Relevansi Tujuan Pendidikan Pesantren

kamil ” dengan pola taqwa. Insan kamil disini maksudnya adalah menjadi manusia yang utuh jasmani dan rohani dapat hidup berkembang secara wajar dan normal karena taqwa kepada Allah. Perumusan tujuan ini menjadi penting artinya bagi proses pendidikan, karena dengan adannya tujuan yang jelas dan tepat, maka arah proses pendidikan ini akan jelas dan tepat pula. Tujuan pendidikan Islam dengan jelas mengarah kepada terbentuknya insan kamil yang berkepribadian Muslim, merupakan perwujudan manusia seutuhnya, taqwa, cerdas, baik budi pekertinya beraklaq mulia terampil, kuat kepribadiannya, berguna bagi agama, diri sendiri, sesama dan negara. Oleh karena itu, pendidikan Islam mestinya dapat mengarahkan semua potensi yang ada dalam diri manusia dalam segala aspek kehidupan Penelusuran proses pembaharuan tujuan bagi lembaga pendidikan tradisional, seperti pesantren, tidaklah mudah. Kebanyakan pesantren tidak mencantumkan secara tertulis tujuan pesantren ketika didirikan. Bahkan sering dijumpai bahwa tujuan itu juga tidak dirumuskan secara tertulis sampai sekarang. Mungkin disebabkan pesantren tidak cenderung mendiskusikan tentang sistem pendidikan, dimana tujuan menjadi komponen penting, tetapi lebih menekankan kepada keikhlasan niat yang mendatangkan “barokah”, pengalaman dan penghayatan penuh terhadap terhadap khususnya ajaran Islam, do’a dan kepasrahan total untuk menyebarkan agama Allah. Pada lain sisi penulis berkeyakinan kiai tidak mengerti apa itu sistem, metode, atau bahkan tidak memperdulikan itu semua. Oleh karena itu, tujuan pendidikan pesantren pada dekade ini awal bisa ditelusuri melalui sejarah pendiriannya. Sebagaimana pendirian pondok pesantren Tebuireng, bahwa pendirian pesantren ini dilatarbelakangi keadaan desa Tebuireng yang waktu sebagian penduduknya bermoral rendah. Lokasi pondok pesantren yang berdekatan dengan pabrik gula. Ketika itu, gula merupakan komoditi ekspor pemerintah kolonial Belanda dan menjadi simbol apa yang disebut dengan kemajuan teknologi barat. Pada mulanya, pabrik ini menyebabkan kebobrokan budaya masyarakat desa yang bekerja di pabrik tersebut. Para pekerja yang dulunya tidak terbiasa digaji, mengalami keterkejutan budaya, sehingga dilaporkan menghabiskan uang gaji mereka untuk hal-hal seperti minuman keras dan judi. Oleh karena itu, kejahatan meningkat dengan cepat di desa itu. Kondisi seperti ini, malah menarik KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan pesantren di lokasi tersebut Lathiful Khuluq, 2009:37. Berangkat dari konsisi di atas, bahwa tujuan pertama dari pendirian pertama adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Tujuan pertama ini terus disempurnakan sesuai dengan tuntutan keadaan zaman. Ketika santri mulai berdatangan dan jumlahnya semakin bertambah, maka tujuan pesantren bisa berubah. Sebagaimana yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim, ia tidak ingin melihat para santri lebih rendah kedudukannya dalam masyarakat dibanding dengan kaum terpelajar barat, dari sinilah KH. Abdul Wahid Hasyim mulai bereksperimen dengan mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya. b. Menggambarkan cara mencapai tujuan itu. c. Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah akhirat, nyaris terlepas dari urusan duniawiyah dunia. Dengan seperti itu, warna sistem pendidikan pesantren sangat didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya Masyhuri, 2008:18. Meski tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir KH. Abdul Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya pendidikan Madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan Muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam pesantren dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Di era krisis multi dimensi seperti yang sedang melanda bangsa Indonesia sekarang. Banyak pihak berasumsi bahwa krisis moral yang melanda disebabkan kegagalan dunia pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan yang berbasis keagamaan untuk memproduk siswa atau santri yang mampu menyelaraskan antara ilmu dengan amal. KH. Abdul Wahid Hasyim telah menerapkan konsep pendidikan yang dinilai mampu menciptakan peserta didik yang ideal, yaitu santri yang tidak hanya mampu menguasai konsep secara sempurna tapi mampu mengimplementasikan dalam kehidupan nyata

2. Relavansi Pembaharuan Metode Pesantren

Istilah metode sering kali disamakan dengan istilah pendekatan, strategi, dan teknik sehingga dalam penggunaannya juga sering saling bergantian yang pada intinya adalah suatu cara untuk mencapai tujuan pendidikan yang diterapkan atau cara yang tepat dan cepat untuk meraih tujuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik Roqib, 2009:90. Metode juga dapat didifinisikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang yang ditentukan . Dalam dunia pesantren setidaknya ada tiga metode pembelajaran yang digunakan di lingkungan pesantren, yaitu metode sorogan, bandongan, dan musyawarah. Pesantren sebagai lembaga pendidikan secara selektif bertujuan menjadikan para santri sebagai manusia yang mandiri yang harapkan dapat menjadi pemimpin umat. Oleh karena itu, pesantren bertugas mencetak manusia yang benar-benar ahli dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang berakhlak mulia, untuk mewujudkan itu semua diperlukan metode yang tepat. Sebab di pihak lain, sistem pendidikan pesantren seolah berjalan alamiah tanpa ada orientasi dan target-target yang direncanakan. Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, sering kita ketahui, bahwa sistem atau metode pembelajaran di pesantren menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Murid posisinya hanya sebagai pendengar, menghafal dan menulis sehingga murid atau santri tidak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya seperti mengajukan pertanyaan atau bahkan lebih kritis lagi yaitu dengan mengadakan diskusi, metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan dalam institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli pesantren. Ada pula metode pembelajaran baru , yaitu metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren dengan mengintrodusir metode-metode yang berkembang di masyarakat modern. Penerapan metode baru juga diikuti dengan penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah atau klasikal. Seperti yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim melontarkan ide untuk mengganti metode bandongan dengan metode tutorial sepertinya didasari pada kesadaran bahwa santri adalah manusia merdeka yang memiliki kreativitas dan inisiatif pribadi. Mematikan kreativitas santri sama halnya dengan membunuh potensi mereka, bahkan sebelum potensi itu tumbuh dan berkembang. Metode tutorial memberi ruang antara kyai dan santri untuk terlibat dalam dialog yang seakan ditabukan dalam metode bandongan. Suasana dialogis sangat penting dikembangkan dalam pembelajaran karena melatih daya kritis dan logika. Metode tutorial sama sekali tidak akan menurunkan kewibawaan dan pamor kyai di mata santri karena hubungan yang