Zarah Amala Tokoh Utama

Tokoh-tokoh yang dihadirkan tersebut selanjutnya dikategorikan berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan. Tokoh-tokoh dalam Partikel akan dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan.

2.2.1 Tokoh Utama

Seperti yang telah dijelaskan pada poin 1.6.1.1 bahwa tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dalam novel Partikel, tokoh utamanya terdiri dari dua orang, yaitu Zarah dan Firas ayah Zarah. Mereka dikategorikan menjadi tokoh utama dan tokoh utama yang tambahan karena keduanya merupakan penggerak alur cerita. Jika tidak ada kedua tokoh tersebut, cerita tidak berjalan.

2.2.1.1 Zarah Amala

Zarah merupakan tokoh utama dalam novel Partikel. Zarah adalah tokoh penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita. Zarah menjadi salah satu tokoh penggerak alur. Zarah merupakan seorang perempuan keturunan Arab dan Sunda. Darah Arab jelas ia dapatkan dari Abah Hamid yang bercampur dengan darah Sunda dari Umi. Untuk ukuran orang Indonesia, Zarah termasuk perempuan yang tinggi dengan paras yang cantik. Zarah juga termasuk orang yang cuek dengan penampilan. Ia terbiasa mengenakan setelan santai dan simpel yang tidak ribet. Berikut ini adalah kutipan penjelas argumen tersebut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 “Aku menjelaskan bahwa darahku campuran Arab dan Sunda Lestari, 2012: 311.” 7 Usiaku dan Paul terpaut sepuluh tahun. Badanku yang tingginya 172 cm seperti bonsai jika berada di sebelahnya Lestari, 2012: 7.” 8 Selama ini aku sudah terlalu nyaman dengan celana kargo, kaus oblong, kemeja lengan panjang, dan sepatu botku, hingga lupa bahwa ada peristiwa sosial lain di kehidupan ini yang perlu busana berbeda Lestari, 2012: 302.” Zarah merupakan anak pertama dari Firas dan Aisyah. Zarah tumbuh besar dalam lingkungan orang tua yang sangat mencintai dan menjaga kelestarian lingkungan. Ayahnya, Firas adalah seorang dosen dan ahli mikologi dari Institut Pertanian Bogor IPB. Keluarga Zarah merupakan keluarga yang disegani di desanya karena keberhasilan Ayah Zarah dalam mengajari warga dalam hal pertanian. Hal tersebut terbukti melalui kutipan berikut ini: 9 Bersama Ayah di sisinya, visi Abah masuk ke jalur cepat. Pertanian di Batu Luhur maju pesat karena berhasil ditekan biayanya. Ayah menemukan cara untuk mengadakan pupuk dan obat-obatan sendiri. Ia mendayakan ibu-ibu untuk mengumpulkan semak kirinyuh dan sampah- sampah organik, lalu membangun mesin-mesin pengolah kompos dengan mesin kayuh Lestari, 2012: 12.” 10 “Dan tidak Cuma itu, satu pohon di Bukit Jambul adalah rumah bagi puluhan bahkan ratusan spesies, termasuk fungi-fungi langka yang berpotensi besar menyelamatkan bumi. Satu saja pohon di Bukit Jambul ditebang, semua spesies tadi ikut hilang. Tugas kita, Zarah, adalah melindungi hutan di Bukit Jambul dar i manusia Lestari, 2012: 70.” Zarah tumbuh dalam didikan seorang Firas. Bahkan ia menanggap ayahnya adalah dewa. Dengan begitu, sifat Zarah hampir sama persis seperti sifat Firas. Zarah adalah seseorang yang cerdas. Namun, ia juga seorang yang sangat keras kepala dan memiliki pendirian teguh. Berikut ini adalah gambarannya pada kutipan di bawah ini 11 “Atas permintaan ibuku, mereka memberikan variasi soal mulai level 6 SD sampai pelajaran kelas 3 SMA. Aku mengerjakannya dengan setengah tidak percaya. Untuk inikah anak-anak itu disekap berjam-jam di kelas? Lebih baik mereka semua ikut Ayah ke Kebun Raya dan mendengarkan cerita-ceritanya tentang alam semesta. Nilaiku sempurna. Dengan setengah tidak percaya pula, mereka akhirnya mengizinkanku bersekolah di sana Lestari, 2012: 95.” 12 “Nilaimu bagus, Zarah. Kalau bukan karena nilai PMP dan agamamu yang jeblok, kamu pasti masuk tiga besar. Kenapa kamu mau tinggal kelas? Bu Kartika, 2012: 116.” Sifat keras kepala Zarah juga terbukti dalam kutipan di bawah ini: 13 “Kenapa kamu begitu bodoh Zarah? Kenapa kamu begitu keras kepala? Nggak cukup ayahmu menyiksa keluarga kita? Masih harus kamu ikut- ikutan? Nggak kasihan kamu sama Ibu? Lestari, 2012: 106.” 14 Secepat kilat aku menyambar tiket di tangannya. Dan untuk bisa merampas dari tangan Paul, aku harus melompat tinggi seolah membidik ring basket. “No. You return this ticket. Now. Saya pergi sendiri.” “Kenapa sih, kamu keras kepala banget jadi orang?” seru Paul gemas. “You’ve done so much already, Paul,” kataku lembut. Kukembalikan tiketnya baik- baik. “Perjalanan yang satu ini adalah jatah saya sendirian,” tegasku lagi Lestari, 2012: 380. Zarah juga merupakan seseorang yang tegas dalam mengambil keputusan. Ia selalu berpegang teguh pada apa yang ia yakini. Sikap tegasnya dalam mengambil keputusan ini kemudian banyak menuai konflik dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal tersebut terbukti dalam kutipan: 15 “S—saya… tetap mau tinggal kelas bu,” aku tergagap sambil beranjak. Tatapan itu berhasil mendesakku keluar. Sebagaimana yang sudah kuduga dan kuantisipasi, Ibu mengamuk habis-habisan. Aku juga tak berupaya menjelaskan panjang lebar alasanku. Aku yakin Ibu tak akan mengerti Lestari, 2012: 118. 16 Malam itu juga kuputuskan, aku tak pulang lagi ke Jawa. Esok harinya, keputusanku untuk tidak pulang menggemparkan seisi kelotok. Melalui pertengkaran sengit yang berakhir dengan aku menandatangani surat perjanjian pelepasan tanggung jawab, aku berhasil tinggal Lestari, 2012: 194. 17 Yang kutahu, kemarahan Ibu bukan karena aku memilih orangutan ketimbang keluargaku sendiri. Kemarahan Ibu hari ini adalah kemarahan yang tertunda. Yang terakumulasi sejak perang dingin kami dimulai dan aku memilih tinggal di saung Batu Luhur setahun lalu. Kemarahan Ibu adalah karena anaknya melihat segala tempat di dunia ini, entah itu saung tak berdinding di tengah ladang, atau teras bangunan kayu di tengah hutan belantara, seolah lebih baik dari rumahnya sendiri. Rumah yang telah ibu wujudkan dan pertahankan dengan air mata dan jerih payah Lestari, 2012: 218. Selain cuek dengan penampilannya, Zarah juga memiliki sifat yang cuek terhadap apa yang dipikirkan orang lain. Ia tidak begitu ambil pusing tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Hal itu terbukti dari reaksinya ketika ia dianggap native oleh teman-temannya dan juga ia tidak ambil pusing ketika orang-orang tidak percaya kepada apa yang ditulis ayahnya, sedangkan ia sangat percaya pada ayahnya. Berikut ini adalah kutipan penjelasnya. 18 Zach roboh ke tanah dan tertawa terguling-guling melihat pemandangan itu. Antara Valerie yang rela kencan dengan sepuluh orangutan demi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI masuk short list pendamping WWF yang secara berkala memboyong selebritas Hollywood masuk hutan, dengan aku yang berkali-kali ditawari ikut, tapi selalu menolak tanpa tahu apa yang sebenarnya kulewatkan. Tahun lalu, mereka membawa Julia —something— Roberts? Lupa lagi. Zach membodoh-bodohiku selama sebulan karena ia sendiri rela melakukan apa saja demi memotret senyum maut Julia di pagi hari. Seakan-akan panjang gigi perempuan itu bakal bertambah atau berkurang seinci, tergantung sinar matahari Lestari, 2012: 4. 19 “Kamu menyembah apa?” “Jamur” Semenjak hari itu mereka menganggapku sinting. Keuntungan ada di pihakku, karena teror pernyataan mereka mereda Lestari, 2012: 98. 20 Maka, kuputuskan untuk diam. Untuk apa menabrak-nabrakkan diri ke benteng batu? Hanya akan mengundang masalah, dan aku tak punya cukup ruang untuk itu. Tujuanku jelas dan pasti: mencari Ayah. Yang lain hanya berisikan. Tak perlu didengar Lestari, 2012: 105. Zarah juga menuruni sifat Firas yang pemberani dan pemberontak. Jika ia mengetahui sesuatu yang salah tidak sesuai dengan apa yang ia percaya, tidak segan-segan ia mengeluarkan pendapatnya dan mengatakan kesungguhannya walaupun itu menyakiti hati orang lain. Hal ini mungkin bisa disebut dengan nama ceplas-ceplos. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan berikut: 21 “Karena kebenaran hanya ada satu,” potong Abah, “Kebenaran Allah subhanahu wa taala ”. “Kalau kenenaran cuma ada satu, kenapa ada banyak agama? Abah sendiri bilang, Islam banyak alirannya. Berarti nggak cumma satu dong,” balasku. “Kalau yang benar cuma Islamnya Abah, berarti teman- temanku yang dari agama lain, dari Islam aliran lain, juga harusnya diskors. Kenapa cuma Zarah? Padahal, Zarah nggak percaya apa-apa. Zarah cuma menceritakan apa yang Zarah baca Lestari, 2012: 103.” 22 “Loh, apa salahnya bilang begitu?” tanyaku bingung. “Memang apa buktinya Allah pasti ada? Lestari, 2012: 130.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Zarah memang banyak mewarisi sifat Firas. Salah satunya adalah tidak mudah percaya pada suatu hal. Apalagi jika itu menyangkut tentang agama. Ia selalu mempertanyakan kebenaran tentang agama. Dan hal ini yang menyebabkan pelbagai macam konflik di dalam keluarganya. Zarah, dalam hal kepercayaan, ia menganut ideologi ayahnya mengenai alam semesta. Berikut ini adalah kutipan penjelasnya. 23 “Karena apa yang kamu ceritakan tidak sesuai dengan pelajaran Agama. Tidak sesuai dengan Islam.” “Cerita saya itu memang belum tentu benar, Pak. Namanya juga cerita. Yang diceritakan Bu Aminah tentang Adam dan Hawa, kan, belum tentu benar juga — Lestari, 2012: 102.” 24 “Zarah tak pernah bilang Zarah beriman pada tulisan Ayah, Zarah cuma cerita. Apa salahnya? Kenapa nggak boleh?” “Karena kebenaran cuma ada satu,” potong Abah, “Kebenaran Allah subhanahu wa taala .” “Kalau kebenaran cuma satu, kenapa ada banyak agama? Abah sendiri bilang, Islam banyak alirannya. Berarti nggak cuma satu dong,” balasku. “Kalau kebenaran cuma Islamnya Abah, berarti teman- temanku yang dari agama lain, dari Islam aliran lain, juga harusnya diskors. Kenapa cuma Zarah? Padahal Zarah nggak percaya apa-apa. Zarah cuma menceritakan apa yang Zarah baca Lestari, 2012: 104.” 25 Aku pun merasakan luapan amarah dalam hatiku. Mengapa mereka harus meradang karena pertanyaan-pertanyaanku? Seolah-olah semua yang kuucapkan adalah hinaan? Kenapa mereka tidak bisa melihat semata- mata sebagai pertanyaan? Mengapa kata “agama” dan “Tuhan” menyulut api dalam setiap hati orang yang kutemui? Dan sungguh aku muak dengan satu kata itu. Atheis. Bagiku ini bukan soal percaya atau tidak percaya, melainkan tidak adanya kesempatan untuk mempertanyakan. “Zarah buka Ateis. Zarah percaya sama alam ini, tapi nggak peduli siapa yang bikin.” Lestari, 2012: 131. Zarah juga merupakan seseorang yang tangguh dalam menghadap pelbagai masalah. Dibuktikan dengan ia tetap kuat ketika kehilangan ayahnya. Ketika ia juga menghadapi masalah tentang kelahiran adeknya yang disebut tumbal. Zarah merupakan sosok yang mewarisi sifat dan watak Firas, ayahnya.