57
dilakukan karena penulis menemukan data-data yang menunjukkan tindakan intoleransi antar elemen masyarakat berdasarkan perbedaan aliran kepercayaan.
Beberapa kasus intoleransi yang terjadi atas dasar perbedaan agama dan etnis yang penulis temukan antara lain : pelarangan Kongres Konghucu pada Juni 2012
lalu, pelarangan ternak babi di Mandala, dan lain sebagainya. Di wilayah lain yang masih merupakan wilayah Sumatera Utara juga terjadi kasus-kasus
penyerangan terhadap aliran kepercayaan Ahmadiyah, Parmalim, dan lain sebagainya. Ini menegaskan bahwa Kota Medan dikenal dengan pluralitasnya,
tapi belum dengan pluralismenya.
2.3.3 Lesbian di Kota Medan
Kondisi di atas, sekalipun tidak terlalu menguntungkan, namun cukup memberikan ruang yang nyaman bagi LGBTI di Medan untuk mengekspresikan
identitasnya. Sikap cenderung apatis yang muncul karena pluralitas masyarakat Kota Medan justru membuat LGBTI tidak terlalu diperhatikan dan diusik secara
massa. Tapi bukan berarti bahwa LGBTI tidak mengalami diskriminasi. Diskriminasi dan kekerasan yang dialami LGBTI di Medan secara umum tidak
dilakukan secara massa, melainkan oleh unit-unit kecil seperti keluarga, teman, pasangan atau oknum aparatur negara seperti polisi dan lain sebagainya. Jarang
terjadi serbuan atau kecaman yang dilakukan secara massa kepada LGBTI di Kota Medan. Apabila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Surabaya, Jakarta dll, LGBTI di Kota Medan relatif cukup jarang mendapatkan serangan massa.
Komunitas lesbian, seperti halnya komunitas gay dan waria, tersebar di berbagai titik di Kota Medan. Mereka berkumpul dan berinteraksi satu dengan
yang lainnya, sesama lesbian. Deskripsi mengenai lesbian di Kota Medan dan berbagai masalah yang mereka alami akan lebih banyak dijelaskan di Bab III.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
BAB III LESBIAN DI KOTA MEDAN
3.1 MUNCULNYA KOMUNITAS LESBIAN DI MEDAN
3.1.1 Dari Sentul-Kantil hingga Butch-Femm
Pada tahun 900, 1400, 1900 atau mungkin bahkan 1960, tidak ada orang di Nusantara menyebut diri mereka gay atau lesbi Boelstorff, 1969 : 54. Namun
pada awal tahun 1980an, Boelstorff mengatakan bahwa “gay” dan “lesbi” sudah
berada di Nusantara sebagai posisi-posisi subyek yang disebarkan secara nasional. Posisi-posisi subyek ini menurutnya sulit dimasukkan ke dalam cerita
kebudayaan. Sejarah mereka nampaknya seakan-akan tidak ada kelanjutan. Mengutip pernyataan Benda 1972, ia juga mengatakan bahwa hal ini
mengancam dualisme perubahan modernitas dan kontinuitas tradisi yang telah menjadi motif historiografi ahli Indonesia.
Boelstorff lebih lanjut menjelaskan subjektivitas tersebut sebagai berikut :
“Subyektivitas gay dan lesbi bisa merupakan suatu inovasi, bahkan perubahan radikal, dengan pengertian lain tentang seksualitas di Indonesia, dan masih bisa asli kalau dianggap sebagai
sesuatu yang dilahirkan dari sejarah persimpangan, sejarah hasrat hom oseksual yang “sulih
suara.” Boelstorff, 1969 : 56.
Menurut Boelstorff, jarang ada dokumen tentang seks antara laki-laki atau antara perempuan dari akhir tahun 1940an sampai 1970an, dan hanya ada sedikit
penelitian sejarah yang dilakukan untuk menyelidiki tentang bagaimana pendapat awal negara pascakolonial tentang homoseksualitas.
Boelstorff juga mencatat secara khusus mengenai lesbian :
“Kalau nafsu lesbi, semacam kerangka heterogender yang menonjol: dianggap aneh kalau seorang tomboi mau sama tomboi lain, atau seorang cewek mau sama cewek lain. Perempuan
lesbi yang tidak mengalami nafsu mereka melalui lensa yang heterogender cenderung untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA