1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penelitian ini adalah penelitian mengenai konsep diri lesbian
1
di Kota Medan. Penelitian ini dilatarbelakangi karena isu seksualitas perempuan, khususnya
lesbian, masih terpinggirkan baik dalam bidang akademik maupun politik. Alasan tersebut lebih dijelaskan di bawah ini.
1. Dalam sebuah peluncuran buku mengenai seksualitas lesbian, Komnas Perempuan menyebutkan soal masih terpinggirkannya isu seksualitas
perempuan, khususnya mengenai relasi seks perempuan sesama jenis. Peminggiran ini dilakukan berlandaskan agama, budaya, norma sosial,
konsensus masyarakat atau kelaziman masyarakat patriarkal yang tidak memperhitungkan dan mendengar suara perempuan.
2
Mohamad Guntur Romli, seorang aktivis muslim pun menyebutkan hal yang sedemikian
rupa Romli, dalam Sri Agustine dan Evi Lina Sutrisno eds., 2013 : 104
1
Lesbian dalam tulisan ini diartikan oleh penulis sesuai dengan yang sering digunakan oleh informan yang mendefenisikan dirinya sebagai lesbian dalam penelitian ini, yaitu suatu istilah
bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan baik secara seks maupun jender. Istilah ini berbeda dengan kata lesbi dan belok, istilah lain yang juga
sering digunakan oleh informan. Penjelasan kedua istilah tersebut dapat dibaca lebih lanjut dalam laporan penelitian ini, yang didefenisikan oleh penulis sesuai dengan makna yang diberikan oleh
informan. Di Kota Medan, penulis menemukan beberapa istilah yang digunakan oleh informan untuk mendefenisikan dirinya terkait seksualitasnya, yaitu lesbian, lines dan belok atau koleb.
Lines dan belokkoleb adalah istilah yang digunakan informan untuk menyamarkan istilah lesbian, yang dinilai lebih beresiko jika digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan lebih lanjut
dipaparkan penulis pada bab 4.
2
http:www.komnasperempuan.or.id200906dari-peluncuran-buku-hasrat-perempuan- membongkar-mitos-seksualitas-tunggal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
2. Selama ini ada bias terhadap penelitian mengenai seksualitas. Seksualitas secara umum dan relasi seksual sesama perempuan di negara-negara non
Barat selama ini kurang mendapatkan perhatian dari para antropolog dan kalangan ilmu sosial lainnya. Blackwood
3
menjelaskan, hal ini terjadi karena akses informasi didominasi oleh peneliti laki-laki, dimana mereka
sendiri enggan atau bahkan tidak mampu untuk menggali informasi atas praktek-praktek seksual yang dilakukan oleh perempuan, serta sikap
ketidakpedulian mereka terhadap keragaman seksual. 3. Alasan berikutnya yang membuat penelitian ini mendesak untuk dilakukan
adalah fakta bahwa lesbian merupakan pihak yang mengalami diskriminasi berlapis. Pertama, ia mengalami diskriminasi sebagai perempuan oleh
sistem patriarki dan ideologi heteroseksismenya ; kedua, mengalami diskriminasi atas preferensi seksual yang berbeda dari heteroseksual. Ratri
M.
4
menjelaskan hal ini sebagai berikut :
“Apa yang menjadi kegundahan kaum perempuan pada umumnya, sesungguhnya juga menjadi kegundahan kaum lesbian. Di luar perbedaan
orientasinya, lesbian adalah kaum perempuan yang memiliki kompleksitas yang sama kompleknya dengan kaum perempuan pada umumnya. Sehingga persoalan
hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi pada kelompok perempuan secara langsung berdampak kepada kelompok lesbian. Di samping
itu sebagai kelompok seksual minoritas, lesbian pun mengalami persoalan yang berbeda dengan kelompok perempuan hetero, terutama adanya hambatan dalam
masalah mendapatkan hak-hak sipil dan politiknya. Pembahasan tentang hak sipil dan politik pada kelompok lesbian ini, tentu saja diluar konteks bahwa
masih ada sekelompok lesbian di Indonesia, yang memiliki persoalan dalam dirinya yang belum selesai. Misalnya belum tuntasnya proses pencarian jati diri
atas orientasi seksualnya, terutama pada kalangan kelompok lesbian muda.
3
Saskia E. Wieringa, DR. Evelyn Blackwood, “Gambaran Lesbianisme : Tantangan Kebisuan dalam Studi Seksualitas”, Hasrat Perempuan : Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek
Perempuan Transgender di Indonesia, eds. Prof. DR. Saskia E. Wieringa, DR. Evelyn Blackwood Jakarta : Ardhanary Institute bekerjasama dengan HIVOS, 2009, hal.5.
4
Ratri M., “Lesbian dan Hak-Hak Sipil”, Jurnal perempuan Edisi 58. Hal. 53.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
Sehingga memang tetap diperlukan upaya lebih mendalam dan tersinkronisasi antara para aktivis di kelompok perempuan, kelompok lesbian dan juga
kelompok pejuang HAM untuk terus saling berkoordinasi dan bekerjasama agar terjadi keselarasan hidup di masa depan.”
Selain ketiga alasan di atas, penulis menyadari suatu hal yang selama ini terkesampingkan, yaitu seperti kata Lewis terj. Rochmulyati Hamzah, 1988 : 3
mengenai psikologi masyarakat yang diteliti. Menurut Lewis, walaupun kita mempunyai banyak informasi tentang geografi, sejarah, ekonomi, politik dan
bahkan adat kebiasaan dari sebuah lokasi penelitian beserta orang-orang di dalamnya, tapi kita sangat sedikit mengetahui tentang psikologi mereka,
bagaimana mereka berpikir dan merasakan, apa yang mereka cemaskan, perdebatkan, harapkan, atau mereka sukai. Oleh karena itulah, posisi penulis
dalam penelitian ini, sama seperti yang dikatakan Lewis : pelajar dan pelapor. Seperti yang dikatakan Lewis, maka penulis merasa sangat perlu melakukan suatu
kajian antropologi psikologi yang mendalam tentang konsep diri pada lesbian. Kendatipun isu seksualitas lesbian masih relatif jarang diangkat di dalam
bidang akademik maupun publik, media justru gencar memberitakan kasus-kasus yang kerap melibatkan lesbian atau LGBTI
5
. Tidak jarang pemberitaan tersebut menjadi merugikan bagi LGBTI itu sendiri. Berikut ini beberapa pemberitaan
media tentang LGBTI yang dirangkum oleh penulis.
Sumatera Utara
5
LGBTI adalah sebuah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, transjendertranseksual dan interseksual. Konsep ini sering digunakan oleh aktivis-aktivis untuk mencakup keseluruhan
subjek-subjek tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
Sepasang lesbian diarak warga setelah tertangkap saat berhubungan seks dengan kondisi bugil http:www.posmetro-medan.com
Pemalsuan identitas yang dilakukan oleh seorang perempuan yang menjalin relasi sesama jenis yang menikah secara adat Toba
http:www.seputar-indonesia.com ,
http:www.hariansumutpos.com Seorang siswi SMK bernama Rahma di Kota Tebing Tinggi, Sumatera
Utara melarikan diri dari rumah bersama komunitas lesbi http:jakarta.okezone.com
Elli, seorang perempuan yang kepalanya ditikami oleh pasangan sejenisnya
karena tidak
terima hubungan
mereka putus
http:www.harianorbit.com Lesbian PSK di Kawasan Aksara http:www.hariansumutpos.com
Ella, lesbi
yang menjual
pasangan perempuannya
http:www.merdeka.com Chen Mei Li, menyilet wajah Henny Chandra di Kampus IBBI karena
takut cinta
lama pacarnya
akan bersemi
kembali http:www.metrosiantar.com
Selain kasus-kasus tersebut di atas, ada banyak lagi pemberitaan media terkait LGBTI. Berikut ini beberapa yang direkam oleh penulis :
Nasional
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
Ryan dan pembunuhan berantai wartakota.co.id, okezone.com, surya.co.id, tribunnews.com, tvonenews.tv.
Mujianto, seorang warga Nganjuk yang menewaskan lima korban dari 23 korban yang diracun
http:www.tempo.co Sumbangsih media yang menyuguhkan berita-berita sensasional seperti di atas
serta informasi yang tidak berimbang tentang isu seksualitas justru memperkuat sifat homophobia
6
pada masyarakat. Linda Sudiono
7
menjelaskan hal tersebut seperti di bawah ini :
“Berkat lembaga pengukuh hegemoni—yang dahulu perannya diambil oleh lembaga- lembaga agama serta lembaga kebudayaan, namun saat ini didominasi oleh media
massa —konstruksi menjadi begitu kuat bercokol dalam kesadaran setiap individu
masyarakat. Hal ini merupakan bentuk dari represifitas kesadaran dimana setiap individu secara “tidak bebas” dipaksa untuk menerima dan meyakini stigma dalam bentuk
manifestasi mekanisme “aparatus ideologis” Althusser yang menjadi modal loyalitas kepada kelas yang mendominasi.
”
Alison J. Murray
8
merujuk pada Oetomo 1993 dan Gayatri 1995, juga berpendapat bahwa media memiliki peran yang sangat penting dalam
mempengaruhi opini publik untuk membangun ideologi heteroseksisme karena mereka terus-menerus menggambarkan perilaku seksual di luar pernikahan
sebagai perilaku yang menyimpang dan sakit. Murray juga menambahkan bahwa artikel-artikel tersebut diperkuat lagi oleh para psikolog. Berita-berita lesbian
secara positif menurut Murray sangat jarang diangkat. Berita yang diangkat
6
Homophobia adalah ketakutan atau kebencian yang berlebihan dan tidak beralasan terhadap orang-orang homoseksual dan transgender. Sikap homophobia ini tentu saja menjadi diskriminatif
terhadap kelompok LGBTIQ.
7
Linda Sudiono, “Melawan Hegemoni Heteroseksisme”, Buletin Mahardhika, Maret 2011, hal. 7.
8
Alison J. Murray
, “Biarkan Mereka Mereguk Kesenangan : Lesbian Kelas dan Jakarta”, Hasrat Perempuan : Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di
Indonesia, eds. Prof. DR. Saskia E. Wieringa, DR. Evelyn Blackwood Jakarta : Ardhanary Institute bekerjasama dengan HIVOS, 2009, hal.51.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
biasanya adalah seputar lesbian bunuh diri, lesbian yang dipaksa ke psikiater agar sembuh, pemalsuan identitas dan lain-lain.
Sikap homophobia juga bisa dilihat dari penolakan terhadap Dede Oetomo dan Yulianus Rettoblaus, yang karena memiliki preferensi seksual dan identitas
gender yang berbeda, mereka dianggap tidak normal dan tidak pantas duduk sebagai Komisioner Komnas HAM di negara ini. Penolakan tersebut dilakukan
dengan tidak menitikberatkan kepada kualitas dan integritas mereka, apakah memenuhi syarat atau tidak sebagai pemimpin. Sikap homophobia yang ditujukan
kepada kedua kandidat ini pada saat itu dapat dilihat dari sebuah petisi yang ditujukan kepada Prof. Jimly Ash-Shiddiqy, Tim Seleksi KOMISI III DPR RI,
Kantor Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Berikut deskripsi petisi yang akhirnya ditandatangani oleh 240 orang pada saat itu.
“Dede Oetomo DO adalah penggiat kampanye legalisasi LGBT Lesbian, Gay, Bisex, dan Transexual. Ini melanggar ketentuan agama apapun yang diakui di Indonesia. DO
tidak pantas mendapatkan posisi di KOMNAS HAM karena DO hanya akan memperjuangkan kebatilan
.”
9
Komnas Perempuan juga menemukan hal serupa yang terjadi saat pelatihan Hak Asasi Manusia HAM untuk waria di Depok, yang
diselenggarakan oleh Komisi Nasional HAM Komnas HAM pada tahun 2010
10
. Selain itu, kejadian yang sama menyusul ketika kegiatan tahunan Q-Film Festival
pada September 2010 sedang berlangsung. Ancaman, pembubaran dan intimidasi
9
http:www.change.orgidpetisitolak-dede-oetomo-sebagai-calon-komisioner-komnas-ham Dede Oetomo dan Mami Yuli adalah aktivis pegiat HAM LGBT.
10
Komnas Perempuan 2010 menyebutkan bahwa kegiatan ini diikuti oleh 26 orang peserta yang masing-masing mewakili 26 provinsi di Indonesia. Kegiatan tersebut sedianya dilaksanakan
hingga tanggal 1 Mei 2010. Pada hari kedua pelatihan, belasan orang yang mengatasnamakan diri Front Pembela Islam FPI masuk ke dalam ruangan, melemparkan piring, cangkir ke arah peserta
pelatihan sambil meneriaki kata-kata kasar.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
terhadap kegiatan ini dilakukan oleh ormas FPI. Pada saat itu, pihak penyelenggara dan peserta kegiatan sangat menyesalkan aparat yang melakukan
pembiaran atas aksi ormas tersebut. Padahal, aksi tersebut menyebabkan warganegara kehilangan haknya untuk berkumpul dan memperoleh informasi
serta hak untuk memperjuangkan hak seperti pada UUD 1945 Pasal 28c ayat 2. Pembubaran paksa juga dilakukan oleh polisi pada 4 Mei 2012 ketika Komunitas
Salihara menggelar diskusi dengan mendatangkan Irshad Manji dari Kanada. Pembubaran ini katanya dilakukan karena warga sekitar keberatan dan tidak ada
ijin diskusi
11
. Homophobia bercokol begitu kuatnya di Indonesia karena hingga saat ini
homoseksual masih sering dilabeli sebagai penyimpangan atau penyakit yang bisa disembuhkan. Padahal sejak 17 Mei 1992 World Health Organization WHO
sudah mengeluarkan homoseksual dari daftar klasifikasi penyakit. Sebelumnya, pada 1981 WHO juga sudah mengeluarkan homoseksual dari daftar penyakit jiwa.
Selanjutnya, Indonesia sendiri pada tahun 1993 dalam Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa PPDGJ III pada F66 1993 Depkes RI sudah
mengeluarkan homoseksual dan biseksual dari daftar penyakit. Homoseksual dan biseksual dianggap sebagai suatu keragaman seksualitas masing-masing
12
. Namun seperti yang dijelaskan oleh penulis di atas, media sangat berperan penting untuk
melanggengkan kekuasaan homophobia. Gambaran bahwa lesbian adalah penyakit juga menciptakan stigma yang kuat dan homophobia yang
11
http:salihara.orgcommunity20120505kronologi-pembubaran-paksa-diskusi-irshad-manji
12
Veryanto Sitohang, Jenny Solin, Aliansi Sumut Bersatu : Lahir untuk Merawat Pluralisme Medan : ASB, 2011, hal. 25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
diinternalisasikan oleh lesbian itu sendiri
13
. Banyak lesbian akhirnya dapat mengangga dirinya sakit.
Dunia internasional sendiri memberikan sikap dan respon yang berbeda- beda terkait seksualitas LGBTI. Saat ini, beberapa negara yang sudah mengakui
perkawinan sesama jenis di antaranya yaitu Belgia, Denmark, Spanyol, Afrika Selatan, Argentina, Swedia dan lainnya. Sementara itu, masih terdapat 80 negara,
termasuk Indonesia, yang Undang-undangnya masih mendiskriminasi kaum homoseksual. Tujuh diantaranya masih memberikan hukuman mati terhadap
mereka
14
. Tingginya angka diskriminasi terhadap LGBTI memunculkan berbagai
gerakan kemanusiaan yang secara khusus memperjuangkan hak asasi manusia LGBTI, secara internasional, nasional hingga ke skala lokal. Dunia internasional
sudah memulai gerakan ini sejak tahun 1800
15
. Indonesia kemudian menyusul pada tahun 1969
16
dan berkembang pesat hingga saat ini. Hasil wawancara sementara yang dikumpulkan oleh penulis juga menunjukkan bahwa gerakan
tersebut juga ada di Kota Medan. Beberapa organisasi LGBTI di Kota Medan yang tercatat oleh penulis yaitu Rumah Kita, Cangkang Queer, Pelangi Hati,
Primas Pria Medan Sehati, Koos Medan dan Sempurna Community. Rumah Kita dan Cangkang Queer adalah dua organisasi yang selama ini relatif lebih
banyak melibatkan lesbian dalam kegiatan-kegiatannya, khususnya lesbian muda.
13
Alison J. Murray, Op.,Cit.hal.61
14
Vivi Widyawati, “Sejarah Gerakan Pembebasan Homoseksual”, Buletin Mahardhika, Maret 2011, hal. 13.
15
Ibid., hal. 14.
16
Gaya Nusantara, Perjalanan “ejarah Waria, Gay dan Lesbian , http:gn- intern.blogspot.com200903perjalanan-sejarah-waria-gay-dan.html
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
Meskipun demikian, penelitian ini tidak memfokuskan kajiannya pada gerakan atau organisasi lesbian seperti di atas. Kendatipun penulis memaparkan
tentang kondisi gerakan lesbian di Medan pada saat ini, namun penulis lebih memfokuskan penelitian ini kepada kognitif informan lesbian tersebut. Hal ini
dilakukan agar penelitian ini dapat membongkar pemahaman informan tentang bagaimana mereka melihat dirinya sebagai perempuan yang memiliki hasrat
terhadap perempuan. Maka seperti yang sudah dilakukan oleh Boellstorf sebelumnya pada komunitas gay di Surabaya, Bali dan Makassar, melalui
penelitian ini kita juga diharapkan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana subyektivitas-subyektivitas yang dialami oleh
informan dalam penelitian ini.
1.2 Tinjauan Pustaka