59
BAB III LESBIAN DI KOTA MEDAN
3.1 MUNCULNYA KOMUNITAS LESBIAN DI MEDAN
3.1.1 Dari Sentul-Kantil hingga Butch-Femm
Pada tahun 900, 1400, 1900 atau mungkin bahkan 1960, tidak ada orang di Nusantara menyebut diri mereka gay atau lesbi Boelstorff, 1969 : 54. Namun
pada awal tahun 1980an, Boelstorff mengatakan bahwa “gay” dan “lesbi” sudah
berada di Nusantara sebagai posisi-posisi subyek yang disebarkan secara nasional. Posisi-posisi subyek ini menurutnya sulit dimasukkan ke dalam cerita
kebudayaan. Sejarah mereka nampaknya seakan-akan tidak ada kelanjutan. Mengutip pernyataan Benda 1972, ia juga mengatakan bahwa hal ini
mengancam dualisme perubahan modernitas dan kontinuitas tradisi yang telah menjadi motif historiografi ahli Indonesia.
Boelstorff lebih lanjut menjelaskan subjektivitas tersebut sebagai berikut :
“Subyektivitas gay dan lesbi bisa merupakan suatu inovasi, bahkan perubahan radikal, dengan pengertian lain tentang seksualitas di Indonesia, dan masih bisa asli kalau dianggap sebagai
sesuatu yang dilahirkan dari sejarah persimpangan, sejarah hasrat hom oseksual yang “sulih
suara.” Boelstorff, 1969 : 56.
Menurut Boelstorff, jarang ada dokumen tentang seks antara laki-laki atau antara perempuan dari akhir tahun 1940an sampai 1970an, dan hanya ada sedikit
penelitian sejarah yang dilakukan untuk menyelidiki tentang bagaimana pendapat awal negara pascakolonial tentang homoseksualitas.
Boelstorff juga mencatat secara khusus mengenai lesbian :
“Kalau nafsu lesbi, semacam kerangka heterogender yang menonjol: dianggap aneh kalau seorang tomboi mau sama tomboi lain, atau seorang cewek mau sama cewek lain. Perempuan
lesbi yang tidak mengalami nafsu mereka melalui lensa yang heterogender cenderung untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
sama sekali menolak binarisme tomboicewek. Sementara hal ini mungkin dipandang sebagai bukti pengaruh dari gagasan butch dan femme dari Barat, nampaknya asalnya dari kenyataan
bahwa waktu “gay” dan “lesbian” dipindah dan diciptakan baru di Indonesia, tidak ada posisi subyek yang kebalikan waria yaitu, perempuan yang berdandan seperti lelaki Boelstorff,
1969 : 116-117 ”
Pada era tahun 1970 hingga 1980, pelabelan pada lesbian di Indonesia dikelompokkan atas dua, yaitu sentul dan kantil. Istilah ini sangat asli
Indonesia. BJD. Gayatri, seorang penulis lesbian juga pernah menulis secara khusus tentang pelabelan-pelabelan lesbian tersebut pada 1994, namun penulis
kesulitan untuk menemukan naskah tulisannya yang tidak diterbitkan itu. Menurut seorang informan, Ian 40, label ini digolongkan sendiri oleh lesbian
dengan melihat dari segi penampilan lesbian itu sendiri. Pada umumnya, istilah yang dulu mereka gunakan untuk menyebut orientasi seksualnya adalah
lines. Pada era selanjutnya, istilah yang muncul di kalangan lesbian adalah butch, andro dan femm.
Istilah “butch” merujuk pada peran gender yang mengadopsi maskulinitas laki-
laki dan “femm” merujuk pada peran gender yang mengadopsi feminitas betina. Ian sepakat dengan Mohammad Guntur
Romli, seorang agamawan Islam yang banyak menulis tentang LGBTI, bahwa tanpa disadari penggolongan tersebut sebenarnya mempersempit ruang
berpasangan lesbian dan menjadikannya sebagai konotasi aneh apabila ada hubunganrelasi sesama femm, sesama andro, atau sesama butch.
Berbicara mengenai lesbian di Kota Medan, secara langsung mengenalkan penulis dengan sebuah istilah yang disebut “belok” atau “koleb”. Ada
informan yang menyebut dirinya lesbian, ada pula yang belok atau koleb. Belok dan koleb digunakan informan untuk menyamarkan istilah lesbian, yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
menurut mereka sangat beresiko untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan lebih banyak dijelaskan penulis pada bab 4. Dalam tulisan ini, penulis
akan menyebut lesbian untuk informan yang mendefenisikan dirinya lesbian, dan belok untuk informan yang mendefenisikan dirinya sebagai belok atau
koleb. Berbeda dari pengakuan Ian, Ratih dalam Dewi Nova Wahyuni dan
Arwani eds., 2011 : 36 menyebutkan bahwa pengkotakan lesbian yang berpenampilan maskulin dan feminin ini bagi sebagian besar teman-teman
lesbian dirasa sangat perlu karena terkait dengan ketertarikan mereka akan lesbian yang feminin atau maskulin. Lebih lanjut tulis Ratih dalam buku
tersebut :
“Pelabelan ini kemudian juga diidentikkan dengan pembagian peran antara maskulin dan feminin dalam hubungan pasangan lesbian, dalam sikap, gaya berpakaian dan refleksi diri.
Mereka menyadur kembali pola budaya patriarki yang menganggap bahwa yang bereran maskulin identik dengan perempuan disamakan dengan posisi laki-laki dalam budaya
patriarki, yang harus mencari nafkah di ruang publik, melindungi pasangan dan kuat secara fisik dan psikologis, misalnya tidak cengeng. Juga tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga, seperti mencuci baju atau piring, memasak atau membersihkan rumah. Sedang kan perempuan yang berpenampilan feminin diidentikkan dengan pekerjaan di ruang
domestik.”
Informan yang lain, Ika 30 dan Eva 26 merasa bahwa relasi mereka tidak lagi berada di bawah kendali peran-peran label yang diadopsi dari pola
pikir heteroseksisme tersebut. Mereka, dalam kehidupan sehari-hari dengan pasangan masing-masing, meskipun masih kerap menggunakan istilah butch
dan femm, tapi mereka sangat berupaya menegakkan kesetaraan dalam pembagian peran masing-masing. Tidak ada satu label yang identik dengan
publik maupun domestik. Yang terpenting adalah sama-sama nyaman, adil dan tidak ada yang merasa tertindas atau dikesampingkan. Namun bagi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
sebagian mereka yang menyebut dirinya belok, pembagian peran publik- domestik ini masih kerap terjadi. Misalnya, Buthci harus bekerja, sementara
femm harus mengurusi pekerjaan rumah. Saat ini, penggunaan sentul dan kantil, di kalangan lesbian yang sudah
berusia lanjut sekalipun, sudah sangat jarang digunakan. Mereka lebih sering menggunakan istilah yang relatif baru tersebut yaitu butch atau butchi, andro
dan femm atau femme. Menurut sebagian besar informan, istilah-istilah tersebut mungkin hadir bersamaan dengan istilah belok.
3.1.2 Tongkrongan Lesbian di Kota Medan