Kriteria Berdasarkan Kategori Perilaku Asertif

adanya ketakutan mendapat hukuman atau kehilangan sahabat, adanya perasaan bersalah, adanya keinginan berkompromi dengan masyarakat dan keinginan untuk mengidentifikasikan diri dengan orang lain. Beberapa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan, yang terdiri dari 2 remaja puteri mempunyai kemampuan asertif yang rendah. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena ada beberapa orang tua yang masih mengikuti pola pikir beberapa masyarakat terdahulu, dimana anak perempuan dituntut untuk bersikap pasif dalam menyelesaikan masalah keluarga, karena sejak dini telah ditanamkan bahwa anak perempuan pada suku Batak tidak bisa menjadi “ahli waris” keluarga Siahaan, 1982. Bila dilihat secara keseluruhan, pada umumnya mahasiswa Batak Toba memiliki tingkat asertivitas yang tinggi. Dalam hal ini dibuktikan dengan mean empiris yang lebih besar bila dibandingkan dengan mean teoritis 120, baik dari kelompok subyek yang ada di Yogyakarta maupun kelompok subyek yang ada di Medan. Hal tersebut juga diperkuat dengan pengkategorisasian skor tingkat asertivitas mahasiswa Batak Toba yang didominasi pada kategori “sedang”, “tinggi”, hingga “sangat tinggi”. Ini disebabkan adanya faktor seperti kebudayaan yang senantiasa berhubungan dengan norma-norma yang ada dan sudah tertanam semenjak kecil. Sebagai salah satu contoh adalah kuatnya pengaruh keluarga pada suku Batak, yang direalisasikan dalam bentuk perlakuan orang tua yang senantiasa menanamkan keberanian dalam mengutarakan pendapatnya kepada orang lain, termasuk kepada orang yang lebih tua dan mempunyai pengaruh cukup besar dalam keluarga Gultom, 1992. Dengan demikian faktor kebudayaan tidak bisa lepas dari pola asuh orang tua, karena kebudayaan secara tidak langsung berkaitan dengan hal-hal yang telah ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya sejak usia dini. Oleh karena itu kebudayaan juga berpengaruh dalam pembentukan pribadi masing-masing individu di dalamnya, misalnya untuk berperilaku asertif. Pola asuh orang tua, faktor kebudayaan, serta adanya perbedaan pandangan, karakter dan nilai-nilai pribadi mempengaruhi tingkat asertivitas antara mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta dan mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan, tetapi faktor lingkungan tempat tinggal juga berperan besar dalam pembentukan tingkat asertivitas itu. Berdasarkan jumlah mean yang diperoleh, kelompok subyek yang ada di Yogyakarta sebesar 134,24 sedangkan kelompok subyek yang ada di Medan sebesar 142,42. Hal tersebut membuktikan bahwa mahasiswa Batak Toba yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta. Ini juga diperkuat dengan adanya hasil pengkategorisasian yang menunjukkan bahwa sebanyak 35 orang 70 dari kelompok subyek yang ada di Medan berada pada kategori sedang hingga yang paling tinggi. Berbeda halnya dengan kelompok subyek yang ada di Yogyakarta, dimana terdapat 25 orang 50 berada pada kategori “tinggi”, dan “sangat tinggi”. Mahasiswa Batak Toba yang tinggal di daerah Medan, umumnya lebih berterus terang. Dengan kata lain mereka senantiasa terbuka dan secara lugas dapat mengungkapkan diri mereka. Hal tersebut disebabkan karena mereka berinteraksi dengan masyarakat suku yang sama, yang pada umumnya lugas dan secara spontan mampu mengutarakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diharapkan. Berbeda halnya dengan mereka yang berdomisili di Yogyakarta. Mereka akan lebih sulit mengutarakan pikiran dan perasaan secara langsung karena mereka terpengaruh oleh kuatnya budaya Jawa yang identik dengan budaya berpura-pura yang cenderung menutupi perasaan negatif, seperti rasa sedih, perasaan benci dan kekecewaan yang dalam, serta perasaan-perasaan positif. Selain itu, Suseno 2001 mengungkapkan bahwa membuka perasaan hati begitu saja dinilai negatif bagi orang Jawa. Berlaku secara mendadak dan spontan dianggap sebagai tanda kekurangdewasaan. Usaha-usaha yang berlebihan dan reaksi-reaksi yang memperlihatkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri bagi orang Jawa terasa kurang mengenakkan Mulder Geertz dalam Suseno, 2001. Akibatnya, mahasiswa Batak Toba yang ada di Yogyakarta terpengaruh dan menjadi terbiasa dengan budaya menahan diri, termasuk apa yang mereka rasakan maupun apa yang mereka pikirkan, baik yang bersifat negatif maupun positif. Dari kedua kelompok mahasiswa Batak Toba, baik itu yang ada di Yogyakarta maupun yang ada di Medan memiliki tingkat asertivitas yang berbeda, dimana kelompok subyek yang ada di Medan lebih asertif bila dibandingkan dengan kelompok subyek yang ada di Yogyakarta. Oleh karena itu peranan lingkungan tempat tinggal sangat penting dalam hal proses pembentukan perilaku asertif, terutama masyarakat sekitar dimana mahasiswa Batak Toba tinggal. Dengan segala karakteristik dan ciri khas yang dimiliki oleh mahasiswa Batak Toba, sebaiknya masyarakat lebih menerima keadaan tersebut, sehingga mereka mampu mengungkapkan keinginan dan harapan dengan perasaan nyaman, serta mampu menciptakan hubungan interpersonal yang lebih efektif dalam menjalankan aktivitas sosialnya. Pada awal penyebaran skala, peneliti merasakan adanya kesulitan terutama pada saat melakukan penelitian di Yogyakarta. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya informasi keberadaan subyek penelitian dengan keterbatasan yang telah ditetapkan dalam menentukan karakteristik subyek sebelumnya. Akibatnya, peneliti mengalami kesulitan dalam mencari subyek guna mengumpulkan data. Menurut pengamatan peneliti dari awal hingga akhir penelitian, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan. Kekurangan tersebut salah satunya adalah pengambilan sampel tidak dalam perbandingan yang sama. Dengan kata lain, peneliti tidak mengontrol perbandingan subyek dari kedua kelompok, terutama dari segi usia. Ini tentu saja mempengaruhi hasil dalam penelitian. Berdasarkan gambaran rangkuman subyek penelitian, sebagian besar kelompok yang ada di Medan didominasi oleh subyek dengan rentang usia yang lebih tua bila dibandingkan dengan kelompok subyek yang ada di Yogyakarta. Hal ini bisa saja menjadi salah satu penyebab yang menimbulkan tingkat asertivitas yang lebih besar pada kelompok subyek yang ada di Medan. Dugaan tersebut semakin diperkuat oleh pernyataan Santosa 1999 yang mengatakan bahwa perilaku asertif mulai terbentuk pada masa remaja dan semakin berkembang pada masa dewasa.