67
Baginya, apa yang dulu dilakukan oleh orangtuanya adalah akibat kurangnya informasi yang diketahui orangtuanya mengenai orientasi seksual dan identitas
jender. Selain hal-h al seperti di atas, diskriminasi yang mencakup “pembedaan,
pengecualian dan pelarangan” Ardhanary Institute, 2007 : 33 juga mewarnai kehidupan informan.
Selain stigma, diskriminasi dan penolakan, kekerasan juga menjadi masalah yang tidak jarang dialami oleh informan. Pada Desember 2013, dalam
sebuah diskusi kelompok bersama beberapa informan, dari berbagai macam kasus kekerasan yang mereka alami seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, verbal dan
ekonomi Ardhanary Institute, All About Lesbian, hal. 58-64, akhirnya mereka sepakat untuk mengkategorikan jenis kekerasan yang mereka alami sebagai
berikut :
3.2.2 Kekerasan oleh Diri Sendiri
Agak sedikit aneh mungkin jika ada kekerasan yang dikategorikan sebagai yang dilakukan oleh diri sendiri. Tapi inilah faktanya. Beberapa
informan mengaku pernah bahkan sering melakukan kekerasan terhadap dirinya sendiri. Santa 25 mengaku pernah menyilet tangannya lantaran patah hati karena
diputuskan oleh pasangan perempuannya. Tak hanya itu, ia juga merasa terpukul dan malu atas ketertarikannya kepada sejenis. Berikut pengakuan Santa :
“Aku merasa sangat tertekan dan terpukul sebagai lesbi jika aku sedang patah hati. Biasanya aku suka menyilet-ngilet tanganku hingga berdarah. Tak jarang juga aku berniat
untuk bunuh diri. Selain kesepian karena tidak punya teman hidup, aku juga malu pada orang-orang disekelilingku. Biasanya kalau aku patah hati, aku tidak kuat, lalu aku
mengadu kepada keluargaku. Demi tetap mendapatkan dukungan dari mereka, aku ikuti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
saja semua kemauan mereka. Aku pernah dibawa ke dukun, psikolog bahkan ke pesantren. Tapi sampai sekarang toh nggak sembuh juga
”
Selain Santa, informan yang lain juga mengaku pernah melakukan kekerasan terhadap diri sendiri. Ima 23 menuruti kemauan orangtuanya untuk
menikah tahun lalu, meskipun ia merasa tidak menyukai laki-laki yang dijodohkan oleh orangtuanya itu. Ia cukup dekat dengan lelaki itu, namun baginya
lelaki itu tak lebih dari sekedar sahabat. Ia sesungguhnya tertekan karena pernikahan tersebut. Tapi baginya, kebahagiaan orangtuanya jelas sangatlah
penting. Kebanyakan informan yang memutuskan untuk menikah mengaku tidak bisa bertahan lama karena mereka merasa membohongi diri mereka sendiri.
“Bagaimanapun juga, menikah ternyata bukanlah satu-satunya cara untuk membahagiakan orangtua. Memerdekakan diri sendiri tentu lebih berhasil
membuat mereka bangga atas diriku”, jelas Ima sambil menghapus airmatanya.
Para informan mengeluh tentang banyaknya anak belok yang suka menyilet-nyilet tangannya sendiri hingga berlumuran darah lalu di-upload ke
jejaring sosial seperti Facebook, hanya karena mereka putus cinta dengan pacarnya. Seringkali pula relasi yang tidak sehat dengan pasangan juga membuat
mereka melakukan kekerasan terhadap diri sendiri. Beberapa hal tersebut seperti menyiksa diri sendiri secara fisik dan psikis serta sulit untuk bersikap tegas untuk
menentukan keputusan bagi diri mereka sendiri.
3.2.3 Kekerasan oleh Keluarga