BAB II MASLAHAH MURSALAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Untuk memahami maslahah mursalah secara baik, terlebih dahulu perlu diketahui makna maslahah dalam kajian ushul fiqh. Kata maslahah semakna
dengan kata manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Maslahah merupakan bentuk mufrod tunggal yang jama’nya plural
mashalih. Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa maslahah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik melalui cara mengambil dan melakukan suatu
tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.
30
Said Ramadhan al-Buthi mendepinisikan Maslahah mursalah adalah:
31
ﻥ ی ﺡ ﻡ
ﻡ ﻥ
+ , ﺏ
. ﺕ1ﺕ 2
Artinya: “Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para
hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.”
30
Said, Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah, Beirut: Muassah al-Risalah, 1977, Cet. Ke-3, h. 2.
31
Ibid., hal. 2.
Sedangkan Abu Zahrah mendepinisikan maslahah mursalah sebagai berikut :
34 5 1
6 ﻡ47
ﺹ ﻡ94
6 9 : 7 ; 7 ﺏ = ﺹ
ی5 2
32
Artinya: “Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang sejalan dengan
maksud syar’i tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan melarangnya.”
Dari depinisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang ditetapkan
syar’i adalah pemeliharaan lima hal pokok Kulliyat al-Khams. Semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah
maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut maslahah.
33
Oleh karena itu, al- Ghazali mendepinisikan maslahah sebagai mengambil manfaat dan menolak
kemadharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’ Kulliat al- Khams.
34
32
Ibid., hal. 2.
33
Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Pertama, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004, h. 81.
34
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1983, Jilid 1, h. 286.
Sejalan dengan prinsip maslahah sebelumnya, Syatibi menjelaskan bahwa kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan
akhirat, karena kedua bentuk kemaslahatan ini selama bertujuan memelihara Kulliat al-khams
, maka termasuk dalam ruang lingkup maslahah.
35
Sifat dasar dari maqasid al-syari’ah
adalah pasti, dan kepastian di sini merujuk pada otoritas maqasid al-syari’ah
itu sendiri. Dengan demikian eksistensi maqasid al-syari’ah pada setiap ketentuan hukum syari’at menjadi hal yang tidak terbantahkan baik
yang bersifat perintah wajib ataupun larangan.
36
Al-Ghazali mengajukan teori maqasid al-syari’ah ini dengan membatasi pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu Agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan
harta benda.
37
Konsep pemeliharaan
tersebut dapat
diimplementasikan dalam dua metode: pertama, metode konstruktif bersifat membangun dan kedua, metode preventif bersifat mencegah. Dalam metode
konstruktif, kewajiban-kewajiban Agama dan berbagai aktivitas sunat yang baik dilakukan dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan
pada semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif kedua metode tersebut bertujuan mengukuhkan elemen maqasid al- syari’ah sebagai jalan
menuju kemaslahatan.
38
35
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl al- Syarî’ah
, Dar ibn Affan, 1997, Cet. Pertama, jilid 2, h. 17-18.
36
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kotemporer, Cet. Ke-1, Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007, h. 129.
37
Al- Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl , h. 286.
38
Ibid., h. 238.
Sebagian para ulama menerima dan menggunakan maslahah mursalah dijadikan sebagai dalil sedangkan sebagian lagi menolaknya. Ulama yang tidak
menerima maslahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum, diantaranya adalah ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama menilai imam syafi’i termasuk
ulama yang menolak penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil karena ketegasannya menolak ‘istihsan dalam pandangan imam Syafi’i berdasarkan atas
maslahah.
39
Sementara itu, sebagian ulama menerima dan menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Di antaranya adalah imam
Malik dan imam Ahmad. Penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil didasarkan pada sejumlah alasan berikut:
40
1. Bahwa syari’at Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
manusia. Demikian pula dengan kebolehan bagi orang yang berada dalam keadaan dharurat atau terpaksa mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan
dalam batas tertentu sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan, seperti dijelaskan dalam surat al-Maidah, 5:4 berikut:
+ ,- .
1235 6 789
: ;8
= ? A.
B C ?
41
39
Ali Hasballah, Ushûl al- Tâsyrî al-Islâmî, Kairo: Dar al-Fikr al-arabi, 1997, Cet. Ke-7, h.141.
40
Ibid., h. 141-142.
41
Ibid., h. 43.
Artinya: “Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
.” Q.S. al- Maidah : 4 2.
Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan duniawi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Apabila kemaslahatan itu tidak diperhatikan dan diwujudkan tentu manusia akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu
Islam perlu memberikan perhatian terhadap berbagai kemaslahatan dengan tetap berpegang pada prisip-prinsip syariat Islam.
3. Bahwa syar’i menjelaskan alasan illat berbagai hukum ditetapkan
dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tersebut. Apabila dapat diterima, maka ketentuan seperti ini juga berlaku
bagi hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah mursalah. Misalnya firman Allah surat al- Maidah, 5:91:
D0 E GH
CIJ
8KL M
N O P
Q R2S TU KV
G W
XB 2
K H
Y ,Z[ R
K -O \[G]2 K
2 H \
2 K U` Tab
c -d
e f g0KL
28 hi2 Qj5
42
Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamar dan
42
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, Yayasan penyelenggara penterjemahpentafsir Al-Qur’an, Bandung, Lubuk Agung, 1989, h. 177.
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu dari mengerjakan pekerjaan
itu……” Q.S. al-Maidah : 91 Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ‘illat larangan meminum khamar dan
judi karena menimbulkan kemudharatan bagi manusia. Kemudharatan itu dapat berbentuk permusuhan, menghalangi manusia dari mengingat Allah untuk
melakukan shalat dan perbuatan-perbuatan yang melanggar syari’at lainnya.
B. Metode Analisa Maslahah Mursalah