tersebut membuktikan bahwa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.


(56)

E. Pembahasan

Pembahasan ini terfokus pada tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan. Berdasarkan hasil analisis data statistik uji hipótesis yang telah dilakukan menunjukkan ada perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan. Hasil analisis tersebut dibuktikan dengan nilai p < 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho ditolak. Jumlah mean juga menunjukkan bahwa subyek yang ada di Yogyakarta (134,24) lebih kecil bila dibandingkan dengan subyek yang ada di Medan (142,42). Hal tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.

Berdasarkan temuan empiris dalam penelitian ini, tampak bahwa ada perbedaan tingkat asertivitas antara kedua kelompok subyek. Adanya perbedaan kultur budaya mempengaruhi adanya perbedaan satu sama lain dalam berperilaku asertif. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya variasi hasil pengkategorisasian tingkat asertivitas, mulai dari rentang sangat tinggi hingga yang rendah.

Dalam penelitian ini tidak terdapat subyek yang berada dalam kategori sangat rendah. Namun ada beberapa subyek yang berada dalam rentang “rendah”, baik itu pada kelompok subyek yang ada di Yogyakarta (6 %) maupun pada kelompok subyek yang ada di Medan (4 %). Oleh karena itu, dapat dikatakan mereka yang berada dalam kategori ini memiliki ketidakmampuan untuk berperilaku asertif. Adams (1995), mengemukakan beberapa alasan mengapa orang mempunyai kecenderungan tidak dapat berperilaku asertif, antara lain karena adanya keinginan untuk menyenangkan orang lain yang membutuhkan dukungan, adanya rasa takut menyinggung orang lain,


(57)

adanya ketakutan mendapat hukuman atau kehilangan sahabat, adanya perasaan bersalah, adanya keinginan berkompromi dengan masyarakat dan keinginan untuk mengidentifikasikan diri dengan orang lain. Beberapa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan, yang terdiri dari 2 remaja puteri mempunyai kemampuan asertif yang rendah. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena ada beberapa orang tua yang masih mengikuti pola pikir beberapa masyarakat terdahulu, dimana anak perempuan dituntut untuk bersikap pasif dalam menyelesaikan masalah keluarga, karena sejak dini telah ditanamkan bahwa anak perempuan pada suku Batak tidak bisa menjadi “ahli waris” keluarga (Siahaan, 1982).

Bila dilihat secara keseluruhan, pada umumnya mahasiswa Batak Toba memiliki tingkat asertivitas yang tinggi. Dalam hal ini dibuktikan dengan mean empiris yang lebih besar bila dibandingkan dengan mean teoritis (120), baik dari kelompok subyek yang ada di Yogyakarta maupun kelompok subyek yang ada di Medan. Hal tersebut juga diperkuat dengan pengkategorisasian skor tingkat asertivitas mahasiswa Batak Toba yang didominasi pada kategori “sedang”, “tinggi”, hingga “sangat tinggi”. Ini disebabkan adanya faktor seperti kebudayaan yang senantiasa berhubungan dengan norma-norma yang ada dan sudah tertanam semenjak kecil. Sebagai salah satu contoh adalah kuatnya pengaruh keluarga pada suku Batak, yang direalisasikan dalam bentuk perlakuan orang tua yang senantiasa menanamkan keberanian dalam mengutarakan pendapatnya kepada orang lain, termasuk kepada orang yang lebih tua dan mempunyai pengaruh cukup besar dalam keluarga (Gultom, 1992). Dengan demikian faktor kebudayaan tidak bisa lepas dari pola asuh orang tua, karena kebudayaan secara tidak langsung berkaitan dengan hal-hal yang telah ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya sejak usia dini. Oleh karena itu


(58)

kebudayaan juga berpengaruh dalam pembentukan pribadi masing-masing individu di dalamnya, misalnya untuk berperilaku asertif.

Pola asuh orang tua, faktor kebudayaan, serta adanya perbedaan pandangan, karakter dan nilai-nilai pribadi mempengaruhi tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan, tetapi faktor lingkungan tempat tinggal juga berperan besar dalam pembentukan tingkat asertivitas itu.

Berdasarkan jumlah mean yang diperoleh, kelompok subyek yang ada di Yogyakarta sebesar 134,24 sedangkan kelompok subyek yang ada di Medan sebesar 142,42. Hal tersebut membuktikan bahwa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta. Ini juga diperkuat dengan adanya hasil pengkategorisasian yang menunjukkan bahwa sebanyak 35 orang (70 %) dari kelompok subyek yang ada di Medan berada pada kategori sedang hingga yang paling tinggi. Berbeda halnya dengan kelompok subyek yang ada di Yogyakarta, dimana terdapat 25 orang (50 %) berada pada kategori “tinggi”, dan “sangat tinggi”. Mahasiswa Batak Toba yang tinggal di daerah Medan, umumnya lebih berterus terang. Dengan kata lain mereka senantiasa terbuka dan secara lugas dapat mengungkapkan diri mereka. Hal tersebut disebabkan karena mereka berinteraksi dengan masyarakat suku yang sama, yang pada umumnya lugas dan secara spontan mampu mengutarakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diharapkan. Berbeda halnya dengan mereka yang berdomisili di Yogyakarta. Mereka akan lebih sulit mengutarakan pikiran dan perasaan secara langsung karena mereka terpengaruh oleh kuatnya budaya Jawa yang identik dengan budaya berpura-pura yang cenderung menutupi perasaan negatif, seperti rasa sedih, perasaan benci dan kekecewaan yang dalam, serta perasaan-perasaan positif. Selain


(59)

itu, Suseno (2001) mengungkapkan bahwa membuka perasaan hati begitu saja dinilai negatif bagi orang Jawa. Berlaku secara mendadak dan spontan dianggap sebagai tanda kekurangdewasaan. Usaha-usaha yang berlebihan dan reaksi-reaksi yang memperlihatkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri bagi orang Jawa terasa kurang mengenakkan (Mulder & Geertz dalam Suseno, 2001). Akibatnya, mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta terpengaruh dan menjadi terbiasa dengan budaya menahan diri, termasuk apa yang mereka rasakan maupun apa yang mereka pikirkan, baik yang bersifat negatif maupun positif.

Dari kedua kelompok mahasiswa Batak Toba, baik itu yang ada di Yogyakarta maupun yang ada di Medan memiliki tingkat asertivitas yang berbeda, dimana kelompok subyek yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan kelompok subyek yang ada di Yogyakarta. Oleh karena itu peranan lingkungan tempat tinggal sangat penting dalam hal proses pembentukan perilaku asertif, terutama masyarakat sekitar dimana mahasiswa Batak Toba tinggal. Dengan segala karakteristik dan ciri khas yang dimiliki oleh mahasiswa Batak Toba, sebaiknya masyarakat lebih menerima keadaan tersebut, sehingga mereka mampu mengungkapkan keinginan dan harapan dengan perasaan nyaman, serta mampu menciptakan hubungan interpersonal yang lebih efektif dalam menjalankan aktivitas sosialnya.

Pada awal penyebaran skala, peneliti merasakan adanya kesulitan terutama pada saat melakukan penelitian di Yogyakarta. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya informasi keberadaan subyek penelitian dengan keterbatasan yang telah ditetapkan dalam menentukan karakteristik subyek sebelumnya. Akibatnya, peneliti mengalami kesulitan dalam mencari subyek guna mengumpulkan data. Menurut pengamatan peneliti dari awal hingga akhir penelitian, peneliti menyadari bahwa


(60)

penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan. Kekurangan tersebut salah satunya adalah pengambilan sampel tidak dalam perbandingan yang sama. Dengan kata lain, peneliti tidak mengontrol perbandingan subyek dari kedua kelompok, terutama dari segi usia. Ini tentu saja mempengaruhi hasil dalam penelitian. Berdasarkan gambaran rangkuman subyek penelitian, sebagian besar kelompok yang ada di Medan didominasi oleh subyek dengan rentang usia yang lebih tua bila dibandingkan dengan kelompok subyek yang ada di Yogyakarta. Hal ini bisa saja menjadi salah satu penyebab yang menimbulkan tingkat asertivitas yang lebih besar pada kelompok subyek yang ada di Medan. Dugaan tersebut semakin diperkuat oleh pernyataan Santosa (1999) yang mengatakan bahwa perilaku asertif mulai terbentuk pada masa remaja dan semakin berkembang pada masa dewasa.


(61)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang dilakukan sebelumnya, peneliti menarik kesimpulan bahwa ada perbedaan asertivitas, dimana mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta.

B. Saran

1. Bagi Subyek Penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta. Dengan demikian mahasiswa Batak Toba harus terus meningkatkan kemampuan asertif terutama dalam menghadapi lingkungan baru yang akan mereka hadapi, sehingga mampu mengutarakan pikiran dan perasaan secara langsung, meskipun kondisi lingkungan yang dihadapi berbeda dengan lingkungan sebelumnya.

2. Bagi Peneliti Lain.

Bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian yang berkaitan dengan asertivitas, sebaiknya dapat melengkapi dan menyempurnakan penelitian ini misalnya dengan melakukan spesifikasi subyek secara lebih khusus, sehingga mampu menemukan hal-hal yang lebih bermanfaat berkaitan


(62)

dengan perilaku asertif guna meningkatkan hubungan interpersonal yang lebih efektif di berbagai bidang kehidupan.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Linda. (1995).Be Your Best – Jadilah Diri Anda Sendiri. Terjemahan. Jakarta : PT.Gramedia.

Alberti, R. (1987). Your Perfect Right. California : Impact Publisher. Anastasi, Anne. (1998). Tes Psikologi. Jakarta : PT.Prenhallindo.

Arikunto, Suharsini. (1989). Prosedur Penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. (2003). Penyusunan Skala Psikologi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Azwar, Saifuddin. (2006). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Offset.

Cawood, Diana. (1997). Manager Yang Asertif. Jakarta : Bina Rupa Aksara.

Elyana. (1997). Hubungan Antara Perilaku Asertif Dengan Prestasi Kerja Pada Agen Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Media Semarang. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (Skripsi).

Gerungan. (2004). Psikologi Sosial. Bandung : Refika Aditama.

Gultom. (1992). Dalihan Natolu. Nilai Budaya Suku Batak. Medan : CV. Armanda. Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Research. Jilid 2. Yogyakarta : Penerbit Andi

Offset.

Hadipranata, Asip F. Darokah, M. Bachroni, M. Rasimin BI. Irfan, S. (1983). Karakter Massa Dan Perbedaan Penampilannya Dalam Komunikasi Masalah Pemasaran Di Jawa. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Http : // www.Uiowa.edu/ucs/asertcom.html. (19 September 2001). Kaplan & Manners. (2002). Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


(1)

(2)

Uji Normalitas Perbedaan Tingkat Asertivitas Antara Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Yogyakarta Dengan Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Medan

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

ASERT N

Normal Parameters Mean Std. Deviation Most Extreme Absolute Differences Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

100 138,33 18,877 0,070 0,070 -0,036 0,700 0,711 a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Uji Normalitas Skor Tingkat Asertivitas Subyek Yang Ada Di Yogyakarta

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

ASERT N

Normal Parameters Mean Std. Deviation Most Extreme Absolute Differences Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

50 134,24 18,338 0,103 0,103 -0,050 0,732 0,658 a. Test distribution is Normal.


(3)

Uji Normalitas Skor Tingkat Asertivitas Subyek Yang Ada Di Medan

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

ASERT N

Normal Parameters Mean Std. Deviation Most Extreme Absolute Differences Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

50 142,42 18,696 0,064 0,064 -0,053 0,453 0,986 a. Test distribution is Normal.


(4)

Uji Homogenitas Perbedaan Tingkat Asertivitas Antara Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Yogyakarta Dengan Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Medan

Levene’s Test for Equality of Variances

F Sig.

ASERT Equal variances assumed Equal variances not assumed

0,011 0,918

Uji Independent Samples Test Perbedaan Tingkat Asertivitas Antara Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Yogyakarta Dengan Mahasiswa Batak Toba Yang Ada Di Medan

Group Statistics

Subyek N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Yogyakarta Medan 50 50 134,24 142,42 18,338 18,696 2,593 2,644

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

t df Sig.

(2-tailed)

Mean difference ASERT Equal variances assumed

Equal variances not assumed

-2,209 -2,209 98 97,963 0,030 0,030 -8,18 -8,18


(5)

(6)