Pengertian dan Dasar Hukum Poligami

Sedangkan dalam cerai gugat tidak ada pembayaran iwadh, dan yang memutuskan perceraian adalah Hakim. 130 Ada beberapa syarat bagi istri untuk bisa melakukan cerai gugat, yaitu: a. Cerai gugat berasal dari pihak istri bukan dari pihak suami. b. Harus ada alasan untuk cerai gugat. Dalam mengajukan gugatan cerai, baik cerai talaq maupun cerai gugat harus mempunyai alasan-alasan yang dibenarkan dalam UU yang berlaku, hal ini diatur dalam PP No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 19 dan dipertegas kembali dalam KHI tentang alasan untuk bercerai yang tertera pada pasal 116 yang isinya sama dengan pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

D. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “poly” atau “polus” yang berarti banyak dan “gamei” atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Laki-laki yang beristri lebih dari seorang wanita dalam satu ikatan perkawinan. 131 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan poligami, yaitu: “ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan” untuk pemahamaan 130 Amir Syaripuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan , Jakarta, Prenada Media, 2007, Cet. Ke-2, h. 232-233. 131 HM. Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya, Jakarta: CV.Cahaya Esa, 2004, h. 49. perkawinan lebih dari satu orang disebut dengan poligami, poligini, dan poliandri. Ketiga kata tersebut mempunyai arti yang berbeda walaupun maknanya sama yaitu perkawinan lebih dari satu orang. Kata poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan, sedangkan poligini yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa orang wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan. 132 Dari pengertian tersebut kata poligini dan poligami sama yaitu seorang pria boleh melakukan pernikahan dengan lebih dari satu orang. Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligini sendiri tidak lazim dipakai. Seperti dalam KHI pada pasal 55 ayat 1 tidak disebutkan kata poligami hanya menjelaskan yaitu: “beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai 4 orang istri”. 133 Begitu pula dalam PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak menyebutkan poligami hanya menjelaskan yaitu: 132 DEBDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, Cet. ke-2, h. 779. 133 Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 1. “apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”. 134 Namun dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang dinamakan poligami. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan yang di maksud dengan poligami adalah sistem perkawinan dimana seorang laki- laki menikah dengan lebih dari satu orang istri. Adapun tujuan poligami yang dibenarkan oleh Syariat Islam antara lain: a. Sebagai jalan untuk menyalurkan dorongan seksual yang berlebihan dari kaum laki-laki secara sah. Sehubungan dengan pernyataan diatas Mushfin al- Jahrani menyatakan: “ Allah telah memberikan kekuatan dalam bidang seksual kepada seorang lelaki sehingga dapat terjadi seorang suami tidak merasa puas hanya seorang istri untuk menyalurkan libido seksualnya, apalagi jika istrinya sedang haidh dalam waktu yang cukup panjang. Dalam kondisi seperti ini untuk menyalurkan libido seksual dengan baik, suami melakukan poligami” 135 b. Sebagai jalan untuk menanggulangi atau mencegah terjadinya penyelewengan seksual atau hubungan badan di luar perkawinan yang sah. Sifat kebirahian 134 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 135 Dr.Musfin aL-Jahrani, poligami dan berbagai persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet. Ke-1, h. 71. yang umumnya ada pada laki-laki dan perempuan adalah merupakan tabiat fitrah kemanusiaan. Agama memberikan jalan menyelesaikan hajat tabiat tersebut dalam bentuk pernikahan. 136

2. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif