Kekerasan oleh Keluarga MASALAH-MASALAH LESBIAN

68 saja semua kemauan mereka. Aku pernah dibawa ke dukun, psikolog bahkan ke pesantren. Tapi sampai sekarang toh nggak sembuh juga ” Selain Santa, informan yang lain juga mengaku pernah melakukan kekerasan terhadap diri sendiri. Ima 23 menuruti kemauan orangtuanya untuk menikah tahun lalu, meskipun ia merasa tidak menyukai laki-laki yang dijodohkan oleh orangtuanya itu. Ia cukup dekat dengan lelaki itu, namun baginya lelaki itu tak lebih dari sekedar sahabat. Ia sesungguhnya tertekan karena pernikahan tersebut. Tapi baginya, kebahagiaan orangtuanya jelas sangatlah penting. Kebanyakan informan yang memutuskan untuk menikah mengaku tidak bisa bertahan lama karena mereka merasa membohongi diri mereka sendiri. “Bagaimanapun juga, menikah ternyata bukanlah satu-satunya cara untuk membahagiakan orangtua. Memerdekakan diri sendiri tentu lebih berhasil membuat mereka bangga atas diriku”, jelas Ima sambil menghapus airmatanya. Para informan mengeluh tentang banyaknya anak belok yang suka menyilet-nyilet tangannya sendiri hingga berlumuran darah lalu di-upload ke jejaring sosial seperti Facebook, hanya karena mereka putus cinta dengan pacarnya. Seringkali pula relasi yang tidak sehat dengan pasangan juga membuat mereka melakukan kekerasan terhadap diri sendiri. Beberapa hal tersebut seperti menyiksa diri sendiri secara fisik dan psikis serta sulit untuk bersikap tegas untuk menentukan keputusan bagi diri mereka sendiri.

3.2.3 Kekerasan oleh Keluarga

Menjalani sebuah kehidupan yang berbeda dengan harapan-harapan masyarakat Indonesia menghadapkan informan dengan berbagai kekerasan yang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 69 harus mereka alami, tak terkecuali dari keluarga mereka sendiri. Orang-orang yang dikasihi justru menjadi orang pertama yang menjadi musuh, bukan untuk mendukung sebagai sesama anggota keluarga. Kekerasan yang kerap dilakukan oleh anggota keluarga informan meliputi tindakan pemukulan, diusir dengan paksa dari rumah, diseret, dipaksa berobat, ditampar, dicekik, dilempar barang, diancam, dihakimi, diejek, dikurung di kamar, dipaksa menikah, diremehkan, tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah, kuliah dan bekerja, tidak boleh bebas berekspresi dan lain sebagainya. Semua tindakan ini disadari sangat melukai informan, baik secara fisik maupun secara psikis. Meskipun demikian, ada juga beberapa informan yang meskipun sudah membuka diri kepada keluarganya, akhirnya didukung atau paling tidak mereka tidak mengalami kekerasan dari keluarga. Eva misalnya, meskipun orangtuanya pernah mengetahui ia lesbian dan lantas menyuruhnya untuk berobat, sekarang mereka tidak pernah lagi menanyakan tentang orientasi seksualnya. Menurut Eva, orangtuanya mungkin sudah bisa menerima saat ini atau bisa juga berpura-pura tidak tahu apa-apa. Toh sejauh ini Eva bisa menunjukkan prestasinya sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri di Medan. Ia juga serius dalam menjalankan organisasinya sehingga sekarang ia sudah bisa menulis dan menjadi pembicara untuk sebuah pelatihan atau diskusi-diskusi. Menurutnya, berprestasi adalah salah satu cara untuk membuat keluarga bangga pada dirinya dan tidak terfokus untuk menyalahkan orientasi seksualnya sebagai lesbian. Jimy juga adalah seorang lesbian yang beruntung karena keluarganya menerima dirinya apa adanya, tanpa syarat. Ia sering membawa pasangan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 70 perempuannya ke rumah. Keluarganya pun menyambut baik pasangannya itu dan malah memperlakukannya seperti anggota keluarga sendiri. Bagi keluarga Jimy, penerimaan terhadap anak, apapun ketertarikannya adalah cinta yang paling suci dan sejati.

3.2.4 Kekerasan oleh Agama