a. Buku I tentang Perkawinan
b. Buku II tentang Kewarisan
c. Buku III tentang Perwakapan.
Sebagaimana telah diterima baik oleh alim ulama Indonesia. Dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1988, untuk
digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Kedua, dan seterusnya.
100
B. Maslahah Mursalah Dalam KHI
Sebagaimana penulis telah kemukakan dalam uraian sejarah singkat lahirnya Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku masing-masing buku I tentang
perkawinan, buku II tentang kewarisan dan buku III tentang perwakafan. Dalam pembahasan kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam ini
penulis hanya akan mengemukakan Buku I yaitu tentang perkawinan, karena kaitannya dengan skripsi yang penulis angkat.
Secara keseluruhan Kompilasi Hukum Islam terdiri atas 229 pasal dengan distribusi yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Porsi yang terbesar
adalah pada buku Hukum Perkawinan, kemudian hukum kewarisan dan yang paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini timbul bukan karena ruang
lingkup materi yang berbeda, akan tetapi hanya karena intensif dan terurai atau
100
Ibid., h. 93.
tidaknya pengaturan
masing-masing yang
tergantung pada
tingkat penggarapannya.
101
Sebagaimana penulis kemukakan mengenai maslahah mursalah pada bab I dalam skripsi ini, maka pada bab ini penulis akan membahas beberapa kandungan
maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana berikut : 1
Perempuan hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Permasalahan tersebut dalam ayat al-Qur’an tidak diatur secara eksplisit akan tetapi dalam pandangan para ulama fiqh termasuk yang
diikhtilafkan, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam para ulama Indonesia mengambil jalan dengan teori kebolehan sebagai jalan
kemaslahatan. Sebagaimana tertuang dalam pasal 53 Kompilasi Hukum Islam Menurut penulis bahwa rumusan yang di kemas oleh para ulama tersebut
berlandaskan atas dasar maslahah mursalah.
102
2 Larangan Pernikahan Lintas Agama
Larangan Kompilasi Hukum Islam adalah mutlak dalam hal pernikahan lintas agama, yakni walaupun laki-lakinya seorang muslim. Sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 40 c, dan pasal 44. Pasal 40 c menyatakan “Dilarang
101
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, CV Akademika Pressindo, 2007, Cet ke-5, h. 63.
102
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam
, h. 184.
melangsungkan perkawinan antara pria dan wanita karena keadaan tertentu : c Seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Sedangkan dalam pasal 44
menyatakan : “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Kedua pasal tersebut sejalan
yakni melarang orang Islam kawin dengan orang yang bukan Islam, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan dan tanpa mengklasifikasikan antara
musyrik dan kitabiyah. Hal tersebut tidak lepas dari metodologi pokok seperti yang diungkapkan Yahya Harahap, yakni kebebasan berfikir mencari
kebenaran dan metodologi sejarah dan sosiologi dan psikologi, berarti dilarangnya mengawini non-Islam adalah hasil ijtihad ulama Indonesia tanpa
terkait pada madzhab tertentu, serta berpijak pada satu dasar pemikiran bahwa larangan tersebut telah dipertimbangkan dengan mempelajari dimensi-dimensi
ajaran Islam yang disebut dengan istilah Islam bukan dimensi tunggal.
103
Sehingga nikah lintas agama dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam memiliki kekhasan tersendiri yang didisain sesuai kondisi Indonesia
dengan melihat prospek masa yang akan datang atau masa depan. Namun keputusan tersebut tidak terlepas dari perdebatan yang menjadi pertimbangan
para ulama adalah hal yang mendasar yaitu pertimbangan kemaslahatan bolehkah para ulama melarang sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at, Atau
103
Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Diretorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1995-1996, hlm.308.
sesuatu yang di bolehkan syari’at apakah tidak boleh dilarang oleh pemerintah dengan alasan kemaslahatan.
104
Ada beberapa hal yang menjadi perdebatan di antara para ulama adalah perkawinan antara seorang yang beragama Islam muslim, muslimah
dengan Non muslim orang yang tidak beragama Islam secara garis besar dikelompokan ke dalam musyrik dan ahli kitab.
105
Atas dasar tersebut perkawinan beda agama dapat berbentuk antara laki-laki muslim dengan
perempuan musyrik, atau perempuan ahli kitab kitabiyah dan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik atau laki-laki ahli kitab. Semua larangan
perkawinan mengenai pernikahan lintas Agama dalam Kompilasi Hukum Islam dilakukan atas dasar maslahah mursalah.
106
3 Prosedur poligami
Poligami dalam fiqh dibolehkan akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam hal tersebut diperketat dengan persyaratan seperti yang tercantum pada pasal
115 dan 116 tentang menceraikan istri.
107
Menurut penulis pembatasan dengan syarat adalah bagian dari ijtihad ulama Indonesia yang berlandaskan maslahah
104
A.Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam
, Jakarta, Qolbun Salim, 2005 Cet.Pertama,hlm.144.
105
Dalam al-quran, non muslim lazim disebut “kafir” perhatikan firman Allah, antara lain dalam QS.Al-Bayyinah [89] 1 dan 6. Ayat-ayat tersebut menyatakan bahwa orang kafir itu terdiri atas
dua kelompok yang berbeda, yakni ahli kitab dan orang musyrik perbedaan ini dipahami dari redaksi ayat yang menggunakan kata sambung “dan” yang menurut para ahli bahasa mengadung arti
“menghimpun dua hal yang berbeda”.
106
Ibid., h. 148.
107
A.Basiq Djalil., Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam
, h. 185.
mursalah karena memang tidak terdapat dalam nash secara eksplisit yang mengatur hal tersebut.
4 Wasiat wajibah
Dalam nash tidak satupun ayat atau hadist yang mengatur wasiat wajibah, akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tercantum dalam
pasal 209 mengaturnya, yang di hasilkan dari pengkompromian nilai-nilai terutama antara Nash, syari’at dan hukum adat akan tetapi tidak bertentangan
dengan syari’at. Hal tesebut dilakukan sebagai solusi terhadap anak angkat
108
yang mana tidak terdapat dalam nash akan tetapi realitanya ada dalam tatanan masyarakat.
109
5 Harta Bersama
Pada dasarnya harta bersama baik dalam tinjauan nash ataupun hadist tidak ada yang mengatur secara eksplisit. Adanya harta bersama dalam sebuah
rumah tangga, pada mulanya berdasarkan ‘urf atau adat istiadat dalam realitas masyarakat yang tidak memisahkan antara harta suami dan harta istri dalam
sebuah rumah tangga. Harta bersama tidak ditemukan dalam masyarakat Islam yang memisahkan antara harta suami dan harta istri.
110
para ulama memandang bahwa harta bersama adalah hukum yang hidup di masyarakat
108
Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaannya untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama-Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1996, h. 84.
109
Ibid., h. 185.
110
Satria Efendi dan M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah
, Jakarta, Prenada Media, 2004, h. 59.
Indonesia dengan demikian harta bersama dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil pengkompromian antara Syari’at dan hukum adat
sebagaimana tertuang dalam pasal 85-88 dalam Kompilasi Hukum Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa harta bersama adalah bagian dari maslahah
mursalah yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam.
111
6 Ahli Waris Pengganti
Dari perincian ahli waris dan bagian masing-masing sebagaimana yang terdapat dalam nash dan hadist terlihat bahwa ada ahli waris dengan
kedudukan tertentu dan bagian yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an yaitu anak, ayah, ibu, saudara, suami atau istri. Kedudukan mereka ahli waris
adalah murni karena hubungannya dengan pewaris, kelompok ahli waris dalam bentuk ini dapat disebut ahli waris langsung. Sedangkan kelompok ahli
waris kedua yaitu kewarisan yang disebabkan karena tidak adanya ahli waris yang menghubungkan kepada pewaris. Mereka adalah cucu menempati
kedudukan anak; kakek menempati kedudukan ayah;nenek menempati kedudukan ibu; saudara seayah menempati kedudukan saudara; paman
menempati kedudukan kakek; anak paman menempati kedudukan paman.
112
Ahli waris kelompok terakhir ini, kedudukan dan bagiannya memang tidak dijelaskan secara pasti di dalam al- Qur’an dan hadist Nabi. Dalam hal
111
A.Basiq djalil., Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam
, h. 186.
112
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Prenada Media, 2005, h. 270.
ini Allah menyerahkan penyelesaiannya kepada akal manusia.
113
Para ulama Indonesia dalam hal ini perumus Kompilasi Hukum Islam menyebutnya
dengan ahli waris pengganti. Hal ini tentunya berbeda dengan konsep fiqih yang menyebutkan paman anak pewaris yang masih hidup menutup
kedudukan cucu. Dalam konsep fiqih pada kasus contoh cucu menjaga si kakek dalam
keadaan senang dan susah sedang paman tidak merawat si kakek sama sekali, maka ketika meninggal si kakek maka seluruh hartanya jatuh kepaman si
cucu. Hal tersebut dirasa tidak adil oleh pandangan ulama terhadap nasib si cucu. Oleh karena itu, Para ulama Indonesia merumuskan dalam Kompilasi
Hukum Islam dengan ahli waris pengganti sebagai jalan keluar sebagai hasil kompromi syari’at nash dan adat sebagaiman tertuang dalam pasal 185.
114
Walaupun ada yang mengatakan hal tersebut adopsi dari ijtihad prof. Hazairin yang berdasarkan kata mawali yang terdapat dalam surah al-Nisa’ 4:
ayat 33.
C. Perceraian Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif