1 Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari
20200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
2 Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara
2070 sampai dengan 20200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
4. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Salah satu variabel perkembangan emosi adalah variabel organisme, yaitu perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila
seseorang mengalami emosi. Sedangkan variabel lainnya adalah stimulus atau ransangan yang menimbulkan emosi yang datang dari lingkungannya.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberi respon secara emosional sudah dijumpai sejak bayi baru lahir. Pola atau
bentuk pernyataan emosi pada anak-anak relatif tetap kecuali mengalami perubahan-perubahan yang drastis dalam aspek kesehatan, lingkungan,
atau hubungan personal. Perkembangan emosi juga sangat dipengaruhi oleh kematangan, terutama kematangan intelektual dan kelenjar endokrin,
serta proses belajar. Proses belajar jauh lebih penting pengaruhnya terhadap perkembangan emosi dibandingkan dengan kematangan karena
proses belajar dapat dikendalikan atau dikontrol. Kematangan emosi
ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan.
Berdasarkan uraian diatas, Somantri 2007:81 mengatakan bahwa dapat diduga perkembangan emosi anak tunanetra akan mengalami
hambatan dibandingkan dengan anak awas. Keterhambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses
belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya,
namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena anak tunanetra tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat.
Akibatnya pola emosi yang ditampilkan berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.
5. Kecemasan Pada Anak Tunanetra
Perasaan cemas yang berlebihan pada anak tunanetra biasanya berhubungan dengan meningkatnya kemampuan anak untuk mengenal
bahaya serta
penilaian kritis
terhadap lingkungannya.
Ketidakmampuannya dalam melihat, mengakibatkan ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan-kemungkinan bahaya yang dapat
mengancam keselamatannya. Akibatnya anak tunanetra cenderung memiliki perasaan dan bayangan adanya bahaya yang jauh lebih besar
dibandingkan orang awas. Perasaan cemas seringkali menghinggapi anak
tunanetra sebagai akibat dari ketidakmampuan atau keterbatasan memprediksi dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi di lingkungannya dan menimpa dirinya.
B. KECEMASAN