Mendirikan Partai Masyumi Pengabdian Kepada Negara
A’ala Indonesia organisasi ini didirikan pada tanggal 18-21 September 1937 Lathiful Khuluq, 2009:116. Federasi ini terdiri dari Nahdlatul
Ulama, Muhamadiyah, dan Sarekat Islam. Yang mana KH. Hasyim Asyari sebagai ketuanya. Akan tetapi kedudukan sebagai ketua hanya simbolik
sebab beliau mendelegasikan semua tugas ketua diserahkan kepada putra beliau, KH. Abdul Wahid Hasyim. Tetapi perkembangan selanjutnya
Wahid Hasyim jadi ketua seutuhnya bukan sebagai badal ayahnya. Melalui wadah MIAI inilah tokoh-tokoh Islam membangun hubungan baik
dengan kelompok-kelompok nasionalis yang tergabung dalam Gabungan Aksi Politik Indonesia GAPI. Ini terjadi pada tahun 1939, dan gerakan
GAPI mencapai puncaknya pada tahun 1940, dimana MIAI dan GAPI mendirikan proyek politik yang bernama Kongres Rakyat Indonesia
Korindo, dengan dua tuntutan utama terhadap pemerintah kolonial, yaitu mempercepat
Indonesia berparlamen
dan menuntut
perubahan ketatanegaraan di Indonesia, menuju Indonesia mandiri Surahno dalam
Laode Ida, 1996:15. Setelah kedudukan Belanda berakhir MIAI dibubarkan oleh Jepang
dan diganti Masyumi Majlis Syura Muslimin Indonesia pada 24 oktober 1943. Yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya
Nahdaltul Ulama dan Muhammadiyah yang diakui secara sah oleh penjajah dan yang diperbolehkan menjadi anggota Masyumi. Pada bulan
agustus 1944, KH Hasyim Asya’ari diangkat sebagai ketua Shumubu, kantor urusan agama Islam buatan Jepang, dan NU pun mulai masuk ke
dalam urusan pemerintah pertama kalinya. Akan tetapi, begitu dikukuhkan
KH. Hasyim Asya’ri kembali ke pesantren beliau di Jombang, sedangkan tugas sehari-hari dilaksanakan KH. Abdul Wahid Hasyim. Tahun ini juga
KH. Abdul Wahid Hasyim, berhasil membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus bagi para santri dan mengizinkan mereka
membentuk barisan pertahanan rakyat sendiri yaitu Hizbullah dan Sabilillah Andree Feillard,2008:26. Dan setelah Indonesia Merdeka
Masyumi ini berubah menjadi partai politik. Langkah ini dilakukan mengikuti anjuran pemerintah republik Indonesia Greg Fealy,2007:53.
Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang.
Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia atau dikenal dengan
BPUPKI, KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota yang termuda, ketika itu baru berumur 31 tahun Delier Noer, 1987:31. Badan
ini dideklarasikan pada tanggal 1 maret 1945 yang menghasilkan terbentuknya suatu panitia untuk menyelidiki dan apa yang harus
dikerjakan untuk mempersiapan kemerdekaan. Panitia ini diresmikan di Jakarta tanggal 29 April 1945, anggotanya berjumlah 62 orang, sehingga
panitia ini dapat disebut panitia 62. Orang-orang Jepang mengangkat Dr. Radjiman Wedjodiningrat untuk memimpin rapat-rapat B.J Boland,1985-
19. Pada sidang pertama badan ini membicarakan dasar-dasar Negara
Indonesia. Dalam rapat ini, KH. Abdul Wahid Hasyim menghendaki agar Negara yang dibentuk berdasarkan Islam mengingat Islam adalah agama
mayoritas di Nusantara. Sementara itu, sebagaian peserta yang lain menghendaki agar Negara dibentuk tidak berdasarkan agama tertentu
karena selain umat Islam masih terdapat penganut agama lain. Rapat ini berakhir dengan dibentuknya Panitia Sembilan, KH. Abdul Wahid Hasyim
menjadi salah satu anggotanya. Panitia kecil ini akhirnya berhasil merumuskan pembukaan UUD yang kemudian dikenal dengan Piagam
Jakarta. Dalam Piagam Jakarta ini tercantum satu kalimat yang kemudian menimbulkan
kontroversi, yaitu
sila pertama“
Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Bagi panitia Sembilan, rumusan ini sebagai jalan tengah yang paling maksimal
dari kedua aspirasi tersebut Saiful Umam, 1998 Pada tanggal 10 Juli, Piagam Jakarta dipertanyakan oleh tokoh
nasionalis sekuler
dan Kristen,
Latuharhary, yang
secara tegas
mengutarakan kekawatirannya nantinya syariat Islam akan menimbulkan masalah bagi agama lain dan adat istiadat. Agus Salim menjawab bahwa
persoalan hukum adat dan hukum Islam sudah merupakan masalah lama, dan pada umumnya sudah terselesaikan. Wongsonegoro dan Hoesein
Djajadiningrat juga merasa keberatan dengan kata-kata tersebut sebab akan menimbulkan fanatisme, kelihatannya kaum Muslimin akan dipaksa
mematuhi syari’at Islam. KH. Abdul Wahid Hasyim membantah dengan merujuk adanya asas sila permusyawaratan akan menghalangi segala
bentuk paksaan B.J Boland, 1985:19. Pada sidang selanjutnya, debat masih berlanjut, KH. Abdul Wahid
Hasyim mengusulkan rumusan berikut: “Agama Negara adalah Islam,
dengan jaminan bagi pemeluk agama lain untuk dapat beribadah menurut agama masing-masing”. KH. Abdul Wahid Hasyim juga mengusulkan
presiden dan wakilnya juga harus Islam, tetapi usul ini ditentang Agus Salim dan mengajukan keberatan, karena hal ini akan merusak jalan
tengah yang telah tercapai antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, dan jika presiden harus Islam, bagaimana nantinya dengan
wakil presiden dengan para duta besar dan sebagainya. Dua hari setelah Jepang menyerah, yakni pada tanggal 14 agustus
1945, dan pada tanggal 17 Agustus hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesaia dikumandangkan oleh Soekarno dan Moh Hatta, Hatta
menerima kunjungan seorang perwira angkatan laut kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan-keberatan penduduk Indonesia bagian
timur, yang sebagaian besar tidak beragama Islam, mengenai dimuatnya Piagam Jakarta pada mukaddimah undang-undang dasar. Bila tidak
dirubah, mereka lebih suka berdiri diluar Republik Indonesia. Keesokan harinya pada tanggal 18 agustus, Moh. Hatta memanggil empat anggota
panitia persiapan
kemerdekaan yang
mewakili Islam:
Ki Bagus
Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Muhammad Hasan dan KH. Abdul Wahid Hasyim.
Demi menjaga keutuhan bangsa pada saat genting ini, mereka setuju untuk menghapus rujukan pada agama Islam dalam teks Mukaddimah
Undang-Undang Dasar, sebagai gantinya KH. Abdul Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan Ketuhanan
Yang Maha Esa, penambahan kata Esa menggarisbawahi keesaan Tuhan
tauhid yang tidak terdapat pada agama lain. Dengan demikian, Indonesia tidak menjadi Negara Islam, namun menjadi Negara monoteis. Presiden
harus diangkat dari orang Indonesia asli, tanpa ketentuan jelas mengenai agamanya Andree Feillard, 2008,34:35.
Kasus di atas memperlihatkan bahwa KH. Abdul Wahid Hasyim dalam kasus tertentu merupakan sosok yang sangat kental dengan nilai-
nilai ajaran Islam sehingga ia selalu mengusulkan agar Negara Indonesia berideologi Islam. Akan tetapi bagi KH. Abdul Wahid Hasyim Islam
bukan harga mati, ia terbukti menerima setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Peran KH. Abdul Wahid Hasyim dalam hal ini cukup penting
untuk menyelamatkan bangsa Indonesia. Tidak dapat dibayangkan seandainya KH. Abdul Wahid Hasyim menolak usul tersebut. Karena
menurut KH. Abdul Wahid Hasyim persatuan bangsa yang baru lebih penting daripada pengakuan formal terhadap Islam.
Bukti pemahaman keIslaman KH. Abdul Wahid Hasyim yang
toleran, inklusif dan tidak radikal tercermin dalam penerapan kaidah fikih yaitu “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih mencegah
kerusakan harus didahulukan daripada berniat kebaikan. Dan pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim ini bisa menjawab gerakan radikal yang ada di
Indonesia sekarang ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD 09062011 07:11 menyakatan,
”Gagasan tentang bertemunya ke-Indonesiaan dan ke-Islamanan dengan konsep Pancasila yang sekarang ini kita anut sebagai dasar negara
sekarang sudah final. Dan pemikiran KH Wahid Hasyim ini menurut saya
perlu direvitalisasi, dengan jalan mempertemukan secara kuat bahwa konsep Indonesia dengan Islam dalam Pancasila sebagai dasar negara
sebagai konsep yang final bagi seluruh rakyat indonesia. ”Sehingga tidak perlu lagi ada pertengkaran yang mempertentangkan perlunya negara
Islam, radikalisasi dan lain-lain, itu semua bisa dijawab dengan pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim, http:www.nu.or.id.html
Setelah Indonesia
merdeka yang
dilakukan Soekarno
adalah membentuk kabinet. Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden
Sukarno September 1945, KH. Abdul Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika
KNIP dibentuk, KH. Abdul Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP
tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama.
Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman. Dalam
pembentukan kabinet baru Sukiman 1 April 1952 ia tidak dipilih lagi menjadi menteri agama. Kedudukannya digantikan oleh KH Fakih Usman
dari Muhammadiyah. Setelah meninggalkan jabatan menteri agama ia aktif dalam NU Mahmud Yunus, 1995:369.
Tanggal 19 April 1953 merupakan hari penuh duka-cita. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahid Hasyim ditemani tiga
orang, yakni sopirnya dari harian pemandangan, rekannya Argo Sucipta, dan putra sulungnya. Musibah ini berawal dari rencana pergi ke Sumedang
untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, yang dihela seorang sopir dari harian pemandangan, Abdurrahman putra
pertamanya duduk di depan. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim.
Ketika sampai di sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin, lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara
Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH. Abdul Wahid Hasyim selip dan
sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang
melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup
kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke
bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. Sementara sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak
bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula Aboe Bakar 2011:330.
Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pukul 16.00 datang
mobil ambulan untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan
diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39 tahun. Beberapa jam
kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khaliq. Kemudian jenazah KH. Abdul Wahid Hasyim dibawa ke
Jakarta, kemudian dengan pesawat terbang jenazah tersebut di angkut ke Surabaya, untuk dimakamkan di Tebuireng.