1
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini, peneliti memaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan definisi operasional variabel penelitian. Ketujuh sub-judul tersebut merupakan bagian-bagian dari pendahuluan yang harus ada dalam sebuah
penelitian. Setiap pengertian dan penjabaran didasarkan pada pemahaman logis, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan. Masing-masing sub bagian pendahuluan
ini akan dijabarkan secara singkat, padat dan jelas.
A. Latar Belakang Masalah
Anak tunanetra adalah individu berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan secara fisik pada mata. Anak tunanetra adalah penyandang cacat mata
berkekurangan dalam penglihatan. Seorang anak yang menyandang tunanetra bisa mengalami buta secara total, bisa juga low vision penglihatan kurang jelas. Data
yang dikeluarkan oleh WHO Agustus 2014 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 285 juta orang tunanetra di seluruh dunia 39 juta orang buta dan 246 juta orang low
vision. Berdasarkan hasil survey nasional tahun 1993 –1996 angka kebutaan di
Indonesia mencapai 1,5 persen. Angka ini menempatkan Indonesia untuk masalah kebutaan di urutan pertama di Asia dan nomor dua di dunia setelah Negara-negara di
Afrika Tengah sekitar Gurun Sahara. Sebagai perbandingan, di Bangladesh angka
kebutaan mencapai satu persen, di India 0,7 persen, di Thailand 0,3 persen, Jepang dan AS berkisar 0,1 persen
–0,3 persen Sianturi, 2004. Jumlah ini akan selalu bertambah tiap tahunnya, baik yang disebabkan oleh faktor keturunan, penyakit dan
kecelakaan maupun karena kekurangan gizi. Anak tunanetra terlahir memiliki potensi-potensi yang relatif sama dengan
anak awas lainnya meskipun secara fisik mereka berbeda. Anak awas dapat melihat dengan jelas sedangkan anak tunanetra terganggu penglihatannya, baik itu karena
mengalami kebutaan sejak lahir, low vision dan buta karena sakit atau karena faktor lain. Anak awas dan anak tunanetra sama-sama dianugerahi oleh Tuhan kemampuan
motorik, kemampuan intelektual, kemampuan untuk bersosialisasi, kemampuan emosi dan potensi-potensi yang luar biasa dalam diri mereka. Anak-anak tunanetra ini
sebenarnya dapat melakukan aktivitas sebagaimana pada anak awas. Mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan harapan dan mimpi-mimpinya.
Dalam kenyataannya, akibat gangguan penglihatan tersebut, anak tunanetra banyak mengalami keterhambatan. Hasil pengamatan peneliti ketika pernah tinggal
bersama dalam komunitas pengasuhan anak tunanetra selama dua tahun, mulai dari tahun 2005 sampai 2007. Jumlah tunanetra 2005-2007 sekitar 80 orang. Banyak
tantangan yang dialami tunanetra dengan kondisi mata yang tidak bisa melihat sama sekali. Anak tunanetra cenderung cemas, takut, berkecil hati, mudah tersinggung,
mogok bicara, dan lain-lain. Anak tunanetra cenderung memiliki perasaan dan bayangan adanya bahaya yang jauh lebih banyak dan lebih besar jumlahnya
dibandingkan anak awas. Anak awas pun dapat membayangkan takutnya berada
dalam kegelapan walaupun memiliki kemampuan dan pengalaman untuk menghindari bahaya itu. Dengan kondisi penglihatan mereka, anak tunanetra
mengalami hambatan dalam perkembangan emosi yang berpengaruh pada mobilitas mereka untuk berprestasi. Emosi-emosi negatif anak tunanetra perlu mendapat
perhatian supaya mereka mampu merespon secara positif setiap kondisi yang merangsang munculnya kecenderungan perasaan-perasaan negatif dalam diri anak
tunanetra. Keterbatasan anak tunanetra dalam mengolah perasaannya akan
menampilkan pola emosi yang berlebihan dan mengarah pada hal yang negatif khususnya perasaan takut, cemas, malu dan cemburu. Bahkan anak tunanetra yang
mengikuti pendidikan formal dan perlombaan-perlombaan sering menarik diri dari teman-temanya karena merasa cemas, takut, cemburu dan malu. Bila kondisi anak
tunanetra ini dibiarkan maka yang terjadi adalah mereka akan kehilangan masa depan yang indah karena sudah menutup diri terhadap lingkungannya. Hal ini tidak bisa
dibiarkan karena anak tunanetra memiliki potensi dan mereka bisa diajak untuk mengembangkan kemampuan mereka.
Di beberapa panti asuhan belum semua menerapkan pemberian bimbingan dan konseling pada anak tunanetra khususnya dalam mengatasi masalah mereka
dalam mengolah dan mengontrol emosi-emosi negatif yang dipertontonkan anak tunanetra. Para guru maupun pendamping di panti asuhan kadangkala mengalami
keputusasaan menghadapi mereka. Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa anak tunanetra menjadi diam dalam waktu yang lama jika ditegur atau kecewa terhadap
orang normal. Bila para pendamping bertanya, sulit untuk memperoleh jawaban dari mereka sehingga para pendamping sulit untuk membantu masalah yang dihadapi oleh
anak tunanetra tersebut. Kesulitan menghadapi emosi-emosi negatif yang dipertontonkan anak tunanetra khusunya perasaan cemas yang dialami tunanetra
memerlukan sebuah pendekatan untuk membantu anak tunanetra dalam permasalahannya. Upaya membantu anak tunanetra dalam permasalahannya, peneliti
melakukan konseling kelompok dengan pendekatan Brief Counseling konseling singkat berfokus solusi untuk menurunkan kecemasan pada anak tunanetra.
Pendekatan Brief Counseling dapat digunakan kepada semua konseli sesuai permasalahannya. Peneliti memilih konseling dalam setting kelompok karena
dibutuhkan adanya interaksi interpersonal bukan hanya dengan konselor, tetapi juga antar anggota kelompok. Peneliti menggunakan pendekatan Brief Counseling karena
peneliti yakin bahwa setiap manusia biberikan potensi oleh Tuhan untuk menyelesaikan masalahnya dan bertanya tentang masalah masa lalu kepada anak
tunanetra adalah hal yang kurang memungkinkan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan tunanetra dalam penglihatan riil dari objek yang akan mereka ceritakan.
Untuk itu pendekatan Brief Counseling merupakan konseling singkat yang berfokus pada solusi, yang berfokus ke masa yang akan datang. Menurunnya kecemasan pada
anak tunanetra menjadikan mereka mampu berelasi dengan baik kepada orang lain dan termotivasi untuk berprestasi meraih cita-citanya.
Merujuk pada pengalaman dan pengamatan peneliti selama dua tahun dan melalui informasi dari pemimpin panti atas emosi negatif yang dipertontonkan anak
tunanetra di Panti Asuhan Karya Murni Medan, penulis mengangkat judul skripsi ini :
“Upaya Menurunkan Intensitas Kecemasan Pada Anak Tunanetra Melalui Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Brief Counseling di Panti Asuhan
Karya Murni Medan. ” Melalui skripsi ini peneliti berharap pihak-pihak yang
bergerak di bidang sosial yang terkait dengan anak berkebutuhan khusus, khususnya SLB A anak tunanetra dapat lebih memahami kondisi dan mengenal emosi anak
tunanetra khususnya mengenai kecemasan dalam diri mereka sehingga dalam memberikan pendampingan dan bimbingan tidak terjadi kesalahpahaman dan
pembiaran pada emosi-emosi tunanetra yang negatif.
B. Identifikasi Masalah