‘Illat Hukum Penerapan Konsep Maslahah Mursalah Dalam KHI

bulan berturut-turut. 65 Kemaslahatan seperti ini dalam pandangan ulama yang disebut dengan maslahah al- mulghah. 66 3. Maslahah al-Mursalah Ada beberapa depinisi maslahah mursalah Dalam pandangan para ulama diantaranya Said Ramadhan al-Buthi mendepinisikan Maslahah mursalah adalah : 67 ﻥ ی ﺡ ﻡ ﻡ ﻥ ﺏ . ﺕ1ﺕ + , Artinya: “Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’I untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.” Maslahah mursalah ini adalah maslahah yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini sebagaimana penulis terangkan di atas.

E. ‘Illat Hukum Penerapan Konsep Maslahah Mursalah Dalam KHI

1 Depinisi ‘Illat Hukum Secara etimologi, illat berarti nama sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya, penyakit disebut 65 Khallaf., ílmû Ushûl al-fiqh.,h. 87. 66 Fidaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam., h. 86. 67 Al-Buthi . Dhâwâbît al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah, hal. 2. ‘illat karena dengan adanya penyakit kondisi tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Menurut Abd. al-Hakim Abd al-Rahman, ‘illat secara etimologi bermakna “sebab” Meskipun ada yang mengatakan bahwa ‘illat bermakna penyakit, namun pemaknaan sebagai “sebab” hukum jauh lebih relevan, karena secara substansial ‘illat bermakna sebagai penetapan hukum pada furu’. 68 Secara terminology, terdapat beberapa rumusan depinisi ‘illat yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain: a Menurut al-Baidawi, sebagian ulama hanafiyah, dan juga sebagian ulama hanabilah, ‘illat al-hukm adalah suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum. Maksudnya, apabila terdapat suatu ‘illat pada suatu hal maka di situ terdapat hukum, karena dari keberadaan ‘illat itulah hukum itu bisa diidentifikasi. 69 b Menurut al-Amidi, ‘illat al-hukm adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, dengan menetapkan hukum sesuai dengan sifat tersebut apa yang layak menjadi tujuan penetapan hukum tersebut dapat diperoleh. Baik hukum tersebut berbentuk itsbat maupun nahyi yang bertujuan untuk memperoleh kemaslahatan maupun mencegah kerusakan. 70 68 Abd. Al-Hakim Abd al- Rahman, Mâbâ-hîts al-îllât fi al-Qiyâs ‘índâ Usûlîyyîn, Beirut: Dar al-Basya-ir al-Islamiyah, cet.Ke-1,1986, h. 68. 69 Ibid., h. 70. 70 Abd. Al-Hakim Abd al-Rahman. Mâbâ-hîts al-íllât fî al-Qiyâs ‘índâ Usûlîyyîn , h. 90. c Menurut Ibn al-Hajib,’illat adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, artinya ketika menetapkan hukum atas dasar sifat tersebut, secara logika, akan diperoleh apa yang akan menjadi tujuan orang-orang yang berakal, baik yang memperoleh kemaslahatan maupun mencegah kerusakan. Jadi, ‘illat merupakan motif dibalik penetapan hukum yaitu kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’ah. 71 d Menurut Abdul Wahab Khallaf, ‘illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum asal yang digunakan sebagai dasar hukum, yang dengan ‘illat tersebut akan diketahui hukum di dalam furu. Misalnya, memabukan adalah sifat yang ada pada khamar, yang kemudian dijadikan dasar diharamkannya khamar. Dengan ‘illat tersebut maka dapat diketahui haramnya setiap minuman yang memabukan. 72 Sejumlah depinisi di atas menekankan bahwa suatu ‘illat hukum haruslah jelas, konsisten, dan selaras dengan maqasid syari’ah, yaitu membawa kemaslahatan. Adanya ‘illat merupakan sifat yang merupakan petunjuk adanya hikmah. 2 Kriteria ‘Illat Hukum Tidak setiap yang diduga sebagai ‘illat hukum dapat dijadikan ‘illat hukum. Sesuai dengan definisi ‘illat hukum yang dikemukakan di atas, maka sesuatu yang 71 Ibid., h. 90. 72 Abd Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh, h. 63. dapat dikatakan sebagai ‘illat hukum apabila telah memenuhi sejumlah kriteria berikut ini: 73 a ‘Illat itu mestilah berupa sifat yang jelas, yakni dapat disaksikan oleh salah satu panca indra. Sebab ‘illat itu gunanya untuk mengenal hukum yang akan diterapkan pada cabangnya furu, maka ia mesti berupa sifat yang jelas dapat dilihat pada asalnya sebagaimana dilihat pada cabangnya. Misalnya, sifat yang memabukan yang dilihat pada khamar juga mesti dilihat pada perasan yang memabukan sebagai cabang. b ‘Illat itu mesti berupa sifat yang sudah pasti artinya ia mempunyai hakikat yang nyata dan tertentu yang memungkinkan untuk mengadakan hukum pada cabang dengan tepat. Karena asal qiyas adalah menyamakan ‘illat hukum pada cabang dengan tepat. Persamaan ini menuntut adanya ‘illat secara pasti, sehingga memungkinkan persamaam hukum antara kedua pristiwa tersebut. ‘Illat mestilah berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum. Artinya bahwa ‘illat itu menurut dugaan kuat, cocok dengan hikmah hukumnya. c ‘Illat itu bukan hanya terdapat pada asal. jadi, ‘Illat itu mesti berupa sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain pada masalah asal tersebut. Sebab maksud mencari ‘illat pada asal itu adalah untuk menerapkannya pada cabang. Oleh karena itu, jika ‘illat tersebut hanya 73 Ibid., h. 68-70. diperoleh pada asal saja, maka tidak dapat dijadikan dasar qiyas. Seperti Nabi Muhammad s.a.w. boleh mengawini wanita lebih dari empat orang dan tanpa mahar. Sebab ‘illat dibolehkannya perkawinan seperti itu hanya berlaku khusus bagi beliau sendiri. Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat yang dapat dijadikan ‘illat itu mestilah sifat yang nyata, jelas dan dapat dijangkau nalar. 3. ‘Illat Hukum Dalam Penerapan Maslahah Mursalah KHI Para ulama sepakat bahwa tujuan Allah s.w.t. mensyari’atkan hukum adalah untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu ada kalanya dalam bentuk mengambil manfaat dan ada kalanya dalam bentuk menolak kerusakan. 74 Dalam penerapan konsep maslahah mursalah Kompilasi Hukum Islam penulis berpendapat bahwa hal tersebut termasuk dalam komponen penetapan hukum jenis ‘illat al-munasib al-mursal, yakni bahwa ‘illat untuk sesuatu ketetapan hukum tersebut tidak pernah diungkapkan oleh nash, dan juga tidak ada nash lain yang mengungkapkan ‘illat hukum yang sesuai dengan ketentuan hukum itu. Akan tetapi penetapan hukum tersebut sesuai dengan ketentuan maqasid al- syari’ah. Jika sesuai dengan maqasid al-syari’ah, maka kesesuaian tersebut merupakan ‘illat yang dapat membantu penetapan hukum. 75 74 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kotemporer., h. 96. 75 Ibid., h. 94. Penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam menurut penulis bisa dikategorikan ‘illat hukum berdasarkan ijma, sebagaimana dikemukakan oleh Abd. al-Hakim Abd.al-Rahman jika para mujtahid suatu periode tertentu telah sepakat mengenai sebuah ‘illat suatu hukum dengan cara ijma dapat diterima sebagai illat. 76 Menurut penulis hal ini dapat dianalogikan dalam konteks penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil ijtihad para ulama Indonesia dengan perumusan 4 metodologi yang diterapkan: pertama, Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama; kedua, pendapat atau doktrin mahjah hanya sebagai orientasi; ketiga, mengutamakan pemecahan problema masa kini; keempat, metodologi kompromistis. 77 Dalam artian metodologi yang dikemukakan oleh Yahya harahap, yakni kebebasan berfikir mencari kebenaran dalam metodologi sejarah, sosiologi dan psikologi, bahwa penetapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam yang meliputi pelarangan menikahi perempuan ahli kitab, pembatasan dengan syarat dalam poligami, perempuan hamil dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, ahli waris pengganti, harta bersama, dan wasiat wajibah bagi anak angkat adalah bagian dari ijtihad ulama Indonesia tanpa terkait pada madzhab tertentu. Dengan kata lain Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam 76 Abd al-Hakim Abd-Rahman., Mâbâ-hîts al-íllât fî al-Qiyas ‘înda Usûlîyyîn, h. 340-341. 77 Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Di Indonesia, Tahun 1995-1996 Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, h. 308. Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh. 78 Dengan demikian dalam konteks penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam menurut penulis bisa dikategorikan pada ‘illat al- munasib al-mursal atau ‘illat berdasarkan ijma. 78 A.Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam , Jakarta: Qolbun Salim, 2005,Cet Pertama, h. 84.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KHI