Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: persperktif Antonio Gramsci.

(1)

ABSTRAK

Homba, Carlos Venansius. 2016. Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci. Skripsi Strata Satu (S-1). Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengangkat topik bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam novel Kuil di Dasar Laut karya Seno Joko Suyono. Tujuan penelitian ini (1) mendeskripsikan struktur cerita yang meliputi tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu, (2) mendeskripsikan formasi intelektual berdasarkan perspektif Antonio Gramsci, dan (3) mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. 1) Pendekatan stuktural digunakan untuk menganalisis struktur novel dan memberi gambaran mengenai isi novel Kuil di Dasar Laut. 2) Pendekatan Sosiologi Sastra dengan teori Hegemoni Antonio Gramsci digunakan untuk melihat relasi kekuasaan pemerintah dengan masyarakat sipil dan peran kaum intelektual sebagai penghubung antara dua entitas tersebut. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca catat dan teknik studi pustaka.

Hasil kajian ini dibagi menjadi tiga, yaitu analisis struktur cerita dalam novel, formasi intelektual, dan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel ini adalah Jeanne dan Suryo. Sedangkan tokoh tambahan terdiri dari anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, dan Phhoung. Latar terbagi menjadi dua. Pertama, latar tempat yang terdiri dari Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Gunung Sapto Renggo, Situ Panjalu, Laut Cina Selatan, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Kedua, latar waktu yang terdiri dari tahun 1961, 1991, 1996, 1998, dan 2012. Tokoh-tokoh di atas dikategorikan dalam formasi intelektual yang terdiri dari Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual yang kedua masih dapat dibagi lagi menjadi Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani, Souvvana, dan Phhoung masuk dalam Intelektual Hegemonic. Anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Pak Sawito Kartowibowo dan rekannya Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, dan MdDSSG masuk dalam kategori Intelektual Counter-Hegemonic.

Ada empat bentuk counter-hegemoni yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu 1) Perlawanan Keras yang dilakukan dengan cara menerbitkan petisi dan aksi demonstrasi, 2) Perlawanan Pasif yang dilakukan melalui cara tapak tilas dan tirakat, menantang maut, dan mencari ketenangan di luar negeri. 3) Perlawanan Humanistik yang dilakukan melalui negosiasi dengan penguasa, 4) Perlawanan Metafisik yang dilaksanakan melalui perjalanan spiritual ke pepunden-pepunden untuk mencari wahyu tandingan melawan Soeharto.


(2)

ABSTRACT

Homba, Carlos Venansius. 2016. The Forms of Counter-Hegemony in Kuil di Dasar Laut Novel By Seno Joko Suyono: Antonio Gramscis Hegemoni Perspective. Bachelor of Science Essay. Yogyakarta: Indonesian Literature. Faculty of Literature. Sanata Dharma University.

This research raises the forms of counter-hegemony in Kuil di Dasar Laut novel. Research purposes are 1) describing the structure of Kuil di Dasar Laut novel including characters and characterizations and setting of place and time, 2) describing the formation of intellectual with perspective of Antonio Gramsci, 3) describing the forms of counter-hegemony. This research using two main approaches, i.e. 1) Structural approach is used to analyze the structure of the novel and give illustration about the content of Kuil di Dasar Laut novel. 2) Sociology of Literature approach with Hegemony of Antonio Gramsci theory is used to analyzing the power relation of government with civil society and the role of intellectual as connector between the two entities. The method used in this research is description qualitative method. The data collecting technique are note-reading technique and library research technique .

The result of the study is divided into three parts, analyzing of story structure of the novel, formation of intellectual, and forms of counter-hegemony. The main character in this novel are Jeanne and Suryo. While the additional character consists of members and sympathisesrs of Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, and Phhoung. The setting is devided into two parts. First, setting of place consist of Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Sapto Renggo Mountain, Situ Panjalu, South China Sea, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, and Vietnam. Second, setting of time consist of 1961, 1991, 1996, 1998, and 2012. The characters above categorized in the formation of intellectual consist of Traditional Intellectual and Organic Intelectual. The second intellectual can be divided into Hegemonic Intellectual and Counter-Hegemonic Intellectual. None of the character that come in Traditional Intellectual category. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoermardani, Souvvana, and Phhoung come in Hegemonic Intellectual. Members and sympathisers of Paguyuban Anggoro Kasih, Sir Sawito Kartowibowo, and his colleague Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, and MdDSSG in the category of Counter-Hegemonic Intellectual.

There are four forms of counter-hegemony was found in this research, that are 1) Strong Resistance that done by publish the petition and demonstration, 2) Passive Resistance that done by tapak tilas and tirakat, challenging death, and seeking solace in aboard, 3) Humanistic Resistance that done by negotiations with the authority, 4) Metaphysically Resistance that done by spiritual journey to the objects of shrine to seek match relevation against Soeharto.


(3)

BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI

DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT

KARYA SENO JOKO SUYONO: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Carlos Venansius Homba NIM 124114020

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

i

BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI

DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT

KARYA SENO JOKO SUYONO: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Carlos Venansius Homba NIM 124114020

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

vi

PERSEMBAHAN

Hidup itu mukjizat

Sekali pun gunung terlampau tinggi membendung hasrat Kita tetap dapat menaklukkannya dengan mendaki

Karya ini kupersembahkan kepada orangtuaku Albertus Homba dan Florence Bani Saudara terkasihku Alfrida Natalia Homba dan Barnabas Homba P. Jack,C.Ss.R. dan P. Rano, C.Ss.R. Serta semua orang yang saya cintai


(10)

vii MOTTO

“Biarlah perkara kemarin menjadi alasan untuk tidak kembali berputus asa”

Kemerdekaan sejati terletak pada pilihan yang sejati pula. Dengan menyerah kepada Tuhan,

manusia menjadi merdeka sejati. (Driyarkara, 1966)

Janganlah mengira kita sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai, berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat.


(11)

viii

KATA PENGANTAR

Saya sungguh yakin bahwa penyelesaian skripsi yang berjudul Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci ini atas perkenanan Tuhan yang Mahakuasa. Ia hadir dalam hati semua orang yang selama ini telah mendukung saya dengan berbagai bentuk dan cara masing-masing.

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari banyak pihak, skripsi ini tidak akan selesai pada waktunya. Oleh karena itu, dari hati yang paling dalam, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. yang telah bersedia menjadi pembimbing I dan memberikan banyak masukan berharga. Penulis menyadari bahwa semangat beliau juga banyak mempengaruhi arah penulisan skripsi ini.

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah menyempatkan diri untuk menilik dan mengarahkan penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Ari Subagyo, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan sekaligus merangkap sebagai Dekan Fakultas Sastra yang juga ikut mendorong dan menyemangati penulis.

4. Seluruh jajaran pejabat dan dosen Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia, S.E Peni Adji, M.Hum. selaku Kaprodi; Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum.; Drs. Hery Antono, M.Hum. sebagai Wakaprodi yang juga telah banyak memberikan dukungan dan sokongan berharga; Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodorus,


(12)

ix

M.Hum. yang telah memberikan banyak petuah kepada penulis; Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum.; Sony Christian Sudarsono, M.Hum. yang juga turut memberikan semangat kepada penulis.

5. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Sanata Dharma yang telah membantu penulis memperoleh referensi yang dibutuhkan.

6. Kedua orangtuaku, Bapak Albertus Homba dan Ibu Florence Bani yang telah memberikan dukungan doa, motivasi, dan materiil.

7. Kedua kakakku, Alfrida Natalia Homba dan Barnabas Homba yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis.

8. P. Jackobus Umbu Warata, C.Ss.R. dan P. Bartolomeus Farano Loja Nedy, C.Ss.R. dan para donatur yang telah memberikan pilihan, motivasi, dan dukungan, baik secara moril maupun materiil kepada penulis.

9. Teman terbaikku Desy Crissie Radja bersama ibunya Dra. Clara E.M. Talahatu yang secara langsung ataupun tidak langsung telah mendukung dan memberikan banyak kesempatan untuk belajar bersama.

10.Seluruh teman Prodi Sastra Indonesia dan secara khusus Angkatan 2012 dan teman baikku, Roby, Bella, Patrick, Santi, Willy, Venta, Lina, Dorce, Mei, Peng, Novia, Ovi, Reta, Gaby, Silvy, dan Ria Puji Utami.

11.Seluruh keluarga besar Bengkel Sastra yang telah memberikan banyak kesempatan kepada saya untuk mengembangkan kemampuan berorganisasi dan bersastra di luar kelas.


(13)

x

12.Keluarga besar Komuniatas Studi Kebangsaan (KSK) Universitas Sanata Dharma yang telah banyak menyemangati penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Bersama KSK, penulis diberi kesempatan untuk belajar mengenai organisasi, ilmu kepemimpinan, dan kepekaan sosial.

13. Keluarga besar Komunitas Belajar Anak Omah Pohon yang telah memberikan penyadaran kepada penulis akan pentingnya perhatian kepada perkembangan anak melalui pendidikan yang menyenangkan dan kreatif.

Penulis menyadari bahwa banyak lagi yang belum sempat disebukan. Semoga semua orang atas jasa baik mereka diberkati oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap kiranya skripsi ini memberikan manfaat, khususnya bagi perkembangan pendidikan Sastra Indonesia.

Penulis


(14)

xi

ABSTRAK

Homba, Carlos Venansius. 2016. Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel

Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci. Skripsi Strata Satu (S-1). Yogyakarta: Sastra Indonesia.

Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengangkat topik bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam novel Kuil di Dasar Laut karya Seno Joko Suyono. Tujuan penelitian ini (1) mendeskripsikan struktur cerita yang meliputi tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu, (2) mendeskripsikan formasi intelektual berdasarkan perspektif Antonio Gramsci, dan (3) mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. 1) Pendekatan stuktural digunakan untuk menganalisis struktur novel dan memberi gambaran mengenai isi novel Kuil di Dasar Laut. 2) Pendekatan Sosiologi Sastra dengan teori Hegemoni Antonio Gramsci digunakan untuk melihat relasi kekuasaan pemerintah dengan masyarakat sipil dan peran kaum intelektual sebagai penghubung antara dua entitas tersebut. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca catat dan teknik studi pustaka.

Hasil kajian ini dibagi menjadi tiga, yaitu analisis struktur cerita dalam novel, formasi intelektual, dan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel ini adalah Jeanne dan Suryo. Sedangkan tokoh tambahan terdiri dari anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, dan Phhoung. Latar terbagi menjadi dua. Pertama, latar tempat yang terdiri dari Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Gunung Sapto Renggo, Situ Panjalu, Laut Cina Selatan, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Kedua, latar waktu yang terdiri dari tahun 1961, 1991, 1996, 1998, dan 2012. Tokoh-tokoh di atas dikategorikan dalam formasi intelektual yang terdiri dari Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual yang kedua masih dapat dibagi lagi menjadi Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani, Souvvana, dan Phhoung masuk dalam Intelektual Hegemonic. Anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Pak Sawito Kartowibowo dan rekannya Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, dan MdDSSG masuk dalam kategori Intelektual Counter-Hegemonic.

Ada empat bentuk counter-hegemoni yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu 1) Perlawanan Keras yang dilakukan dengan cara menerbitkan petisi dan aksi demonstrasi, 2) Perlawanan Pasif yang dilakukan melalui cara tapak tilas dan tirakat, menantang maut, dan mencari ketenangan di luar negeri. 3) Perlawanan Humanistik yang dilakukan melalui negosiasi dengan penguasa, 4) Perlawanan Metafisik yang dilaksanakan melalui perjalanan spiritual ke pepunden-pepunden untuk mencari wahyu tandingan melawan Soeharto.


(15)

xii

ABSTRACT

Homba, Carlos Venansius. 2016. The Forms of Counter-Hegemony in Kuil di Dasar Laut Novel By Seno Joko Suyono: Antonio Gramsci’s Hegemony

Perspective. Bachelor of Science Essay. Yogyakarta: Indonesian Literature.

Faculty of Literature. Sanata Dharma University.

This research raises the forms of counter-hegemony in Kuil di Dasar Laut novel. Research purposes are 1) describing the structure of Kuil di Dasar Laut novel including characters and characterizations and setting of place and time, 2) describing the formation of intellectual with perspective of Antonio Gramsci, 3) describing the forms of counter-hegemony. This research using two main approaches, i.e. 1) Structural approach is used to analyze the structure of the novel and give illustration about the content of Kuil di Dasar Laut novel. 2) Sociology of Literature approach with Hegemony of Antonio Gramsci theory is used to analyzing the power relation of government with civil society and the role of intellectual as connector between the two entities. The method used in this research is description qualitative method. The data collecting technique are note-reading technique and library research technique .

The result of the study is divided into three parts, analyzing of story structure of the novel, formation of intellectual, and forms of counter-hegemony. The main character in this novel are Jeanne and Suryo. While the additional character consists of members and sympathisesrs of Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, and Phhoung. The setting is devided into two parts. First, setting of place consist of Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Sapto Renggo Mountain, Situ Panjalu, South China Sea, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, and Vietnam. Second, setting of time consist of 1961, 1991, 1996, 1998, and 2012. The characters above categorized in the formation of intellectual consist of Traditional Intellectual and Organic Intelectual. The second intellectual can be divided into Hegemonic Intellectual and Counter-Hegemonic Intellectual. None of the character that come in Traditional Intellectual category. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoermardani, Souvvana, and Phhoung come in Hegemonic Intellectual. Members and sympathisers of Paguyuban Anggoro Kasih, Sir Sawito Kartowibowo, and his colleague Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, and MdDSSG in the category of Counter-Hegemonic Intellectual.

There are four forms of counter-hegemony was found in this research, that are 1) Strong Resistance that done by publish the petition and demonstration, 2) Passive Resistance that done by tapak tilas and tirakat, challenging death, and seeking solace in aboard, 3) Humanistic Resistance that done by negotiations with the authority, 4) Metaphysically Resistance that done by spiritual journey to the objects of shrine to seek match relevation against Soeharto.


(16)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

MOTTO ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 7

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 7

1.4.2 Manfaat Praktis ... 7

1.5 Tinjauan Pustaka ... 8

1.6 Landasan Teori ... 12


(17)

xiv

1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan ... 13

1.6.1.2 Latar ... 18

1.6.1.2.1 Latar Tempat ... 19

1.6.1.2.2 Latar Waktu ... 19

1.6.2 Sosiologi Sastra ... 20

1.6.2.1 Analisis Hegemoni: Perspektif Antonio Gramsci ... 21

1.6.2.1.1 Formasi Kaum Intelektual ... 24

1.6.2.1.2 Counter-Hegemoni ... 30

1.7 Metodologi Penelitian ... 36

1.7.1 Pendekatan ... 36

1.7.2 Metode Penelitian ... 37

1.7.3 Teknik Penelitian ... 38

1.7.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 38

1.7.3.2 Teknik Analisis Data ... 38

1.7.3.3 Teknik Penyajian Data ... 39

1.8 Sumber Data ... 39

1.8.1 Sumber Data Primer ... 39

1.8.2 Sumber Data Sekunder ... 40

1.9 Sistimatika Penyajian ... 40

BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ... 42

2.1 Pengantar ... 42


(18)

xv

2.2.1 Tokoh Utama ... 45

2.2.2 Tokoh Tambahan ... 62

2.3 Latar ... 91

2.3.1 Latar Tempat ... 92

2.3.2 Latar Waktu ... 117

2.4 Rangkuman ... 121

BAB III FORMASI INTELEKTUAL DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ... 126

3.1 Pengantar ... 126

3.2 Formasi Intelektual ... 129

3.2.1 Intelektual Tradisional ... 129

3.2.2 Intelektual Organik ... 130

3.2.2.1 Intelektual Hegemonic ... 133

3.2.2.2 Intelektual Counter-Hegemoni ... 143

3.3 Rangkuman ... 156

BAB IV BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ... 158

4.1 Pengantar ... 158

4.2 Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni ... 163

4.2.1 Perlawanan Keras ... 163

4.2.1.1 Menerbitkan Petisi ... 164

4.2.1.2 Aksi Demonstrasi ... 165


(19)

xvi

4.2.2.1 Tapak Tilas dan Tirakat ... 168

4.2.2.2 Menantang Maut ... 169

4.2.2.3 Mencari Ketenangan di Luar Negeri ... 176

4.2.3 Perlawanan Humanistik ... 178

4.2.3.1 Negosiasi dengan Penguasa ... 178

4.2.4 Perlawanan Metafisik ... 179

4.2.4.1 Bentuk Perlawanan Metafisik ... 181

4.3 Rangkuman ... 192

BAB V PENUTUP ... 196

5.1 Kesimpulan ... 196

5.2 Saran ... 203

DAFTAR PUSTAKA ... 204


(20)

xvii

DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL

Diagram Rangkuman Struktur Cerita Novel KdDL... 124 Tabel 1 Rangkuman Formasi Intelektual dalam Novel KdDL ... 157 Tabel 2 Rangkuman Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel KdDL .... 195


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra diciptakan oleh seorang sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar-masyarakat, antara masyarakat dengan orang-perorang, antar-manusia, dan antar-peristiwa yang terjadi di dalam batin seseorang. Bagaimana pun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang – yang sering menjadi bahan sastra – adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat (Damono, 1978: 1). Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan (Jabrohim, 2015: 215).

Sebagai entitas yang memuat dimensi kehidupan masyarakat, karya sastra bukan hanya sekadar dinikmati. Karya sastra juga dapat diteliti dan dianalisis lebih jauh untuk menemukan gejala-gejala kehidupan masyarakat yang terkadung di dalamnya.


(22)

Kisah mengenai kegelisahan masyarakat pada masa Orde Baru1 selalu layak untuk dilihat kembali. Ada banyak karya sastra (salah satunya novel) yang menggambarkan bentuk pergolakan batin dan perlawanan masyarakat pada rezim ataupun situasi kehidupan yang mengekang kebebasannya sebagai manusia.

Kuil di Dasar Laut (selanjutnya disingkat “KdDL”) merupakan novel karya Seno Joko Suyono yang juga membahas persoalan rezim otoriter Orde Baru. Akan tetapi, karya ini tidak membahas secara spesifik seperti apa saja bentuk otoriter yang ditunjukkan oleh rezim dan persoalan sosial politik yang melilit kehidupan masyarakat Indonesia di akhir periode Orde Lama hingga menyongsong Reformasi tersebut. Seno Joko Suyono justru membahas lebih jauh mengenai sosok Soeharto; pimpinan rezim Orde Baru dengan segala kekuatan mistik yang membentenginya. Kekuatan tersebut yang menopang Soeharto selama puluhan tahun berkuasa.

Banyak massa dan simpatisan yang sebelumnya mendukung Soeharto, kemudian berbalik melawannya karena kecewa dengan model kepemimpinan Seoharto. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan (1).

(1) Pada mulanya mereka mendukung Soeharto, namun kemudian muncul kekecewaan besar terhadap jenderal itu. Mereka menganggap Soeharto salah jalan. Mereka menyesal telah memberikan sokongan moral kepadanya. Bapak-bapak itu adalah orang-orang yang merasa bersalah mendiamkan pengganyangan-pengganyangan yang dilakukan Soeharto (Suyono, 2014: 353).

1

Salah satu kritik tajam yang dilontarkan kaum cendekiawan/intelektual terhadap Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto adalah sifat otoritarian dan militeristik yang sangat kuat dan secara berlebihan mengutamakan ketunggalan ideologi daripada kebhinekaan bangsa (Taum, 2015: 163).


(23)

Diskursus politik Orde Baru sebelumnya memang bertahan cukup lama. Masyarakat berada di bawah sebuah kepatuhan buta. Tidak ada perlawanan seolah-olah rezim Orde Baru begitu perkasa. Dalam kasus perlawanan di atas, hegemoni integral (lih. Patria, 1999: 128) yang ditanamkan oleh Soeharto melalui aparat hegemoninya (salah satunya ABRI) tidak dapat berjalan dengan baik. Mulai muncul perlawanan di mana-mana meskipun tidak secara terbuka. Beberapa perlawanan di antaranya justru dipilih lewat jalur metafisik, yaitu dengan melakukan tirakat dan menyiksa diri berpuasa berhari-hari. Judul Kuil di Dasar Laut rupanya memberikan gambaran yang kaya makna sekaligus merujuk pada model perlawanan bawah tanah para anggota paguyuban. Tidak banyak yang tahu mengenai perang tidak kasatmata ini, tetapi cukup menggerogoti emosional Soeharto.

Kutipan (2) berikut ini menunjukkan bentuk perlawanan metafisik yang dilakukan oleh salah satu tokoh dalam novel KdDL.

(2) Pak Sewaka semenjak 1996 “bersembunyi” di Solo..tak tahan. Ia keluar dari tempat pelariannya. Petilasan Banglampir adalah bekas tempat bermeditasi KiAgeng Pamanahan. Suryo mendengar ternyata sesampaian Pak Sewaka di sana, sudah banyak peziarah yang tidak dikenal. Mereka duduk mengambil posisi di pojok-pojok tertentu, juga di bangsal Prabayaksa. Mereka memperebutkan tusuk konde (Suyono, 2014: 361-362).

Tindakan yang diambil di atas merupakan bentuk yang dalam istilah Gramsci disebut sebagai strategi alternatif (Patria, 1999: 170). Topik seputar strategi alternatif serupa cukup banyak dinarasikan oleh Seno Joko Suyono disertai dengan data-data yang detail dan mempesona. Model perlawanan seperti


(24)

di atas memang belum pernah diteliti atau dideskripsikan dalam berbagai karya sastra maupun risalah ilmiah lainnya.

KdDL dipilih karena beberapa alasan. Pertama, sebagai novel yang belum lama beredar, masih sedikit yang meneliti KdDL. Sejauh ini, KdDL baru sebatas menjadi bahan resensi sastra oleh beberapa orang seperti Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. dalam kolom resensi Kompas Minggu, edisi 26 April 2015, Is Mujiarso – kontributor portal berita online “detik.com” – dalam kolom seni detik.com terbitan Rabu, 24 Juni 2015, dan beberapa orang lainnya. Dengan demikian, nilai novelty-nya bisa dipertanggungjawabkan.

Kedua, peneliti cukup tertarik dengan model pendekatan Hegemoni Gramsci dan KdDL sangat cocok dianalisis dengan menggunakan pendekatan tersebut. Ada sekian banyak persoalan hegemonik yang terajut dalam alur cerita novel KdDL. Persoalan tersebut turut berkembang hingga melahirkan berbagai aksi perlawanan. Aksi perlawanan tersebut muncul oleh karena berbagai alasan. Kutipan (3) berikut menunjukkan salah satu aksi perlawanan masyarakat dalam novel KdDL dengan penyebabnya.

(3) “Tahun 1935 di daerah tambak Merang, Wonogiri, terjadi

kerusuhan petani. Petani-petani itu melawan pejabat-pejabat desa karena masalah tanah (Suyono, 2014: 205).

Tindakan menantang penguasa sebagaimana digambarkan dalam kutipan (3) di atas akan menjadi fokus dari penelitian ini. Tindakan tersebut akan diistilahkan dengan sebutan counter-hegemoni. Secara khusus persoalan ini akan dibahas pada bab IV.


(25)

Ketiga, KdDL sarat dengan data-data yang detail dan menarik mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni2. Keberadaan data tersebut kemudian menjadi penting bagi peneliti untuk menyimpulkan sebuah hipotesis mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam suatu klasifikasi tertentu.

Keempat, analisis mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni ini kemudian menjadi penting karena turut mengungkap bentuk perlawanan yang sejauh ini tidak banyak diketahui orang. Selama ini, ketika membahas mengenai kejatuhan rezim Orde Baru, pasti masyarakat hanya akan teringat mengenai aksi heroik perlawanan fisik ribuan mahasiswa yang turun ke jalan-jalan. Akan tetapi, ada juga bentuk perlawanan lain yang sebenarnya cukup digelisahkan Soeharto saat itu.

Pembahasan penelitian ini dimulai dengan analisis struktur tokoh dan penokohan serta latar, deskripsi formasi intelektual, lalu kemudian bentuk-bentuk counter-hegemoni. Ketiga pokok bahasan di atas tentunya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Penelitian dimulai dengan menemukan struktur tokoh dan penokohan serta latar3 agar dapat menunjukkan secara logis latar belakang pemikiran dan karakter tokoh yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk perlawanan mereka. Data mengenai tokoh dan penokohan juga akan membantu-

2

Untuk menghindari kekeliruan, pada pembahasan selanjutnya akan sering disebutkan frasa (Intelektual) Hegemonic dan (Bentuk-bentuk) counter-hegemoni. Counter-Hegemonic merujuk pada kategori intelektual tertentu dan counter-hegemoni merujuk pada gerakan perlawanan.

3

Model penelitian ini merupakan penelitian struktural yang memegang peranan penting untuk membantu pembaca memahami struktur cerita sebuah karya (Nurgiyantoro, 1995: 32).


(26)

peneliti mengklasifikasikan tokoh ke dalam formasi kaum intelektual pada bab III. Selanjutnya, pada bab IV, peneliti akan mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni yang dilakukan oleh kaum intelektual. Penelitian akan diakhiri dengan bab V yang berisi mengenai kesimpulan dan saran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, ditemukan tiga masalah yang perlu dibahas dalam penelitian ini. Masalah tersebut adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah struktur cerita dalam novel KdDL? 1.2.2 Bagaimanakah formasi intelektual dalam novel KdDL?

1.2.3 Bagaimanakah bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat dalam novel KdDL?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, ada tiga tujuan dalam penelitian ini, yaitu:

1.3.1 Mendeskripsikan struktur cerita novel KdDL. Struktur cerita yang dimaksudkan berkenaan dengan tokoh dan penokohan serta latar (tempat dan waktu). Pokok masalah ini akan dibahas pada bab II.

1.3.2 Mendeskripsikan formasi intelektual dalam novel KdDL. Pokok masalah ini akan dibahas pada bab III.

1.3.3 Menemukan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat dalam novel KdDL. Hal ini akan dibahas pada bab IV.


(27)

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi ilmu pengetahuan dan manfaaat praktis adalah menfaat penelitian untuk profesi atau pekerjaan tertentu.

1.4.1 Manfaat Teoretis

1.4.1.1 Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai model pendekatan Hegemoni Antonio Gramsci, khususnya mengenai upaya untuk melahirkan wacana/ideologi tandingan sebagai bentuk perang posisi terhadap kelas dominan yang dalam penelitian ini diwakilkan oleh rezim pemerintahan. Istilah perang posisi tersebut dalam penelitian ini disebut dengan counter-hegemoni.

1.4.1.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni yang dilakukan masyarakat terhadap rezim Orde Baru sehingga dapat ditumbangkan setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi siapa pun yang berprofesi dalam bidang sastra dan pendidikan untuk mengenal lebih jauh mengenai karya-karya yang memuat persoalan hegemonik. Guru bidang studi ilmu Sejarah juga dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk menambah wawasan bagi para siswa mengenai kehadiran dunia metafisik yang menyokong


(28)

kekuasaan Soeharto dan bentuk-bentuk perlawanan metafisik terhadapnya. Memang di masa post-modernisme sekarang ini, hal-hal yang berkaitan dengan mistis sudah dianggap sebagai persoalan yang musyrik. Akan tetapi, paling tidak wawasan ini menjadi penting sebagai sebuah pemahaman sejarah para siswa.

1.5 Tinjauan Pustaka

Perbincangan mengenai counter-hegemoni dan persoalan rezim otoriter Soeharto telah banyak dituliskan, baik dalam bentuk risalah ilmiah, maupun karya sastra. Karya-karya tersebut antara lain, Sastra dan Politik (Taum, 2015), Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat Sebuah Gagasan Politik Gramsci Menentang Hegemoni Negara (Yody, 2003), Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (Patria, 1999), dan Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Dhakidae, 2003).

Buku Sastra dan Politik (2015) merupakan transformasi dari disertasi doktoral Yoseph Yapi Taum yang banyak memberikan perhatian pada persoalan Tragedi 1965 dan representasinya dalam karya-karya sastra, sinematografi, hingga program-program indoktrinasi pemerintah Orde Baru. Secara mendalam, Taum membongkar topik yang banyak dihindari oleh banyak orang pada masa Orde Baru. Uraian-uraian yang dipaparkan cukup lancar dan meyakinkan. Dalam membahas Tragedi 1965 itu, teks-teks yang dianalisis dibagi ke dalam 3 periode. Dalam setiap periode itu, pemerintah Orde Baru memiliki watak yang berbeda-beda. Buku inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya sastra bukan merupakan abstraksi dunia alternatif, tetapi terlibat dalam kehidupan konkret masyarakat.


(29)

Hegemoni Antonio Gramsci menjadi salah satu perspektif yang digunakan oleh Taum. Tiga lokus pemikiran Gramsci, seperti hegemoni, ideologi, dan peranan intelektual banyak dibahas dalam buku ini. Studi ini berfokus pada posisi kaum intelektual dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan mereka. Buku Sosial dan Politik cukup membantu peneliti sebagai salah satu referensi analisis topik permasalahan rezim Orde Baru dengan pendekatan Hegemoni Gramsci.

Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat Sebuah Gagasan Politik Gramsci Menentang Hegemoni Negara (2003) merupakan sebuah artikel karya Wilfridus P. N. Yody yang dimuat di Majalah Ilmiah Mahasiswa Rajawali. Dalam karya ini, Yody menilai proses penyebaran nilai-nilai oleh pemerintah tidak hanya melulu melalui kekerasan, tetapi dapat juga melalui hegemoni negara. Secara ringkas, Yody mengisahkan perjalanan Gramsci dan buah-buah pemikirannya yang mencuat selama perjalanan intelektualnya. Pokok-pokok pemikiran Gramsci yang ikut dibahas, yaitu hegemoni, negara (sebagai masyarakat sipil dan sebagai masyarakat politik), hegemoni negara, peran kaum intelektual, dan perang gerakan serta peran perang posisi. Semua pokok bahasan tersebut berkaitan erat dengan pokok penelitian ini.

Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (1999) merupakan buku yang cukup banyak membahas mengenai Antonio Gramsci. Dalam kalangan peneliti, karangan ini mengemukakan cetusan gagasan yang radikal dan tajam. Gramsci menjadi tema sentral dalam kaitannya dengan teori Hegemoni. Melalui buku ini, secara baik Patria menjabarkan saran yang diberikan oleh Gramsci bagi kalangan intelektual agar melebur dan mendorong wacana tanding. Buku ini menjadi


(30)

penting untuk menentukan di pihak mana tokoh dan ideologi apa yang mereka perjuangkan.

Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) merupakan buku serius yang banyak membicarakan cendekiawan Indonesia dalam hubungannya dengan Orde Baru. Kata cendekiawan ini merupakan istilah yang dipakai oleh Daniel Dhakidae yang juga merujuk pada istilah intelektual. Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai relasi cendekiwan dengan kekuasaan Orde baru, Dhakidae memulai bukunya dengan menyoal pendefenisian istilah cendekiawan tersebut. Setiap orang dapat saja menyebut dirinya sebagai intelektual, tetapi semua akan kembali pada penilaian masyarakat atas peran dan sumbangsinya terhadap kehidupan masyarakat luas. Pada pembahasan selanjutnya, Dhakidae membahas cukup rinci berbagai strategi politik Orde Baru dan kekuatan-kekuatan yang bermain di belakangnya. Dengan data-data yang cukup lengkap, semua hal diungkapkan dengan pertimbangan akademis yang sangat matang.

Novel KdDL menjadi salah satu karya yang turut mengangkat persoalan rezim Orde baru. Namun, persoalan yang diangkat bukan semata-mata berkenaan dengan bentuk-bentuk kekerasan dan penindasan yang dilakukan rezim penguasa. Novel KdDL menyinggung lebih jauh mengenai aktor utama dari kaos yang terjadi di masa Orde Baru tersebut. Dengan tokoh sentral seperti Jeanne dan Suryo, KdDL mengungkapkan banyak hal mengenai lingkar spiritual Soeharto beserta orang-orang di belakangnya, perlawanan yang dilakukan paguyuban spiritual Jawa, hingga kemegahan candi-candi di Kamboja, Laos, dan Vietnam.


(31)

Secara mendalam, KdDL mengeksplorasi berbagai perjalanan perlawanan orang-orang yang telah jenuh dengan model kepemimpinan Soeharto. Mereka muncul sebagai gerakan yang berani menantang dengan berbagai cara. Sekian karya di atas membahas mengenai polemik selama kekuasaan Orde Baru berlangsung. Pendekatan Hegemoni Gramsci yang dikerucutkan pada topik seputar hegemoni, negara, dan peranan intelektual, berbagai gejala yang memicu perlawanan hingga bentuk-bentuk perlawanan (counter-hegemoni) yang dilakukan oleh kaum intelektual, baik melalui perlawanan keras, pasif, maupun humanis. Namun, novel KdDL membahas sisi lain kehidupan Soeharto dan bentuk perlawanan yang berbeda atasnya. Perlawanan tersebut ialah perlawanan kebatinan. Itulah sebabnya dalam penelitian ini kemudian muncul istilah metafisik. Perlawanan tersebut bukanlah melalui perlawanan fisik yang kasatmata, tetapi perlawanan tidak kasatmata yang hanya dimengerti dan dilihat oleh orang-orang aliran kebatinan.

Selain itu, dalam novel KdDL juga ada bentuk counter-hegemoni lainnya. Model counter-hegemoni tersebut bukanlah perlawanan politis yang secara jelas menampilkan kontradiksi yang khas bahwa ada yang menyerang dan ada yang diserang. Perlawanan tersebut berbentuk sebuah “pelarian diri” dari berbagai kondisi yang menekan dengan mencari ketenangan di luar negeri, sebagaimana dilakukan oleh Suryo dan Jeanne. Mereka berlari dari dampak aksi perlawanan mereka yang sebenarnya secara periodik tidak lagi berdampak pada mereka. Perlawanan terdahulu dilakukan selama masa kekuasaan Soeharto. Dampak dari perlawanan tersebut - berupa teluh - masih mengejar mereka meskipun telah 14


(32)

tahun Reformasi berlangsung. Dengan berada di luar negeri, Jeanne dan Suryo yakin bisa terhindar dari teluh tersebut, meskipun sebenarnya tidak. Mereka masih tetap melawan.

1.6 Landasan Teori 1.6.1 Analisis Struktural

Pada tahap awal, penelitian ini menggunakan model objektif yang memberi perhatian khusus kepada karya sastra sebagai sebuah struktur. Metode ini menjadi penting karena sebuah karya sastra merupakan keseluruhan, kesatuan makna yang bulat, mempunyai koherensi intrinsik; dalam keseluruhan itu; setiap bagian dan unsur memainkan peranan yang hakiki, sebaliknya unsur dan bagian mendapat makna seluruhnya dari makna keseluruhan teks: lingkaran hermeneutik (Teeuw dalam Sukada, 1987: 25). Untuk mengenal dan menganalisis karya sastra, maka pendekatan ini menjadi penting agar peneliti dapat memahami secara

komprehensif “bangunan” karya sastra yang diteliti.

Salah satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktur adalah adanya anggapan bahwa dalam dirinya sendiri, karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo, dkk dalam Jabrohim, 2015: 69).

Dalam kesatuan hubungan itu, setiap unsur atau anasirnya tidak memiliki makna sendiri-sendiri, kecuali dalam hubungannya dengan anasir lain sesuai dengan posisinya dalam keseluruhan struktur. Dengan demikian, struktur merupakan sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah anasir yang di antaranya


(33)

tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua anasir lain (Strauss dalam Teeuw, 1984: 140-141).

Dalam lingkup karya fiksi, Stanton mengungkapkan dalam Jabrohim (2015: 72) perihal deskripsi unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas tokoh, alur, dan latar. Sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga cara pemilihan judul. Di dalam karya sastra, fungsi sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas.

Dalam studi ini, peneliti hanya membatasi struktur penceritaan pada tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu. Hal ini dikarenakan pertama, peneliti berupaya untuk melakukan studi yang efisien dan efektif maka perlu ada batasan-batasan yang tegas dari peneliti sesuai kebutuhan studi. Kedua, tokoh, latar tempat dan waktu yang terdapat dalam penelitian ini terbilang cukup kompleks sehingga perlu untuk dipilah dan disederhanakan. Ketiga, hasil dari analisis tokoh dan penokohan tersebut membantu peneliti untuk merumuskan formasi intelektual yang kemudian terlibat dalam counter-hegemoni. Kemudian latar tempat dan waktu melengkapi konteks perlawanan itu terjadi.

1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan

Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama.


(34)

Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang persis sama atau paling tidak dalam konteks ini akan digunakan pengertian yang berbeda, walau memang ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita dan atau “teknik” pengembangannya dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995: 164-166).

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?” atau

“Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis

dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan

karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi – karakterisasi juga sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan - menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak(-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (ibid., 165).

Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995: 165). Dengan demikian, character dapat berarti „pelaku

cerita‟ dan dapat pula berarti „perwatakan‟. Antara seorang tokoh dan perwatakan


(35)

Tokoh cerita (character) menurut Abrams (1981: 20) adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Berkaitan dengan kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik (Nurgoyantoro, 1995: 165-166).

Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada

“tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh

cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jika kita kembali ke pembagian dikotomis bentuk dan isi, tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu adalah aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek, yaitu isi dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tidak begitu penting selama pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh(-tokoh) tersebut (Jones dalam


(36)

Nurgiyantoro, 1995: 167) atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokoh-tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya (ibid.,167).

Teknik pelukisan tokoh yang digunakan oleh Seno dalam novel KdDL sebagaimana yang dijelaskan oleh Nurgiyantoro (1995: 198-211) ialah teknik dramatik. Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata, maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

Berhubungan dengan sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara sepotong-potong dan tidak

sekaligus. Ia baru menjadi “lengkap” setelah pembaca menyelesaikan sebagian

besar cerita. Untuk memahami kedirian seorang tokoh, apalagi tergolong sebagai tokoh kompleks, pembaca dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri.

Penampilan tokoh dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Mungkin sekali ada satu dua teknik yang lebih sering digunakan daripada teknik-teknik yang lain tergantung pada selera atau kesukaan masing-masing pengarang. Tentu saja hal itu terlepas dari tujuan estetis dan keutuhan cerita secara keseluruhan. Berbagai teknik tersebut, yaitu melalui teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan pelukisan fisik.


(37)

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut pandang mana itu dilakukan. Berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, seperti tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, dan terakhir tokoh statis dan tokoh berkembang (ibid., 176-194). Pada studi ini, digunakan pembedaan tokoh utama dan tokoh tambahan saja. Pemilihan pembedaan tokoh tersebut digunakan karena dalam KdDL terdapat banyak sekali tokoh yang terlibat. Akan tetapi, ada dua tokoh utama yang menjadi pusat cerita dan sekaligus penggerak alur cerita secara keseluruhan.

1.6.1.1.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel bersangkutan. Ia merupakan tokoh paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (ibid., 176-177). Oleh karena tokoh utama selalu disebutkan dalam cerita dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia/mereka sangat menentukan perkembangan alur. Tokoh utama dalam sebuah novel bisa lebih dari satu orang (ibid., 177). Di samping itu, tokoh tambahan hanya merupakan pelengkap dari suatu cerita. Tokoh tambahan selalu berada di sekitar tokoh utama.

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat: tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan (yang


(38)

memang) tambahan. Peneliti hanya menggunakan dua kategori besar, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam studi ini, penelitian hanya dibatasi pada tokoh-tokoh yang terlibat pada kegiatan counter-hegemoni maupun tokoh-tokoh-tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar kepada tokoh utama. Pembatasan ini dilakukan dengan maksud untuk membatasi kompleksitas tokoh dan penokohan dalam novel KdDL.

1.6.1.2 Latar

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur ini walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (ibid.,227).

Dalam studi ini, peneliti membatasi pada latar tempat dan waktu saja dengan alasan yang telah disebutkan pada butir 6.1 tentang analisis struktural. Selain itu, latar sosial tidak diteliti secara terpisah karena dalam studi ini, diupayakan untuk sekaligus dibahas pada analisis latar tempat. Gambaran mengenai latar sosial juga akan ditambahkan dalam pembahasan bab IV. Tempat dan waktu yang dianalisis pun dibatasi pada lokasi dan waktu terjadinya counter-hegemoni guna membatasi dan mengefisiensikan penelitian.


(39)

1.6.1.2.1 Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas (ibid., 227).

Latar tempat dalam sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi. Ia akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh. Dari sekian banyak tempat yang disebutkan, tentu saja tidak semuanya fungsional dan sama pentingnya (ibid., 229).

1.6.1.2.2 Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa

-peristiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut

biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya, atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (ibid., 230).

Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun, hal itu membawa juga sebuah konsekuensi, yaitu sesuatu yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan sejarah. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan waktu, langsung atau tidak langsung, harus sesuai dengan waktu sejarah yang menjadi acuannya. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi di dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi, dapat menyebabkan cerita menjadi tidak wajar, tidak masuk akal, dan pembaca akan merasa dibohongi. Hal inilah yang dikenal dalam karya fiksi sebagai anakronisme, tidak cocok dengan


(40)

urutan (perkembangan) waktu (sejarah). Dengan demikian, anakronisme lebih menyaran pada hal-hal yang bersifat negatif (ibid., 231).

1.6.2 Sosiologi Sastra

Pragmatika adalah studi sastra yang menekankan aspek manfaat. Sastra ditulis tentu ada manfaatnya. Sastra dilisankan, ada manfaatnya bagi audien. Begitu pula sosiologi sebagai ilmu bantu sastra, sering berupaya memanfaatkan sastra secara sosial. Sosiologi Sastra merupakan wilayah studi sastra yang menekankan aspek-aspek pragmatik sosial sastra. Aspek pragmatik itu perlu ditafsirkan, hingga memperoleh makna yang hakiki (Endraswara, 2013: 1). Esensi Sosiologi Sastra sebenarnya terletak pada sebuah cara pandang bahwa karya sastra merupakan produk sosial budaya dan bukan hanya hasil dari dari estetika semata.

Ruang sosial selalu ada kaitannya dengan sejarah. Sejarah terjadinya apa saja, menjadi ruang penting dalam sastra. Ruang dan sejarah hanya ada dalam kesadaran yang dibangkitkan oleh permainan estetika. Seperti banyak bidang Sosiologi Sastra memiliki perbedaan dengan sejarah. Namun, keduanya saling membutuhkan (Endraswara, 2013: 28).

Tekanan sosial dan politik yang terjadi di dalam masyarakat dapat menjadi bahan bagi sastrawan. Bahan tanggapan evaluatif merupakan sumber utama penciptaan karya sastra adalah tentu saja menyangkut berbagai masalah politik. Dalam skala besar, perubahan yang terjadi selama di antara budaya. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti pada masa Orde Baru hingga Reformasi telah menimbulkan masalah yang kemudian ditanggapi dan dievaluasi oleh pengarang. Masing-masing zaman mengalami perubahan sosial yang khas dan


(41)

mendapat tanggapan dan penelitian yang khas pula. Penelitian jenis ini memerlukan data yang tidak hanya dari buku yang merupakan sumber utama, tetapi juga informasi mengenai perubahan sosial yang ada pada zaman itu – yang perlu diintegrasikan dalam analisis.

Untuk melihat fenomena yang terjadi pada zaman dalam konteks novel KdDL, peneliti menggunakan teori Hegemoni Antonio Gramsci untuk menganalisis bebagai gejala zaman yang terjadi semasa Orde Baru, khususnya mengenai peran kekuasaan pemerintahan Soeharto dan dampak perlawanan atas kekuasaannya.

1.6.2.1 Analisis Hegemoni: Perspektif Antonio Gramsci

Secara etimologi kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani “egemonia”

atau “egemon”, yang berarti „pemimpin atau penguasa dalam konotasi yang berhubungan dengan konteks kenegaraan (Yody, 2003: 111). Berdasarkan Mish (1993:538), kata “hegemoni‟ didefinisikan sebagai „preponderant influence or authority over others’. Dalam bahasa Indonesia, defenisi tersebut dapat dimaknai bahwa hegemoni merupakan sebuah kebijaksanaan atau pengaruh besar yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu terhadap seseorang atau kelompok lain. Akar pemikiran Hegemoni menurut Gramsci sebenarnya diambil secara dialektis lewat dikotomi tradisional karakteristik pemikiran politik Italia dari Machiavelli sampai Pareto dan beberapa bagian lainnya diambil dari Lenin (Patria, 1999: 119). Konsepsi yang diambil tersebut berkaitan dengan kekuatan (force) dan persetujuan (consent). Selanjutnya, Gramsci mengatakan bahwa kelas sosial akan mendapatkan supremasi melalui dua cara, yaitu melalui dominasi atau


(42)

melalui peran kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang terakhir ini yang kemudian disebut sebagai hegemoni.

Hegemoni yang dikembangkan Gramsci tidak sebatas pada bidang politik. Hegemoni menyangkut persoalan ideologi dan kebudayaan. Hegemoni sebagai konsep yang dikembangkan oleh Gramsci menggambarkan bahwa dominasi suatu kelas (dominan) atas kelas lainnya (subordinat) terjadi karena aspek ideologi-politis. Meskipun paksaan politis selalu berperan, tetapi ideologi lebih signifikan mendapatkan persetujuan secara sadar dari kelas subordinat (Abercrombie dalam Kurniawan, 2012: 72). Namun demikian, persetujuan sadar ini lebih penting dalam suatu pemerintahan. Hegemoni inilah yang menjadikan kekuasaan suatu kelas terhadap kelas lainnya bisa berlangsung. Di sini, Gramsci lebih condong mengembangkan model dominasi kekerasan, seperti yang dikemukakan oleh Marx dan Lenin tentang kesadaran kelas sebagai basis revolusi kelas proletar terhadap kekuasaan pemerintahan yang dipimpin oleh kaum borjuis (Kurniawan, 2012: 72).

Kesadaran kelas proletariat di atas sebenarnya menjadi titik awal pemikiran hegemoni Gramsci yang mempertanyakan ramalan Marx-Engels. Dalam Thucer, (1978:483) sebagaimana dikutip oleh Gramsci (Patria, 1999: 114) menyebutkan ramalan tersebut.

(4) Kemajuan industri yang secara tidak langsung dimotori oleh borjuis menggantikan isolasi kelas pekerja, karena kompetisi, serta kombinasi revolusionernya, karena perkumpulannya. Perkembangan industri modern, oleh sebab itu, menggeser kedudukan dasar-dasar berproduksi borjuis dan dasar-dasar kepemilikan produknya. Oleh sebab itu, apa yang dihasilkan oleh borjuis adalah menjadi penggali liang kuburnya sendiri.


(43)

Kejatuhan borjuis dan kemenangan proletar adalah hal yang sama sekali tidak bisa dihindari.

Akan tetapi, dalam kondisi masyarakat Gramsci waktu itu - mayoritas berprofesi sebagai buruh tidak muncul adanya indikasi revolusi. Mereka justru dengan tenang menerima dominasi kaum borjuis. Ia mempertanyakan bagaimana kaum borjuis mampu mempertahankan dan mengontrol dominasinya atas kaum proletar waktu itu.

Pada akhirnya, Gramsci menyadari bahwa kaum pemilik modal saat itu menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya dengan cara hegemoni. Hegemoni menjadi asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang membentuk makna dan mendefenisikan realitas bagi mayoritas masyarakat dalam kebudayaan tertentu. Karena kaum borjuis yang menguasai basis ekonomi dan menetapkan elemen-elemen suprastruktur seperti musik, sastra, seni, dan sebagainya, maka mereka mendapat dukungan spontan dari kelas pekerja (Taum, 2015: 37). Kaum proletar akhirnya tidak lagi menyadari bentuk-bentuk kekuasaan yang meliputi kehidupan mereka. Segala kebijakan dan sikap pemilik modal diterima sebagai common sense.

Titik tolak pemikiran Gramsci yang digunakan sebagai sebuah analisis sebenarnya bertolak dari adanya niat untuk menantang hegemoni negara/penguasa. Dalam studi ini, penelitian dipusatkan pada berbagai upaya yang digunakan oleh kaum intelektual untuk membangun kesadaran kritis masyarakat atas dasar ketidakpuasannya terhadap penguasa. Kesadaran kritis tersebut yang menggerakkan perlawanan-perlawanan (counter) terhadap hegemoni kekuasaan.


(44)

Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk counter-hegemoni tersebut akan diklasifikasikan sesuai dengan yang terdapat dalam novel KdDL.

1.6.2.1.1 Formasi Intelektual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke IV, kata “formasi” mengandung pengertian „susunan (pegawai, pengurus, kabinet, pesawat terbang, dsb)‟ (Sugono, 2008: 396). Sedangkan kata “intelektual” mengandung arti „(a) cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, (b) (yang) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan, (c) totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman‟ (Sugono, 2008: 541). Berdasarkan pengertian kedua kata tersebut, maka “formasi intelektual” dapat diartikan sebagai suatu susunan atau struktur orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pemikiran yang jernih atas ilmu pengetahuan.

Diskursus mengenai formasi intelektual menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konsep pemikiran Gramsci. Prison Notebooks yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Catatan-catatan Penjara Antonio Gramsci (Utomo, 2013) membahas secara khusus formasi intelektual di bagian awal buku tersebut. Gramsci memang tidak mendefenisikan secara khusus mengenai formasi intelektual. Akan tetapi, ia menjabarkan bagaimana kemudian intelektual-intelektual terbagi ke dalam dua kategori intelektual berdasarkan hubungan seorang intelektual dengan kelompok sosial tertentu. Gramsci membagi kaum intelektual menjadi dua kategori, yaitu Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Ketika membagi formasi intelektual, Gramsci menyadari


(45)

bahwa gagasannya ini akan berhadapan dengan bahaya skematisasi dan kebutuhan akan analisis historis yang konkret (Patria, 1999: 159).

Formasi intelektual kemudian menjadi sedikit kompleks karena kata

“intelektual” sendiri memiliki makna yang cukup luas untuk dijelaskan dalam

sebuah defenisi yang sederhana. Menurut Gramsci, semua manusia adalah intelektual, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa: namun tidak semua orang dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual (Utomo, 2003: 12-13). Permasalahannya ialah seperti apa batasan-batasan yang jelas sehingga seorang masyarakat dikatakan sebagai intelektual, dan indikator apa yang menunjukkan bahwa seorang masyarakat telah menjalankan fungsi intelektualnya.

Kesulitan memaknai intelektual juga dipersoalkan oleh Dhakidae (ia mengistilahkan intelektual dengan kata cendikiawan). Untuk memisahkan cendekiawan dengan bukan cendekiawan demikian cairnya sehingga menorehkan garis pemisah yang mustahil, bagaikan menggores garis di atas air yang mengalir. Siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah dengan sendirinya menghidupkan khayalan tentang dirinya sebagai bagian dari kaum cerdik-cendekia (Dhakidae, 2003: 1). Namun, tidak semua cerdik-cendekiawan adalah lulusan universitas atau sebuah lembaga pendidikan tertentu4.

4

Sharif Shaary, dramawan terkenal Malaysia pernah mengungkapkan sebagaimana dikutip dari Wikipedia (dikutip pada 22 Juni 2016 ) bahwa "Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."


(46)

Kesulitan pemisahan tersebut rupanya tidak melulu berakhir pada sebuah kebuntuhan. Dhakidae menyebutkan bahwa sebenarnya pemaknaan mengenai kecendekiaan seseorang berkenaan dengan suatu pola hubungan. Seorang cendekiawan ditentukan oleh suatu subjektivitas yang keras terutama dalam persepsi yang baik tentangnya, tetapi juga persepsi tersebut mendapatkan pengaruh dari posisi seseorang dalam medan sosial (Social Field). Seorang cendekiawan harus terlibat dalam sebuah diskursus publik. Kesepian dari seorang mistikus di puncak Gunung Merbabu tidak serta-merta memasukkannya ke dalam sebuah komunitas kaum cendekiawan sampai dia turun gunung dan melibatkan dirinya dalam diskursus publik. Keterlibatannya dalam mengolah modal sosial, modal simbolik, dan juga tidak kurang dalam model ekonomis memegang peran menentukan.

Gramsci juga memberi batasan yang jelas berkaitan dengan pemaknaan atas kata intelektual. Kata “intelektual” di sini harus dipahami tidak dalam pengertian yang biasa, melainkan suatu strata sosial yang menyeluruh menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian luas – entah dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik. Mereka meliputi kelompok-kelompok, misalnya dari pegawai junior dalam ketentaraan sampai pegawai yang lebih tinggi (Faruk, 2010: 150).


(47)

Dalam pengertian Gramsci, konteks intelektual berbeda dengan pemahaman intelektual yang dianut oleh filsuf-filsuf idealis5. Gramsci berpendapat bahwa intelektual berbeda dan muncul dari luar hubungan-hubungan produksi. Intelektual terlepas dari pemahaman yang melulu berdasarkan penafsiran ekonomistik dari realitas atas peran politik dari kaum intelektual. Mereka juga hadir dalam bidang sosial politik. Intelektualitas menurut Gramsci tidak selalu mengacu pada aktivitas berpikir. Istilah ini lebih merujuk pada sebuah defenisi yang lebih luas, yakni mencakup mereka yang memiliki kemampuan teknis atau mereka yang menjalankan kuasa dalam masyarakat. Istilah „organik‟ menurut Gramsci, sebenarnya mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan, tujuan, dan kemampuan kelas tertentu.

Oleh karena itu, formasi intelektual berkenaan dengan pembagian intelektual ke dalam kategori intelektual berdasarkan indikator tertentu. Menurut Gramci, intelektual yang dimaksud bukan saja mereka terdidik dan mengacu pada aktivitas berpikir melulu. Namun, mereka juga memiliki kemampuan tertentu dan menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society. Dhakidae kemudian menambahkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai seorang intelektual apabila ia telah memiliki pola hubungan dalam suatu medan-

5

Patria (199: 155-156) menyebutkan beberapa filsuf-filsuf idealis yang masih berpegang teguh pada konsep mistifikasi pengerian intelektual. Mis, Croce hanya melanjutkan pendapat dalam jalur tradisi Plato yang memaknai intelektual bertanggung jawab untuk menghadirkan jenis baru dari “Negara Aristokrat”. Intelektual – dalam hal ini filsuf- harus berperan penuh untuk menegakkan moral atas individu-individu kelompok intelektualnya sendiri.


(48)

sosial. Menurut Gramsci, pola hubungan yang dibangun oleh para intelektual tidak melulu berdasarkan pernafsiran ekonomistik sebagaimana pemahaman gerakan sosialis. Bagaimana pun terlibatnya mereka dalam dunia produksi, hubungan mereka tidak seperti kelas kapitalis dan proletar, selalu ditunjukkan ada yang lebih besar atau kecil keterlibatannya. Dalam dunia superstruktur, kaum

intelektual menampilkan fungsi “organisasional dan konektif” baik di dalam

wilayah masyarakat sipil atau hegemoni dan wilayah masyarakat politik atau negera (Gramsci dalam Patria, 1999: 157-158).

A. Intelektual Tradisional

Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society (Patria: 163). Golongan ini

merasa sebagai “kelompok penyemangat” terhadap kontiunitas historis dan

kualifikasi khusus mereka. Karenanya, mereka menempatkan diri sebagai kelompok otonomis dan independen dari kelas sosial dominan (Utomo, 2013: 11). Golongan ini meliputi senua orang yang menunjukkan aktivitas intelektualnya.

Mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah rohaniwan, pengacara, notaris, dan dokter. Kelompok ini melakukan gerakan terbatas pada lingkungan kaum buruh dan borjuis kota yang kecil dan belum masuk kapitalisme. Di dunia modern, edukasi teknologis yang bahkan juga dikaitkan kerja industrial yang paling primitif dan tak terkualifikasi harus membentuk basis bagi tipe baru intelektual. Melihat posisinya yang demikian, menurut Gramsci, tugas intelektual tradisional segera memutuskan ketidakmenentuan sikap dan bergabung dengan kelas-kelas revolusioner. Kaum intelektual ini harus secara organis menjadi


(49)

bagian dari kelas buruh mengingat mereka memiliki kualifikasi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menantang ideologi penguasa.

B. Intelektual Organik

Intelektual Organik adalah intelektual yang berasal dari kelas borjuis ataupun kelas proletar. Mereka terbentuk secara organis dan berpenetrasi sampai ke massa. Mereka memberikan sebuah pandangan yang menghubungkan antara kelas atas (borjuis/penguasa) dan kelas bawah (proletar/masyarakat) (Patria, 1999: 163). Intelektual Organik yang dimaksudkan Gramsci adalah kaum intelektual kelas buruh atau kelas pekerja yang disebut dengan nama kaum intelektual “elit”. Kelompok ini memiliki bekal pendidikan dan ketrampilan khusus yang berhubungan dengan fungsi mereka dalam masyarakat, yakni sebagai pemikir dan pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Aktivitas intelektualnya diarahkan untuk memproduksi dan menyebarkan filsafat, teori politik, maupun teori ekonomi sebagai sebuah pandangan dunia yang koheren untuk mencapai hegemoni tandingan dengan penguasa.

Dalam kelompok intelektual organik, Taum (2015: 40) menambahkan dua istilah kelompok intelektual berkaitan dengan fungsi dan relasinya. Pertama, Intelektual Hegemonic. Kaum intelektual yang pertama ini bertanggung jawab untuk menjamin padangan dunia massa konsisten dengan nilai-nilai kapitalisme yang telah diterima oleh semua kelas masyarakat. Kedua, Intelektual Counter-Hegemonic. Kategori yang kedua ini bertanggung jawab memisahkan massa dari kapitalisme dan membangun pandangan dunia sesuai perspektif sosialis. Dalam


(50)

penelitian ini, peneliti memusatkan perhatian pada kaum Intelektual Counter-Hegemonic.

1.6.2.1.2 Counter-Hegemoni

Berdasarkan Mish (993: 264), kata “counter” didefenisikan sebagai „to act

in opposition: in a opposite: opposite direction.’ Apabila dimaknai dalam bahasa

Indonesia, kata counter mengandung pengertian tindakan untuk berseberangan: dalam posisi berseberangan: atau perintah yang berseberangan. Oleh karena itu, apabila disandingkan dengan kata hegemoni, maka counter-hegemoni dapat diartikan sebagai perlawan terhadap hegemoni.

Dalam tulisan Gramsci mengenai hegemoni, tidak disebutkan secara jelas seperti apa bentuk-bentuk counter-hegemoni. Bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat di dalam penelitian ini berlandaskan pada beberapa literatur yang juga menggunakan perspektif Antonio Gramsci. Perspektif tersebut menjadi titik tolak peneliti untuk menggali lebih jauh perihal bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat dalam KdDL.

Pada periode tertentu, Gramsci mengatakan bahwa dapat terjadi krisis atas hegemoni. Ketika banyak solusi kekerasan dipakai sebagai alat kekuasaan Orde Baru untuk menjaga hegemoninya sebagaimana dipraktekkan dalam kasus Santa

Cruz. Kondisi ini disebutkan oleh Gramsci dengan istilah “krisis hegemoni”.

Dalam kondisi demikian, pemegang kekuasaan akan merespon ini dengan berbagai cara, dengan tujuan agar tetap menjaga kekuasaanya melalui aparatus hegemoni. Kegagalan dalam hal ini akan memacu aktivitas revolusioner yang meluas. Novel KdDL tidak menyebutkan secara jelas apa yang mengakibatkan


(51)

anggota Paguyuban Anggoro Kasih kemudian melakukan aktivitas perlawanan kepada Soeharto. Mereka hanya digambarkan sebagai orang tua pensiunan yang telah jenuh dengan model kepemimpinan Soeharto dan kemudian berniat untuk menjatuhkannya dari kursi kekuasaan. Pada akhirnya, mereka pun melakukan sebuah tindakan counter-hegemoni.

Menurut Gramsci, kesadaran adalah hal yang utama untuk membangkitkan perjuangan menentang kelas dominan (counter-hegemoni) (Patria, 1999: 167). Agar revolusi terwujud maka masyarakat seharusnya bertindak. Sebelum mereka bertindak, mereka harus mampu memahami hakikat dan situasi keberadaan mereka dalam suatu sistem yang sedang dijalani. Gramsci mengakui arti penting faktor struktural, khususnya ekonomi, tetapi ia tidak percaya hanya faktor-faktor inilah yang mengakibatkan masyarakat melakukan perlawanan. Gramsci mengatakan perlu ada ide revolusioner yang mampu menggerakkan massa. Ide revolusioner ini tidak hanya muncul dari masyarakat, tetapi harus ada yang mengembangkan dan menyebarkannya. Inilah peran yang diemban oleh kaum intelektual. Kaum intelektual bukan hanya berada di menara gading, elitis, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh.

Dengan berlatarbelakangkan konteks kepribadian, latar, dan motivasi tokoh, memungkinkan counter-hegemoni termanifestasikan ke dalam beragam bentuk. Masing-masing bentuk tersebut muncul dari kesadaran para tokoh perlawanan terhadap kekuasaan dan dominasi yang mereka hadapi. Kesadaran tersebut digerakkan dan dilakukan oleh kaum Intelektual Counter-Hegemonic


(52)

untuk menemukan tujuan dan motivasi masyarakat yang terhegemoni. Berikut ini merupakan penjelasan dari bentuk-bentuk counter-hegemoni.

A. Perlawanan Keras

Perlawanan keras merupakan perlawanan „berhadap-hadapan‟ dengan

kekuasaan dan mengambil sikap atau tindakan yang bertentangan dengan kehendak kekuasaan. Bentuk perlawanan yang paling keras antara lain dengan mempertanyakan dan meminta aparat militer maupun sipil, atau melakukan tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan mainstream atau „pendapat umum‟ yang berlaku pada waktu itu (Taum, 2015: 98). Contoh perlawanan keras dapat dilihat dalam contoh (3) di atas. Secara fisik, para petani melakukan perlawanan secara berhadap-hadapan dengan pejabat-pejabat desa. Perlawanan tersebut sampai terjadi karena masalah tanah. Petani-petani tersebut masuk dalam gerakan komunis yang menantang.

B. Perlawanan Pasif

Perlawanan pasif merupakan perlawanan dengan cara tidak melaksanakan kehendak mainstream atau melakukan tindakan negatif terhadap diri sendiri sebagai bentuk protes tehadap kekuasaan dan mainstream itu (Taum, 2015: 102). Berikut contoh bentuk perlawanan pasif dalam novel KdDL dalam kutipan (5).

(5) “Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin

menghirup harum bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negara ini, saya bersedia menunaikan misi ini. Saya bersedia menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apapun (Suyono, 2014: 288).


(53)

Dalam kutipan di atas, Pak Darsono bersama Pak Djayeng bersedia untuk melawan ketakutan mereka sendiri terhadap bahaya yang akan dihadapi. Mereka tidak peduli dengan resiko tersapu gelombang besar, atau pun ditelan pusaran air. Mereka mengorbankan diri untuk disiksa oleh ketakutan mereka sendiri dan bahaya yang mungkin akan menimpa mereka. Hal tersebut diambil demi kebaikan banyak orang. Dipercaya bunga tersebut memiliki kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan siapa pun, termasuk Soeharto. Oleh karena itu, mereka mengambil keputusan yang berat agar jangan sampai bunga wijayakusuma jatuh di tangan orang suruhan Soeharto.

C. Perlawanan Humanistik

Perlawanan humanistik merupakan perlawanan terhadap kekuasaan tanpa kekerasan tetapi dengan memberikan renungan alternatif, apakah sikap dan tindakan mainstream sudah dipandang tepat (Taum, 2015: 104). Berikut ini contoh perlawanan humanis yang dilakukan oleh Romo Dijat terhadap Soeharto dalam kutipan (6).

(6) Romo Dijat sebetulnya sudah memperingatkan Soeharto. Tahun 1982, sebelum Soeharto menjabat presiden untuk periode yang ketiga, Romo Dijat sudah menyarankan Soeharto agar mengurungkan niatnya. Romo Dijat menerima wisik dari roh leluhur bahwa Soeharto ngotot. Ia tidak mau mendengar suara roh itu. Ia memohon kepada Romo Dijat agar merestuinya menjadi presiden lagi. Soeharto meminta Romo Dijat agar bersiarah dari petilasan ke petilasan leluhur lain untuk meminta restu. Bila perlu, sampai leluhur-leluhur di Bali dan Sumatera,” kata Pak Sungkono, diikuti anggukan dari rombongan Yogya (Suyono, 2014: 235).

Romo Dijat sebenarnya merupakan salah satu orang kepercayaan Soeharto. Ialah yang membantu Soeharto dalam banyak hal yang berkaitan


(54)

dengan spiritual. Akan tetapi, dalam konteks ini, Romo Dijat telah melakukan sebuah perlawanan terhadap Soeharto dengan cara meminta Soeharto agar tidak lagi melanjutkan kepemimpinannya. Tindakan Romo Dijat tersebut dikatakan sebagai sebuah perlawanan karena menentang keinginan Soeharto yang masih ingin menduduki kursi pemerintahan. Memang dalam perlawanan tersebut, pada akhirnya Romo Dijat kalah karena tetap mengikuti keinginan Soeharto, tetapi paling tidak telah ada sebuah pertentangan yang terjadi antara keinginan Romo Dijat dan Soeharto.

D. Perlawanan Metafisik

Landasan pemikiran dari perlawanan spiritual sebenarnya bertolak dari konsep metafisika. Pada mulanya metafisika hanya dipahami sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari asal atau hakekat objek di dunia. Cabang utama metafisika adalah ontologi – studi mengenai kategorisasi benda-benda alam dan hubungan antara satu dengan lainnya (Bagus, 1991: 28). Penggunaan istilah metafisika telah berkembang untuk merujuk pada hal-hal yang berada di luar fisik. Salah satu tafsiran dalam metafisika berkenaan dengan hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal yang lebih kuasa dari alam nyata (Metafisik dalam Wikipedia, 18 April 2016). Konsep mengenai metafisika dalam hubungannya dengan dunia kebatinan juga ditambahkan oleh Clifford Geertz. Ia mengatakan bahwa mistik kebatinan yang berkembang di Jawa adalah metafisika terapan, serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin yang didasarkan pada analisis intelektual atau pengalaman. Meskipun setiap orang atau sekte mempunyai posisi


(55)

yang agak berbeda dari analisis yang sama, tidak satu pun yang mempersoalkan premis-premis dasar dari analisis itu (lih. Susetya, 2007: 35).

Pada periode Orde Baru khususnya dalam rentang waktu 1981-1998, kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan berbicara sangat dibatasi. Berbagai tindakan represif yang melanggar HAM semakin banyak terjadi, kebebasan pers semakin dibatasi, penangkapan dan penghilangan para aktivis dan kaum intelektual semakin banyak dilakukan (Taum, 2015: 163). Tidak ada perlawanan fisik yang terjadi karena banyak orang yang takut diburu oleh para penembak misterius. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi berbagai perlawanan alternatif yang tidak banyak orang lakukan. Perlawanan tersebut ialah perlawanan melalui jalur metafisik seperti yang dilakukan oleh Paguyuban Anggor Kasih. Aktivitas paguyuban ini memang berlangsung di rentang waktu tahun 1981-1998. Berikut ini merupakan contoh perlawanan metafisik yang terdapat dalam kutipan (7).

(7) Ia mencari semacam sisa-sisa wahyu penerus Mahapahit yang dipercayainya belum turun. Wahyu itu satu-satunya kekuatan yang menurut dia bisa menjatuhkan Soeharto (Suyono, 2014: 208).

Perlawanan metafisik di atas dilakukan oleh Sawito, orang yang paling ditakuti oleh Soeharto. Bentuk perlawanan di atas memang tidak termasuk dalam kategori perlawanan keras, pasif, maupun humanis, melainkan perlawanan yang dilakukan melalui jalan metafisik. Sawito mempercayai bahwa salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menentang lapisan spiritual Soeharto ialah dengan mendapat wahyu penerus Mahapahit. Siapa pun yang dipercayakan menjadi penerus Majapahit, dipercaya memiliki kekuasaan spiritual yang besar untuk menentang Soeharto.


(1)

Daftar Pustaka

Dhakidae, Daniel. 2013. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Pusat: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Endraswara, Suwardi. 2013. Sosiologi Sastra Studi, Teori, dan Intepretasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Escarpit, Robert.2008. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haris, Syamsuddin (Eds). 1996. Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Jabrohim. 2015. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lorens, Bagus. 1991. Metafisika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Merriam Webster. 1993. Merriam Webster’s Collegiate Dictionary Tenth Edition. USA: Merriam-Webster, Inc.

Nanang, Martono. 2014. Sosiologi Pendidikan Micahel Foucault Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman, dan Seksualitas. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.

Patria, Nezar dan Andi Arief.1999. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(2)

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Sugono, Dendy (Eds). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah Sistimatika Analisis Struktur Fisik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Susetya, Wawan. 2007. Kontroversi Ajaran Kebatinan. Tanggerang: Penerbit Narasi. Suyono, Seno Joko. 2014. Kuil di Dasar Laut. Yogyakarta: Lamalera.

Taum, Yoseph Yapi. 2015. Sastra dan Politik Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Teeuw. A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Utomo, Teguh Wahyu. 2013. Prison Notebooks Catatan-catatan dari Penjara Antonio Gramsci (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yody, Wilfridus P.N., 2003. “Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat: Sebuah Gagasan Politik Gramsci Menentang Hegemoni Negara”. Dalam Majalah Ilmiah Mahasiswa Rajawali, Tahun I, No. 02 Juni 2003, hlm. 110-126.

Sumber Daring:

Junaidi. 2015. “Sebelum Menghilang, Prabu Brawijaya V Tanggalkan Baju di Alas Ketonggo?”. Stable URL: http://www.jurnaltimes.com/2015/10/sebelum-menghilang-prabu-brawijaya-v.html. Diakses: 18 Juni pkl 01.12 WIB. Musa, Mohamad Zain Bin. 2009. “Kerajaan Champa – Hubungannya dengan

Vietnam”. Stable URL: http://www.kesturi.net/?p=910. Diakases: 30 Juni 2016 pkl 23.04 WIB.

Pratama, Sandy Indra. 2014. “Jalan Tol Golkar di Jalur A-B-G”. Stable URL:www.cnnindonesia.com/politik/20141020140023-32-6981/jalan-tol-golkar-di-jalur-a-b-g/. Diakses: 18 Juni 2016 pkl 00.12 WIB.

Radiawati, Ririn. 2015. “Kisah 'Dukun yang Jadi Menteri Urusan Mistis' di Erra Soeharto”. Stable URL: http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-dukun-yang-jadi-menteri-urusan-mistis-di-era-soeharto.html. Diakses: 18 Juni 2016 pkl 00.16 WIB.


(3)

Setiawan, Bonnie. 2016. “Militerisme dan Histeria Anti-Komunis”. Stable URL: http://indoprogress.com/2016/06/militerisme-dan-histeria-anti-komunis/. Diakses: 29 Juni 2016 pkl 01.25 WIB

Wikipedia. “Cendekiawan”. Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Cendekiawan. Diakses: 22 Juni 2016 pkl 14.05WIB.

Wikipedia. “Insiden Dili”. Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Insiden_Dili. Diakses: 30 Juni 2016 pkl. 16.51 WIB.

Wikipedia. “Kerajaan Champa”. Stable URL: :

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Champa. Diakses pada 30 Juni 2016, pkl 23.00 WIB.

Wikipedia. “Metafisika”, Stable URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika. Diakses: 18 April 2016 pkl 18.00 WIB.

Wikipedia. “Sawito Kartowibowo”. Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Sawito_Kartowibowo. Diakses pada tanggal 20 Juni 2016 pkl 13.29 WIB.


(4)

Lampiran

Sinopsis Novel KdDL

Novel ini diceritakan dengan alur campuran rentetan pengalaman yang dialami oleh Suryo dan Jeanne sebagai tokoh utama, tepatnya 17 tahun setelah mereka lepas dari paguyuban kebatinan Anggoro Kasih. Paguyuban tersebut menantang dan melawan legitimasi Soeharto melalui jalan matafisik. Mereka bahkan diikuti oleh halusinasi dan trauma dari pengalaman perlawanan metafisik hingga ke luar negeri.

Di Vietnam, Jeanne berkenalan dengan dengan seorang mantan penyelam berkaki buntung bernama Phu Tram. Bersama kenalan baru inilah, Jeanne dibawa ke berbagai situs kebudayaan Vietnam. Phu Tram juga menceritakan banyak cerita pilu kekejaman bangsa Vietnam atas suku Champa yang mengingatkan Jeanne pada kejahatan genosida yang pernah terjadi di Indonesia. Di Kamboja, Suryo bertemu dengan Phhoung yang juga mengenalkan Suryo pada berbagai situs kebudayaan Kamboja. Di Laos, Suryo juga ditemani oleh Souvvana, pria asli Laos yang kemudian membocorkan rahasia kebudayaannya.

Kisah demi kisah terjalin dengan rapi selama di luar negeri, mulai dari kisah menyusuri berbagai candi, mulai dari Siem Reap (Kamboja), Luang Prabang (Laos), sampai Da Nang (Vietnam). Sekian kejadian janggal yang terjadi selama berada di luar negeri yang dialami Jeanne dan Suryo ternyata memiliki keterkaitan dengan peristiwa sejarah Bangsa Indonesia.


(5)

Jeanne dan Suryo sebenarnya telah mengikuti sebuah paguyuban kebatinan Jawa bernama Paguyuban Anggoro Kasih. Paguyuban tersebut pernah melakukan perlawanan kepada Soeharto dengan cara metafisik. Mereka melakukan banyak perjalanan spitual di berbagai pepunden di beberapa wilayah di Pulau Jawa maupun Sumatera. Perlawanan mereka tersebut bubar setelah terjadi penyerangan markas PDI di Jalan Diponegoro di tahun 1996. Semenjak itu, sebagian besar anggota paguyuban tewas secara misterius. Diduga, kematian tersebut diakibatkan oleh teluh yang dilepas oleh para mistikus simpatisan Soeharto. Jeanne dan Suryo masih tetap diburu oleh teluh tersebut.

Makin beringasnya teluh yang mengejar-ngejar mereka juga berdampak pada rusaknya hubungan asmara Jeanne dan Suryo. Mereka berdua sebelumnya adalah sepasang kekasih . Jeanne meninggalkan Suryo dengan semua kenangan mereka. Jeanne menikah lagi dengan mas Tubagus. Sementara itu, Suryo masih tetap berlanglang buana dengan terus dihantui oleh rasa bersalah atas kematian ayahnya. Mereka berdua bertemu lagi secara tidak sengaja saat di Café Red Piano, Kamboja.

Selama berada di Vietnam, selain bertemu dengan Phu Tram, ia juga bertemu dengan Mualim Satu. Pertemuan Jeanne dengan kedua orang keturunan Champa inilah yang melibatkannya dalam membongkar misteri Kuil di Dasar Laut. Berbagai usaha dilakukan oleh Jeanne untuk mencapai kuil ketiga. Namun, usaha kerasnya itu selalu berujung pada kegagalan. Setelah meminta restu pada Po Nagar; ibu dari segala ibu Champa dan menyesap madat yang ditinggal Mualim Satu dan Phu Tram, misteri tentang kuil ketiga itu pun terungkap. Ternyata, kuil ketiga tersebut adalah


(6)

lokasi yang pernah dikunjungi oleh Jeanne saat melakukan perjalanan spiritual dengan anggota paguyuban belasan tahun yang lalu.