2.3.3 Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup pelbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.
Latar sosial berperanan menentukan apakah sebuah latar, khususnya latar tempat, menjadi khas dan tipikal atau sebaliknya bersifat netral. Dengan kata lain,
untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional, deskripsi latar tempat harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat
yang bersangkutan Nurgiyantoro, 2010: 234.
2.3.3.1 Latar Sosial Mengenai Sistem Pendidikan di Indonesia
Latar sosial tempat sekolah formal masih menjadi satu-satunya pilihan pendidikan yang terbaik merupakan salah satu latar mengenai pandangan hidup.
Hal tersebut terlihat ketika sikap masyarakat masih sangat saklek bersifat mutlak dan harus dilakukan, padahal hal tersebut belum tentu benar terhadap sistem
pedidikan. Bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan formal. Pada waktu itu, pendidikan informal masih sangat jarang ada. Berikut ini adalah bukti
kutipannya. 89
“Setiap sekolah itu punya sistem. Punyamu mana?” Ibu menyerang sambil berkacak pinggang. Suaranya yang serak basah semakin
sember jika sedang naik darah, padahal Ibu bukan perokok Lestari, 2012: 52.
90 Ibu melirik isi buku itu dan tentunya meragu. “Tidak ada rapor
sekolah di dunia dengan bentuk dan isi kayak gitu. Nggak ngerti aku”, bentaknya lagi Lestari, 2012: 52.
Pertentangan tidak hanya dilakukan oleh Aisyah, namun Abah Hamid dan Umi juga menentang keputusan Firas yang tidak mau menyekolahkan Zarah pada
sekolah formal. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini. 91
Dalam setiap kunjungan, Umi selalu menyempatkan bertanya kepadaku, “Zarah sudah mau sekolah?”
Aku menggeleng. Umi lantas meluangkan waktunya sejenak untuk mengeluarkan bukuk
rayu seperti, “Enak, lho sekolah itu. Kamu nanti punya banyak teman. Punya banyak guru yang baik. Zarah kan sudah besar. Masa belum
sekolah? Nggak malu sama anak-
anak tetangga?” “Nggak.”
“Kalau Zarah sekolah, nanti Umi belikan mainan yang banyak. Apapun yang Zarah mau.”
Aku menyumpal mulutku dengan opak. Menatap Umi sambil mengunyah. Lalu kembali menggeleng.
Umi cuma bisa melirik ibukku. Frustasi Lestari, 2012: 17.
2.3.3.2 Latar Spiritual mengenai Takhayul
Latar spiritual terlihat ketika Bukit Jambul dianggap angker dan dihuni oleh hantu. Selain itu, tragedi “adek” yang dianggap sebagai tumbal Firas dan
Bukit Jambul juga merupakan latar spiritual di dalam Partikel. Jauh sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, masyarakat
Indonesia memang banyak memiliki kepercayaan akan mistis dan takhayul. Hal itu juga terlihat dan tergambar dalam masyarakat Partikel. Masyarakat dalam
Partikel mempercayai adanya roh kekuatan gaib dan sejenisnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kepercayaan mengenai takhayul pada tahun 1970an memang masih terasa sangat kental. Hal tersebut terlihat ketika kepercayaan masyarakat mengenai hal-
hal yang menyangkut roh gaib masih sangat kuat. Masyarakat Batu Luhur merasakan dan mengalami hal tersebut dalam kasus Bukit Jambul. Berikut ini
kutipan pelukisan mengenai Bukit Jambul yang terdapat dalam Partikel. 92
Ada yang bilang, pohon-pohon di sana hidup dan punya kekuatan sakti, barang siapa mencoba menebang pohon di sana langsung
kesurupan sebelum berhasil menancapkan kapak untuk kedua kali. Ada yang bilang, hutan itu markas Prabu Siliwangi dan pasukan
gaibnya. Versi lebih bombastis lain bilang, di sana adalah pusat jin satu dunia dikumpulkan Lestari, 2012: 29.
Pernah saat Abah Hamid masih aktif membina Batu Luhur, masyarakat dan pemimpin desa meminta Abah Hamid untuk membabat Bukit Jambul. Namun
setelah melakukan serangkaian sembahyang khusus, Abah malah diberi mimpi aneh. Dalam miminya ia melihat sinar terang yang menyilaukan menelan Firas.
Dan mimpinya itu membuatnya gentar setengah mati. Berikut ini kutipan penjelasnya.
93 Mimpi itu dimaknai Abah sebagai ujian Nabi Ibrahim saat harus
mengorbankan anak kesayangannya, Ismail. Dengan legawa ia mengakui kepada warga Batu Luhur bahwa ia tak sanggup. Iman
Abah belum sehebat Nabi Ibrahim. Abah tidak siap kehilangan Ayah Lestari, 2012: 31.
Kisah takhayul tersebut masih berlanjut. Ketika kelahiran bayi yang disebut Zarah dengan “adek”. Menurut masyarakat, Ibu, Abah dan Umi, kelahiran
adek adalah tumbal dari sikap dan perilaku Firas yang seenaknya keluar masuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bukit Jambul. Anak ketiga Firas dan Aisyah lahir tidak seperti manusia. Berikut ini kutipan mengenai bentuk anak ketiganya itu.
94 Makhluk kecil itu tidak seperti manusia, tidak seperti apa pun yang
kutahu. Di permukaan kulit merah yang seperti direbus itu terdapat pola retak-retak seperti sawah kering. Pinggiran retakan itu berwarna
putih, berkerak. Sekujur tubuhnya ditutupi retakan itu Lestari, 2012: 41.
Setelah peristiwa kelahiran itu, kepercayaan masyarakat akan takhayul dan mistis semakin kuat. Hal tersebut terlihat ketika terdengar desas-desus mengenai
si jabang bayi di lingkungan masyarakat. Berikut ini kutipan penjelasnya. 95
Aisyah melahirkan anak setengah ular. Anak itulah tumbal Bukit Jambul yang tertunda. Seharusnya tumbal itu Firas, tapi kemudian
berpindah ke generasi berikutnya. Abah Hamid dikutuk tidak bisa lagi punya garis keturunan laki-laki. Versi lain mengatakan, Firas sudah
punya istri jin di Bukit Jambul. Makanya ia jadi jarang pulang, Kandungan Aisyah “dikerjai” oleh istri jin-nya Firas yang cemburu
Lestari, 2012: 46.
2.3.3.3 Latar Sosial mengenai Peristiwa Crop Circle dan UFO