Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagian orang menjadikan akal dan perasaan sebagai timbangan maslahat dan mafsadat, jika suatu perkara dianggap oleh akalnya sebagai suatu hal yang bermanfaat maka dianggap maslahat walaupun perkara tersebut pada hakikatnya melanggar syari’at. Adapun tentang mengambil ketetapan hukum dengan maslahah mursalah dikatakan oleh syaikh Muhammad al-Amin asy-syingithi pada dasarnya para sahabat bergantung dengan maslahah mursalah yang tidak dibatalkan oleh dalil, dan tidak bertentangan dengan mafsadat yang lebih kuat atau sama kuatnya. Pada dasarnya seluruh madzhab bergantung pada maslahah mursalah akan tetapi, yang benar bahwa pengambilan hukum terhadap suatu perkara harus berhati-hati hingga benar kebenaran maslahatnya. Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh. 1 Landasan yuridis terciptanya KHI adalah Undang-undang No.141970 Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 20 ayat 1 yang berbunyi : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, 1 Team Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat pembinaan Badan Peradilan Agama, Tahun 19911992, h. 142. mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, keadaan masyarakat selalu berubah, ilmu fiqh sendiri selalu berkembang karena menggunakan metode-metode yang sangat memperhatikan keadilan masyarakat diantara metode tersebut adalah maslahah mursalah. 2 Agama Islam membolehkan suami-istri bercerai, tentunya dengan alasan- alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT. 3 Perceraian Thalaq merupakan suatu ajaran Islam dalam pernikahan, namun hal itu sangatlah dibenci oleh Allah meskipun halal boleh, karena dengan perceraian berarti tujuan perkawinan menjadi pudar dan tidak tercapai, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: ﻝ ﻝ . 4 Artinya: “Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: yang hukumnya halal tetapi Allah paling benci terhadapnya adalah talaq.” H.R.Abu Daud dan Ibnu Majah 2 A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam , Jakarta: Qolbun Salim, 2005,Cet Pertama, h.84. 3 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet ke-2, h.102. 4 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, b Thalaq, Beirut, Dar Ibn Hazm, 334. Perceraian adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah walaupun hal itu merupakan perbuatan yang halal dan sebagai jalan keluar bagi suami-istri yang sudah tidak ada kecocokan lagi untuk meneruskan perkawinannya Karena itu, ketika keadaan pertengkaran terus-menerus terjadi dalam rumah tangga maka ada unsur dharurat yang membolehkan pasangan suami-istri itu untuk bercerai, unsur dharuriyah itulah yang membolehkan. Salah satu asas perkawinan yang ada adalah mempersulit adanya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik. 5 Perceraian dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang harus dilakukan ketika antara pihak suami dan istri sudah tidak akur lagi, akan tetapi ketika terjadi percekcokan maka antara kedua belah pihak suami ataupun istri mendelegasikan juru damai hakam. Hakam ini berfungsi untuk menjembatani kemungkinan untuk membina kembali rumah tangga, juga melerai pertengkaran suami-istri agar keutuhan pernikahan mahligai rumah tangga dapat berlanjut sampai akhir hayat. 6 Kasus-kasus perceraian sering terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat entah itu di lakukan karena inisiatif suami untuk permohonan cerai-thalaq, atau inisiatif istri untuk menggugat cerai suaminya. Dalam Kompilasi Hukum Islam 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakat dan Undang -Undang Perkawinan, Jakarta : Prenada Media, 2007, Cet. Kedua, h. 190. 6 Satria M Zein, Yurisprudensi Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Prenada Media, 2004, Cet. Ke-1, h. 116. KHI secara umum dijelaskan mengenai perceraian diatur dalam pasal 113 sampai dengan 148 di bab tentang putusnya perkawinan. Cerai gugat secara khusus diatur dari pasal 132 ayat 1 yang berbunyi: 7 “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.” Sampai dengan pasal 148 ayat 1 yang berbunyi: 8 “Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu menyampaikan permohonannya kepada pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya”. Dalam KHI pasal 116 terdapat alasan-alasan perceraian antara lain yaitu: 9 a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam jangka waktu 2 dua tahun secara terus-menerus tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapatkan pidana 5 lima tahun penjara atau hukuman lain yang lebih berat. 7 Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 Ayat 1. 8 Kompilasi Hukum Islam Pasal 148 ayat 1. 9 Kompilasi Hukum Islam Pasal 116. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman yang membahayakan keselamatan anggota keluarga. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami-istri. f. Terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara kedua belah pihak sehingga tidak ada harapan untuk hidup harmonis terdapat juga dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2 g. Suami melanggar taklik talaq h. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. i. Undang-undang UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan beberapa syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan. Syarat demikian ditetapkan untuk memberikan landasan hukum yang kuat agar dapat diciptakan suasana perkawinan yang mendukung dan tercapainya tujuan perkawinan, seperti telah disebutkan pada pasal 1 UU Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, Sehingga tujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah akan terwujud, sebagaimana tujuan perkawinan dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia.” 10 Seorang suami yang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama maka perkawinannya dapat dibatalkan oleh istrinya dengan cara melakukan gugatan kepengadilan Agama. 11 Poligami dalam Islam memang bukan sesuatu yang dilarang. Sejarah poligami memang terjadi dan sudah ada sebelum Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, Setelah Islam datang kemudian Nabi Muhammad SAW membatasi para sahabat untuk beristri maksimal empat orang saja. 12 Dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, peraturan pemerintah PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI 13 telah tercatat bahwa suami yang ingin melakukan poligami harus seizin dari istri yang pertama melalui mediasi Pengadilan. Itupun izin poligami terdapat syarat-syarat yang ketat bagi suami yang hendak melakukan poligami, seperti istri tidak dapat melahirkan keturunan, ataupun mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang menyebabkan tidak dapat 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 11 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet Ke-4, h. 239 12 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 176. 13 Mengenai izin suami melakukan poligami, tertera dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 2, juga pasal 4 dan 5 Jo. PP No 9 tahun 1975 pasal 40, 41, 42 dan pasal 43. Jo. KHI Pasal 55 sampai dengan pasal 59. melayani suaminya secara lahir bathin. Dan suami yang berpoligami pun harus berlaku “adil” terhadap istri-istrinya. 14 Pada pasal 4 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa seorang yang ingin beristri lebih dari satu maka ia wajib mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan, yaitu: 15 . 1 Adanya persetujuan istri 2 Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri- istri dan anak-anak mereka. 3 Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka Sedangkan dalam KHI pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut berbunyi: 16 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri 2. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan 14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 177. 15 Undang-Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan 16 Kompilasi Hukum Islam Pasal 57. Apabila syarat tersebut telah terpenuhi Pengadilan Agama akan memberikan izin kepada suami yang ingin berpoligami. Dalam pasal 4 ayat 3 diterangkan tentang alasan kebolehan suami berpoligami, terdapat tiga poin seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga ketika istri mendapat salah satu saja diantara tiga alasan tersebut suami boleh mengajukan permohonan poligami. 17 Pada dasarnya ijtihad telah dilakukan pada zaman nabi Muhammad.SAW dan dibenarkan oleh beliau, baik dalam keputusan konteks pemerintahan yang didelegasikan kepada hakim ataupun hakim dalam konteks sekarang qadhi yang ditugaskan oleh beliau untuk memutuskan perkara pertikaian dalam masyarakat, atau sebagai individu biasa dalam kehidupan sehari-hari. Kisah yang paling terkenal adalah pemutusan Mu’adz bin Jabal sebagai wakil pemerintah dan wali didaerah Yaman. Ia secara tegas mengatakan kepada Nabi bahwa ia akan memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah, dan bila ia tidak menemukan dalam kedua sumber ini maka ia akan memutuskan perkara tersebut berdasarkan pemikirannya sendiri melalui ijtihad. 18 Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa pelaku ijtihad dalam menetapkan hukum mendapatkan tempat yang khas dalam pandangan Islam apabila seseorang tersebut telah melakukan usaha yang maksimal untuk memutuskan perkara berdasarkan pertimbangannya yang matang, bila ia benar maka akan 17 Wawancara Khusus Dengan M. Abduh Sulaiman dan Harum Rendeng, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 18 A.Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam , h. 84. mendapatkan dua pahala, dan bila ternyata salah maka akan mendapatkan satu pahala di sisi Allah. SWT. 19 Dalam memutuskan masalah, manusia diminta untuk mendekati Allah dalam hal keadilan, kedalaman ilmu, integritas diri keterikatan kepada ketentuan kitab, ketentuan Allah dan kitab-Nya, kebijaksanaan yang lahir dari keluasan wawasan. Hal itu karena dalam diri manusia yang berasal dari ciptaan tuhan yang terdapat kwalitas-kwalitas ketuhanan. Yang tersebut itu menunjukan bahwa salah satu kwalitas Allah adalah al-hakim pemutus perkara, penguasa yang bijak. 20 Kata “pemutus” di sini jelas tidak hanya berarti memutuskan perkara di pengadilan dengan pengertian “mengadili” atau memutus antara pihak yang bersengketa atau lebih, akan tetapi bermakna menyangkut sikap semua orang yang berada dalam posisi membuat keputusan, 21 namun dalam pembahasan ini penulis hanya akan menekankan pada pemutus hukum di pengadilan saja yaitu seorang hakim. Pengertian hukum tersebut akan menjadi lebih jelas dengan memperhatikan pengertian adil dan keadilan menurut A-Qur’an. Keadilan dan hukum adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dan keadilan antara lain tidak mungkin ditegakan tanpa adanya kepastian hukum. 22 19 Al Bukhori, Shahih al-Bukhori,jilid II Istanbul : al maktabah “al Islami”,h.157. 20 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999 Cet. Pertama, h.26. 21 A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam , Jakarta: Qolbun Salim, 2005,Cet Pertama, h.17. 22 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999 Cet. Pertama, h.28. Berkaca dari pembahasan di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam penetapan hukum di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Maka dari itu penulis mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama, yang merupakan lembaga peradilan yang menangani kasus perceraian bagi orang yang beragama Islam. Khususnya dibatasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dengan latar belakang di atas penulis mengambil skripsi dengan judul: “Penerapan Maslahah Mursalah Dalam KHI dan Pengaruhnya Terhadap Putusan Hakim” Studi Kasus Putusan Cerai Gugat karena Suami poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis membatasi yakni, hanya menekankan pada Penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap hakim dalam memutuskan perkara perceraian sebagai metode penetapan hukum dari awal persidangan sampai pada pengambilan putusan. 2. Perumusan Masalah Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagaimana berikut “Banyaknya hal yang dibolehkan dalam syariat dan kitab-kitab fiqih, akan tetapi pada kenyataannya dalam pasal Kompilasi Hukum Islam dilarang dan sebagiannya dipersulit. Hal ini yang ingin penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini” Dari rumusan di atas penulis dapat merinci dalam bentuk beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah sesuatu masalah yang dibolehkan oleh syari’at tidak boleh dilarang atau dipersulit oleh pemerintah dengan alasan kemaslahatan, dan bagaimana konsep kebolehan serta pengkompromian nilai dalam Kompilasi Hukum Islam? 2. Bagaimanakah penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam konsep metode ijtihad dalam menetapkan hukum?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian