35
BAB II KONTEKS DAN LOKASI PENELITIAN
2.1 SEKSUALITAS LESBIAN DITINJAU SECARA HISTORIS
2.1.1 Sejarah Homoseksualitas dari Masa ke Masa
a. Homoseksualitas sebelum abad 19
Fakta sejarah mencatat bahwa sejak awal sejarah manusia, sudah ada yang menjalin hubungan erotik romantik danatau ritual dengan sesama gender atau
antara penyeberang gender dan gender yang ada dalam masyarakat
56
. Disebutkan juga bahwa dalam kebanyakan hal, hubungan itu berlangsung bersamaan dengan
hubungan perkawinan atau sebelumnya. Hubungan tersebut baru berwujud konsep identitas homoseksual pada akhir abad ke 19
57
. Konsep identitas homoseksual ini lahir di era kemunculan dan perkembangan awal kapitalisme. Menurut Sudiono,
lahirnya konsep homoseksual sebagai identitas ini kemudian malah melahirkan kecaman akibat hegemoni heteroseksualitas, “yang sengaja diproduksi terus
menerus untuk mempertahankan sistem”.
“Sebagai contoh, pada masyarakat Yunani kuno, hubungan intim antara pria tua dan pria remaja diartikan sebagai bentuk tertinggi dari cinta. Suatu masyarakat kesukuan pada
masa tertentu, mengakui laki-laki atau perempuan yang mengambil peran jender perempuan berperilaku feminin dan laki-laki cendrung maskulin dari jenis kelamin yang
berlawanan. Pada masyarakat tersebut, praktek homoseksual diakui tidak sebagai kategori manusia yang harus ditoleransi atau dimaklumi, melainkan sebagai bagian dari
masyarakat yang selalu eksis sehingga menjadi keniscayaan.
”
58
56
Gaya Nusantara, Loc. Cit.
57
Linda Sudiono, Loc. Cit. hal.10
58
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Oetomo 2001 : 52 juga menjelaskan tentang masyarakat Yunani Kuno, yang peradabannya merupakan akar peradaban Barat hingga masa kini pun, cinta
homoseks dianggap ideal dan dilembagakan. Berikut pemaparannya :
“Para prajurit laki-laki diharapkan oleh masyarakat waktu itu untuk mempunyai seorang sahabat laki-laki yang lebih muda, yang dicintainya dan merupakan kawan setianya dalam
berlatih, berolahraga, berlomba dan tentu saja bercinta. Para filsuf seperti Plato dan Sokrates pun mempunyai sahabat muda seperti itu, walaupun juga mempunyai istri dan anak. Ada
indikasi bahwa homoseksualitas eksklusif tidak diperbolehkan.
”
Menurut Oetomo, Mitologi Yunani penuh dengan kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin, seperti antara Zeus dan Ganymede, Herakles dan Iolaus
Hylas, Apollo dan Hyakinthus, dan Iskandar Agung Iskandar Zulkarnain, sang penakluk dari Macedonia. Berbeda dengan masyarakat Yunani Kuno,
Kemaharajaan Romawi sebaliknya dikenal dengan moralitas yang mengharamkan perbuatan homoseks dan bahkan mengatur pengharaman itu melalui berbagai
undang-undang Oetomo, 2001 : 53. Namun, itu tidak berarti bahwa tidak ada kehidupan homoseks di Roma. Oetomo mencatat ada maharaja kaisar Roma
yang menyukai perbuatan homoseks, antara lain Yulius Kaisar, yang konon pernah bercinta dengan Raja Nikomedes dari Bythinia. Juga sastrawan Romawi
seperti Virgil, Horatius, Catullus dan Tibullus yang konon pernah mengalami cinta homoseks yang demikian intensnya sehingga mewarnai karya-karya agung
mereka. Menurut Jamie Gough dan Mike Mcnair yang dirujuk oleh Sudiono, aktivitas
seksual gay pada masa lalu dianggap sebagai potensi universal, bukan sebagai sesuatu yang melekat pada individu tertentu khusus. Di Eropa, pada abad
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
pertengahan atau Yunani Kuno, pengertian homoseksual seperti yang kita mengerti saat ini tidak akan dimengerti.
Oetomo juga berhasil menggali sejarah masa lampau tentang bagaimana dan sejak kapan seks manusia hanya ditujukan untuk prokreasi. Menurutnya, Agama
Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi sangat berpengaruh untuk menciptakan konstruksi tersebut.
“Agama Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi Yudaisme memang mempunyai pandangan terhadap seks yang oleh sejarawan seksualitas Vern L. Bullough dinamakan sex-
negative. Seks hanyalah melulu untuk prokreasi mendapatkan keturunan di dalam pernikahan resmi yang disahkan oleh gereja; pemanfaatan kemampuan seks pada manusia
untuk tujuan lain rekreasi, misalnya dipandang sebagai penyimpangan yang penuh noda dan dosa. Perbuatan seks yang diizinkan pun biasanya dibatasi pada senggama antara penis dan
vagina dengan posisi wanita di bawah laki-laki. Beberapa sekte Kristen yang ekstrem malah mengharuskan pasangan suami-istri yang bersenggama itu tetap berpakaian lengkap.
”
Dalam banyak sejarah kebudayaan Indonesia
59
, praktek homoseksual dan transjender dikenal dengan baik dan bahkan dihormati karena posisinya dalam
masyarakat. Ada bissu, calalai dan calabai di Sulawesi, warok dan gemblak di Ponorogo, kemudian ada istilah-istilah lokal lain dalam berbagai budaya di
Indonesia yang digunakan untuk menjelaskan keberagaman orientasi dan identitas seksual atau identitas jender. Namun, keragaman gender dan seksualitas ini
sek arang seolah “terlarang” dan distigma bukan bagian dari budaya Indonesia
60
. Perilaku dan identitas
LGBTI dianggap sebagai “kebarat-baratan” dan memalukan bangsa.
Menurut Oetomo, budaya-budaya Nusantara kaya akan fenomena pelembagaan institusionalisasi, pemranataan homoseksualitas. Baginya, hal ini
59
Khanis Suvianita, Laporan Situasi HAM LGBTI Di Indonesia Tahun 2012. Pengabaian Hak Asasi Berbasis Orientasi Seksual dan Identitas Gender : Kami Tidak Diam, Jakarta : Forum
LGBTIQ Indonesia dan Gaya Nusantara, 2013, hal. 13
60
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
sangat mirip dengan keadaan di Yunani Kuno. Pandangan terhadap homoseksualitas dan perbuatan homoseks tidak saja dinilai positif dalam berbagai
budaya tradisional Nusantara, tetapi sebagian mereka justru melembagakannya. Berikut beberapa warisan budaya Indonesia yang melembagakan praktek
homoseksual atau transjender yang ditulis oleh Oetomo : Aceh
Laki-laki Aceh sangat menggemari budak dari Nias. Budak-budak lelaki yang remaja, dalam posisinya sebagai penari sadati atau lainnya, disuruh
melayani nafsu tak alamiah orang-orang Aceh. Sebagian penari itu adalah anak- anak orang miskin dari pedalaman. Puisi sadati terkenal karena erotismenya;
sebagian jelas-jelas mengacu pada hubungan kelamin sesama jenis. Hurgronje malah menyatakan bahwa laki-laki Aceh lebih menghargai persetubuhan dengan
sesama jenisnya daripada dengan lawan jenis.
Minangkabau Di ranah Minangkabau dikenal kebiasaan percintaan antara laki-laki yang
lebih tua induk jawi dengan remaja laki-laki anak jawi.
Jawa Di pesantren-pesantren di Jawa dikenal sebuah kebiasaan yang disebut
mairil, bahkan konon sampai sekarang. Seorang wartawan majalah Tempo asal pesantren mengisahkan sebuah malam Jumat di pesantrennya yang selalu ada
acara hura-hura untuk bersaing memperebutkan mairil santri remaja yang paling
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
favorit. Bagi sang mairil, menjadi kesayangan seorang kyai adalah puncak dari gengsi di lingkungan pesantren itu. Di antara para santri sendiri juga terjadi
hubungan kasih sayang semacam kakak-adik yang juga disertai persetubuhan. Di Jawa, pelembagaan homoseksualitas dikenal juga pada hubungan
warok-gemblak, terutama di Ponorogo walaupun tradisi gemblakan nampaknya dijumpai pula di kawasan-kawasan lain seperti Surabaya dan sekitamya. Sang
warok laki-laki
dewasa memelihara
gemblak-gemblak-nya remaja
berdasarkan kontrak dengan orangtua sang gemblak berupa pemberian sapi, misalnya. Hal itu dilakukan demi ilmu kesaktian kanuragan yang
mewajibkannya menjauhi wanita. Namun warok juga beristri dan berketurunan, biasanya apabila ia sedang tidak mencari kesaktian. Ada laporan pernah ada
warok-gemblak lesbian di Ponorogo. Namun hal itu tidak dijelaskan secara lengkap oleh Oetomo.
Pelembagaan homoseksualitas di Jawa juga dapat dilihat pada kesenian pentas, seperti ludruk dan gandrung. Juga ada bukti-bukti bahwa tarian seperti
bedhaya dahulunya senantiasa ditarikan oleh remaja laki-laki yang sengaja dipilih lemah gemulai kewanitaan. Hal ini kemungkinan besar erat hubungannya
dengan tabu akan kontak dengan wanita di luar pernikahan sah. Lembaga banci tampaknya juga merupakan sisa-sisa fenomena serupa. Perhatikan bahwa
sebagian banci, yang kini minta disebut secara terhormat sebagai wadam atau waria, masih juga berkecimpung dalam bidang kesenian pentas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
Bali Dr Julius Jacobs, seorang pejabat kesehatan di daerah Banyuwangi pada
akhir abad yang lalu 1883 melaporkan tentang kesenian gandrung. Penari gandrung yang disaksikan Jacobs adalah bocah laki-laki usia 10-12 tahun yang
berpakaian wanita. Dengan genitnya bocah-bocah ini menari, disambut oleh laki- laki yang menontonnya, yang ikut menari, menciuminya, memberinya uang
kepeng. Menurut Jacobs, kebiasaan ini dianggap biasa oleh orang-orang Bali, tidak ditutup-tutupi.
Di Bali juga dikenal adanya pasangan-pasangan homoseks laki-laki maupun wanita lesbian. Perbuatan homoseks antara laki-laki disebut menyilit
mendubur dan di antara wanita disebut mencengceng juuk cunnilingus. Laporan Jacobs memberikan kesan betapa bebas dan cerianya orang-orang Bali
kala itu menikmati pemanfaatan perkelaminan.
Kalimantan Suku Dayak Ngaju mengenal pendeta perantara medium-priest yang
mengenakan pakaian lawan jenis. Basir, yang adalah laki-laki namun dalam segala hal ia berlaku sebagai wanita, termasuk dalam orientasi seksual. Balian
adalah yang wanita tapi ia tetap berlaku sebagai wanita. Transvestisme dan homoseksualitas sang basir tampaknya erat terkait dengan sakralitas kesucian
fungsinya dalam ritus-ritus.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
Sulawesi Di kalangan suku Makasar, laki-laki homoseks yang disebut kawe, diberi
tugas menjaga pusaka, jabatannya diberi nama bisu. Seorang bisu diharapkan mengenakan pakaian wanita dan berperilaku homoseks atau menjauhi kontak
dengan wanita, diduga demi sakralitas pusaka-pusaka yang dijaganya. Dengan perkataan lain, wanita dianggap, seperti pada kasus warok, sebagai kekuatan
pengotor. Ada pula suatu institusi yang tidak sakral, yakni bajasa artinya penyaru
pada suku Toraja Pamona bare e di Sulawesi. Identitas laki-laki pada suku ini di masa lampau adalah ikut bertempur. Laki-laki yang karena suatu hal usia tua,
cacat fisik tak dapat bertempur, kemudian diberi jalan keluar dengan berpakaian wanita sebagai seorang bajasa. Sebagian bajasa dapat menjadi tadu mburake,
yaitu pendeta shaman pada suku Toraja ini.
b. Homoseksualitas setelah abad 19